NovelToon NovelToon

Innallaha Ma'Ana (Sesungguhnya Allah Bersama Kita)

Bab 1. Kehilangan Orang Yang Dicintai

Bab 1

"Astaghfirullahal'adzim. Ya Allah lindungi kami semua," gumam Dewa saat dirasa laju busnya tidak stabil.

Hujan deras dan suara guntur yang keras sesekali mewarnai alam semesta saat ini. Ketika semua orang memilih tinggal di dalam rumah, ada sebagian kecil orang yang nekat melakukan aktivitas sehari-hari mereka di muka bumi ini. Seperti yang dilakukan oleh Dewa, seorang sopir bus antar provinsi. Dia masih melajukan kendaraannya di jalanan yang berkabut karena hujan besar dan angin besar. Laki-laki dewasa itu mengendarai dengan hati-hati, sebab dia membawa beberapa orang penumpang.

Akan tetapi, saat bus itu berada di Tanjakan Sejuta, yang terkenal dengan sebutan tikungan maut karena medannya itu menanjak curam dan berbelok. Banyak kendaraan yang sering mengalami kecelakaan di sana. Sebab, orang itu tidak pandai mengemudikan kendaraan di medan seperti itu, menanjak dan berkelok-kelok.

Hujan kali ini berbeda dari biasanya, selain turun dengan sangat deras dan sering disertai kilat, juga longsor. Meski tanah longsor tidak sampai ke jalanan, tetapi aliran air yang bercampur tanah liat itu mengakibatkan jalanan semakin licin.

Maka dia pun meminta kepada para penumpang agar mencari pegangan saat akan menanjak. Namun, dari berlawanan ada sebuah truk yang hendak menuruni Tanjakan Sejuta terlihat oleng karena air hujan bercampur lumpur. Truk itu pun terguling ke tengah jalan dan meluncur ke bawah, serta menabrak bus yang dikendarai oleh Dewa yang kebetulan hendak menanjak. Tabrakan pun tidak bisa dihindari.

"Allahuakbar!" teriak penumpang yang duduk di kursi paling depan.

"Astaghfirullahal'adzim." Dewa kembali beristighfar.

"Kyaaaahk!"

Teriakan para penumpang bus diikuti suara benturan keras benda dari besi itu memekakkan telinga orang yang mendengarnya. Bus yang dikendarai oleh Dewa jatuh ke jurang yang ada di sisinya. Kebetulan pembatas jalan rusak dan belum diperbaiki akibat kecelakaan yang terjadi kemarin. Bus itu terguling sampai kedalaman sekitar 25 meter karena tertahan oleh beberapa pohon besar.

Sebelum bus jatuh ke jurang, sempat menabrak sebuah mobil Ferrari bagian depannya. Untung mobil itu tidak sampai ikut jatuh ke dalam jurang.

***

Sebuah pigura foto keluarga terjatuh di sebuah ruangan yang sempit, tetapi terlihat bersih. Melihat itu, seorang perempuan cantik memunguti pecahan kacanya. Dia takut kalau nanti anak-anaknya terluka.

"Ibu, apa ayah akan pulang malam ini?" tanya seorang anak perempuan berusia 9 tahun sambil menuntun adik laki-lakinya yang paling kecil.

"Semoga saja bisa pulang. Aqilah, tolong ambilkan sapu! Attar, kamu duduk di atas kursi, ya? Banyak pecahan kaca di lantai," ucap Rinjani, ibu dari kedua anak kecil tadi.

Aqilah pun menyerahkan sapu itu. Betapa sedihnya dia saat melihat satu-satunya pigura foto itu kini berubah menjadi rongsokan.

"Bu, apa ayah baik-baik saja?" tanya Aqilah dengan ekspresi wajah yang sendu. Dia tiba-tiba saja jadi teringat kepada laki-laki yang selalu memberikan dukungan kepadanya. 

"Semoga Allah selalu menjaga ayah. Di mana pun ayah berada saat ini," jawab Rinjani.

