Jack dan Diana menunggu dengan cemas keadaan Felicia, terutama Diana yang terlihat sangat khawatir. “Pa, Mama takut kalo Felicia bener-bener nekat untuk ngakhiri hidupnya.”
“Tenang Ma, tadi kan anak kita udah nyusul Felicia, Felicia pasti baik-baik aja.” Jack mengusap lengan istrinya.
“Tapi Pa, perasaan ini gak tenang kalo Felicia belum sampai sini.” Diana berkata sambil menepuk-nepuk dadanya. Yah, rasa khawatir itu seakan membuat dada Diana sakit.
“Papa ngerti perasaan Mama, tapi Papa yakin kalo Felicia aman bersama Aditya. Mereka pasti lagi menuju ke sini.” Jack berusaha menenangkan Diana agar Diana berpikir lebih positif.
“Memangnya, kenapa Papa yakin sekali kalo Felicia sama Aditya bakal ke sini?” tanya Diana penasaran.
“Jack tersenyum. “Firasat Papa yang bilang.”
“Pa, Ma,” Suara yang memanggil membuat Jack dan Diana menoleh.
“Tuh, aku bilang juga apa, Ma? Mereka baik-baik aja, kan?” bisik Jack membuat Diana malu karena khawatirnya yang berlebihan.
“Iya Pa, Papa bener.” Diana berjalan terlebih dahulu menghampiri Felicia dan memeluk Felicia.
“Oh Felicia, Mama seneng banget kamu baik-baik aja. Jangan bikin kami khawatir lagi, ya….” Air mata turun ke wajah Diana. Diana memeluk erat Felicia seakan takut kehilangan.
Ingin sekali rasanya Felicia meminta maaf, tapi keadaannya sendiri membuatnya tidak bisa melakukan itu. Felicia turut membalas pelukan Diana yang terasa hangat. ‘Seperti pelukan ibu,’ kata Felicia dalam hati.
Diana melepaskan pelukannya dan menangkup kedua wajah Felicia. “Janji sama Mama kalo kamu gak bakal nekat lagi.” Diana menatap tegas Felicia.
Felicia memiringkan kepalanya. Bibirnya bergerak untuk mengucapkan sesuatu. “Mama?”
Diana mengangguk, seolah mengerti gerak bibir Felicia. “Iya, kamu harus panggil aku Mama, oke?”
Felicia terdiam sebentar, lalu mengangguk. Bibirnya kembali bergerak untuk memanggil Diana mama.
“Mulai sekarang, kamu adalah putri Mama. Udah lama banget Mama pengen punya anak perempuan. Sekarang udah kesampaian, makasih ya Felicia.” Diana kembali memeluk Felicia dan kali ini dibalas oleh Felicia.
Felicia mengangguk dalam pelukan ibu barunya. Tanpa mereka sadari, dua pria berbeda usia itu menatap haru pada kedua wanita di hadapan mereka. “Adit, sepertinya kamu bakalan punya adik cewek.” Jack berkata pada putranya.
Adit menatap sang ayah, lalu kembali menatap sang ibu yang masih berpelukan dengan Felicia. “Kalo Mama seneng dengan punya anak perempuan, kenapa enggak? Aku seneng melihat Mama bahagia. Lagian, Mama pasti kesepian kalo gak ada anak perempuan. Apalagi, kita sebagai lelaki sibuk bekerja, Pa.”
Jack menatap putranya dan menghela napasnya. “Kamu benar, kita jarang punya waktu luang buat nemenin Mama. Selama ini, Mama gak punya temen buet diajak ngobrol selain temen arisannya di rumah.”
Aditya kembali menatap sang ayah dan berkata, “Kenapa Papa sama Mama gak bikin anak lagi dulu?”
Mendengar pertanyaan Aditya, Jack menundukkan kepalanya. Dia merasa malu dan sedih di saat yang bersamaan. “Mungkin, ini waktu yang tepat buet cerita sama kamu, Dit. Mama divonis gak bisa punya anak lagi sehabis ngelahirin kamu. Makanya Papa sama Mama gak berencana buet ngasih adek buet kamu.”
Aditya ber oh ria, mendengar perkataan Jack tentu membuatnya sedih. Tapi sekarang, dia tidak boleh bersedih karena mamanya sudah bahagia. Dia akan memiliki adik baru yang akan menemani mamanya seharian di rumah. “Aku harap, Mama terus bahagia ya, Pa.”
Jack tersenyum. “Papa harap juga demikian.”
“Papa!!! Adit!!! Cepat kemari!!!” Teriakan Diana menyentak Jack dan Aditya.
Jack dan Aditya segera mendekati sang ibu. “Ada apa, Ma?” tanya Jack khawatir.
“Pa, cepetan panggil Dokter! Felicia pingsan, aku takut dia kenapa-kenapa hiks….” Air mata sudah menggenang di kedua sisi wajah Diana. Felicia kini sudah kehilangan kesadarannya di pangkuan Diana. “Dit, cepet bawa Felicia ke
ranjangnya.”
Aditya mengangguk dan menggendong Felicia ala bridal style kembali ke ruang rawat. Aditya dengan segera membaringkan Felicia di ranjang pasien dan wajah Felicia lebih pucat dibandingkan yang tadi.
Seorang dokter tiba di ruang rawat Felicia bersama Jack di belakangnya. “Bapak Ibu, saya mohon tolong keluar sebentar. Saya harus memeriksa Nona Felicia sekarang juga,” pinta dokter tersebut.
“Tolong pastikan anak saya gak kenapa-kenapa ya, Dok.” Diana keluar bersama suami dan putranya, lalu menunggu diluar ruangan Felicia.
Dokter mengeluarkan stetoskopnya untuk memeriksa keadaan Felicia dan mendapati infus tidak terpasang di tangan Felicia. Dokter itu segera memasangkan infus yang baru pada Felicia, beruntung Jack sempat bilang jika selang infus itu terlepas dari tangan Felicia. Jadi, dokter itu pun tidak perlu bekerja dua kali untuk mengambil infus baru. Setelah memastikan keadaan Felicia baik-baik saja, barulah dokter itu keluar.
Diana yang sedari tadi mondar-mandir pun berhenti setelah menyadari dokter keluar dari ruangan. “Bagaimana putri saya, Dok?” tanya Diana tidak sabaran.
“Ibu, harap tenang. Nona Felicia baik-baik saja. Tubuhnya belum pulih sepenuhnya sehingga membuatnya jatuh pingsan. Sebentar lagi dia akan siuman, tolong pastikan Nona Felicia tidak melakukan gerakan yang tidak diperlukan. Dia bisa kembali jatuh pingsan nanti,” kata sang Dokter panjang lebar.
“Syukurlah,” ucap Jack dan Diana bersamaan.
“Baiklah, kalau begitu saya permisi.” Dokter itu meninggalkan tiga orang tersebut setelah diizinkan untuk pergi.
“Adit!” Suara perempuan yang berteriak membuat sepasang suami dan sang anak menoleh.
Adit menatap berbinar perempuan tersebut dan berjalan ke arahnya. “Sayang, kok kamu dateng ke sini? Kamu sendirian?”
Perempuan bernama Maria itu mengangguk. “Aku denger kamu ada di rumah sakit. Aku takut kamu kenapa-kenapa, makanya aku dateng langsung ke sini.”
“Iyakah? Tapi, bukan aku yang sakit,” jawab Adit.
Dahi Maria mengernyit bingung. “Trus, siapa yang sakit?”
“Tadi ada cewek kecelakaan, kebetulan mamanya cewek ini temen mama aku. Makanya kami ada di rumah sakit ini. Kami khawatir, takut dia kenapa-kenapa.” Jawaban Adit membuat Maria cemberut.
Entah kenapa Maria tidak suka jika Adit dan keluarganya mengkhawatirkan gadis lain. “Siapa cewek itu?” tanya Maria datar.
“Hei, kenapa muka kamu ditekuk gitu? Kamu takut aku selingkuh?” tanya Adit kebingungan.
“Enggak, aku gak takut kamu selingkuh. Cuma khawatir aja kalo cewek itu ngerebut kamu dari aku.” Nada bicara Maria masih sama seperti tadi.
Adit terkekeh mendengar jawaban Maria. Dia memeluk dan mengecup bibir Maria membuat Diana melotot horor. Kecupan itu terhentikan oleh Adit dengan tatapan dalam yang diberikan Adit pada Maria. “Kamu gak usah takut, seorang Adit akan selalu setia pada cinta pertamanya.”
Maria menatap Aditya dengan tatapan menyelidik. “Yang bener?”
Adit mengangguk yakin. “Aku janji.”
“Oke, aku pegang janji kamu,” ucap Maria tersenyum manis.
Perempatan siku muncul di kening Diana melihat putranya mencium kekasih. “Lihatlah Pa, mereka benar-benar gak tau tempat! Apa mereka gak sadar ya kalo mereka berciuman di tempat umum?!”
Jack mengusap bahu Diana pelan untuk mengusir amarah yang menguasai Diana. “Sudahlah Ma, lagian mereka kan sepasang kekasih. Kamu lupa ya, kalo kita juga pernah ada di fase itu. Bahkan, kamu yang memulai duluan.”
Diana menatap tajam Jack, seakan-akan perkataan Jack salah. “Jangan asal bicara kamu, Pa!” ancamnya hingga membuat bibir Jack terkatup.
‘Hah … ternyata pepatah tidak pernah berbohong. Perempuan memang tidak pernah salah,’ ujar Jack dalam hatinya.
“Oke, maafkan aku karena salah berbicara.”
Diana mendengkus. “Seenggaknya kita memang saling mencintai dan ditakdirkan bersama. Sedangkan mereka? Aku gak yakin kalo gadis itu bener-bener yang terbaik untuk putra kita.”
Jack kembali mengusap bahu Diana. “Husstt, gak boleh ngomong kayak gitu, Ma. Kita gak boleh menilai yang mana yang cocok untuk putra kita. Tugas kita sebagai orang tua adalah membimbing bukannya memilih. Yang akan memilih adalah putra kita. Kalo ternyata mereka berjodoh, kita gak bisa melarang mereka untuk
bersama.”
Diana kembali mendengkus mendengar nasihat suaminya. “Kita lihat saja nanti, kalo aku bener gadis itu bukan yang terbaik, kamu tidur diluar! Berani-beraninya kamu sok bijak, Pa! Aku ini ibunya, dan jangan lupakan gelar wanita dalam diriku! Aku punya firasat kalo gadis itu bukan gadis baik-baik, Pa!”
“Hah….” Jack menghela napasnya. ‘Wanita memang tidak boleh didebat.’ Alhasil, Jack lebih memilih mengalah dari pada harus menghadapi amukan istrinya. “Ya udah, mending kita ke ruangan Felicia. Biarkan putra kita menghabiskan waktu bersama kekasihnya.”
“Hn.” Diana hanya bergumam dan masuk ke ruangan Felicia bersama suaminya.
Saking asiknya Adit dan Maria bertatap-tatapan, mereka tidak sadar jika kedua orang tua mereka sudah masuk ke ruangan Felicia.
“Kita cari makan yuk, aku laper banget nih.” Maria berekspresi memelas dan memegang perutnya yang keroncongan.
“Ayo.” Aditya menggandeng tangan Maria dan membawa gadis itu menuju kantin rumah sakit.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments