Innallaha Ma'Ana (Sesungguhnya Allah Bersama Kita)
Bab 1
"Astaghfirullahal'adzim. Ya Allah lindungi kami semua," gumam Dewa saat dirasa laju busnya tidak stabil.
Hujan deras dan suara guntur yang keras sesekali mewarnai alam semesta saat ini. Ketika semua orang memilih tinggal di dalam rumah, ada sebagian kecil orang yang nekat melakukan aktivitas sehari-hari mereka di muka bumi ini. Seperti yang dilakukan oleh Dewa, seorang sopir bus antar provinsi. Dia masih melajukan kendaraannya di jalanan yang berkabut karena hujan besar dan angin besar. Laki-laki dewasa itu mengendarai dengan hati-hati, sebab dia membawa beberapa orang penumpang.
Akan tetapi, saat bus itu berada di Tanjakan Sejuta, yang terkenal dengan sebutan tikungan maut karena medannya itu menanjak curam dan berbelok. Banyak kendaraan yang sering mengalami kecelakaan di sana. Sebab, orang itu tidak pandai mengemudikan kendaraan di medan seperti itu, menanjak dan berkelok-kelok.
Hujan kali ini berbeda dari biasanya, selain turun dengan sangat deras dan sering disertai kilat, juga longsor. Meski tanah longsor tidak sampai ke jalanan, tetapi aliran air yang bercampur tanah liat itu mengakibatkan jalanan semakin licin.
Maka dia pun meminta kepada para penumpang agar mencari pegangan saat akan menanjak. Namun, dari berlawanan ada sebuah truk yang hendak menuruni Tanjakan Sejuta terlihat oleng karena air hujan bercampur lumpur. Truk itu pun terguling ke tengah jalan dan meluncur ke bawah, serta menabrak bus yang dikendarai oleh Dewa yang kebetulan hendak menanjak. Tabrakan pun tidak bisa dihindari.
"Allahuakbar!" teriak penumpang yang duduk di kursi paling depan.
"Astaghfirullahal'adzim." Dewa kembali beristighfar.
"Kyaaaahk!"
Teriakan para penumpang bus diikuti suara benturan keras benda dari besi itu memekakkan telinga orang yang mendengarnya. Bus yang dikendarai oleh Dewa jatuh ke jurang yang ada di sisinya. Kebetulan pembatas jalan rusak dan belum diperbaiki akibat kecelakaan yang terjadi kemarin. Bus itu terguling sampai kedalaman sekitar 25 meter karena tertahan oleh beberapa pohon besar.
Sebelum bus jatuh ke jurang, sempat menabrak sebuah mobil Ferrari bagian depannya. Untung mobil itu tidak sampai ikut jatuh ke dalam jurang.
***
Sebuah pigura foto keluarga terjatuh di sebuah ruangan yang sempit, tetapi terlihat bersih. Melihat itu, seorang perempuan cantik memunguti pecahan kacanya. Dia takut kalau nanti anak-anaknya terluka.
"Ibu, apa ayah akan pulang malam ini?" tanya seorang anak perempuan berusia 9 tahun sambil menuntun adik laki-lakinya yang paling kecil.
"Semoga saja bisa pulang. Aqilah, tolong ambilkan sapu! Attar, kamu duduk di atas kursi, ya? Banyak pecahan kaca di lantai," ucap Rinjani, ibu dari kedua anak kecil tadi.
Aqilah pun menyerahkan sapu itu. Betapa sedihnya dia saat melihat satu-satunya pigura foto itu kini berubah menjadi rongsokan.
"Bu, apa ayah baik-baik saja?" tanya Aqilah dengan ekspresi wajah yang sendu. Dia tiba-tiba saja jadi teringat kepada laki-laki yang selalu memberikan dukungan kepadanya.
"Semoga Allah selalu menjaga ayah. Di mana pun ayah berada saat ini," jawab Rinjani.
***
Saat malam hari Rinjani merasa gelisah, sang suami tidak memberikan kabar. Seharusnya dia sudah pulang satu jam yang lalu. Namun, sampai saat ini belum juga membalas pesannya. Perempuan cantik itu hanya mondar-mandir di depan pintu rumahnya yang sangat-sangat sederhana sekali.
Dering telepon di handphone membuat dirinya bergegas mengambil dan melihat siapa yang melakukan panggilan. Namun, nomor itu bukan milik suaminya. Lalu, dia pun menekan tombol tanda telepon pada tutsnya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Selamat malam, apa benar ini dengan keluarga Pak Dewa, sopir bus Harapan Jaya?"
Jantung Rinjani tiba-tiba berdetak dengan sangat kencang. Dia merasa kalau sudah terjadi sesuatu kepada suaminya.
"I-ya, benar."
"Kami dari Kapolres Mekarjaya, mau memberi tahu kepada ibu, kalau bus Pak Dewa mengalami kecelakaan dan semua penumpang, sopir, dan kernet meninggal dunia. Saat ini seluruh jenazah berada di rumah sakit umum."
Kaki Rinjani terasa lemas, sampai-sampai tidak bisa menopang badannya lagi. Perempuan berjilbab instan itu kini jatuh terduduk di lantai dingin. Netra indahnya kini basah oleh air mata.
"Astaghfirullahal'adzim. Mas Dewa … kenapa ini bisa terjadi."
***
Setelah mengurus beberapa prosedur bersama atasannya Dewa, Rinjani bisa pulang membawa jenazah suaminya. Para pelayat pun datang ke rumah berukuran kecil itu silih berganti. Air mata perempuan itu serta ketiga anaknya yang masih kecil masih mewarnai suasana di sana.
"Kami semua turut berduka cita atas apa yang menimpa Pak Dewa. Beliau adalah orang yang sangat baik dan bijaksana, insha Allah, surga akan menantikannya," ucap seorang ustadz yang sering mengisi pengajian di lingkungan itu.
Perkataan ustadz itu dibenarkan oleh para warga sekitar. Doa-doa yang terbaik diucapkan oleh para peziarah untuk Dewa dan ini menjadi penghibur bagi Rinjani dikala kesedihannya.
***
Belum juga tanah merah itu mengering, ada beberapa orang mendatangi rumah Rinjani. Mereka mengaku sebagai saudara korban yang meninggal dari kecelakaan bus. Mereka meminta Rinjani untuk mengganti rugi karena uang santunan dari Jasa Raharja belum diterima, sedangkan keluarga mereka membutuhkan uang.
"Apa kalian tidak malu meminta uang ganti rugi pada seorang janda miskin!" teriak Bu RT saat melihat beberapa orang berteriak di depan rumah Rinjani.
"Keluarga kami juga membutuhkan biaya untuk kelangsungan hidup. Anak kami sedang sakit dan kelaparan, jadi kami punya hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada keluarga sopir yang membuat keluarga kami meninggal," balas seorang wanita tua dan dibenarkan oleh yang lainnya.
Rinjani yang tidak suka keributan dan memang benar suaminya juga yang mengemudikan bus itu, akhirnya memilih bernegosiasi. Dia membuat kesepakatan hitam di atas putih dan bermaterai kepada orang-orang itu. Ibu dari tiga orang anak ini bersedia memberikan tiap keluarga itu uang sebesar satu juta rupiah, sesuai kemampuan dia. Semua uang tabungannya habis dibagikan.
Aqilah, Azzam, dan Attar yang menyaksikan ibunya ditekan oleh orang-orang itu, hanya bisa menangis di pojok ruangan. Hal seperti ini baru pertama kali mereka lihat. Namun, melihat keberanian dan kecakapan dalam berbicara perempuan yang sudah membesarkan mereka, membuat ketiga bocah itu yakin semua akan baik-baik saja.
***
Ketika sore hari rumah mereka kedatangan orang-orang yang berbadan tinggi besar. Aqilah, Azzam, dan Attar yang sedang bermain di teras rumah merasa ketakutan. Mereka pun berlari masuk ke dalam dan memanggil ibunya yang sedang memasak tempe goreng.
"Bu, ada tamu!" teriak Azzam.
Rinjani pun bergegas ke depan rumah untuk melihat siapa tamu itu. Dia melihat seorang laki-laki yang diperkirakan seumuran dengannya, berdiri di apit oleh dua orang pengawal.
"Apa benar ini rumahnya sopir yang meninggal di Tanjakan Sejuta, kemarin?" tanya laki-laki itu.
"Iya, benar. Anda siapa?" tanya Rinjani balik.
"Aku, Dirga. Pemilik mobil Ferrari yang ditabrak oleh bus yang dikendarai oleh Pak Dewa," jawab laki-laki berwajah tampan, tetapi terkesan seram dengan sorot matanya yang tajam.
"Astaghfirullahal'adzim. Kenapa kecelakaan itu banyak sekali meninggalkan kesulitan padaku," gumam jandanya Dewa.
"Aku mau meminta ganti rugi. Mobil aku seharga 900 juta rupiah," lanjut Dirga.
Mendengar nominal yang harus diganti oleh dirinya, membuat Rinjani terasa dirinya dihantam godam. Namun, kesadarannya segera kembali saat mendengar suara putranya.
"Om punya bukti kalau mobil itu rusak karena ditabrak bus yang dikendarai oleh ayah?" tanya Azzam yang kini berdiri di samping ibunya.
"Bukti? Tentu saja punya," jawab Dirga. Lalu, menyuruh orang di sampingnya memperlihatkan bukti-bukti kalau mobilnya sudah rusak karena tertabrak bus Harapan Jaya.
Rinjani tidak bisa mengelak lagi, lalu dia meminta semuanya dibicarakan secara musyawarah. Disaksikan oleh beberapa orang di kampung itu, Rinjani dan Dirga membuat kesepakatan meski berjalan alot.
Rinjani meminta ke ridho-an Aqilah dan Azzam, uang tabungan pendidikan milik mereka yang sudah disiapkan oleh Dewa setiap bulannya, dipakai untuk membayar uang ganti rugi itu. Selain itu uang tabungan untuk merenovasi rumah juga dia ambil semua. Perhiasan yang dia miliki dijual semua.
***
"Tuan, uang yang aku miliki semuanya ada 150 juta. Ini aku gunakan untuk membayar uang muka. Sisanya akan saya cicil," ucap Rinjani saat Dirga kembali keesokan harinya.
"Baiklah, berarti tinggal 750 juta lagi untang yang kamu harus bayar kepadaku," balas Dirga menatap lekat pada wanita berjilbab warna kopi itu.
"Iya. Mudah-mudahan Allah memberikan kelancaran rezeki pada keluarga kami, sehingga mempermudah aku untuk membayar semua sisa utangnya," tukas Rinjani dengan balik menatap laki-laki yang berpenampilan perlente.
"Aku akan selalu mengecek uang yang masuk ke nomor rekening itu setiap bulannya," kata Dirga, lalu berdiri dan pergi bersama dengan orang yang selalu menyertainya.
'Ya Allah permudahkan aku untuk membayar utang kepadanya.' (Rinjani)
***
Bagaimana nasib Rinjani dan ketiga anaknya? Tunggu kelanjutannya dari perjuangan seorang ibu dalam membesarkan, menjaga, dan berjuang demi ketiga buah hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Nar Sih
mampir kakk👍
2024-03-14
1
Ida Lailamajenun
baru mampir
2024-03-06
0
Ida Lailamajenun
aneh deh semua dilimpahkan ke dewa ganti rugi nya bukan kah dewa juga kerja tuh bawa mbl org bukan bus pribadi..
2024-03-06
0