Apa yang sedang dia lakukan di sini?
Apa yang sedang dia lakukan di sini?
Reva mematung, menatap tajam ke layar digital kecil yang terletak di atas pintu lift yang berfungsi untuk menunjukkan kode lantai. Kode tersebut terus berubah, meski bagi Reva itu terasa puluhan tahun lamanya. Dari ‘LG’ ke ‘GF’. Dari ‘GF’ ke ‘1’, ‘2’, dan seterusnya. Setiap tarikan ke atas semakin mendekatkan Reva kepada rumah. Namun, astaga, perpindahan itu mendadak menjadi lamban sekali!
Pintu lift terbuka di lantai tiga, tetapi tak ada siapa pun di sana hingga akhirnya pintu secara otomatis menutup kembali. Saat itu, sungguh, rasanya Reva ingin sekali menyeruak keluar dan berlari sekencang mungkin menjauhi Rafael yang auranya masih saja terasa mencekam baginya. Pria itu bagi Reva sudah terlihat seperti seorang pembunuh berantai yang suka bermain-main dengan nyawa korbannya.
Reva tidak mengerti mengapa seluruh tubuhnya seolah membeku dan tak menuruti perintah di otaknya untuk bergerak. Jangankan melangkahkan kaki, melirik dan menoleh pun ia tak sanggup! Hanya jari-jemarinya saja yang kian bergetar seraya mengeluarkan keringat dingin yang tak ada habisnya. Reva mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Tidak. Rafael tidak boleh menyadari bahwa dirinya sedang terguncang karena harus bertemu lagi dengannya. Reva baik-baik saja.
Rafael berdiri di sebelah kanan Reva. Dari bahasa tubuhnya, ia seperti mengerti apa yang Reva rasakan saat itu. Masalah di masa lalu itu bukan hanya milik Reva, tetapi miliknya juga. Ketika ia berlari untuk mengejar lift, ia tak bisa melihat dengan jelas siapa yang tengah berdiri di dalamnya, karena wanita itu sedang menunduk. Ia baru menyadari rupa sosok tersebut setelah pintu menutup dan lift bergerak ke atas. Dan semua sudah begitu terlambat untuk dihindari. Kalau boleh memilih, mungkin Rafael juga tak mau melihat Reva lagi untuk seumur hidupnya. Wanita itu sungguh mengingatkannya atas segala dosa-dosanya di masa lalu.
Dalam keheningan yang tak tertahankan, Rafael melirik ke arah Reva. Astaga! Wanita itu tampak pucat pasi, seperti seseorang yang baru saja meregang nyawa. Tak tahu harus berbuat apa, Rafael hanya bisa sesekali menoleh sembari berharap bahwa Reva baik-baik saja, setidaknya janganlah sampai pingsan di lift itu karenanya. Ia memang terlalu kaku untuk berkata-kata saat itu, karena sikap Reva terasa bagai benteng kabut gelap yang membuat nyalinya menciut, tak berani bertegur sapa.
Angka enam! Dalam hitungan detik, pintu itu akan terbuka dan Reva mulai mengumpulkan segenap kekuatan di kedua kakinya untuk melesat kabur dari situasi yang serba canggung dan menakutkan itu. Hanya dalam hitungan detik, tetapi satu detik saja terasa sepuluh menit lamanya. Reva tak tahan lagi!
Ding! Pintu terbuka.
Tidak. Ternyata Reva tak sanggup berlari menuruti rencana di benaknya. Ternyata kedua lututnya sudah terlalu lemas untuk adegan dramatis seperti itu. Namun, ia tetap berusaha tenang mengendalikan dirinya. Perlahan tapi pasti, ia melangkah ke luar sebelum pintu baja itu tertutup dan mengurungnya lagi.
Langkah demi langkah Reva jejakkan untuk menuju ke rumah barunya, menelusuri koridor yang entah mengapa terasa menjadi lebih sempit seolah ingin mengimpitnya hidup-hidup hingga hancur lebur. Kepalanya menjadi sangat pusing karena sejak tadi ia terus berkeringat, dengan jantung yang kian berdebar kencang. Saat itu ia hanya berharap agar Rafael keluar di lantai yang lain dan tak lagi membayanginya.
Harapan Reva tak terkabul, karena Rafael—sang hantu dari masa lalunya—turun di lantai yang sama dengan dirinya. Tepat di lantai tujuh, ia juga melenggang ke luar mengikuti Reva dari belakang. Meski begitu, Rafael berusaha berjalan dengan menjaga jaraknya hingga tak kurang dari tiga meter. Sungguh, ia tak bermaksud menganggu Reva, atau membuat wanita yang pernah menjadi kekasihnya itu ketakutan setengah mati. Pertemuan tersebut benar-benar tak terduga. Itu semua juga di luar kendalinya.
Reva menyadari bahwa dirinya sedang dibuntuti. Langkah gentarnya mulai berpacu hingga akhirnya pintu menuju rumah terlihat dalam jangkauan pandangannya. Pintu dengan nomor A07122 itu terasa bagai perisai baginya, melindungi rumah idaman yang baru saja ia tempati hari itu, hari di mana ia kembali melihat wajah menyeramkan dari trauma masa lalunya.
Sesaat setelah Reva masuk ke kamarnya, ia menutup pintu rapat-rapat dan langsung menguncinya. Lalu, ia bersandar di baliknya dan mendengus kasar, melepas ketegangan. Seketika seluruh tubuhnya merosot ke lantai. Adegan pertemuan singkat tadi berlangsung tak lebih dari lima belas menit. Namun sepertinya itu mampu menguras seluruh energi Reva hingga ke setiap inti sel dalam tubuhnya. Saat itu ia sampai terkulai lemas di atas lantai dekat pintu masuk, tanpa memiliki daya tersisa lagi untuk berpindah tempat ke atas kasur. Ia benar-benar seperti habis bertemu hantu.
Tidak. Reva tidak sampai menangis. Sudah habis air mata yang ia luruhkan untuk meratapi kisah pilunya bersama dengan Rafael yang telah melakukan kekerasan yang sangat luar biasa kepadanya. Saat itu, yang tersisa hanyalah rasa trauma berkepanjangan yang membuat sekujur tubuhnya merinding setiap kali ia mendengar nama itu disebut.
Tanpa sadar, Reva memutar kembali adegan yang terjadi sembilan tahun yang lalu di kepalanya. Cerita bersama pria itu bahkan sudah dimulai jauh lebih awal dari itu. Dan Reva masih dapat mengingat secara rinci setiap luka dan derita yang dihasilkan dari hubungan bersamanya.
Malam itu Reva menyadari satu hal, bahwa ia tidak pernah benar-benar bisa melupakan Rafael, tak peduli seberapa keras pun ia mencoba. Lamanya terapi dan banyaknya obat-obatan tak mampu menutup lubang menganga di hatinya. Bahkan sebaliknya, sosok itu benar-benar sudah jauh tertanam di dalam alam bawah sadar Reva, meruntuhkan tembok pertahanan yang sudah susah payah ia bangun hanya dengan satu tatapan mata.
***
Pukul 02.00 dini hari. Reva benar-benar tak bisa tidur. Kasur orthopedic berbahan lateks yang sangat nyaman itu bahkan terlihat tak menggoda lagi baginya. Sejak satu jam yang lalu, ia hanya mondar-mandir tak karuan di ruangannya yang bahkan panjangnya tak sampai tujuh meter. Sudah begitu, ia kerap kali tersandung kaki kursi pula!
Apa yang dia lakukan di sini?
Karena matanya tak kunjung terpejam, Reva berusaha merunut lagi adegan saat keluar dari lift. Berdasarkan ingatannya, tak lama setelah ia masuk dan langsung mengunci pintu, ia mendengar suara pintu di sebelah kamarnya juga dibuka, kemudian ditutup kembali. Hal itu jadi membuatnya bertanya-tanya, apakah tadi Rafael yang masuk ke dalam situ, ke unit yang terletak persis di sebelah unitnya. Jika benar, apa maksudnya? Apakah ia tinggal di situ? Ataukah ia hanya berkunjung?
Sial! Reva merasa kecolongan. Sebelum benar-benar membeli rumah pertamanya, Reva merasa sudah sangat teliti melakukan riset mendalam. Ia menghitung harga, jarak tempuh, keamanan sekitar, serta setiap akses dan fasilitas yang bisa ia terima untuk setiap rupiah yang ia keluarkan. Reva pikir pilihannya sudah yang terbaik.
Hanya satu saja yang luput dari perhatian Reva, yaitu para calon tetangganya. Ya, tentu saja ia tidak mengetuk satu per satu pintu di kanan-kiri untuk mendata nama. Sehingga, mana ia tahu siapa penghuni yang sedang tinggal di sampingnya, dan sebetulnya ia juga tak mau terlalu peduli. Ternyata, bagi Reva itu adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal.
Apakah dia benar-benar masuk ke kamar di sebelah itu?
Reva tidak tahu dan tidak mau tahu, tetapi separuh dari firasatnya berkata bahwa Rafael memang masuk ke sana. Ia memang tak berani menoleh untuk menyaksikan, tetapi ia yakin bahwa saat itu Rafael berjalan di belakangnya untuk waktu yang cukup lama. Kamar Reva memang berjarak cukup jauh dari lift, letaknya di ujung sayap kanan Tower Hindia.
Malam itu Reva sangat tersiksa. Bagaimana tidak, tubuhnya seharian tadi ia paksa bekerja keras untuk merapikan setiap sudut apartemen tipe studio itu. Ia benar-benar lelah, dan ia tak mau berhenti sampai semuanya selesai. Pikirnya, saat malam tiba, barulah ia bisa menikmati waktu istirahatnya di kamar yang sudah bersih mengkilat dan wangi. Apa daya, untuk sekadar duduk tenang pun jadinya sulit sekali setelah kemunculan Rafael yang tiba-tiba, apalagi memejamkan mata hingga terlelap. Memikirkan bahwa pria itu mungkin sedang berada tak lebih dari lima meter darinya sungguh membuatnya gila!
Hujan masih turun mengguyur malam itu. Seberapa deras pun ia membasuh bumi, ia tak pernah benar-benar menghayutkan kenangan buruk Reva dalam ingatannya. Tak peduli seberapa hebat pun wanita itu menyanjungnya, ia seolah tak mau berbelas kasih meluruhkan semua duka lara di hatinya. Gelegar yang seharusnya menjadi pengiring mimpi indah malah menjadi saksi kilatan mimpi buruk yang akan dihadapi Reva sebentar lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
վմղíα | HV💕
lanjut
2023-03-18
0
Sunmei
2like dan favorit hadir
semangat mampir iya kak
2023-01-16
0
Mom Dian
Lawan rasa takut mu Rev, agar terbebas dari belenggu masa lalu mu
2023-01-09
1