NovelToon NovelToon

Birundasih

Ch. 1

Tubuh seorang wanita tua terbaring dingin seorang diri di kasurnya yang hangat. Jejak air mata mengering diantara jalur keriput yang memancar di sisi matanya yang terpejam rapat.

Aku bangkit. Duduk perlahan, mendapati jari kaki tuaku yang beku, dingin.

Birundasih muda, Birundasih cantik, tubuhnya diselimuti cahaya tipis keemasan. Ia turun dari kasur ke atas lantai keramik, berwarna putih dan berbintik-bintik abu-abu. Berdiri di sana menatap tubuh pucat dan kaku, Birundasih tua, terbaring tenang.

Hidup? Tidak mudah untuk menjelaskannya.

Sepuluh menit yang lalu putriku melepas dengan lembut tapi memaksa genggaman hangat tangan tuaku. Gadis itu harus mengejar waktu agar tidak terlambat untuk bekerja, ia telah duduk lebih dari satu jam di kursi putih, memegang erat dan mengusap lembut punggung tanganku selama kami berbincang-bincang, ia bercerita tentang akhir pekannya yang menyebalkan.

Gadis itu bilang, kucing tetangga kami kembali membuang kotoran di halaman rumah dan memecahkah pot lainnya saat ia meloncati tembok pembatas rumah mereka. Ia memaki sambil tertawa hingga wajahnya bersemu merah.

Sepaket, gadis itu juga memberikan kabar yang menggembirakan untuk aku dengar, seorang kerabat yang lama dirindukan akan datang berkunjung dan akan menetap untuk beberapa hari di sini. Jari-jariku bergerak dalam genggaman gadis itu. Segaris senyuman terukir di wajahku, itu yang aku paksakan, tapi sepertinya belum berhasil, gadis itu terus bercerita tentang hal-hal kecil lainnya.

Sudah seminggu aku tidak lagi berbicara, bibirku sulit untuk digerakkan dan lidahku kelu. Tubuhku tidak terisi tenaga. Tapi aku bersyukur untuk mata dan telinga yang masih berfungsi dengan cukup baik. Dan gadis itu sangat mengerti bahwa aku sangat suka mendengar dan bercerita. Itu kebiasaan kami.

Aku enggan melepas genggaman tangan saat gadis itu mulai berpamitan seperti biasa. Ia bekerja di sebuah toko bunga sederhana. Sebagai pegawai ia telah terjadwal. Biasanya, aku tidak pernah berkeberatan untuk ditinggal sendirian.

Beberapa jam sebelum makan siang biasa aku habiskan untuk menatap langit-langit kamar dan mendengarkan suara-suara dari luar jendela. Itu sudah cukup untuk membuatku tetap tenang menunggu gadis itu kembali datang dan menyuapiku makan siang. Namun pagi ini, aku tidak rela.

Setelah gadis itu pergi, rasanya terlalu banyak kata-kata yang ingin aku sampaikan. Banyak cerita.

Seperti....

Masa kecilku.

Aku seorang gadis berusia sepuluh tahun, memiliki ayah dan ibu, kakak beradik, bahwa mereka saling mencintai. Bermain lompat tali atau saling bertukar pakaian dan terkadang bertengkar untuk berebut tempat duduk di meja makan.

Semua ingatan berjalan melompat-lompat indah seperti kuda poni kecil yang menari dalam benakku.

Ibu, dengan rambut bergelung tinggi, baju bercorak cerah selutut yang ia kenakan seperti seragam harian, bergerak gesit di dapur kecil mereka. Menyiapkan sarapan untuk setiap orang.

Ayah, menunggu dengan tenang di kursi terujung meja makan. Menyeruput pelan-pelan teh dari cangkirnya. Anak-anak datang dan duduk satu persatu. Dengan tenang dan dengan Sedikit keributan. Pria yang selalu tersenyum, satu, dua, tiga dan empat, lima, enam ciuman untuk pipinya sebelum sarapan di mulai.

Ritual cinta dalam keluarga. Ritual yang pada waktunya dipaksa berhenti, tumbuh dan berubah. Tawa yang bertukar dengan tangis, pelukan dan lambaian.

Aku menyimpan lama untuk dapat menceritakan ulang di hari lainnya, pada si gadis atau pada siapapun yang berkenan mendengarkan. Salah satu alasan mengapa ada kerinduan untuk bertemu.

Ch. 2

"Aku tidak istimewa, aku yakin akan hal ini. Aku adalah orang biasa dengan pemikiran yang sama, dan aku telah menjalani kehidupan yang sama. Tidak ada monumen yang didedikasikan untukku dan namaku akan segera dilupakan, tetapi aku mencintai sekali lagi dengan sepenuh hati dan jiwaku, dan bagiku, ini selalu 'sudah cukup'."

Orang romantis menyebutnya kisah cinta, orang sinis menyebutnya tragedi. Dalam pikiranku itu sedikit dari keduanya, dan tidak peduli bagaimana orang lain memilih melihat, pada akhirnya... tidak mengubah fakta bahwa itu melibatkan hidupku, jalan yang telah aku pilih untuk aku ikuti.

Sayangnya, waktu tidak membuatnya mudah untuk tetap berada di jalur. Jalannya lurus seperti biasa, tapi sekarang dipenuhi bebatuan dan kerikil yang menumpuk. Sampai dua tahun yang lalu hal itu mudah untuk diabaikan, tetapi sekarang tidak mungkin. Ada penyakit yang menggelinding di tubuhku. Aku tidak kuat atau sehat, dan hari-hariku dihabiskan seperti balon pesta lama... lesu, kenyal, dan semakin lembut seiring waktu.

Aku meletakkan kacamata di atas meja sejenak sambil membuka buku catatan. Butuh dua jilatan di jariku yang keriput untuk membuka sampul yang sudah usang ke halaman pertama. Dan memakai kacamataku.

Orang-orang mungkin akan menyebutku pemimpi atau orang bodoh atau hal lainnya karena aku percaya bahwa segala sesuatu mungkin untuk terjadi.

Aku menyadari peluang, dan sains, melawanku. Tapi sains bukanlah jawaban total. Ini aku tahu, ini telah aku pelajari dalam hidupku. Dan itu membuatku berkeyakinan bahwa keajaiban, tidak peduli seberapa sulit dijelaskan atau tidak dapat dipercaya, adalah nyata dan dapat terjadi tanpa memperhatikan tatanan alam.

Jadi sekali lagi, seperti yang aku lakukan setiap hari, aku mulai membaca buku catatan itu dengan keras, sehingga dia dapat mendengarnya, dengan harapan keajaiban yang telah mendominasi hidupku akan menang lagi.

Dan mungkin, mungkin saja, itu akan terjadi.

Saat itu awal Januari dan Sugi Sugiono menyaksikan matahari yang memudar tenggelam lebih rendah dari teras rumahnya yang bergaya sederhana. Dia suka duduk di sini pada malam hari, terutama setelah bekerja keras sepanjang hari, dan membiarkan pikirannya berkelana tanpa arah sadar. Begitulah cara dia bersantai, rutinitas yang dia pelajari dari ayahnya.

Dia sangat suka melihat pepohonan dan pantulannya di sungai. Pepohonan di tepi Situ Gintung selalu indah di sore atau pagi hari, hijau, kuning, sebagian menjadi merah dan jingga. Warna-warna itu akan semakin mempesona kala diterpa cahaya matahari, tak pernah jenuh meski memandanginya untuk keseratus kalinya. Sugi Sugiono bertanya-tanya apakah pemilik asli rumah menghabiskan malam mereka memikirkan hal yang sama.

Rumah itu dibangun pada tahun 1902, menjadikannya salah satu rumah tertua dan terbesar di pinggiran Situ. Awalnya itu adalah rumah utama di sebuah perkebunan yang luas dan ayah Sugi Sugiono membelinya tepat setelah perang berakhir dan kemudian menghabiskan beberapa bulan dan sedikit uang untuk memperbaikinya.

Reporter dari surat kabar lokal telah membuat artikel tentang rumah itu beberapa kali dan rata-rata mereka mengatakan itu adalah salah satu restorasi terbaik yang pernah dilihat. Setidaknya rumah itu. Properti yang tersisa adalah cerita lain, dan di situlah dia menghabiskan sebagian besar hari.

Rumah itu berdiri di atas tanah seluas dua setengah hektar yang berdekatan dengan Situ Gintung, dan Sugi telah mengerjakan pagar kayu yang melapisi tiga sisi properti lainnya, memeriksa dengan cermat pagar-pagar kayu itu jika saja busuk, kering atau rayap, mengganti tiang jika perlu. Dia masih memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, terutama di sisi barat.

Dia masuk ke dalam rumah, minum segelas teh manis, lalu mandi. Dia selalu mandi di penghujung hari, airnya membasuh kotoran dan kelelahan.

Setelah itu dia menyisir rambutnya ke belakang, mengenakan jins pudar dan kemeja biru lengan panjang, menuang segelas teh manis untuk dirinya sendiri, dan pergi ke beranda, tempat dia sekarang duduk, tempat dia duduk setiap hari saat senja.

Dia merentangkan tangannya di atas kepala, lalu ke samping, memutar bahunya saat dia menyelesaikan rutinitasnya. Dia merasa baik dan bersih sekarang, segar. Otot-ototnya lelah dan dia tahu dia akan sedikit sakit besok, tetapi dia senang dia telah mencapai sebagian besar dari apa yang ingin dia lakukan.

Sugi meraih gitarnya, mengingat ayahnya saat itu, memikirkan betapa dia merindukannya. Dia memetik sekali, menyesuaikan ketegangan pada dua senar, lalu memetik lagi. Kali ini kedengarannya benar, dan dia mulai bermain. Musik lembut, musik tenang. Dia bersenandung sebentar pada awalnya, lalu mulai bernyanyi saat malam tiba di sekelilingnya. Dia bermain dan bernyanyi sampai matahari hilang dan langit menjadi hitam.

Saat itu pukul tujuh lewat sedikit ketika dia berhenti, dan dia duduk kembali ke kursinya dan mulai bergoyang. Karena kebiasaan, dia melihat ke atas dan melihat Orion dan Biduk, Gemini dan Bintang Kutub yang menari-nari di langit Januari. Ah, Biduk! Sugi menegakkan punggungnya, ia menggunakan dua bintang mangkuknya untuk menemukan bintang emas terang Capella di konstelasi Auriga the Charioteer.

Dia mulai menghitung angka-angka di kepalanya, lalu berhenti. Dia tahu dia telah menghabiskan hampir seluruh tabungannya untuk merenovasi rumah dan harus segera mencari pekerjaan lagi, tetapi dia menyingkirkan pikiran itu dan memutuskan untuk menikmati sisa bulan pemulihan tanpa mengkhawatirkannya. Itu akan berhasil baginya, dia tahu itu selalu terjadi. Lagi pula, memikirkan uang biasanya membuatnya bosan.

Sejak awal, dia belajar menikmati hal-hal sederhana, hal-hal yang tidak bisa dibeli, dan dia kesulitan memahami orang-orang yang merasa sebaliknya. Itu adalah sifat lain yang dia dapatkan dari ayahnya.

Cemong, seekor kucing persilangan Persia dan kucing lokal, mendatanginya dan mencium tangannya sebelum berbaring di kakinya.

"Hei, gadis, bagaimana kabarmu?" dia bertanya sambil menepuk kepalanya, dan dia merengek pelan, matanya yang bulat lembut menatap ke atas. Sebuah kecelakaan mobil telah merenggut kakinya, tetapi dia masih bergerak cukup baik dan menemaninya di malam-malam yang tenang seperti ini.

Sugi berumur tiga puluh dua sekarang, tidak terlalu tua, tapi cukup tua untuk kesepian. Dia belum pernah berkencan sejak dia kembali ke sini, belum pernah bertemu dengan siapa pun yang tertarik padanya. Itu adalah kesalahannya sendiri, dia tahu.

Ada sesuatu yang menjaga jarak antara dia dan wanita mana pun yang mulai dekat, sesuatu yang dia tidak yakin bisa dia ubah bahkan jika dia mencobanya. Dan terkadang di saat-saat tepat sebelum tidur tiba, dia bertanya-tanya apakah dia ditakdirkan untuk sendirian selamanya.

Malam berlalu, tetap hangat, menyenangkan. Sugi mendengarkan jangkrik dan gemerisik dedaunan, berpikir bahwa suara alam lebih nyata dan membangkitkan lebih banyak emosi daripada hal-hal seperti mobil dan pesawat. Hal-hal alami memberi kembali lebih dari yang mereka ambil, dan suara mereka selalu membawanya kembali ke cara manusia seharusnya.

Ada saat-saat selama ia harus pergi meninggalkan rumah, terutama setelah pertunangan besar, ketika dia sering memikirkan suara-suara sederhana ini.

"Ini musik Tuhan dan itu akan membawamu pulang." Ucap ayahnya kala itu.

Ch. 3

Dia menghabiskan tehnya, masuk ke dalam, menemukan sebuah buku, lalu menyalakan lampu teras dalam perjalanan keluar. Setelah duduk lagi, dia melihat buku. Itu sudah tua, sampulnya robek, dan halaman-halamannya ternoda minyak dan air. Itu Sarinah yang ditulis oleh Sukarno, dan dia membawanya kemanapun ia pergi untuk waktu lama. Itu bahkan pernah menjadi bantal atau kursi pendek untuk waktu-waktu darurat.

Dia menggosok penutupnya, membersihkannya sedikit. Kemudian dia membiarkan buku itu terbuka secara acak dan membaca kata-kata di depannya.

"Saya namakan kitab ini Sarinah sebagai tanda terima kasih saya kepada pengasuh saya ketika saya masih kanak-kanak. Pengasuh saya itu bernama Sarinah. Ia 'mbok' saya... Dari dia, saya banyak mendapat pelajaran mencintai 'orang kecil'. Dia sendiri pun 'orang kecil', tetapi budinya selalu besar!"

Ir. Sukarno

Ini adalah jamu jiwa, penerbangan bebasmu ke dalam kesunyian, ia sepenuhnya muncul, diam, menatap, merenungkan tema yang paling ia sukai,

malam, tidur, kematian dan bintang-bintang.

Dia tersenyum pada dirinya sendiri. Untuk beberapa alasan Sukarno selalu mengingatkannya pada seseorang, dan dia senang dia kembali.

Meskipun Sugi telah pergi selama sebelas tahun, ini adalah rumahnya dan dia mengenal banyak orang di sini, sebagian besar dari masa remajanya. Itu tidak mengejutkan. Seperti banyak kota di selatan, orang-orang yang tinggal di sini tidak pernah berubah, mereka hanya bertambah tua.

Sahabatnya akhir-akhir ini adalah Aceng, pria berkulit coklat berusia tujuh puluh tahun yang tinggal di ujung jalan. Mereka bertemu beberapa minggu setelah Sugi kembali ke rumah itu, ketika Aceng muncul dengan minuman keras buatan sendiri dan rebusan jahe, dan keduanya menghabiskan malam perkenalan mereka bersama dengan sedikit mabuk dan bercerita.

Sekarang Aceng akan muncul beberapa malam dalam seminggu, biasanya sekitar pukul delapan. Dengan empat anak dan sebelas cucu di rumah, dia harus keluar rumah sesekali, dan Sugi tidak bisa menyalahkannya. Biasanya Aceng akan membawa harmonikanya, dan setelah mengobrol sebentar, mereka memainkan beberapa lagu bersama. Terkadang mereka bermain berjam-jam.

Sugi Sugiono menganggap Aceng sebagai keluarga. Benar-benar tidak ada orang lain, setidaknya sejak ayahnya meninggal tahun lalu. Dia adalah anak tunggal, ibunya meninggal karena influenza ketika dia berusia dua tahun, dan meskipun dia pernah menginginkannya, dia tidak pernah menikah.

Tapi dia pernah jatuh cinta sekali, itu yang dia tahu. Sekali dan hanya sekali, dan sudah lama sekali. Dan itu telah mengubah dirinya selamanya. Cinta yang sempurna melakukan itu pada seseorang, dan itu sempurna.

Awan perlahan mulai bergulung melintasi langit malam, berubah menjadi perak dengan pantulan bulan. Saat mereka menebal, dia menyandarkan kepalanya ke belakang. Menyandarkan dirinya di kursi goyang. Kakinya bergerak secara otomatis, mempertahankan ritme yang stabil, dan seperti yang dilakukannya hampir setiap malam, pikirannya melayang kembali ke malam yang hangat seperti ini enam belas tahun yang lalu.

Tepat menjelang kenaikan kelas, malam pembukaan Festival Musik Remaja. Kota itu penuh, menikmati jagung rebus dan permainan untung-untungan.

Malam itu lembab, untuk beberapa alasan dia mengingatnya dengan jelas. Dia tiba sendirian, dan saat dia berjalan melewati kerumunan, mencari teman, dia melihat Ron dan Eva, dua orang yang tumbuh bersamanya, berbicara dengan seorang gadis yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

Dia cantik, itu yang Sugi pikirkan dan ketika dia akhirnya bergabung dengan mereka, dia melihat ke arahnya dengan sepasang mata yang terus mencuri pandang. "Hai," sapanya singkat sambil mengulurkan tangan, "Ron sudah banyak bercerita tentangmu."

Awal yang biasa, sesuatu yang akan dilupakan jika itu adalah siapa pun kecuali dia. Tapi saat dia menjabat tangannya dan bertemu dengan mata hazel yang mencolok itu, dia tahu sebelum dia menarik napas berikutnya bahwa dialah yang bisa dia cari selama sisa hidupnya tetapi tidak akan pernah ditemukan lagi. Dia tampak sebagus itu, sesempurna itu, sementara angin musim panas bertiup melalui pepohonan.

Dari sana, angin bertiup seperti angin beliung. Ron mengatakan kepadanya bahwa dia menghabiskan liburan bersama keluarganya di Puncak karena ayahnya bekerja untuk perkebunan teh. dan meskipun dia hanya mengangguk, cara dia memandangnya membuat kesunyiannya tampak baik-baik saja.

Ron kemudian tertawa, karena dia tahu apa yang sedang terjadi, dan Eva menyarankan agar mereka membeli teh dalam kemasan kotak yang terkenal itu sebelum gerainya tutup, kemudian mereka berempat tinggal di festival sampai kerumunan orang menipis dan semuanya ditutup untuk malam itu.

Mereka bertemu keesokan harinya, dan lusa, dan mereka segera menjadi tak terpisahkan. Setiap pagi kecuali hari Minggu ketika dia harus pergi bersama keluarganya, dia akan menyelesaikan tugas-tugasnya secepat mungkin, lalu berjalan lurus ke perempatan, tempat dia menunggunya.

Karena dia pendatang baru dan belum pernah menghabiskan waktu di sudut kota sebelumnya, mereka menghabiskan hari-hari mereka melakukan hal-hal yang benar-benar baru baginya.

Dia mengajari gadis itu cara memberi umpan dan memancing ikan mujair di perairan dangkal dan mengajaknya menjelajahi hutan kecil di sisi danau. Mereka naik kano dan menyaksikan matahari terbenam dan baginya seolah-olah mereka sudah saling kenal.

Tapi dia belajar banyak hal juga. Di pesta dansa kota di Balai Bulat, dialah yang mengajarinya cara melenggang dan melakukan Charleston, dan meskipun mereka tersandung pada beberapa lagu pertama, kesabaran gadis itu terhadapnya akhirnya membuahkan hasil, dan mereka menari bersama sampai musik berakhir.

Dia mengantarnya pulang sesudahnya, dan ketika mereka berhenti di beranda setelah mengucapkan selamat malam, dia menciumnya untuk pertama kali dan bertanya-tanya mengapa dia menunggu selama itu.

Kemudian menjelang liburan usai dia membawa gadis itu ke rumah ini, melihat melewati kerusakan, dan mengatakan kepadanya bahwa suatu hari dia akan memilikinya dan memperbaikinya.

Mereka menghabiskan waktu berjam-jam membicarakan mimpi mereka, mimpinya melihat dunia, mimpinya menjadi seorang seniman dan pada malam yang lembab di bulan Agustus, mereka berdua kehilangan kendali untuk pertama kali. Ketika gadis itu pergi tiga minggu kemudian, dia mengambil sebagian dari dirinya dan sisa liburan bersamanya.

Dia memperhatikannya meninggalkan kota pada pagi hari yang hujan, melihat melalui mata yang tidak tidur malam sebelumnya, lalu pulang dan mengemasi tas. Dia menghabiskan minggu berikutnya sendirian di Situ Gintung.

Sugi menyisir rambutnya dan melihat arlojinya. Delapan dua belas. Dia bangkit dan berjalan ke depan rumah dan melihat ke jalan. Aceng tidak terlihat, dan Sugi mengira dia tidak akan datang. Dia kembali ke kursi goyangnya dan duduk lagi.

Dia ingat berbicara dengan Aceng tentang dia. Pertama kali dia menyebut-nyebutnya, Aceng mulai menggelengkan kepalanya dan tertawa.

"Jadi itu hantu yang selama ini kamu tinggalkan." Ketika ditanya apa maksudnya, Aceng berkata, "Kamu tahu, hantu, ingatan. Aku telah mengawasimu, bekerja siang dan malam, bekerja sangat keras sehingga kamu hampir tidak punya waktu untuk mengatur napas.

Orang melakukan itu karena tiga alasan . Entah mereka gila, atau bodoh, atau mencoba untuk melupakan. Dan bersamamu, aku tahu kamu sedang mencoba untuk melupakan. Aku hanya tidak tahu apa."

Dia memikirkan tentang apa yang dikatakan Aceng. Aceng benar, tentu saja. Situ Gintung dihantui sekarang. Dihantui oleh hantu ingatannya. Dia melihatnya di taman lily, tempat mereka, setiap kali dia lewat. Entah duduk di bangku atau berdiri di dekat gerbang, selalu tersenyum, rambut hitam menyentuh lembut bahunya, matanya bewarna hazel.

Ketika dia duduk di beranda pada malam hari dengan gitarnya, dia melihatnya di sampingnya, mendengarkan dengan tenang saat dia memainkan musik masa kecilnya.

Dia merasakan hal yang sama ketika dia pergi ke Toko Obat Koliong, atau ke teater Dua Puluh Satu, atau bahkan ketika dia berjalan-jalan di pusat kota. Ke mana pun dia memandang, dia melihat bayangannya, melihat hal-hal yang membuatnya hidup kembali.

Aneh, dia tahu itu. Dia dibesarkan di Situ Gintung. Menghabiskan tujuh belas tahun pertamanya di sini. Tapi ketika dia berpikir tentang Situ Gintung, dia sepertinya hanya mengingat musim libur yang lalu, musim libur saat mereka bersama. Kenangan lain hanyalah fragmen, potongan di sana-sini tentang tumbuh dewasa, dan sedikit, jika ada, yang membangkitkan perasaan apa pun.

Dia telah memberi tahu Aceng tentang hal itu pada suatu malam, dan Aceng tidak hanya mengerti, tetapi dia juga orang pertama yang menjelaskan alasannya. Dia hanya berkata, "Ayahku dulu mengatakan padaku bahwa pertama kali kamu jatuh cinta, itu mengubah hidupmu selamanya, dan tidak peduli seberapa keras kamu mencoba, perasaan itu tidak pernah hilang.

Gadis yang kamu ceritakan padaku ini adalah cinta pertamamu. Dan apa pun yang kau lakukan, dia akan tetap bersamamu selamanya."

Sugi menggelengkan kepalanya, dan ketika citranya mulai memudar, dia kembali ke Sarinah. Dia membaca selama satu jam, sesekali melihat ke atas untuk melihat Cemong dan tupai berlarian di dekat sungai.

Pukul sembilan tiga puluh dia menutup bukunya, naik ke kamar tidur, dan menulis di jurnalnya, termasuk pengamatan pribadi dan pekerjaan yang telah dia selesaikan di rumah itu. Empat puluh menit kemudian, dia tertidur. Cemong berjalan menaiki tangga, mengendusnya saat dia tidur, lalu mondar-mandir sebelum akhirnya meringkuk di kaki tempat tidurnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!