“Ma, kenapa sih kamu gak suka sama kekasih Adit? Apa yang salah sama dia?” tanya Jack menginterupsi.
Diana yang duduk di sebelah ranjang Felicia pun menghela napasnya. “Karena dia bukan gadis baik buet anak kita.”
“Memangnya, tau dari mana kalo gadis itu bukan gadis baik, Ma? Papa harap kamu gak asal nuduh, kalo sampai Adit denger, dia pasti marah.” Jack takut jika sang istri salah menilai orang.
“Ada kok buktinya, nanti kalo Felicia udah dibolehin pulang, Mama tunjukkin buktinya,” ujar Diana acuh.
Jack yang mendengar itu merasa penasaran dan kembali bertanya, “Kenapa gak sekarang aja, Ma?”
Diana berdecak kesal. “Karena aku mau fokus sama kesembuhan Felicia dulu, Pa. Lagian, aku mau Adit juga ngeliat sifat buruk kekasihnya itu.”
“Kalo gitu, kenapa gak sekarang aja sih, Ma? Bukannya lebih cepat lebih ya?” Jack bertanya lagi hingga membuat Diana menatap tajam dirinya. Seketika itu, Jack membungkam mulutnya.
“Nanya sekali lagi, kamu tidur aja diluar!” ancam Diana yang membuat Jack meneguk berat salivanya.
“I-iya Ma, a-aku gak bakal nanya lagi, jangan suruh aku tidur diluar, ya. PLease…,” ujar Jack terbata, lalu terkekeh ketakutan. Istrinya itu benar-benar menakutkan jika marah, kalau Adit disuruh putus sama kekasihnya itu, pasti langsung nurut. Setidaknya, begitulah yang ada di pikiran Jack.
“Ngh…,” lenguh Felicia membuat suami istri itu menatap Felicia. Tak lama kemudian, Felicia terlihat kesulitan bernapas. Tubuh Felicia mulai mengejang hingga terdengar suara detak jantung tidak yang tidak karuan dari monitor.
“Felicia, sayang, kamu kenapa?” tanya Diana khawatir. Refleks tangannya menangkup wajah Felicia. “Pa!!! Cepet panggil dokter!!!” Saking paniknya, Diana lupa jika ada tombol di atas kepala Felicia, melainkan memerintahkan suaminya untuk memanggil dokter.
Jack mengangguk dan keluar dari ruangan Felicia untuk memanggil Dokter. Tak lama kemudian, Dokter datang bersama beberapa perawat, membawakan tabung oksigen dan defibrillator. Dokter tersebut memasangkan masker oksigen di wajah Felicia dan membuka pakaian Felicia di bagian dada. Dokter itu mulai menempelkan defibrillator
itu ke dada Felicia hingga membuat tubuh Felicia tersentak ke atas.
“Pa, Dokter kok lama sekali, ya?” Rasa khawatir masih memuncak tatkala mengingat tubuh Felicia yang mengejang.
“Sst ... sabar Ma, lagian ini belum lama kok, kan kita baru keluar. Jadi, kita harus nunggu sampai dokternya selesai periksa keadaan Felicia.”
“Tapi, Pa—” Sebelum menyelesaikan perkataannya, Jack sudah memotongnya terlebih dahulu.
“Jangan khawatir, Ma, Felicia pasti baik-baik aja. Keadaan itu memang sering dialami pasien kebanyakan, Ma.” Jack mengusap kedua lengan Diana. Entah sudah berapa kali Diana mengkhawatirkan Felicia hari ini.
Tak disangka juga, kali ini Diana berhasil tenang karena perkataan sang suami. “Hn, terima kasih Pa, Papa sabar banget ngadepin sikap khawatir Mama yang berlebihan.”
Jack tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Ma, wajar bagi seorang ibu untuk merasa khawatir seperti itu.”
Diana mengangguk menanggapi perkataan suaminya. Kini, Diana menyandarkan kepalanya pada bahu tegap sang suami. ‘Felicia, jangan tinggalkan Mama, Nak. Mama sayang sama kamu,’ ucap Diana dalam hatinya.
