Am I Gonna Be Happy?
Felicia menatap kosong sang ibu yang baru saja dimakamkan. Ibunya baru saja meninggal kemarin karena perjuangannya melawan penyakit. Felicia tentunya tidak sendiri, dia ditemani oleh beberapa warga dan sepasang suami istri yang mendoakan ibunya agar tenang di alam sana. Jika ada yang menanyakan kenapa Felicia tidak menangis, maka perdebatan dalam pikiran Felicialah jawabannya. Felicia bingung apakah harus menangis atau tidak. Jika dia menangis, maka ibunya akan bersedih dan tidak akan tenang di alam sana. Namun, tak dapat dipungkiri jika hatinya sakit saat ditinggalkan sang ibu. Terlebih, saat sedang berjuang dalam rasa sakit.
Seorang wanita paruh baya berdiri di sebelah kiri Felicia. Wanita itu bernama Diana Arunika, sahabat dari mendiang ibunya. Beliau mengusap lengan kanan Felicia agar perasaan Felicia lebih baik. Meski Felicia tidak menangis, tapi dia tahu jika Felicia bersedih. Tidak ada anak yang tidak sedih saat kehilangan ibunya. Saat semua orang sudah mulai pulang, Felicia bersama sepasang suami istri itu masih setia berada di pemakaman.
“Nak Felicia, Tante mau pulang, kamu ikut Tante, ya?” tawar Diana.
Felicia menatap Diana dan menggelengkan kepalanya. “Maaf Tante, aku masih pengen di sini nemenin Mama. Karena Felicia gak ada di sisi Mama pas Mama meninggal, Felicia ingin menemaninya agar tidak sendirian.” Namun sebenarnya, itu hanyalah alasan agar dapat menolak tumpangan dari Diana dan suaminya. Dia sebenarnya tidak ingin merepotkan sepasang suami istri itu.
Diana menatap sendu Felicia. “Ya udah, Tante sama Om pulang dulu, ya. Kalo kamu butuh sesuatu, jangan sungkan untuk bilang ke Tante.”
Felicia mengangguk. “Makasih, Tante.”
Diana dan suaminya meninggalkan pemakaman dan pulang ke rumahnya. Sementara Felicia masih berdiri sendirian di hadapan makan ibunya. Hari sudah sore dan sudah mau hujan. Cuaca seolah mendukung suasana sedih yang dialami oleh Felicia sore ini. Air mata pun mulai menggenang di mata Felicia hingga menetes ke pipi bulat Felicia. Tangisan pun akhirnya meledak tanpa terkendali. Tangisan yang menjadi saksi atas perginya sang ibu. Tangisan itu akan menjadi tangisan terakhirnya. Setelah itu, Felicia tidak akan menangis lagi.
“Maafin Felicia, Ma. Felicia belum bisa bahagiain Mama hiks ... Felicia harap, Mama bahagia sama Papa di sana.” Felicia mengusap batu nisan yang bertuliskan nama sang ibu.
“Felicia pergi dulu ya, Ma. Nanti Felicia datang lagi.” Felicia bangkit dari posisi jongkoknya dan meninggalkan pemakaman.
Felicia menaikki sepedanya dan pulang menuju rumah. Setibanya di rumah, semuanya tak sama lagi. Tidak ada lagi kehangatan yang dirasakan saat sang ibu menyambutnya pulang dengan senyuman. Kini hanya rasa sepi yang menemaninya di rumah sederhana itu. Felicia membersihkan dirinya dan mengganti pakaiannya dengan baju tidur bergambar beruang.
Keesokan harinya, Felicia terburu-buru menaikki sepedanya dan membawa sepeda itu dalam kecepatan tinggi. “Ya Tuhan, tolonglah aku kali ini.” Hari ini seharusnya Felicia bekerja di sebuah kafe.
Saat tiba di kafe, Felicia telah disambut oleh owner kafe itu sendiri. Owner kafe itu menatapnya sangat tajam bagai ingin menguliti tubuhnya. “Ikut ke ruanganku!”
Dengan raut wajah takut, Felicia mengikuti owner kafe itu ke ruangannya. Setibanya di ruangan, owner itu membalikkan tubuhnya. “Sudah berapa kali kamu terlambat, Felicia?!” tanya owner itu dengan ketus.
“Ma-maafkan saya Bu, sa-saya tidak bermaksud telat. Ta-tadi....” Felicia tidak menyelesaikan ucapannya karena bingung ingin mengatakan apa. Felicia akui jika dia beberapa kali telat. Namun, itu bukan alasan bagi pemilik kafe itu untuk tidak memarahinya. Kedisiplinan dalam bekerja adalah hal yang paling utama.
Owner kafe itu mendengkus. “Saya tidak mau tahu, mulai besok tidak perlu datang lagi! Kamu saya pecat!”
“Ta-tapi Bu, kalau saya dipecat, saya harus makan apa?” tanya Felicia sedikit terbata.
“Itu urusan kamu, bukan urusan saya! Kenapa nanya saya?! Mestinya kamu pikirkan sendiri, dong! Lagian, kalo kamu gak sering telat kan kamu masih bisa kerja di sini!”
Felicia pun menunduk. “Saya mohon Bu, tolong kasih saya kesempatan sekali lagi,” pinta Felicia dengan kedua tangan menyatu. Bahkan, Felicia berlutut di kaki owner kafe itu. “Saya tahu, saya beberapa kali telat kerja. Tapi, saya menutupi kesalahan saya dengan kinerja saya yang rapi, seperti yang anda mau. Tolong, izinkan saya kerja di sini. Setidaknya sampai saya mendapatkan pekerjaan baru.”
Owner kafe itu melipat kedua tangannya dan menatap jengkel pada Felicia. “Mau kamu kerja rapi sekalipun, tetep gak bisa meluluhkan saya! Pergi kamu dari sini! Kalau kamu gak pergi, saya akan panggil security buet ngusir kamu! Security!!!!”
Felicia langsung bangkit berdiri. “Baik, saya akan pergi, Bu. Terima kasih karena sudah mau menerima saya kerja di sini. Maaf karena sering mengecewakan anda. Saya permisi.” Akhirnya, Felicia pun keluar dari ruangan pemilik kafe dan meninggalkan kafe yang menjadi tempatnya bekerja selama 3 tahun. Langkah Felicia gontai menuju sepedanya dan dengan kaki yang lemas, Felicia menaikki sepedanya.
Ayunan sepeda tersebut terasa berat di kakinya. Hidupnya seakan-akan tidak berarti apapun saat ini. Felicia telah kehilangan ayahnya sejak kecil, kehilangan ibunya kemarin dan sekarang? Dia kehilangan pekerjaannya. Air matanya kembali keluar mengalir di kedua sisi wajahnya. Baru saja kemarin Felicia berjanji jika kemarin adalah tangisan terakhirnya. Namun, dengan mudahnya Felicia mengingkari janjinya itu. ‘Mengapa Engkau tidak mencabut nyawaku sekalian, Tuhan?’ tanyanya dalam hati.
“Pa, kok perasaan Mama gak enak, ya?” tanya Diana.
“Mungkin cuma perasaan kamu aja, Ma,” ujar suami Diana yang bernama Jack.
“Semoga gak terjadi sesuatu yang membahayakan ya, Pa,” harap Diana.
“Berpikirlah dengan positif, Ma. Felicia pasti baik-baik saja.” Entah kenapa, Jack tiba-tiba menyebut nama Felicia.
“Sampai sekarang Mama belum tahu kabar Felicia, Pa. Mama khawatir kalau dia masih berkabung atas kematian mamanya.”
Jack mengusap bahu istrinya, mencoba mengurangi keresahan istri. “Berkabung sudah pasti, Ma. Tidak ada anak yang tidak sedih di saat kehilangan ibunya. Sejak kecil, Felicia belum pernah merasakan figur seorang ayah. Hanya
bisa diwakilkan oleh ibunya. Namun sekarang, Felicia harus kehilangan sosok ibunya yang sudah menemaninya beberapa tahun. Tapi Mama tenang aja, Papa yakin kalau Felicia itu anak yang kuat.”
Diana mengangguk dengan tatapan sendunya. “Mama tahu kalo Felicia anak yang kuat. Mama harap kalo Felicia akan menjadi jodoh untuk anak kita.”
“Soal itu, biarkan Tuhan yang berkehendak.”
“Ma!” panggil seorang pemuda.
“Ada apa, sayang?” tanya Diana pada putranya.
“Tolong lihat TV sekarang!” Pemuda yang bernama Aditya itu berteriak. Tatapannya nampak khawatir sekarang.
Rasa tidak tenang itu kembali dirasakan Diana. Diana lantas segera berlari menuju ruang televisi diikuti suaminya. TV itu menayangkan wajah buram seorang gadis yang terbaring di atas kasur dorong.
“Pa! Itu Felicia!!!” teriak Diana. Meski wajah Felicia diburamkan, Diana masih bisa mengenali Felicia.
“Ah yang benar, Ma? Mungkin kebetulan mirip kali,” ujar Jack tidak percaya.
“Beneran Pa, itu Felicia!” Mata Diana tampak berkaca-kaca.
Tak lama kemudian, ponsel Diana berbunyi. Dengan buru-buru, Diana langsung mengangkat panggilan tersebut. “Halo.”
“Halo, bisa saya berbicara dengan Ibu Diana?” tanya orang yang menghubungi Diana.
“Iya, dengan saya sendiri. Ada apa, ya?" Dahi Diana berkerut saat menjawab pertanyaan yang menghubunginya.
“Begini, Nona Felicia saat ini berada di rumah sakit karena kecelakaan. Mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya hingga membuatnya terbentur dengan
keras.”
“Apa??? Lalu, bagaimana dengan Felicia sekarang?!” Keterkejutan yang menyerang Diana berhasil membuat Diana mengeraskan suaranya.
“Nona Felicia saat ini membutuhkan donor darah. Tadi, saya menghubungi ibunya, tapi tidak dijawab. Untuk itu saya menghubungi anda karena nama anda berada di kontak ponselnya.”
“Kalau begitu, saya segera ke sana sekarang juga, terima kasih sudah mengabari saya.” Diana langsung mematikan panggilan tersebut dan mengajak suami serta putranya ke rumah sakit. “Pa, antar Mama ke rumah sakit sekarang juga. Felicia kecelakaan!”
“Apa??? Jadi benar yang ada di berita???” tanya Jack terkejut. “Kok bisa???”
“Udah gak ada waktu lagi, Pa! Ayo kita ke rumah sakit sekarang! Aditya, kamu juga ikut! Kita udah gak punya banyak waktu!” Diana keluar mansion meninggalkan kedua pria berbeda usia itu dengan keadaan melongo.
“Kita ke rumah sakit sekarang Aditya, ayo!” Kini, Jack pun ikut terburu-buru menyusul istrinya, disusul dengan Aditya yang menutup pintu mansion mereka.
Jack menyalakan mobil dan tanpa memanaskan mobil, Jack melajukan mobil itu dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Yuni Ayu Izma
Kuy novel Balu nih, mampir dulu ah, sekali up udh 6 bab😅
2022-11-27
0