Birundasih
Tubuh seorang wanita tua terbaring dingin seorang diri di kasurnya yang hangat. Jejak air mata mengering diantara jalur keriput yang memancar di sisi matanya yang terpejam rapat.
Aku bangkit. Duduk perlahan, mendapati jari kaki tuaku yang beku, dingin.
Birundasih muda, Birundasih cantik, tubuhnya diselimuti cahaya tipis keemasan. Ia turun dari kasur ke atas lantai keramik, berwarna putih dan berbintik-bintik abu-abu. Berdiri di sana menatap tubuh pucat dan kaku, Birundasih tua, terbaring tenang.
Hidup? Tidak mudah untuk menjelaskannya.
Sepuluh menit yang lalu putriku melepas dengan lembut tapi memaksa genggaman hangat tangan tuaku. Gadis itu harus mengejar waktu agar tidak terlambat untuk bekerja, ia telah duduk lebih dari satu jam di kursi putih, memegang erat dan mengusap lembut punggung tanganku selama kami berbincang-bincang, ia bercerita tentang akhir pekannya yang menyebalkan.
Gadis itu bilang, kucing tetangga kami kembali membuang kotoran di halaman rumah dan memecahkah pot lainnya saat ia meloncati tembok pembatas rumah mereka. Ia memaki sambil tertawa hingga wajahnya bersemu merah.
Sepaket, gadis itu juga memberikan kabar yang menggembirakan untuk aku dengar, seorang kerabat yang lama dirindukan akan datang berkunjung dan akan menetap untuk beberapa hari di sini. Jari-jariku bergerak dalam genggaman gadis itu. Segaris senyuman terukir di wajahku, itu yang aku paksakan, tapi sepertinya belum berhasil, gadis itu terus bercerita tentang hal-hal kecil lainnya.
Sudah seminggu aku tidak lagi berbicara, bibirku sulit untuk digerakkan dan lidahku kelu. Tubuhku tidak terisi tenaga. Tapi aku bersyukur untuk mata dan telinga yang masih berfungsi dengan cukup baik. Dan gadis itu sangat mengerti bahwa aku sangat suka mendengar dan bercerita. Itu kebiasaan kami.
Aku enggan melepas genggaman tangan saat gadis itu mulai berpamitan seperti biasa. Ia bekerja di sebuah toko bunga sederhana. Sebagai pegawai ia telah terjadwal. Biasanya, aku tidak pernah berkeberatan untuk ditinggal sendirian.
Beberapa jam sebelum makan siang biasa aku habiskan untuk menatap langit-langit kamar dan mendengarkan suara-suara dari luar jendela. Itu sudah cukup untuk membuatku tetap tenang menunggu gadis itu kembali datang dan menyuapiku makan siang. Namun pagi ini, aku tidak rela.
Setelah gadis itu pergi, rasanya terlalu banyak kata-kata yang ingin aku sampaikan. Banyak cerita.
Seperti....
Masa kecilku.
Aku seorang gadis berusia sepuluh tahun, memiliki ayah dan ibu, kakak beradik, bahwa mereka saling mencintai. Bermain lompat tali atau saling bertukar pakaian dan terkadang bertengkar untuk berebut tempat duduk di meja makan.
Semua ingatan berjalan melompat-lompat indah seperti kuda poni kecil yang menari dalam benakku.
Ibu, dengan rambut bergelung tinggi, baju bercorak cerah selutut yang ia kenakan seperti seragam harian, bergerak gesit di dapur kecil mereka. Menyiapkan sarapan untuk setiap orang.
Ayah, menunggu dengan tenang di kursi terujung meja makan. Menyeruput pelan-pelan teh dari cangkirnya. Anak-anak datang dan duduk satu persatu. Dengan tenang dan dengan Sedikit keributan. Pria yang selalu tersenyum, satu, dua, tiga dan empat, lima, enam ciuman untuk pipinya sebelum sarapan di mulai.
Ritual cinta dalam keluarga. Ritual yang pada waktunya dipaksa berhenti, tumbuh dan berubah. Tawa yang bertukar dengan tangis, pelukan dan lambaian.
Aku menyimpan lama untuk dapat menceritakan ulang di hari lainnya, pada si gadis atau pada siapapun yang berkenan mendengarkan. Salah satu alasan mengapa ada kerinduan untuk bertemu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Mi_Mimi
aku masih nyimak, Birundasi ini nama dari gadis kecil, atau nama dari nenek tua yang sedang mengenang masa lalunya
2024-07-09
0
Ney
aku mampir
2023-12-15
1
emak mampir om blu.. emak lg berkenalan dgn Birundasih muda..
2023-09-24
3