Di Kantin Rumah Sakit, Aditya menggenggam tangan kiri Maria yang menganggur, sementara tangan kanan Maria menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. “Sayang, kapan kamu mau jawab lamaran aku?”
Maria mengerucutkan bibirnya. “Aku belum tau, Dit … jadwal aku padet banget. Tapi, kalo udah gak padet, aku pasti bakal kasih kamu jawaban. Kamu bersabar ya.”
Adit menatap sedih makanan di hadapannya. “Kamu gak bisa gitu ngambil cuti untuk nikah?”
Maria menggelengkan kepalanya. “Maaf Dit, aku gak bisa. Ini mimpi aku dan aku gak bisa berhenti gitu aja. Apalagi rejeki aku datengnya dari model.”
“Tapi kan, aku bisa mencukupi kebutuhan kamu pas nikah nanti,” ujar Adit.
Maria menatap sendu Adit karena merasa bersalah. Setahun yang lalu, Adit sudah melamar dirinya untuk menikah dengannya dengan romantis. Tapi, pekerjaannya sebagai model sangat dipertaruhkan. Maria takut jika dia mengiyakan lamaran Adit, agensi tempatnya bekerja bisa memecat dirinya lantaran tidak profesional.
Maria menunduk sebentar, lalu kembali berkata, “Tapi kan, kita belum nikah, jadi aku masih harus mencukupi kebutuhan aku sendiri. Toh, selama kita udah nikah, aku juga gak bisa bermalas-malasan dan berpangku tangan sama kamu.”
Adit yang mendengar perkataan Maria pun terenyuh. “Aku beruntung dicintai sama kamu, Mar. Kamu cewek mandiri dan tangguh, gak ada yang bisa ngalahin kamu.” Tiba-tiba, sekelebat ingatan akan gadis bisu yang ingin bunuh diri terlintas di pikirannya. Aksi nekat gadis bisu itu dijadikannya alasan untuk membandingkannya dengan kekasihnya.
Maria tersenyum tersipu mendengar pujian Adit. “Makasih karna kamu udah mau muji aku. Tapi, untuk sekarang aku belum bisa menjawab. Aku gak mau kamu ngerasa kalo aku lebih mentingin kerjaan dari pada kamu pas nikah nanti.”
Adit menggelengkan kepalanya. “Aku janji sama kamu, pas nikah nanti aku gak bakal ngehalangin karir kamu.”
“Aku tau, kamu pasti ngertiin aku, Adit. Tapi aku maunya punya waktu di rumah untuk kamu, untuk anak kita nanti. Lagian, aku berencana berhenti dari kerjaan aku pas kita nikah nanti. Kamu cuma perlu bersabar, ya,” ujar Maria mencoba meyakinkan.
Adit yang mendengar perkataan Maria pun terharu. Adit menangkup wajah sebelah kiri Maria. “Kamu baik banget, sayang. Kalo gitu, kita akan langsung nikah kalo jadwal kamu gak padet lagi.”
Maria mengangguk. “Janji sama aku, Dit, kamu jangan selingkuh.” Maria menatap tajam pada Adit.
Adit mengangkat kedua tangannya karena tatapan tajam Maria yang menakutkan. “Aku janji, kamu bisa pegang janji aku. Udah dong, jangan lihat aku kayak gitu. Kamu udah kayak mama aku aja, tau….”
Maria melunakkan tatapan tajamnya dan terkekeh. “Hehe … maafkan aku sayang, ya udah aku pegang janji kamu. Aku juga berjanji, aku gak bakal selingkuh dari kamu.”
“Aku juga bakal pegang janji kamu, Mar.” Adit menyodorkan kelingkingnya pada Maria dan dibalas oleh Maria, tanda mereka saling berjanji satu sama lain.
Felicia terbangun di sebuah taman. Taman tersebut dipenuhi dengan bunga matahari, taman kesukaan Felicia. Bibirnya bergerak. “Di mana aku?” Setelah bertanya demikian, Felicia tersentak. “Suaraku? Apa suaraku udah kembali?” tanya Felicia entah pada siapa.
