Keberadaan Kris di apartemen Reva dimanfaatkan oleh wanita itu untuk meningkatkan nilai estetika pada ruang studionya. Kris seorang seniman dan sangat mahir melukis. Sejalan dengan itu, Reva belum juga memutuskan untuk membeli wallpaper. Yang terjadi selanjutnya adalah Reva meminta tolong kepada Kris untuk melukis di atas permukaan beberapa bagian dindingnya.
Pertama, Reva meminta lukisan bulan dan bintang yang berpendar dalam gelap di kamarnya. Setelahnya, ia meminta lukisan ilustrasi dari buku-buku favoritnya. Tak lupa juga ia meminta lukisan siluet mereka berdua. Kris mengerjakan semuanya tanpa mengeluh sedikit pun, karena ia memang sangat mencintai wanita pendiam itu.
“Apa kita perlu pajang foto kita berdua? Tapi yang ukurannya besar banget, buat jadi statement,” tanya Kris saat sedang mengatur lukisan-lukisan tersebut di dinding.
“Aku lebih suka kolase, kecil-kecil tapi banyak.”
“Bagus juga, sih, itu. Biar mereka cerita tentang hidup kita.”
“Empat tahun perjalanan, lho! Foto kita numpuk banget!”
Memasuki tahun ke empat dalam hubungan mereka, Reva dan Kris akhirnya terpaksa menjalani hubungan jarak jauh. Beberapa bulan yang lalu, Kris menerima sebuah tawaran untuk bergabung dalam sebuah rumah produksi di Jakarta. Minggu-minggu terakhir itu ia mulai disibukkan dengan pembuatan sebuah film, yang artinya cukup lama juga ia tak melihat paras kekasihnya.
“Nggak sebanyak kenangan yang kita buat berdua, kok!” ujar Kris menggoda Reva.
Jeda di antara kegiatan melukis dan mendekorasi tersebut diwarnai dengan rasa rindu karena lama tak bertemu. Mereka saling bercanda dan membuat lelucon, lalu tertawa bersama. Kris sudah menjadi bagian yang sangat penting dalam hidup Reva. Pria itulah yang dengan sabar membantunya dan mengangkatnya kembali dari keterpurukan. Reva tak tahu akan seperti apa hidupnya jika Kris tak datang di waktu yang tepat, untuk mengulurkan tangannya terhadap dirinya yang sudah sangat jauh terperosok ke dalam jurang keputusasaan.
Berkat tangan dingin Kris mengolah cat minyak dan memadukan warna, dinding rumah Reva akhirnya tak sehampa konser tanpa speaker lagi. Tepat di atas nakas di sebelah kasurnya, lukisan bulan kecil beserta bintang-bintang lebih kecil yang mengelilinginya akan menyala ketika lampu dimatikan. Kolase foto yang ditata dan dibingkai dengan apik pun dipajang dengan tepat di dekat TV. Belum lagi, Kris juga membelikan chandelier mini untuk Reva sebagai hadiah atas rumah barunya.
Waktu sudah petang saat mereka selesai merapikan dekorasi dan membersihkan tubuh yang terkena cipratan cat di sana-sini. Dengan penuh kepuasan mereka menikmati hasil karya-karya tersebut. Apalagi lukisan siluet yang dibuat oleh Kris yang kemudian dipajangnya di atas sofa, benar-benar secara akurat menampilkan sosok Reva, meski hanya dibuat memakai warna hitam dan abu-abu. Kris memang sangat berbakat dalam bidang seni.
“Pokoknya, aku mau traktir kamu besar-besaran malam ini!” ujar Reva bersemangat.
“Ide bagus!”
“Mau makan apa, Sayang?”
“Mungkin steak atau ramen?”
“Kalau gitu, kita makan ramen pakai topping steak!”
“Let's go, Baby!”
***
Papasan tak terhindarkan kembali terjadi di antara Reva dan tetangga wanita di sebelahnya. Namun, kali itu ia bersama dengan Kris. Reva tak pernah takut jika ia sedang bersama dengan Kris. Pria itu selalu melindunginya bahkan sejak pertama kali mereka bertemu.
Sama-sama sedang berada di depan unit masing-masing, Reva dan Nadia akhirnya saling bertemu tatap, memperhatikan dengan saksama dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Aku nggak menyangka kita tetangga,” ujar Nadia akhirnya.
“Yah, mau gimana lagi,” jawab Reva seolah malas meladeninya berbicara.
"Aku dengar waktu kamar itu lagi direnovasi. Berisik, lho. Dan ternyata, kamu yang nempatin, Va."
"Masalah?"
"Nggak. Aku pikir kita perlu move on."
"Alright."
Reva hendak berjalan melewati Nadia, tetapi wanita itu seperti sengaja menghalanginya.
“Pacarmu itu, ya? Atau kalian sudah menikah?” selidik Nadia begitu ia tersadar bahwa Kris berdiri begitu dekat di samping Reva.
Kris dan Reva saling memandang dan tersenyum canggung. “Belum. Belum, kok,” jawab keduanya serempak.
“Sudah, ya. Kita permisi dulu,” pamit Reva dengan terburu-buru.
“Aku juga mau ke bawah. Mungkin kita bisa turun sama-sama,” balas Nadia tanpa digubris oleh Reva, yang terus saja melangkah berdampingan dengan Kris.
