NovelToon NovelToon

Marriage Agreement

Pelunas Hutang

Tepat pukul empat sore kala Nana menginjakkan kaki di rumah yang sudah hampir dua puluh tujuh tahun ia tinggali. Sebelum membuka pintu, ia menyempatkan merenggangkan badan sebentar. Duduk seharian di depan komputer sungguh melelehkan, apalagi hari ini ia mendapat banyak tugas dari atasan. Fiuh, akhirnya. Ia bersumpah, bahwa setelah ini ia akan langsung menghempaskan tubuh di atas kasur.

"Assalamu'alaikum," ucapnya kala membuka pintu rumah.

"Akhirnya kamu pulang!"

Nana menaikkan alis kala kedua orang tuanya berada di ruang tamu. Tumben juga ia pulang langsung mendapat sambutan. Jangankan sambutan, sekedar jawab salam pun tak ada yang menyahut. Entah mengapa perasaan Nana berubah menjadi tidak enak. Terlebih lagi melihat raut kedua orang tuanya yang sedikit mencurigakan.

"Kamu sudah makan? Mau ibu panaskan makanannya?"

Sarah, ibu Nana berdiri dan segera menghampirinya. Nana semakin curiga kala ibunya yang terbiasa acuh langsung menariknya ke ruang makan.

"Ibu..... baik-baik saja, kan?" tanya Nana kala melihat Sarah sibuk di depan kompor.

"Ibu... baik, kok. Memangnya kenapa? Kamu duduk dulu, gih! Bentar lagi makanannya panas."

"Ibu aneh."

Nana masih berkutat dengan pikirannya kala Ilyas tiba-tiba duduk di meja yang sama. Tumben saja, biasanya ayahnya itu tidak akan pulang kalau hari belum menjemput petang.

"Ayah tumben udah pulang?" sindir Nana.

"Hmm? Oh, kerjaan Ayah sudah selesai," jawab Ilyas.

Nana hanya mengangguk sebagai jawaban.

Selang beberapa menit dalam keheningan, Sarah kembali ke meja makan dengan semangkuk telur balado yang di letakkan tepat di hadapan Nana. Tak hanya itu, Nana yang akan beranjak mengambil piring pun terpaksa menghentikan niatnya karena Sarah sudah terlebih dahulu menyodorkan piring berisi nasi hangat kepadanya.

"Makan yang kenyang!" kata Sarah.

"Heem."

Nana mulai menyendok nasi dan lauk ke dalam mulutnya. Ia makan dalam diam. Namun, lama-lama ia juga risih kala makan sambil diperhatikan dua pasang mata seperti ini.

"Ayah sama Ibu gak makan?" tanya Nana.

"Oh, kami sudah makan," jawab Sarah.

Nana memperhatikan Sarah dan Ilyas yang masih tetap memusatkan perhatian padanya. Ditatap seperti ini membuat nafsu makan Nana turun.

"Ada yang mau diomongin sama Nana?"

Ilyas dan Sarah berpandangan selama beberapa detik sebelum kembali menatap putri sulung mereka. Ilyas terlihat menghembuskan napas kasar yang entah mengapa menurut Nana adalah sebuah pertanda yang tidak enak.

"Kita selesai, Na," Ilyas berkata pelan, "pabrik keripik peninggalan Kakek sudah bangkrut."

Nana memandang Ilyas dengan tatapan menuntut, "Kok bisa? Bukannya selama ini baik-baik aja?!"

"Om Rahman membawa kabur uang pabrik dan jumlahnya itu gak sedikit. Ayah juga gak tahu kalau selama lima bulan terakhir para pegawai hanya mendapatkan separuh dari gaji mereka."

Nana tercengang. Yang ia tahu adik dari ayahnya itu adalah orang baik dan jujur. Bukan satu dua kali Om Rahman membantunya. Beliau juga ramah dan murah senyum. Bagaimana bisa orang seperti itu menipu ayahnya.

"Terus sekarang gimana?" tanya Nana.

"Para pegawai menuntut gaji mereka juga uang pesangon. Kalau tidak ayahmu bakalan dilaporkan ke polisi," kali ini Sarah yang berbicara.

"Separah itu???"

Ah, akhirnya Nana tahu apa yang membuat kedua orang tuanya terlihat aneh. Sudah jelas mereka pasti pusing dengan masalah ini. Belum lagi Risa, adiknya, yang sebentar lagi akan lulus SMA dan segera mendaftar ke perguruan tinggi.

"Ayah gak tahu mau cari uang kemana. Mobil Ayah pun kalau dijual tidak akan cukup untuk membayar gaji mereka semua."

Nana menggeser piringnya menjauh. Nafsu makannya benar-benar telah menghilang. Seandainya tidak ingat kalau sertifikat rumah masih ada di bank, ia akan dengan senang hati merekomendasikan itu.

"Nana ada tabungan. Kalian bisa pakai. Tapi memang nilainya tidak sampai seratus juta. Motor Nana juga gak pa-pa kok dijual. Nana masih bisa pakai ojek online."

Ilyas menggeleng, "Tidak akan cukup. Om Rahman juga mengajukan pinjaman mengatasnamakan pabrik dengan nilai hampir satu miliyar."

"KOK BISA?!"

"Ayahmu ini terlalu percaya sama adiknya yang bermuka baik itu!" sinis Sarah.

Hah!

Nana tidak tahu kalau masalahnya akan sepelik ini. Pikirannya mendadak buntu. Kenapa om-nya yang baik itu ternyata busuk sekali!

Ruang makan mendadak hening. Mereka semua berkutat dengan pikiran masing-masing. Nana mengetuk meja beberapa kali. Kepalanya terasa berat. Belum tadi badannya yang sedari tadi ia eluhkan.

"Nana...."

Nana menatap Ilyas dalam.

"Sebenarnya.... ada teman Ayah yang mau bantu," kata Ilyas pelan.

"Oh, ya??? Siapa??? Nana nanti mau kok ikut cicil bayar hutangnya!" ucap Nana antusias. Fiuh, ternyata mereka telah menemukan jalan keluarnya.

Ilyas menggeleng, "Mereka bahkan gak minta kita buat bayar hutang."

Nana terkejut, sungguh. Kalau Nana tidak salah menerka, uang yang saat ini mereka butuhkan pasti berada di atas angka satu miliyar. Orang macam apa teman dari Ilyas ini?

Oh tidak! Mendadak pikiran Nana berfantasi mengenai hal yang tidak-tidak. Teman Ilyas itu tidak menginginkan sesuatu yang aneh'kan untuk bayaran hutang? Nana bergidik hanya karena memikirkannya.

"Teman Ayah itu gak minta aneh-aneh, kan untuk bayarannya??? Semisal.... minta Nana buat jadi istrinya?? Kan gak lucu." Kata Nana menyebutkan hal yang menganggu pikirannya.

Ilyas dan Sarah terdiam. Mereka kemudian saling bertatapan sebelum Ilyas kembali membuka suara, "Bukan untuk teman Ayah. Tapi untuk putranya."

"AYAH!! Dan ayah setuju??!!" teriak Nana. Hell, apa-apaan ini. Pasti ia bermimpi'kan? "awwhh!" Nana meringis kala cubitannya di lengan terasa sakit.

Ilyas terdiam.

"Cuma itu satu-satunya jalan keluar, Na."

"Tapi Ibu, Nana gak mau! Nana gak tahu orangnya! Nana juga gak cinta! Nana cuma pengen nikah sama orang yang Nana cinta!"

"Nana, dengarkan Ibu! Kamu mau lihat ayahmu masuk penjara? Kamu mau lihat Ibu jadi gelandangan dan adikmu itu putus sekolah? Apa kamu bakalan tega?"

Nana berusaha menghindari tatapan mata Sarah yang mulai berkaca-kaca, "Nana.... gak tahu." katanya sembari berlalu ke kamarnya yang ada di lantai dua.

Di ujung tangga teratas, Nana melihat Risa berdiri di depan kamarnya, "Udah belajar kamu?" tanya Nana.

"Mbak Na..."

"Hmm..."

"Aku... gak mau lihat Ayah dipenjara, Mbak. Aku gak pa-pa gak sekolah asalkan Ayah masih bersama kita."

Nana juga gak mau. Meski Ilyas terlihat acuh, ia tahu kalau Ilyas begitu menyayanginya. Selama ini Ilyas jarang di rumah dan sering pulang telat itu juga demi memberikan kehidupan yang layak untuk Nana dan Risa.

"Kamu ngomong apa, sih?"

"Mbak Na...."

Nana tersenyum tipis pada adiknya, "Mbak masuk kamar dulu, ya? Mbak capek banget."

...######...

Hari sial

Karena semalaman tidak bisa tidur. Akhirnya pagi ini Nana bangun kesiangan. Bagaimana tidak, pukul tujuh ia baru bangun. Salahkan Ilyas dan Sarah yang mengabarkan hal menyebalkan kemarin dan membuat Nana memikirkannya semalaman.

"Aku berangkat!" teriaknya sambil berlari kecil menuju tempat motornya terparkir.

Jarum jam sudah menunjukkan angka setengah delapan kala motor yang dikendarai Nana keluar dari rumah. Tak ada waktu lagi. Kalau ia tak mengebut, sudah pasti ia akan terlambat. Saking tingginya kecepatan motor yang dikendarai Nana, ketika berada di jalan berbelok, laju roda motor yang Nana kendarai tak dapat dikendalikan. Alhasil motornya terlalu melaju ke kanan jalan dan terserempet mobil di belakangnya.

"Awwhh!!!"

Nana meringis kala motornya terjatuh dan kakinya tertimpa badan motor. Beberapa pengendara yang lewat berhenti untuk membantunya. Pun dengan mobil yang menyerempetnya.

"Mbak gak pa-pa?" tanya seorang wanita yang membantunya menepi.

"Gak pa-pa, Bu. Terima kasih," kata Nana, "Terima kasih, Pak," lanjutnya pada pria yang menepikan motornya.

"Sama-sama, Mbak. Masih bisa bawa motor'kan, ini?"

"Bisa Pak, bisa. Sekali lagi terima kasih."

Nana melepas helm yang ia pakai, membiarkan udara membelai kepalanya.

"Mbak!"

Nana menoleh kala seseorang memanggilnya. Dari sebuah mobil warna hitam, seorang laki-laki berjas abu-abu turun.

'Mampus! Ini mobil yang gue serempet. Jangan-jangan mau minta ganti rugi, lagi!' batin Nana.

Nana melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sial, ia jelas akan terlambat kalau tidak segera pergi.

"Aduh, Pak! Maaf banget, saya gak sengaja nyerempet mobilnya. Saya bakalan ganti rugi, kok!" Nana mengubek-ubek tak selempangnya dan mengambil sebuah kertas dari sana, "saya lagi buru-buru. Bapak bisa hubungi saya di nomer ini kalau mau bawa mobilnya ke bengkel. Saya gak bakalan lari dari tanggung jawab, kok!"

Begitu menyerahkan kartu nama pada si pemilik mobil, Nana buru-buru memakai helmnya kembali dan mulai menaiki motor. Persetan dengan kakinya yang sakit, nyawanya untuk saat ini lebih perlu diselamatkan dari amukan atasannya.

#####

Nana buru-buru meletakkan jarinya di mesin fingerprint sebelum pukul delapan tepat. Fiuh! Untung saja. Kalau terlambat dua menit saja, sudah habis ia.

Nana buru-buru masuk ke dalam lift sebelum tertutup. Kini, ia hanya tinggal menunggu lift berhenti di lantai empat, dimana lantai divisinya berada.

"Tumben baru datang, Mbak?" adalah pertanyaan pertama kala ia menginjakkan kaki di ruangannya.

"Iya nih. Kesiangan gue," katanya sambil menatap Arin, orang yang baru saja bertanya.

"Lo kenapa dah, Mbak, jalannya pincang gitu?" seorang cowok bertanya saat masuk ruangan. Ditangannya segelas mug terlihat masih mengeluarkan asap. Namanya Brian.

"Jatoh gue. Sial banget hari ini, tuh. Udah kesiangan, keserempet mobil pula."

"Kok bisa?"

"Lo gak pa-pa, kan tapi, Mbak?"

Brian dan Arin bergegas mendekati meja Nana. Dua orang yang saat ini ada di ruangan itu serempak menanyakan keadaan Nana dengan nada khawatir.

"Udah, gue gak pa-pa! Pada balik ke kubikel, gih!" kata Nana seraya mengibaskan tangan.

"Pagi semuaaaaaa!!!" Sela menyapa dengan suaranya yang cukup melengking. Gadis berambut sebahu itu pasti habis berkumpul dengan teman gosipnya dari divisi lain, "eh? Ada apa nih, kok ngumpul di mejanya bu ketua???"

"Mbak Nana keserempet mobil," jelas Brian.

"Kok bisa sih, Mbak? Udah diperiksain belom?" tanya Sela.

"Cuma memar doang," kata Nana sambil menunjukkan memar di pergelangan kaki kanannya, "nanti dikompres es batu juga mendingan," lanjutnya.

Sela hanya mengangguk, "Eh guys! Kita bakalan punya CEO baru!" seru Sela heboh.

Nana memandang Sela sangsi, "Gosip terosss!!"

Sela hanya nyengir, "Eh, beneran tau Mbak Na. Coba deh ntar tanya Mas Aditya sama Mas Imam! Mereka tadi sempet nyapa di bawah."

"Lah? Kalau ada CEO baru Pak Abi mau dikemanain???" sahut Brian yang di setujui oleh Nana.

"Entah," Sela mengangkat bahu, "mungkin ditarik sama kantor pusat kali, Mbak."

Nana mengangguk. Bisa jadi. Apalagi perusahaan selama di bawah kepemimpinan Pak Abi juga baik-baik saja. Malahan bisa dikatakan cukup berkembang.

"Apaan nih, pagi-pagi udah ngumpul? Ada yang bawa makanan, kah?" seorang pria berkacamata masuk. Namanya Adit. Kalau yang agak gemukan di sampingnya itu namanya Imam.

"Yeu.... makanan mulu Mas Adit yang dipikirin. Heran deh, badan gak gemuk gitu kok doyan makan? Kebalik tuh sama Mas Imam!" Brian menyahut. Brian ini meskipun cowok mulutnya pedes banget. Segala sesuatu pasti dikomentarin. Kenapa ayam bertelur pun pernah ia komentarin.

"Eh, Mas! Bener ya Pak Abi mau diganti sama CEO baru?" tanya Nana akhirnya.

Mas Adit mengangguk, "Nanti palingan sama Pak Abi diajak keliling. Tunggu aja."

Omong-omong dalam divisi ini Aditlah yang paling tua. Makanya meski secara jabatan Nana yang lebih tinggi, ia tetap memanggil Adit dengan sopan meskipun umur keduanya tidak jauh berbeda. Hanya selisih dua tahun. Kalau Imam itu sepantaran dengan Nana, tahun ini usianya menginjak angka 27. Lalu cowok tertampan di divisinya (read:Brian) berumur 25 sama dengan Arin. Sedangkan Sela adalah bontot di sini, baru berusia 23 tahun. Jadi jangan heran deh, kalau kadang Sela itu manja.

"Tuh kan?!" teriak Sela.

Kami semua hanya berdehem menanggapi Sela sebelum kembali ke kubikel masing-masing.

"Btw, Na?" Nana menengok pada Adit yang mejanya berada tepat di hadapannya, "tumben rambut lo gak rapi? Numpang mandi di kantor apa gimana?"

Nana meraba kepalanya. Damn it! Ternyata ia belum sisiran. Pantesan sedari tadi kayak ada yang kurang, "Rin, pinjam sisir, dong!" ucap Nana yang dihadiahi tawa satu ruangan. Nana sih gak peduli, ia tetap santai menyisir rambutnya. Untung saja kemarin ia keramas, jadi rambutnya masih lembut dan mudah diatur.

"Wah! Kayaknya lagi seru ini tim-nya Nana!"

Nah lho? Suara siapa itu yang barusan terdengar?

Nana yang masih asik sisiran mengangkat kepala perlahan. Ia kemudian tersenyum mala kala mendapati Pak Abi berada di ruangan mereka.

"Gak pa-pa, Na, lanjutin aja!" kata Pak Abi seraya tersenyum geli.

"Hehe.... sudah selesai kok Pak, ini."

Masih dengan senyum tipis, Pak Abi mengangguk. Duh, Pak Abi itu meski hampir kepala empat tapi tetap enak dipandang. Sebelas dua belas lah kayak Gong Yoo Oppa.

"Minta waktunya sebentar, ya? Kenalkan, ini Pak Sagara. Beliau yang akan memimpin perusahaan untuk ke depannya."

Pandangan Nana beralih pada sosok yang sedari tadi di belakang Pak Abi. Sosok itu kini berdiri sejajar dengan Pak Abi.

Tunggu! Nana perhatikan kok mukanya familiar, ya? Kayak pernah lihat tapi dimana? What the-----

Bukankan dia pemilik mobil yang tadi pagi tak sengaja ia serempet???

#####

Atasan Galak

Nana menunduk di balik kubikel-nya. Rambutnya yang tergerai membuatnya dapat menutupi wajah. Double sial! Kenapa sih, CEO baru di kantornya adalah orang yang tadi pagi mobilnya ia serempet? Kayak gak ada tempat lain aja, sih!

"Clarina? Kamu gak mau memperkenalkan anggotamu?"

Suara dari pak Abi membuat Nana perlahan mendongakkan wajah. Sebisa mungkin, ia menghindari kontak mata dengan sosok yang akan menggantikan Pak Abi untuk ke depannya itu.

"Eh? I--iya, Pak." Nana menghembuskan napas pelan sebelum berdiri, "saya Clarina, ketua Divisi Produksi dan ini anggota saya," kata Nana sambil mengkode Brian untuk memperkenalkan diri.

"Saya Brian----" selanjutnya Nana tak terlalu mendengarkan. Ia asik berkutat dengan pikirannya sendiri. Lebih tepatnya menyusun strategi untuk menghindari bos barunya itu. Saking tidak fokusnya mendengarkan timnya memperkenalkan diri, Nana bahkan tak sadar kala sesi memperkenalkan diri telah usai.

"Mohon kerjasamanya, Clarina."

kalau bukan senggolan Brian di lengannya, Nana pasti masih berada dalam dunianya sendiri.

"Eh? Oh.... i--iya, Pak."

Nana tak salah lihat kalau Sagara memberikan smirk kepadanya. Entah mengapa, hawa tidak menyenangkan sudah mulai terasa. Matilah dia.

#####

"Yang bener, Mbak?!" Sela berseru heboh kala Nana selesai menceritakan kejadian naas yang menimpanya tadi pagi.

Nana hanya mengangguk malas.

"Wah! Siap-siap deh lo bakalan dibully sama doi, Mbak!" Brian tertawa membayangkan kehidupan Nana ke depannya.

Nana menggeplak lengan Brian, "Heh! Mulut lo, ya!"

"Ih, tapi gak pa-pa tau, Mbak. Pak Sagara tampan gitu. Mukanya mirip sama Park Solomon di drama All Of Us Are Dead cuma versi lebih matang aja. Kalau aku jadi Mbak Nana, sih seneng hari pertama udah dikenal CEO tampan. Siapa tahu kan, jodoh. Hihi."

"Tampan kalau sifatnya ntar minus ya percuma, Sel! Lagian lo kebanyakan halu, deh! Kurang-kurangin tuh, ngedrakornya biar pikiran lo waras!" sinis Nana.

"Ish. Ngedrakor asik tau, Mbak!" ucap Sela yang ditanggapi sebagai angin lalu oleh Nana.

Ah, gara-gara Brian, Nana jadi memikirkan itu. Bukan tidak mungkin, kan kalau Sagara akan menyusahkan Nana ke depannya?

Saat sedang asik merutuki hari sialnya, mendadak telepon di atas meja Nana berdering. Nana melirik id pemanggil sebelum matanya terbelalak kaget. Triple sial! Kenapa pula Pak Abi menghubunginya? Jangan bilang Nana akan mendapat teguran karena tidak terlalu memperhatikan kala sesi perkenalan tadi!

Sembari meredakan detak jantung yang tiba-tiba meningkat, Nana memutuskan menerima panggilan tersebut, "Si--siang Pak Abi."

"Clarina, ke ruangan saya sekarang!"

Panggilan diputus sepihak saat Nana bahkan belum mengatakan apapun.

Nana menoleh horor pada Brian yang di balas pemuda itu dengan mengangkat sebelah alis. Lalu, Nana beralih menoleh pada Adit yang mejanya terletak tepat di depan Nana.

"Mas Adit...... " cicitnya.

Adit melirik Nana, "Kenapa lo?"

"Hua!!! Gimana dong ini??? Kok gue gak tau sih kalau Pak Abi pindahnya sekarang?!"

"Salah sendiri tadi ngelamun," itu suara Imam.

"Kenapa dah, Mbak?" tanya Arin.

"Gak usah ditanya, Rin! Palingan dipanggil Pak Sagara suruh tanggung jawab mobilnya," kali ini Brian bicara dengan mencibir.

Nana mendelik pada Brian sebelum bangkit dari kursinya dengan terpaksa. Huh! Setelah ini apa? Apa Nana hari minta maaf untuk kejadian pagi tadi dan kejadian di saat sesi perkenalan tadi?

"Mbak Na!" Nana menoleh enggan pada Sela, "fighting!" kata gadis berambut sebahu itu sambil mengangkat kepalan tangan.

Nana membalas ucapan Selamat dengan bibir mencebik. Selanjutnya, ia melangkah dengan ogah-ogahan menuju lift yang kebetulan kosong. Ia lalu memencet angka lima di mana lantai teratas gedung ia bekerja sekaligus lantai ruangan CEO berada.

Sambil menyiapkan mental, Nana meredakan degup jantungnya yang menggila.

Huft! Gak masalah, Na, lo pasti bisa! Semangat!

Bersamaan dengan pintu lift yang terbuka, Nana melangkah mantab. Ia kemudian berhenti di depan satu-satunya meja yang ada di ruangan terbuka lantai lima.

"Pak Umar!

"Oh, Na! Kamu sudah ditunggu sama Pak Sagara." kata sekretaris Pak Abi yang kini menjadi sekretaris Sagara.

"Saya.... tunggu di situ aja ya, Pak!" tawar Nana sambil menunjuk sofa panjang tepat di depan meja sekertaris.

Pak Umar mengerutkan kening, "Tadi kata Pak Sagara, kalau ada Clarina suruh masuk aja."

Meski enggan, Nana akhirnya berjalan menuju ruangan Sagara. Sial, pertahanan yang ia bangun selama di lift tadi mendadak hancur kala ia sudah berada tepat di depan pintu tertutup yang terukir tulisan Chief Executive Officer.

Tok... tok... tok...

"Masuk!"

Seruan dari dalam ruangan membuat Nana memejam. Menghembuskan napas perlahan, akhirnya Nana mendorong pintu itu ke dalam, "Siang, Pak! Bapak panggil saya?" tanyanya. Basa-basi.

"Gak sopan bicara di depan pintu, gitu!"

Kalimat bernada sarkas itu membuat Nana tertegun sebelum perlahan melangkah masuk lebih dalam. Tak lupa, pintu ruangan atasannya itu ia biarkan terbuka lebar. Jaga-jaga kalau atasannya berbuat jahat, Nana bisa langsung kabur. Lagi pula ia memakai sandal jepit, ia bisa lari dengan mudah.

Sandal jepit?

Nana menoleh horor pada kakinya yang terbalut sandal swalow warna kuning. Sial! Saking tak fokusnya, ia lupa mengganti sandalnya. Semoga saja Pak Sagara tak menyadarinya.

"Duduk!"

Tak mau membuat kesan yang lebih buruk lagi dari pertemuan pertama, Nana bergegas duduk.

"Saya gak nyangka lho, orang yang tadi pagi bikin mobil saya baret ternyata bawahan saya sendiri!" sindir Sagara.

Nana masih menunduk di tempatnya. Jemarinya bergerak aktif saling meremas di atas pangkuan, "Ma--maaf..... saya bakalan ganti rugi, kok, Pak." cicitnya.

"Kalau sedang bicara itu, coba perhatikan lawanmu, Clarina!"

Di detik Sagara menyelesaikan kalimatnya, kepala Nana langsung terangkat. Matanya dengan berani menatap lawan bicaranya yang sialnya perbuatan itu membuat Nana menelan ludah. Bukan, bukan karena gugup. Melainkan karena wajah tampan yang terpampang nyata di hadapannya kini.

Sagara mempunyai wajah berbentuk oval dengan jidat terlihat lebar karena rambutnya disisir rapi ke belakang. Matanya nampak tajam dengan alis tebal. Hidungnya cukup mancung ditambah bibir tebal berwarna kemerahan. Oh, jangan lupakan bayangan lesung di pipi sebelah kanan. Sialan! Kenapa wajah atasannya ini harus setampan itu sih?

"Clarina! Kamu melamun?!"

Suara bernada ketus dari Sagara membuat Nana kembali ke realita.

"Eh? Enggak kok, Pak."

"Oh, ya?" Sagara mengangkat sebelah bibirnya, "coba ulangi apa yang tadi saya bilang!" tantangnya.

Hah? Memangnya tadi Sagara bilang apa?! Haisshh!! Karena fokus memperhatikan visual atasannya, Nana jadi tidak fokus.

"Gak bisa, kan?! Gak didengerin, sih?!" bentak Sagara yang membuat badan Nana terlonjak kaget, "saya tahu saya memang tampan. Tapi tolong, fokus Clarina! Fokus!"

Nana fokus kok dari tadi. Fokus mengagumi visual di hadapannya sampai suara apapun tak masuk di telinga. Tapi itu tadi, sebelum Nana tahu kalau mulut Sagara itu ternyata pedas.

"Ck! Gak ada gunanya kamu saya panggil ke sini! Kamu boleh keluar! Kayaknya kamu kurang minum!" kata Sagara sebelum kembali fokus ke layar di hadapannya.

Nana masih mematung di tempat. Sepertinya ia tak dapat mencerna apa yang barusan Sagara bilang.

"Kamu tuli apa gimana?! Saya bilang keluar, Clarina!!"

Sialan! Ini orang tadi pagi sarapan cabe berapa kilo sih? Kok pedes banget mulutnya! Heran. Karena tak ingin mendapat omelan lagi, Nana buru-buru bangkit, "Kalau begitu saya permisi, Pak." ucapnya lengkap dengan senyum terpaksa. Catat TERPAKSA.

"Kalau di kantor itu, pakai alas kaki yang sopan! Apalagi untuk bertemu atasan!"

Baru saja Nana hendak menutup pintu, ucapan pedas dari Sagara lagi-lagi harus membuat Nana memperbanyak istighfar. Sial! Itu orang kayaknya dendam deh sama Nana. Mimpi apa semalam Nana bisa dapat bos galak kayak gini?!

#####

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!