***

Saat malam hari Rinjani merasa gelisah, sang suami tidak memberikan kabar. Seharusnya dia sudah pulang satu jam yang lalu. Namun, sampai saat ini belum juga membalas pesannya. Perempuan cantik itu hanya mondar-mandir di depan pintu rumahnya yang sangat-sangat sederhana sekali. 

Dering telepon di handphone membuat dirinya bergegas mengambil dan melihat siapa yang melakukan panggilan. Namun, nomor itu bukan milik suaminya. Lalu, dia pun menekan tombol tanda telepon pada tutsnya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Selamat malam, apa benar ini dengan keluarga Pak Dewa, sopir bus Harapan Jaya?" 

Jantung Rinjani tiba-tiba berdetak dengan sangat kencang. Dia merasa kalau sudah terjadi sesuatu kepada suaminya.

"I-ya, benar."

"Kami dari Kapolres Mekarjaya, mau memberi tahu kepada ibu, kalau bus Pak Dewa mengalami kecelakaan dan semua penumpang, sopir, dan kernet meninggal dunia. Saat ini seluruh jenazah berada di rumah sakit umum."

Kaki Rinjani terasa lemas, sampai-sampai tidak bisa menopang badannya lagi. Perempuan berjilbab instan itu kini jatuh terduduk di lantai dingin. Netra indahnya kini basah oleh air mata.

"Astaghfirullahal'adzim. Mas Dewa … kenapa ini bisa terjadi."

***

Setelah mengurus beberapa prosedur bersama atasannya Dewa, Rinjani bisa pulang membawa jenazah suaminya. Para pelayat pun datang ke rumah berukuran kecil itu silih berganti. Air mata perempuan itu serta ketiga anaknya yang masih kecil masih mewarnai suasana di sana.

"Kami semua turut berduka cita atas apa yang menimpa Pak Dewa. Beliau adalah orang yang sangat baik dan bijaksana, insha Allah, surga akan menantikannya," ucap seorang ustadz yang sering mengisi pengajian di lingkungan itu.

Perkataan ustadz itu dibenarkan oleh para warga sekitar. Doa-doa yang terbaik diucapkan oleh para peziarah untuk Dewa dan ini menjadi penghibur bagi Rinjani dikala kesedihannya.

***

Belum juga tanah merah itu mengering, ada beberapa orang mendatangi rumah Rinjani. Mereka mengaku sebagai saudara korban yang meninggal dari kecelakaan bus. Mereka meminta Rinjani untuk mengganti rugi karena uang santunan dari Jasa Raharja belum diterima, sedangkan keluarga mereka membutuhkan uang.

"Apa kalian tidak malu meminta uang ganti rugi pada seorang janda miskin!" teriak Bu RT saat melihat beberapa orang berteriak di depan rumah Rinjani.

"Keluarga kami juga membutuhkan biaya untuk kelangsungan hidup. Anak kami sedang sakit dan kelaparan, jadi kami punya hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada keluarga sopir yang membuat keluarga kami meninggal," balas seorang wanita tua dan dibenarkan oleh yang lainnya.

Rinjani yang tidak suka keributan dan memang benar suaminya juga yang mengemudikan bus itu, akhirnya memilih bernegosiasi. Dia membuat kesepakatan hitam di atas putih dan bermaterai kepada orang-orang itu. Ibu dari tiga orang anak ini bersedia memberikan tiap keluarga itu uang sebesar satu juta rupiah, sesuai kemampuan dia. Semua uang tabungannya habis dibagikan.

Aqilah, Azzam, dan Attar yang menyaksikan ibunya ditekan oleh orang-orang itu, hanya bisa menangis di pojok ruangan. Hal seperti ini baru pertama kali mereka lihat. Namun, melihat keberanian dan kecakapan dalam berbicara perempuan yang sudah membesarkan mereka, membuat ketiga bocah itu yakin semua akan baik-baik saja.

***

Ketika sore hari rumah mereka kedatangan orang-orang yang berbadan tinggi besar. Aqilah, Azzam, dan Attar yang sedang bermain di teras rumah merasa ketakutan. Mereka pun berlari masuk ke dalam dan memanggil ibunya yang sedang memasak tempe goreng.