“Felicia.” Suara yang lembut layaknya seorang ibu memanggil Felicia, membuat sang empu menoleh ke belakang. Tatapan matanya berbinar saat melihat orang yang amat dikenalinya. “Mama!!!” Felicia memanggil ibu kandungnya dengan suara yang ceria dan berlari ke arah wanita tersebut. Felicia memeluk dengan erat tubuh sang ibu. Rindunya akan sang ibu sangatlah besar, terlebih sang ibu meninggal sebelum mengucapkan selamat tinggal padanya.
Wanita tersebut adalah ibu kandung Felicia yang baru saja meninggal. “Felicia.” Mata wanita itu nampak berkaca-kaca, kedua tangannya melingkar di tubuh Felicia untuk membalas pelukan sang anak. “Maafin Mama, Nak … Mama gak sempet ngucapin selamat tinggal sama kamu.”
Felicia terisak dan menggeleng dalam pelukan ibunya. “Hiks … Felicia yang harusnya minta maaf, Ma … Felicia yang gak ada di sisi Mama di saat Mama perlu.”
“Hei, jangan salahkan diri kamu, Nak. Mama ngerti saat itu kamu lagi sibuk kerja. Maafin Mama ya, Mama udah ngebebani kamu karena penyakit Mama,” ucap sang ibu.
“Enggak Ma, Mama gak salah. Kalo Tuhan berkehendak, penyakit bisa dateng kapan aja dan Felicia juga gak merasa terbebani, Ma. Jadi, Mama gak usah nyalahin diri Mama sendiri, ya. Semuanya udah takdir Tuhan. Meskipun berat, Felicia akan mengiklaskan kepergian Mama.” Kata-kata Felicia berhasil membuat sang ibu terharu.
“Mama gak nyangka kamu udah sebesar ini, Felicia. Padahal, Mama ngerasa baru aja ngelahirin kamu, nyusuin kamu, nyekolahin kamu … sekarang, kamu udah mau nikah aja,” goda sang ibu yang membuat wajah Felicia merona.
“Mama apaan sih, masa aku udah mau nikah? Pacar aja belum ada.” Suasana yang tadinya haru berganti dengan sedikit tawa karena godaan sang ibu.
Sang ibu terkekeh. “Hehehe, iya juga ya. Umur kamu aja masih muda. Ya udah, jalani aja secara perlahan, iklaskan kepergian Mama, dan jaga diri kamu baik-baik, ya.” Tak lama kemudian, cahaya di sekujur tubuh sang ibu mulai bersinar hingga menyilaukan mata.
“Ma, Mama udah mau pergi?” tanya Felicia. Raut wajah yang tadinya ceria kini kembali mendung.
Sang ibu mengangguk. “Maaf, Mama gak bisa lama-lama di sini. Mama harus pergi ke tempat Papa kamu. Sekali lagi, iklaskan kepergian Mama, ya.”
“Tapi Ma, aku kan masih mau sama Mama lebih lama lagi,” ujar Felicia dengan tatapan memelas.
Tatapan sang ibu menyendu. “Maaf sayang, Mama gak bisa. Ini waktunya Mama pergi, Mama dateng ke sini untuk minta maaf sekaligus mengucapkan selamat tinggal. Bye, Felicia.”
“Ma,” panggil Felicia. Tubuh sang ibu menghilang sepenuhnya. Rasa sedih itu kembali muncul di hati Felicia. “Aku janji, aku akan mengiklaskan kepergian Mama, supaya Mama bahagia sama Papa di atas sana.” Felicia tersenyum menatap cerahnya langit. “Selamat tinggal Ma, Pa, Felicia sayang sama kalian. Kalo udah waktunya, Felicia berharap bisa ketemu Papa sama Mama lagi.” Senyuman Felicia semakin lebar dan tangannya pun melambai ke arah langit.
TBC
Kalo diperhatiin, ceritaku kebanyakan dialognya dibandingkan narasinya. Maaf ya, teman-teman. See you on the next chapter.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments