Marriage Agreement

Marriage Agreement

Pelunas Hutang

Tepat pukul empat sore kala Nana menginjakkan kaki di rumah yang sudah hampir dua puluh tujuh tahun ia tinggali. Sebelum membuka pintu, ia menyempatkan merenggangkan badan sebentar. Duduk seharian di depan komputer sungguh melelehkan, apalagi hari ini ia mendapat banyak tugas dari atasan. Fiuh, akhirnya. Ia bersumpah, bahwa setelah ini ia akan langsung menghempaskan tubuh di atas kasur.

"Assalamu'alaikum," ucapnya kala membuka pintu rumah.

"Akhirnya kamu pulang!"

Nana menaikkan alis kala kedua orang tuanya berada di ruang tamu. Tumben juga ia pulang langsung mendapat sambutan. Jangankan sambutan, sekedar jawab salam pun tak ada yang menyahut. Entah mengapa perasaan Nana berubah menjadi tidak enak. Terlebih lagi melihat raut kedua orang tuanya yang sedikit mencurigakan.

"Kamu sudah makan? Mau ibu panaskan makanannya?"

Sarah, ibu Nana berdiri dan segera menghampirinya. Nana semakin curiga kala ibunya yang terbiasa acuh langsung menariknya ke ruang makan.

"Ibu..... baik-baik saja, kan?" tanya Nana kala melihat Sarah sibuk di depan kompor.

"Ibu... baik, kok. Memangnya kenapa? Kamu duduk dulu, gih! Bentar lagi makanannya panas."

"Ibu aneh."

Nana masih berkutat dengan pikirannya kala Ilyas tiba-tiba duduk di meja yang sama. Tumben saja, biasanya ayahnya itu tidak akan pulang kalau hari belum menjemput petang.

"Ayah tumben udah pulang?" sindir Nana.

"Hmm? Oh, kerjaan Ayah sudah selesai," jawab Ilyas.

Nana hanya mengangguk sebagai jawaban.

Selang beberapa menit dalam keheningan, Sarah kembali ke meja makan dengan semangkuk telur balado yang di letakkan tepat di hadapan Nana. Tak hanya itu, Nana yang akan beranjak mengambil piring pun terpaksa menghentikan niatnya karena Sarah sudah terlebih dahulu menyodorkan piring berisi nasi hangat kepadanya.

"Makan yang kenyang!" kata Sarah.

"Heem."

Nana mulai menyendok nasi dan lauk ke dalam mulutnya. Ia makan dalam diam. Namun, lama-lama ia juga risih kala makan sambil diperhatikan dua pasang mata seperti ini.

"Ayah sama Ibu gak makan?" tanya Nana.

"Oh, kami sudah makan," jawab Sarah.

Nana memperhatikan Sarah dan Ilyas yang masih tetap memusatkan perhatian padanya. Ditatap seperti ini membuat nafsu makan Nana turun.

"Ada yang mau diomongin sama Nana?"

Ilyas dan Sarah berpandangan selama beberapa detik sebelum kembali menatap putri sulung mereka. Ilyas terlihat menghembuskan napas kasar yang entah mengapa menurut Nana adalah sebuah pertanda yang tidak enak.

"Kita selesai, Na," Ilyas berkata pelan, "pabrik keripik peninggalan Kakek sudah bangkrut."

Nana memandang Ilyas dengan tatapan menuntut, "Kok bisa? Bukannya selama ini baik-baik aja?!"

"Om Rahman membawa kabur uang pabrik dan jumlahnya itu gak sedikit. Ayah juga gak tahu kalau selama lima bulan terakhir para pegawai hanya mendapatkan separuh dari gaji mereka."

Nana tercengang. Yang ia tahu adik dari ayahnya itu adalah orang baik dan jujur. Bukan satu dua kali Om Rahman membantunya. Beliau juga ramah dan murah senyum. Bagaimana bisa orang seperti itu menipu ayahnya.

"Terus sekarang gimana?" tanya Nana.

"Para pegawai menuntut gaji mereka juga uang pesangon. Kalau tidak ayahmu bakalan dilaporkan ke polisi," kali ini Sarah yang berbicara.

"Separah itu???"

Ah, akhirnya Nana tahu apa yang membuat kedua orang tuanya terlihat aneh. Sudah jelas mereka pasti pusing dengan masalah ini. Belum lagi Risa, adiknya, yang sebentar lagi akan lulus SMA dan segera mendaftar ke perguruan tinggi.

"Ayah gak tahu mau cari uang kemana. Mobil Ayah pun kalau dijual tidak akan cukup untuk membayar gaji mereka semua."

Nana menggeser piringnya menjauh. Nafsu makannya benar-benar telah menghilang. Seandainya tidak ingat kalau sertifikat rumah masih ada di bank, ia akan dengan senang hati merekomendasikan itu.

"Nana ada tabungan. Kalian bisa pakai. Tapi memang nilainya tidak sampai seratus juta. Motor Nana juga gak pa-pa kok dijual. Nana masih bisa pakai ojek online."

Ilyas menggeleng, "Tidak akan cukup. Om Rahman juga mengajukan pinjaman mengatasnamakan pabrik dengan nilai hampir satu miliyar."

"KOK BISA?!"

"Ayahmu ini terlalu percaya sama adiknya yang bermuka baik itu!" sinis Sarah.

Hah!

Nana tidak tahu kalau masalahnya akan sepelik ini. Pikirannya mendadak buntu. Kenapa om-nya yang baik itu ternyata busuk sekali!

Ruang makan mendadak hening. Mereka semua berkutat dengan pikiran masing-masing. Nana mengetuk meja beberapa kali. Kepalanya terasa berat. Belum tadi badannya yang sedari tadi ia eluhkan.

"Nana...."

Nana menatap Ilyas dalam.

"Sebenarnya.... ada teman Ayah yang mau bantu," kata Ilyas pelan.

"Oh, ya??? Siapa??? Nana nanti mau kok ikut cicil bayar hutangnya!" ucap Nana antusias. Fiuh, ternyata mereka telah menemukan jalan keluarnya.

Ilyas menggeleng, "Mereka bahkan gak minta kita buat bayar hutang."

Nana terkejut, sungguh. Kalau Nana tidak salah menerka, uang yang saat ini mereka butuhkan pasti berada di atas angka satu miliyar. Orang macam apa teman dari Ilyas ini?

Oh tidak! Mendadak pikiran Nana berfantasi mengenai hal yang tidak-tidak. Teman Ilyas itu tidak menginginkan sesuatu yang aneh'kan untuk bayaran hutang? Nana bergidik hanya karena memikirkannya.

"Teman Ayah itu gak minta aneh-aneh, kan untuk bayarannya??? Semisal.... minta Nana buat jadi istrinya?? Kan gak lucu." Kata Nana menyebutkan hal yang menganggu pikirannya.

Ilyas dan Sarah terdiam. Mereka kemudian saling bertatapan sebelum Ilyas kembali membuka suara, "Bukan untuk teman Ayah. Tapi untuk putranya."

"AYAH!! Dan ayah setuju??!!" teriak Nana. Hell, apa-apaan ini. Pasti ia bermimpi'kan? "awwhh!" Nana meringis kala cubitannya di lengan terasa sakit.

Ilyas terdiam.

"Cuma itu satu-satunya jalan keluar, Na."

"Tapi Ibu, Nana gak mau! Nana gak tahu orangnya! Nana juga gak cinta! Nana cuma pengen nikah sama orang yang Nana cinta!"

"Nana, dengarkan Ibu! Kamu mau lihat ayahmu masuk penjara? Kamu mau lihat Ibu jadi gelandangan dan adikmu itu putus sekolah? Apa kamu bakalan tega?"

Nana berusaha menghindari tatapan mata Sarah yang mulai berkaca-kaca, "Nana.... gak tahu." katanya sembari berlalu ke kamarnya yang ada di lantai dua.

Di ujung tangga teratas, Nana melihat Risa berdiri di depan kamarnya, "Udah belajar kamu?" tanya Nana.

"Mbak Na..."

"Hmm..."

"Aku... gak mau lihat Ayah dipenjara, Mbak. Aku gak pa-pa gak sekolah asalkan Ayah masih bersama kita."

Nana juga gak mau. Meski Ilyas terlihat acuh, ia tahu kalau Ilyas begitu menyayanginya. Selama ini Ilyas jarang di rumah dan sering pulang telat itu juga demi memberikan kehidupan yang layak untuk Nana dan Risa.

"Kamu ngomong apa, sih?"

"Mbak Na...."

Nana tersenyum tipis pada adiknya, "Mbak masuk kamar dulu, ya? Mbak capek banget."

...######...

Terpopuler

Comments

fitriani

fitriani

baru Nemu semoga cocok dengan ceritanya

2023-01-22

0

May Tanty

May Tanty

awal cerita yang bagus.. semoga sampai akhir bagus nya dan tidak membuat. bosan para pembaca

2023-01-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!