"Bu, ada tamu!" teriak Azzam.

Rinjani pun bergegas ke depan rumah untuk melihat siapa tamu itu. Dia melihat seorang laki-laki yang diperkirakan seumuran dengannya, berdiri di apit oleh dua orang pengawal. 

"Apa benar ini rumahnya sopir yang meninggal di Tanjakan Sejuta, kemarin?" tanya laki-laki itu.

"Iya, benar. Anda siapa?" tanya Rinjani balik.

"Aku, Dirga. Pemilik mobil Ferrari yang ditabrak oleh bus yang dikendarai oleh Pak Dewa," jawab laki-laki berwajah tampan, tetapi terkesan seram dengan sorot matanya yang tajam.

"Astaghfirullahal'adzim. Kenapa kecelakaan itu banyak sekali meninggalkan kesulitan padaku," gumam jandanya Dewa.

"Aku mau meminta ganti rugi. Mobil aku seharga 900 juta rupiah," lanjut Dirga.

Mendengar nominal yang harus diganti oleh dirinya, membuat Rinjani terasa dirinya dihantam godam. Namun, kesadarannya segera kembali saat mendengar suara putranya.

"Om punya bukti kalau mobil itu rusak karena ditabrak bus yang dikendarai oleh ayah?" tanya Azzam yang kini berdiri di samping ibunya.

"Bukti? Tentu saja punya," jawab Dirga. Lalu, menyuruh orang di sampingnya memperlihatkan bukti-bukti kalau mobilnya sudah rusak karena tertabrak bus Harapan Jaya.

Rinjani tidak bisa mengelak lagi, lalu dia meminta semuanya dibicarakan secara musyawarah. Disaksikan oleh beberapa orang di kampung itu, Rinjani dan Dirga membuat kesepakatan meski berjalan alot. 

Rinjani meminta ke ridho-an Aqilah dan Azzam, uang tabungan pendidikan milik mereka yang sudah disiapkan oleh Dewa setiap bulannya, dipakai untuk membayar uang ganti rugi itu. Selain itu uang tabungan untuk merenovasi rumah juga dia ambil semua. Perhiasan yang dia miliki dijual semua.

***

"Tuan, uang yang aku miliki semuanya ada 150 juta. Ini aku gunakan untuk membayar uang muka. Sisanya akan saya cicil," ucap Rinjani saat Dirga kembali keesokan harinya.

"Baiklah, berarti tinggal 750 juta lagi untang yang kamu harus bayar kepadaku," balas Dirga menatap lekat pada wanita berjilbab warna kopi itu.

"Iya. Mudah-mudahan Allah memberikan kelancaran rezeki pada keluarga kami, sehingga mempermudah aku untuk membayar semua sisa utangnya," tukas Rinjani dengan balik menatap laki-laki yang berpenampilan perlente.

"Aku akan selalu mengecek uang yang masuk ke nomor rekening itu setiap bulannya," kata Dirga, lalu berdiri dan pergi bersama dengan orang yang selalu menyertainya.

'Ya Allah permudahkan aku untuk membayar utang kepadanya.' (Rinjani)

***

Bagaimana nasib Rinjani dan ketiga anaknya? Tunggu kelanjutannya dari perjuangan seorang ibu dalam membesarkan, menjaga, dan berjuang demi ketiga buah hatinya.

Bab 2. Perjuangan Menjadi Tulang Punggung

Bab 2

Setelah kepergian Dirga, Rinjani pun bergegas pergi ke pusat perbelanjaan sambil menggendong Attar yang masih berusia 2 tahun. Dia berniat mencari pekerjaan untuk keperluan keluarganya dan membayar utang.

"Maaf, kami hanya menerima pegawai yang memiliki ijazah. Karena itu akan dijadikan jaminan atas kerja sama pihak kami dengan para karyawan." Itulah kata-kata yang sering diucapkan oleh pemimpin toko saat Rinjani mengajukan permohonan pekerjaan.

Entah sudah toko berapa yang wanita itu masuki, semuanya menolak. Sudah seharian Rinjani mencari pekerjaan dan hasilnya tidak sesuai harapan dia.

'Ya Allah, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tahu rezeki-Mu tersebar luas di dunia ini. Semoga Engkau mempermudah hamba-Mu ini untuk mendapatkannya.' (Rinjani)

"Bu, lapar," panggil Attar dengan ekspresi wajah memelas.

"Astaghfirullahal'adzim. Aku sampai lupa kalau kita belum makan. Mana kita sedang tidak punya uang," gumam Rinjani dengan hati yang tersayat saat melihat wajah putra bungsunya.

Rinjani pun mendatangi sebuah warung makan. Dia menanyakan apa sedang membutuhkan tenaga bantuan. Namun, mereka bilang sedang sepi jadi memerlukan jasanya.

Tidak patah semangat, wanita itu pun kembali mendatangi kedai makanan yang agak besar. Meski kemungkinan besar akan ditolak, dia ingin mencobanya.

"Pak, apa di sini sedang memerlukan tenaga tambahan? Dibayar dengan sepiring nasi dan lauknya juga tidak apa-apa. Asalkan putra saya bisa makan," kata Rinjani kepada seorang laki-laki yang diperkirakan seumuran dengannya.

Laki-laki yang belakangan diketahui bernama Bahari itu pun menelisik kepada Rinjani. Dia menilai perempuan itu, karena tidak mau dibodohi oleh orang asing yang akan beresiko menipu dirinya.

"Kamu orang mana?" tanya Bahari yang berpakaian kasual, tetapi rapi.

"Saya dari Desa Suka Jaya, Pak." Rinjani menjawab dengan jujur.

'Desa Suka Jaya itu 'kan, sangat jauh dari sini. Harus naik kendaraan.' (Bahari)

"Kalau kamu lapar minta saja sama pelayan, tapi jangan di makan di sini," kata si pemilik kedai makanan.

Rinjani tidak suka dikasihani dengan cara seperti ini. Dia masih punya harga diri. Dulu suaminya mengajarkan jangan suka minta-minta kepada orang lain. Walau itu cuma minta oleh-oleh kepada kenalannya meski dengan niat bercanda. Begitu juga dengan sekarang, meski jelas-jelas sedang kelaparan, dia akan berusaha bekerja terlebih dahulu dan baru menerima upahnya.

"Maaf, Pak. Saya dan putra saya ini bukan pengemis yang suka minta-minta. Saya masih punya tenaga untuk bekerja dan akan meminta upah atas pekerjaan aku nantinya. Terima kasih atas perhatiannya, permisi," ujar Rinjani pergi ke luar dari kedai itu.

Laki-laki berpostur sedang itu pun kembali memanggil Rinjani. Kali ini dia menilai kalau perempuan bersama anaknya itu bukanlah seorang penipu.

"Bantu kami mencuci semua piring dan wadah yang kotor di dapur," kata Bahari kepada Rinjani.

Mendengar permintaan laki-laki itu, Rinjani merasa sangat senang sekali. Akhirnya, dia akan mendapatkan uang meski sedikit. Setidaknya ada yang bisa dimakan oleh Attar.

"Pak, maaf kalau saya sudah lancang. Bolehkan aku meminta upah di muka berupa nasi dan lauknya. Putra saya sedang kelaparan, setidaknya minta nasi yang siram oleh kuah sayuran," ucap Rinjani mengungkapkan keinginannya.

"Baiklah. Minta satu piring makanan untuk bayi berusia balita!" seru Bahari kepada pegawai di sana.

Setelah menyuapi Attar yang lahap dan menghabiskan semua makanannya itu. Rinjani pun bergegas pergi ke dapur untuk menjalankan tugasnya.

Meski perut Rinjani terasa melilit karena lapar, tetapi dia mengerjakan semua pekerjaannya dengan cepat. Attar yang setia berdiri di samping ibunya juga diam tidak merengek. Paling hanya memanggil nama ibunya saja.

"Bu," panggil Attar.

"Ada apa, Sayang?" tanya Rinjani sambil mengalihkan perhatiannya kepada sang putra bungsu, tetapi kedua tangannya masih sibuk membilas barang-barang perlengkapan memasak itu.

"Bo-bo," sahut Attar sambil mengucek kedua matanya, lalu menguap.

Melihat seperti itu, Rinjani merasa kasihan. Lalu, dia menggendong Attar di balik punggungnya.

***

Rinjani pulang dengan membawa lumayan banyak makanan, berupa nasi dan beberapa jenis lauk pauknya. Selain itu, Bahari juga memberi uang sebesar 100 ribu karena puas dengan pekerjaannya.

Begitu sampai ke rumah, terlihat Aqilah dan Azzam sedang duduk menunggu di teras rumah. Kedua anaknya itu juga belum makan, karena tidak ada nasi.

"Maafkan ibu, ya? Karena tidak ada beras jadi belum menanak nasi, tadi," ucap Rinjani dengan penuh penyesalan.

"Tidak apa-apa, kok, Bu." Aqilah memeluk ibunya mencoba menenangkan perasaan merasa bersalah padanya.

"Besok-besok kalau lapar dan tidak ada nasi, kalian ambil singkong saja yang ada di halaman. Jangan sampai kalian sakit karena maag atau kelaparan. Ibu tidak mau itu terjadi pada kalian," ujar wanita berusia 33 tahun itu.

***

Uang yang di dapat dari kedai makanan dibelikan beras dan minyak goreng. Rinjani membuat keripik singkong dan di jual berkeliling juga di titipkan ke warung-warung. 

Bukan hanya Rinjani yang jualan keripik, Aqilah juga ikut jualan. Dia membawa keripik-keripik itu ke sekolah dan menjualnya kepada teman-teman di sekolahnya. Jika masih ada sisa, maka akan dijajakan sambil pulang ke rumah.

Sudah satu bulan berlalu sejak meninggalnya Dewa. Rinjani hanya mampu membayar uang cicilan sebesar satu setengah juta rupiah. Meski dia dan ketiga anaknya sudah hidup dengan sangat irit.

'Aku harus mencari pekerjaan lainnya yang bisa menghasilkan uang yang lebih banyak. Tapi, apa itu?' (Rinjani)

Terlihat Bu RT yang lewat di depan rumah sambil bersungut-sungut. Maka, Rinjani pun menyapa dirinya.

"Kenapa, Bu RT?"

"Ini, si Inah. Bilangnya mau menyucikan baju, tapi nggak datang-datang. Pas barusan aku datangi rumahnya, dia malah asyik bermesraan dengan kekasihnya yang baru pulang dari ibu kota," jawab Bu RT.

Mendengar perkataan dari Bu RT, membuat Rinjani merasa punya kesempatan lain untuk mencari uang. Dia akan lakukan segala pekerjaan yang penting halal.

"Kalau boleh, aku bisa mencucikan baju itu, Bu," kata si janda kembang.

"Beneran?" Bu RT merasa sangat senang, karena akan ada yang membantu dirinya.

"Benar, kebetulan saya juga sedang membutuhkan uang. Ibu tahu sendiri kalau saat ini saya punya tunggakkan," tukas Rinjani.

Akhirnya Rinjani pun menjadi buruh cuci dan menyetrika baju. Hasil dari sana juga lumayan jika dibandingkan dengan jualan keripik yang hanya punya sedikit keuntungan.

***

Orang-orang yang membutuhkan jasa mencuci dan menyetrika pun kini sering meminta tolong kepada Rinjani, karena hasilnya lebih memuaskan. Mereka juga selalu saling berebutan karena sehari Rinjani hanya akan menerima dua orang saja. 

"Bu Rinjani, aku hanya minta tolong menyetrika saja. Itu bisa dibawa ke rumah, nanti aku kasih uang lebih karena listrik dan setrikaannya dari Ibu sendiri. Bagaimana?" Istri kepala desa, sengaja jauh-jauh datang ke rumah jandanya Dewa itu hanya untuk meminta tolong. Ini dikarenakan dia puas saat melihat hasil kerja Rinjani saat di rumah temannya.