Sayangnya, Reva tak bisa benar-benar menghindar, karena saat itu ia berada di dalam satu lift yang sama dengan wanita yang telah menghancurkan hidupnya itu. Nadia mengulurkan tangannya sesaat sebelum pintu lift tertutup.
“Kamu lama sekali menghilang dari peredaran, Va. Aku kira kamu udah nggak di Bandung lagi,” tukas Nadia untuk sekadar basa-basi selama berada di dalam lift.
“Bukan urusanmu,” jawab Reva dengan ketus.
Nadia sontak menutup mulutnya saat Reva merespons dengan nada tajam seperti itu. Kemudian, ia mulai memperhatikan betapa Kris terlihat sangat mengagumi Reva. Pria itu tak henti-hentinya membelai rambut sang kekasih dan merangkul pundaknya mesra. Ia juga selalu berbicara dengan intonasi yang lembut. Dan Nadia dapat menyaksikan itu semua dengan jelas.
Di lantai dasar apartemen tempat meja resepsionis berada, akhirnya mereka turun. Reva dan Kris memilih kedai ramen yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Untuk itu, mereka ke luar dari apartemen melalui lobby, tak perlu repot-repot mengambil motor Kris yang ia parkir di basement. Di saat yang sama, Nadia hendak membeli beberapa keperluan di minimarket yang terletak di samping lobby.
“BUNDA!”
Nadia tersentak mendengar seorang anak kecil memanggilnya. Anak itu adalah putrinya sendiri yang bernama Kaia, berlarian dari dalam minimarket menuju tempat ibunya berdiri.
“Eh, Kaia, kamu di sini? Habis beli apa? Bunda baru aja mau ke sini buat beli shampoo,” ujar Nadia pada putrinya.
“Habis beli es krim, Bunda.”
Tak lama kemudian, sosok Rafael—yang ternyata juga sedang berada di situ—muncul dari balik pintu minimarket menyusul putrinya, seraya menenteng kresek kecil berisi kaleng minuman bersoda dan beberapa camilan.
“El, tumben lebih cepat?” tanya Nadia kepada pria yang telah menjadi suaminya itu.
“Nggak semacet biasanya tadi.”
“Oh, gitu ... by the way, tunggu aku, ya. Aku mau beli shampoo. Kita nanti naik sama-sama.”
Sementara Nadia melesat untuk membeli kebutuhannya, Rafael duduk untuk membantu Kaia memakan es krim di sebuah bangku panjang yang terletak persis di depan minimarket. Mereka tampak akrab sekali. Sepertinya, Kaia memang sangat dekat dengan ayahnya.
Saat itu, cukup lama hingga akhirnya Reva dan Kris muncul dari arah lift menuju lobby, karena sebelumnya mereka terpaksa kembali ke atas untuk mengambil ponsel Kris yang tertinggal.
Reva berjalan dengan menatap lurus ke depan. Beberapa saat lagi ia akan melangkah melewati minimarket, yang tepat di depannya terdapat sebuah bangku di mana Rafael sedang duduk. Kemudian, langkah Reva terhenti seketika, saat ia menyadari siapa sosok yang sedang ia lihat di hadapannya. Rafael. Lagi. Reva membatin dalam hati.
“Sayang, kenapa? Ada yang ketinggalan lagi?” tanya Kris yang terheran melihat kekasihnya mendadak mematung kaku.
Reva berbalik menyamping ke arah Kris dan menatap wajahnya yang kebingungan. “Kris ....” ujarnya lirih penuh keraguan, tak tahu harus berkata apa.
“Kenapa?”
Reva terdiam sejenak sembari berusaha menguasai pikirannya kembali. Ia tahu bahwa ia tak bisa terus-menerus bersikap seperti itu. Ia tak bisa melulu gentar setiap kali bertemu Rafael.
“Ada yang ketinggalan?” tanya Kris kembali.
“Eng-nggak ... nggak ada, kok. Ayo, lanjut jalan lagi.”
Hari itu ternyata jauh lebih baik dari dua hari sebelumnya, karena Reva mampu dengan cepat mengerahkan setiap kapasitas mentalnya untuk tetap bersikap tenang. Entah karena ia sudah menjadi lebih kuat, entah karena saat itu ada Kris yang sedang berdiri di sampingnya. Yang pasti, dengan seluruh kekuatan yang tersisa, Reva memberanikan diri untuk berjalan melewati Rafael, yang saat itu juga tengah menatap intens kepadanya.
Reva hendak berlalu begitu saja seolah tak peduli, tetapi tiba-tiba Nadia kembali muncul dari balik pintu minimarket dan menyapanya lagi. “Lho, masih di sini, Va?”
Mau tak mau, situasi yang sangat canggung tercipta. Reva, Rafael dan Nadia berada di satu titik yang sama. Ditambah Kris dan Kaia meramaikan suasana. Reva segera membuang muka dan dengan cepat melenggang ke luar, selagi Rafael terus saja memandangnya penuh arti, yang sangat sulit diterjemahkan.
Reva tak mau melemah pada saat seperti itu. Dan lagi pula, semua sudah berlalu. Mereka semua sudah sama-sama memiliki kehidupan baru.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Astari Atelier
Rasanya rada janggal liat karakter namanya Kris. soalnya itu nama suami aku.. wkwkwk... 🤣🤣🤣
2022-12-07
2