Anggap Saja Jalan-Jalan

Kehidupan damai di tempat kerja sepertinya sudah terlalu puas menemani Nana. Kini, Nana seperti diejek oleh lima tahun kerja dalam ketenangan. Argh! Nana tidak siap! Sangat tidak siap dan tak akan pernah siap.

"Waduh, kenapa nih muka bu kepala suram?"

Pertanyaan dengan nada menyebalkan itu membuat Nana melirik Brian sinis, "Berisik!"

"Hahahaha..."

Kepala Nana terasa seperti akan meledak. Bagaimana tidak, baru saja bertemu atasan bermulut sengak, kini ia sudah harus di hadapkan dengan teman bermulut julid. Begitu berhasil duduk di kubikel-nya, Nana menelungkupkan wajah di atas meja.

"Ada masalah, Na?" Adit, di kubikel depan Nana melongkokkan kepala.

Nana mengangkat wajah, masih dengan muka tertekuk, Nana berkata pelan, "Kenapa sih pak Abi harus pindah? Kenapa bukan CEO baru itu aja yang di pusat? Gue tuh udah nyaman sama pak Abi, huaaaaaaa!"

"Wah, lo abis diapain sama CEO baru emangnya, Mbak? Gue rada penasaran, muka lo kayak frustasi banget gitu, hahaha..."

Mendengar ucapan Brian, Nana mengambil dokumen yang kebetulan berada di atas mejanya. Ia lalu memukul kepala Brian dengan itu, "Ini tuh gara-gara lo, ya! Mulut lo emang gak ada filternya. Huaaaaaa!!!"

"Hahaha.... terus Mbak Na!" Sela mengompori.

"Wadaw!!! Lo jangan main kekerasaan gini dong, Mbak!" Brian merebut map berisi dokumen yang terus melayang ke kepalanya.

"Kalem Mbak. Coba ambil napas dulu...... hembuskan." Nan mengikuti intruksi Arin yang entah sejak kapan sudah berada di belakangnya. Merasa sedikit tenang, Arin melanjutkan, "sekarang.... lo cerita ada apa sama pak Sagara."

"Ada apa maksud lo?!" Nana yang sudah tenang kembali ngegas. Ia menuntut penjelasan pada Arin lewat tatapan matanya, "gue gak ada apa-apa sama tuh bos baru, ya?!"

"Kalian mau makan gaji buta?!"

Pertanyaan bernada sarkas itu membuat Arin yang sudah akan membalas ucapan Nana kembali mengatupkan mulut. Begitu pula dengan seluruh staf di divisi produksi yang kembali menghadap layar monitor masing-masing.

Melihat semua stafnya kembali bekerja, Sagara berujar, "Clarina, bisa ikut saya ke lapangan sekarang?!"

"Bi-bisa Pak!"

Begitu kepergian Sagara, Nana menghembuskan napas lega. Setidaknya bos barunya itu tidak marah-marah di divisi mereka.

"Semangat Mbak Na!"

Teriakan Sela tak membuat Nana menoleh karena ia sibuk memasukkan handphone dan beberapa keperluan nantinya. Tak lupa, ia menyambar dokumen yang tadi digunakan untuk menimpuk Brian sebelum melangkah keluar menyusul Sagara.

"Mau taruhan gak, suatu saat nanti salah satu di antara mereka bakalan jatuh cinta," celetuk Brian kala Nana telah benar-benar keluar.

"Atau gak mereka saling jatuh cinta," tambah Sela.

Adit mendengus, "Kalian jangan ngaco. Kalau Pak Sagara dengar gimana?"

"Takdir gak ada yang tahu kali, Mas." Imam ikut mengompori.

"Bener kata Mas Imam. Kali aja, kan, mereka berada dalam satu garis takdir. Kalau itu beneran terjadi, Mas Adit bisa apa?" Arin berujar pelan.

"Ah, udah.. udah! Kalau tebakan gue benar, kalian harus traktir gue di Consulate pokoknya." tantang Brian.

"Oke!"

Balasan dari Adit membuat Sela, Arin dan Imam serempak menoleh. Sedangkan Brian tersenyum mirin di kubikel-nya. Bukan karena matre atau apa Brian mengajukan salah satu restoran mahal, ia hanya ingin melihat reaksi Adit kala Nana dijadikan bahan taruhan bersama pria lain. Jangan kira Brian yang bletengan itu gak peka sama sekitar. Nyatanya, dalam ruangan itu, ia lah yang paling peka. Apalagi terhadap Adit yang diam-diam selalu memperhatikan kepala divisi mereka sejak dua tahun lalu.

#####

Nana kira, tinjauan ke lapangan yang dimaksud Sagara adalah pergi bersama empat atau lebih orang kantor. Nyatanya, dalam sebuah mobil hitam yang dikendarai Sagara itu hanya ada mereka berdua. Tolong tebali kata mereka berdua. Terlebih lagi dengan Nana yang duduk di kursi samping kemudi.

"Lho? Kita tidak ke hotel Indah, Pak?!" reflek, Nana meninggikan nada suaranya kala mobil yang dikendarai Sagara melaju lurus dari jalan yang seharusnya belok kanan.

"Memangnya, siapa yang bilang kalau kita akan ke pembangunan hotel Indah?"

Hah?

Lah? Bukannya project yang Nana dan tim-nya saat ini sedang tangani adalah pembangunan Hotel Indah?

"Tapi saya bawa dokumennya Hotel Indah, Pak!" jawab Nana.

"Memangnya siapa yang bilang kalau kamu harus bawa dokumen?"

Benar-benar, ya Sagara ini! Menyebalkannya itu sudah sundul langit kayaknya. Ya kali aja Nana diajak ke lapangan dengan tangan kosong.

"E--engak ada."

"See? Salah kamu sendiri, kan?"

Diam-diam Nana mengepalkan telapak tangan kirinya. Sumpah ya, kalau gak ingat Sagara ini adalah atasannya, sudah habis Nana damprat sejak tadi. Arrgghh!

"Kenapa kamu diam? Gak terima kamu sama ucapan saya?" kata Sagara tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan di depannya.

"Terima kok, Pak." Terima kasih atas hari pertama yang paling bersejarahnya, maksud Nana.

Uh? Omong-omong soal hari pertama, Nana baru sadar satu hal. INI KENAPA HARI PERTAMA BOSNYA SUDAH NGAJAK TINJAUAN LAPANGAN, COBA?! Bukannya hari pertama biasanya di awali dengan sesi kalem-kalem perkenalan gitu, ya? Baru saja Nana akan menanyakan hal itu, matanya malah fokus menatap plang di jalan.

"KITA KOK MASUK TOL?!" teriak Nana, reflek.

Sagara menutup sebelah telinganya, "Ck! Kamu kira mobil saya hutan?! Ngapain pakai teriak-teriak?! Saya gak tuli omong-omong."

"Ma-maaf," sesal Nana. "tapi.... ini kita mau kemana, Pak?" tanya Nana was-was.

"Menurut kamu?"

Aelah, Pak. Kalau Nana tahu, mana mungkin ia bertanya. Sagara ini benar-benar suka menguji kesabaran orang, ya! Bisa gak sih, Nana tukar tambah Bos modelan kayak gini?!! Nana gak kuat, tolong.

"Pak... kalau kita pergi bukan untuk kerja, saya mendingan turun aja deh, Pak. Saya gak pa-pa kok turun di sini."

"Kalau mau turun ya mikir-mikir, dong! Ini di jalan tol kalau kamu lupa." sinis Sagara.

Ya mending Nana kena tilang gara-gara turun di tol mending pergi sama bos yang belum tahu kemana tujuannya. Syukur-syukur kalau nanti Nana turun masih dalam keadaan utuh. Kalau turun tinggal nama, kan, gak lucu. Ini.... Sagara bukan psikopat yang lagi menargetkan Nana untuk jadi korbannya, kan? Hih! Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk Nana berdiri.

"Aduh!"

Sentilan di dahi Nana membuat ia kembali ke dunia nyata. Nana melirik Sagara sambil mengusap jidatnya yang terasa sakit.

"Gak usah mikir aneh-aneh, saya bukan orang jahat. Lagipula, kamu tetap saya bayar, kok. Mengenai kemana kita akan pergi, nanti kamu bisa lihat sendiri. Kalau kamu merasa keberatan, anggap saja kita lagi jalan-jalan."

#####

Terpopuler

Comments

fitriani

fitriani

mau dibawa ketemu camer mungkin si Nana😁

2023-01-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!