"Saya bekerja setelah anak-anak pergi sekolah dan sudah berhenti sebelum anak-anak pulang. Karena aku harus mengurus mereka dan memperhatikan segala hal tentang anak-anak. Jadwal saya satu minggu ini sudah penuh. Saya takutnya pakaian-pakaian itu mau dipakai oleh keluarga Ibu, akan terlalu lama jika menunggu saya yang kerjakan," ucap Rinjani merasa tidak enak menolak istri nomor satu di desanya itu.

"Yah, sayang sekali!" Istri kepala desa itu kecewa karena pakaian-pakaiannya tidak bisa disetrika oleh Rinjani.

"Maaf, ya, Bu." Rinjani menangkupkan kedua tangannya di dada.

"Nggak apa-apa. Kapan-kapan semoga saja bisa," balas wanita paruh baya itu.

Baru saja istri kepala desa pergi, kini datang pak kepala desanya sendiri. Laki-laki paruh baya dengan setelan rapi itu datang menaiki mobil.

'Itu Pak Kepala Desa, mau apa ke sini?' (Rinjani)

"Assalamu'alaikum, Bu," salam kepala desa dengan tersenyum ramah.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," balas Rinjani dan mempersilakan tamunya duduk di kursi yang ada di teras.

Semenjak menjanda Rinjani mengeluarkan kursi yang ada di ruang tamu ke teras rumahnya. Jadi, dia tidak perlu memasukan orang ke dalam rumah. Hal ini untuk menjaga dirinya dari fitnah.

"Ada apa, ya, Pak?" tanya Rinjani penasaran dengan kedatangan kepala desa ke rumahnya.

"Saya ingin menawarkan pinangan kepada Dek Rinjani untuk menjadi istri kedua. Sekiranya Dek Rinjani mau. Kita bisa menikah setelah masa iddah habis," kata kepala desa sambil tersenyum malu-malu.

'Astaghfirullahal'adzim. Baru saja kemarin aku menolak dua orang laki-laki yang ingin melamar, hari ini pun ada lagi. Bahkan sekarang memintanya menjadi istri kedua. Ya Allah, lindungilah aku dari fitnah-fitnah di kemudian hari.' (Rinjani)

***

Jawaban apa yang akan diberikan oleh Rinjani? Bagaimana pandangan para tetangga kepadanya? Tunggu kelanjutannya, ya!

Bab 3. La Tahzan Innallaha Ma'ana

Bab 3

Rinjani kini berhadapan dengan Pak Kepala Desa yang ingin memintanya menjadi istri kedua. Sebagai seorang perempuan yang baru saja ditinggalkan oleh suami tercinta, jelas akan menolak hal ini. Bahkan dirinya saat ini masih dalam masa iddah.

"Maafkan saya karena menolak keinginan Bapak ini. Saat ini saya masih belum kepikiran akan menikah lagi. Terlalu besar rasa cinta saya ini kepada almarhum Dewa. Sehingga akan sulit sekali untuk saya menerima pinangan dari siapapun. Anak-anak juga pastinya tidak mau punya ayah tiri," ucap Rinjani dengan halus dan sopan, tetapi terdapat ketegasan dari nada bicaranya.

"Jika, Dek Rinjani mau menjadi istri saya, semua utang itu akan saya bayar sampai lunas. Bagaimana?" tanya Pak Djoko, nama kepala desa.

"Sekali lagi saya menolak keinginan Anda itu, Pak! Saya tidak ingin menikah, apalagi menjadi istri yang kedua. Apa istri Bapak setuju punya madu?" ucap Rinjani dengan tegas dan mencoba menahan rasa kekesalannya.

Dikarenakan keinginannya tidak mendapat sambutan baik dari Rinjani, maka Pak Kepala Desa itu pun pergi dengan ekspresi wajah penuh kekecewaan. Segala cara dan rayuan sudah dia gunakan, tetapi Rinjani masih bersikukuh menolak pinangannya.

***

Setiap orang yang punya penyakit rasa iri pastinya selalu mencari kesalahan dan kadang menyebarkan fitnah. Begitu juga yang terjadi kepada Rinjani. Tersebar gosip yang menimpa janda kembang ini, katanya diam-diam suka pergi ke luar rumah di malam hari. 

"Hati-hati kalau punya suami. Jaga mereka baik-baik. Sekarang banyak janda yang suka menggoda," kata seorang wanita berdaster pada ibu-ibu yang sedang belanja ke warung.

"Iya. Aku juga selalu mewanti-wanti pada suami aku. Jangan sampai tergoda sama janda," timpal wanita berambut pendek.

"Iya, apalagi kalau janda itu cantik. Pasti akan banyak laki-laki yang mengincarnya," lanjut si wanita berdaster tadi.

Rinjani hanya diam, dia memilih sayuran dan bumbu yang akan dibeli. Lalu, dia pun bergegas pulang ke rumah. Hati dia terluka saat melihat tatapan sinis dari ibu-ibu tadi. Tentu saja bagi orang yang iri dengan kecantikan wanita itu, membuat banyak istri-istri ketakutan suaminya akan digoda. Maka, mereka menjadi mengurungkan niat menyuruhnya mencuci atau menyetrika baju. Takut kalau selain melakukan pekerjaan itu, Rinjani juga akan menggoda suami mereka. 

Entah siapa yang menghembuskan berita tidak benar itu. Hal ini sangat merugikan keluarga Rinjani. Sebab, kini pendapatan wanita dari buruh cuci dan menyetrika menjadi sedikit. Sehari hanya satu orang yang memerlukan tenaganya. Bahkan kadang tidak ada sama sekali.

***

"Bu, bulan ini belum bayar SPP ke sekolah," kata Aqilah setelah selesai sarapan.

Hati Rinjani bagai tersayat sembilu saat melihat wajah putri dan putranya yang kini sudah duduk di sekolah dasar. Kebetulan dalam satu bulan ini, pendapatan dia sangat sedikit sekali. Uang yang di dapat dari buruh mencuci dia simpan untuk membayar utang kepada Dirga. Sementara itu, untuk keperluan sehari-hari mereka dari hasil jualan keripik.

"Hari ini ibu belum ada uang, Kak. Semoga saja hari ini banyak orang yang membutuhkan tenaga ibu," balas Rinjani dengan sorot mata yang nanar.

"Bu, pensil punya abang juga hilang," ucap Azzam dengan pelan.

'Astaghfirullahal'adzim. Ya Allah, kenapa sekarang hal-hal kecil seperti ini pun terasa berat.' (Rinjani)

"Kakak punya pensil yang bisa kamu pakai. Meski sudah kecil, tetapi masih bisa dipakai menulis," tukas Aqilah sambil menyerahkan sebuah pensil yang tinggal seukuran tinggi telunjuk.

"Terima kasih, Kak," balas Azzam sambil menerima pensil itu dengan senang. Setidaknya dia bisa menulis saat di sekolah nanti.

Hati Rinjani menjerit, ingin sekali dia menangis melihat ketiga anaknya. Sudah sebulan ini mereka tidak diberi uang saku saat pergi ke sekolah dasar maupun ke sekolah agama. Dia menyuruh anak-anaknya membawa bekal ke sekolah. Setiap hari Rinjani akan membuat nasi goreng sederhana yang hanya pakai telur saja tanpa campuran apapun lagi sebagai topping-nya. Bahkan air minum pun mereka bawa dari rumah. Kebetulan jarak dari rumah ke sekolah masih bisa dituju dengan berjalan kaki, meski berjarak satu setengah kilometer.

***

"Bismillah, semoga hari ini ada yang membutuhkan tenaga aku. Ya Allah, permudahkanlah rezeki untuk keluarga hamba-Mu ini," kata Rinjani setelah melangkah ke luar rumahnya sambil menuntun si kecil, Attar.

Hari itu pun Rinjani mendatangi rumah-rumah yang dulu biasanya membutuhkan tenaganya. Meski sudah beberapa rumah dia datangi, tidak ada seorang pun yang membutuhkan tenaganya. Namun, perempuan itu tidak menyerah. Dia terus mengetuk pintu rumah-rumah di kampungnya sampai ke kampung tetangga. 

"Bu, bobo." Terlihat Attar menguap karena ini waktu anak 2 tahun itu tidur.

"Adik mau bobo di gendong di depan atau dibelakang?" tanya Rinjani sambil mengeluarkan kain jarik untuk menggendong putra bungsunya.

"Di depan," jawab Attar yang mulai terkantuk-kantuk.

Sambil berjalan kembali Rinjani melantunkan shalawat sebagai pengiring tidur anaknya. Dia sudah berjalan selama 2 jam lebih, tetapi belum ada yang memerlukan tenaganya.

"Assalamu'alaikum," salam Rinjani di sebuah rumah yang berukuran besar.

"Wa'alaikumsalam. Ada apa, ya?" tanya wanita tua, pemilik rumah.

"Apa di rumah ini sedang memerlukan jasa mencuci atau menyetrika baju?" tanya Rinjani.

Wanita tua itu menelisik ke arah Rinjani yang sedang menggendong anak balita. Sekarang ini zaman orang suka berbuat kejahatan dengan berbagai modus. Tentu wajar jika pemilik rumah menjadi was-was kepada orang asing.

"Kamu siapa?" tanya wanita berbadan gempal itu masih menatap tajam ke arah Rinjani.

"Saya Rinjani dari Kampung Suka Jaya. Saat ini saya sedang mencari pekerjaan untuk biaya hidup keluarga saya," jawab Rinjani.

"Suami kamu kerja apa? Kenapa kamu jauh-jauh cari kerja ke sini?" tanya wanita berbaju daster.

"Suami saya sudah meninggal tiga bulan yang lalu, karena kecelakaan. Dan kini saya harus menjadi tulang punggung untuk membiayai tiga orang anak," jawab Rinjani jujur.

Hati wanita tua itu ikut bersedih. Dia melihat kejujuran dari sorot mata milik Rinjani. Maka dia pun menyuruh Rinjani untuk mencuci gorden di rumah itu. Setelahnya dia meminta mencabut rumput liar di semua halaman rumah. Meski begitu uang yang didapat oleh Rinjani lumayan besar. Bahkan bisa untuk membayar biaya SPP kedua anaknya.

"Ya Allah, alhamdulilah. Hari ini bisa uang banyak," kata Rinjani sambil tersenyum senang. Kini ada uang dua lambar bergambar presiden pertama Indonesia.

***

"Bu, kenapa hidup kita menjadi susah seperti ini? Setelah tidak ada ayah, semuanya menjadi sulit?" tanya Aqilah sambil membungkus keripik hasil menggoreng ibunya.

"Setiap manusia pasti akan mendapatkan ujian dari Allah. Ini untuk meningkatkan keimanan dan derajat kita di hadapannya," jawab Rinjani dengan suaranya yang lembut.

"Meski begitu, Allah tidak akan memberikan suatu ujian melebihi kemampuan hambanya. Jadi, semua yang terjadi pada kita saat ini, ibu yakin kalau kita akan mampu melewatinya," lanjut wanita berjilbab instan.

Aqilah pun mengangguk dia juga dulu sering mendengar ayahnya memberi nasehat kepada orang-orang yang datang ke rumah dan menceritakan masalah mereka. Gadis kecil ini selalu terngiang-ngiang ucapan ayahnya dulu.

"La tahzan innallaha ma'ana (Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita)" gumam Aqilah.

"Ya, itu kata-kata yang sering dikatakan oleh ayah," ucap Rinjani dengan tatapan matanya yang nanar sarat akan kerinduan pada laki-laki yang dicintainya.

"Bu ... Ibu!" Terdengar suara Azzam memanggil Rinjani dengan berteriak.

"Ada apa, Bang?" Rinjani dan Aqilah pun bergegas datang menghampiri putra tertuanya yang berada di kamar tidur depan.

"Tubuh Adik panas sekali!" serunya.

***

Apa yang terjadi pada si bungsu? Apakah Rinjani mampu membahagiakan ketiga buah hatinya? Tunggu kelanjutannya, ya!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!