NovelToon NovelToon

Am I Gonna Be Happy?

Prolog

Felicia menatap kosong sang ibu yang baru saja dimakamkan. Ibunya baru saja meninggal kemarin karena perjuangannya melawan penyakit. Felicia tentunya tidak sendiri, dia ditemani oleh beberapa warga dan sepasang suami istri yang mendoakan ibunya agar tenang di alam sana. Jika ada yang menanyakan kenapa Felicia tidak menangis, maka perdebatan dalam pikiran Felicialah jawabannya. Felicia bingung apakah harus menangis atau tidak. Jika dia menangis, maka ibunya akan bersedih dan tidak akan tenang di alam sana. Namun, tak dapat dipungkiri jika hatinya sakit saat ditinggalkan sang ibu. Terlebih, saat sedang berjuang dalam rasa sakit.

Seorang wanita paruh baya berdiri di sebelah kiri Felicia. Wanita itu bernama Diana Arunika, sahabat dari mendiang ibunya. Beliau mengusap lengan kanan Felicia agar perasaan Felicia lebih baik. Meski Felicia tidak menangis, tapi dia tahu jika Felicia bersedih. Tidak ada anak yang tidak sedih saat kehilangan ibunya. Saat semua orang sudah mulai pulang, Felicia bersama sepasang suami istri itu masih setia berada di pemakaman.

“Nak Felicia, Tante mau pulang, kamu ikut Tante, ya?” tawar Diana.

Felicia menatap Diana dan menggelengkan kepalanya. “Maaf Tante, aku masih pengen di sini nemenin Mama. Karena Felicia gak ada di sisi Mama pas Mama meninggal, Felicia ingin menemaninya agar tidak sendirian.” Namun sebenarnya, itu hanyalah alasan agar dapat menolak tumpangan dari Diana dan suaminya. Dia sebenarnya tidak ingin merepotkan sepasang suami istri itu.

Diana menatap sendu Felicia. “Ya udah, Tante sama Om pulang dulu, ya. Kalo kamu butuh sesuatu, jangan sungkan untuk bilang ke Tante.”

Felicia mengangguk. “Makasih, Tante.”

Diana dan suaminya meninggalkan pemakaman dan pulang ke rumahnya. Sementara Felicia masih berdiri sendirian di hadapan makan ibunya. Hari sudah sore dan sudah mau hujan. Cuaca seolah mendukung suasana sedih yang dialami oleh Felicia sore ini. Air mata pun mulai menggenang di mata Felicia hingga menetes ke pipi bulat Felicia. Tangisan pun akhirnya meledak tanpa terkendali. Tangisan yang menjadi saksi atas perginya sang ibu. Tangisan itu akan menjadi tangisan terakhirnya. Setelah itu, Felicia tidak akan menangis lagi.

“Maafin Felicia, Ma. Felicia belum bisa bahagiain Mama hiks ... Felicia harap, Mama bahagia sama Papa di sana.” Felicia mengusap batu nisan yang bertuliskan nama sang ibu.

“Felicia pergi dulu ya, Ma. Nanti Felicia datang lagi.” Felicia bangkit dari posisi jongkoknya dan meninggalkan pemakaman.

Felicia menaikki sepedanya dan pulang menuju rumah. Setibanya di rumah, semuanya tak sama lagi. Tidak ada lagi kehangatan yang dirasakan saat sang ibu menyambutnya pulang dengan senyuman. Kini hanya rasa sepi yang menemaninya di rumah sederhana itu. Felicia membersihkan dirinya dan mengganti pakaiannya dengan baju tidur bergambar beruang.

Keesokan harinya, Felicia terburu-buru menaikki sepedanya dan membawa sepeda itu dalam kecepatan tinggi. “Ya Tuhan, tolonglah aku kali ini.” Hari ini seharusnya Felicia bekerja di sebuah kafe.

Saat tiba di kafe, Felicia telah disambut oleh owner kafe itu sendiri. Owner kafe itu menatapnya sangat tajam bagai ingin menguliti tubuhnya. “Ikut ke ruanganku!”

Dengan raut wajah takut, Felicia mengikuti owner kafe itu ke ruangannya. Setibanya di ruangan, owner itu membalikkan tubuhnya. “Sudah berapa kali kamu terlambat, Felicia?!” tanya owner itu dengan ketus.

“Ma-maafkan saya Bu, sa-saya tidak bermaksud telat. Ta-tadi....” Felicia tidak menyelesaikan ucapannya karena bingung ingin mengatakan apa. Felicia akui jika dia beberapa kali telat. Namun, itu bukan alasan bagi pemilik kafe itu untuk tidak memarahinya. Kedisiplinan dalam bekerja adalah hal yang paling utama.

Owner kafe itu mendengkus. “Saya tidak mau tahu, mulai besok tidak perlu datang lagi! Kamu saya pecat!”

“Ta-tapi Bu, kalau saya dipecat, saya harus makan apa?” tanya Felicia sedikit terbata.

“Itu urusan kamu, bukan urusan saya! Kenapa nanya saya?! Mestinya kamu pikirkan sendiri, dong! Lagian, kalo kamu gak sering telat kan kamu masih bisa kerja di sini!”

Felicia pun menunduk. “Saya mohon Bu, tolong kasih saya kesempatan sekali lagi,” pinta Felicia dengan kedua tangan menyatu. Bahkan, Felicia berlutut di kaki owner kafe itu. “Saya tahu, saya beberapa kali telat kerja. Tapi, saya menutupi kesalahan saya dengan kinerja saya yang rapi, seperti yang anda mau. Tolong, izinkan saya kerja di sini. Setidaknya sampai saya mendapatkan pekerjaan baru.”

Owner kafe itu melipat kedua tangannya dan menatap jengkel pada Felicia. “Mau kamu kerja rapi sekalipun, tetep gak bisa meluluhkan saya! Pergi kamu dari sini! Kalau kamu gak pergi, saya akan panggil security buet ngusir kamu! Security!!!!”

Felicia langsung bangkit berdiri. “Baik, saya akan pergi, Bu. Terima kasih karena sudah mau menerima saya kerja di sini. Maaf karena sering mengecewakan anda. Saya permisi.” Akhirnya, Felicia pun keluar dari ruangan pemilik kafe dan meninggalkan kafe yang menjadi tempatnya bekerja selama 3 tahun. Langkah Felicia gontai menuju sepedanya dan dengan kaki yang lemas, Felicia menaikki sepedanya.

Ayunan sepeda tersebut terasa berat di kakinya. Hidupnya seakan-akan tidak berarti apapun saat ini. Felicia telah kehilangan ayahnya sejak kecil, kehilangan ibunya kemarin dan sekarang? Dia kehilangan pekerjaannya. Air matanya kembali keluar mengalir di kedua sisi wajahnya. Baru saja kemarin Felicia berjanji jika kemarin adalah tangisan terakhirnya. Namun, dengan mudahnya Felicia mengingkari janjinya itu. ‘Mengapa Engkau tidak mencabut nyawaku sekalian, Tuhan?’ tanyanya dalam hati.

“Pa, kok perasaan Mama gak enak, ya?” tanya Diana.

“Mungkin cuma perasaan kamu aja, Ma,” ujar suami Diana yang bernama Jack.

“Semoga gak terjadi sesuatu yang membahayakan ya, Pa,” harap Diana.

“Berpikirlah dengan positif, Ma. Felicia pasti baik-baik saja.” Entah kenapa, Jack tiba-tiba menyebut nama Felicia.

“Sampai sekarang Mama belum tahu kabar Felicia, Pa. Mama khawatir kalau dia masih berkabung atas kematian mamanya.”

Jack mengusap bahu istrinya, mencoba mengurangi keresahan istri. “Berkabung sudah pasti, Ma. Tidak ada anak yang tidak sedih di saat kehilangan ibunya. Sejak kecil, Felicia belum pernah merasakan figur seorang ayah. Hanya

bisa diwakilkan oleh ibunya. Namun sekarang, Felicia harus kehilangan sosok ibunya yang sudah menemaninya beberapa tahun. Tapi Mama tenang aja, Papa yakin kalau Felicia itu anak yang kuat.”

Diana mengangguk dengan tatapan sendunya. “Mama tahu kalo Felicia anak yang kuat. Mama harap kalo Felicia akan menjadi jodoh untuk anak kita.”

“Soal itu, biarkan Tuhan yang berkehendak.”

“Ma!” panggil seorang pemuda.

“Ada apa, sayang?” tanya Diana pada putranya.

“Tolong lihat TV sekarang!” Pemuda yang bernama Aditya itu berteriak. Tatapannya nampak khawatir sekarang.

Rasa tidak tenang itu kembali dirasakan Diana. Diana lantas segera berlari menuju ruang televisi diikuti suaminya. TV itu menayangkan wajah buram seorang gadis yang terbaring di atas kasur dorong.

“Pa! Itu Felicia!!!” teriak Diana. Meski wajah Felicia diburamkan, Diana masih bisa mengenali Felicia.

“Ah yang benar, Ma? Mungkin kebetulan mirip kali,” ujar Jack tidak percaya.

“Beneran Pa, itu Felicia!” Mata Diana tampak berkaca-kaca.

Tak lama kemudian, ponsel Diana berbunyi. Dengan buru-buru, Diana langsung mengangkat panggilan tersebut. “Halo.”

“Halo, bisa saya berbicara dengan Ibu Diana?” tanya orang yang menghubungi Diana.

“Iya, dengan saya sendiri. Ada apa, ya?" Dahi Diana berkerut saat menjawab pertanyaan yang menghubunginya.

“Begini, Nona Felicia saat ini berada di rumah sakit karena kecelakaan. Mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya hingga membuatnya terbentur dengan

keras.”

“Apa??? Lalu, bagaimana dengan Felicia sekarang?!” Keterkejutan yang menyerang Diana berhasil membuat Diana mengeraskan suaranya.

“Nona Felicia saat ini membutuhkan donor darah. Tadi, saya menghubungi ibunya, tapi tidak dijawab. Untuk itu saya menghubungi anda karena nama anda berada di kontak ponselnya.”

“Kalau begitu, saya segera ke sana sekarang juga, terima kasih sudah mengabari saya.” Diana langsung mematikan panggilan tersebut dan mengajak suami serta putranya ke rumah sakit. “Pa, antar Mama ke rumah sakit sekarang juga. Felicia kecelakaan!”

“Apa??? Jadi benar yang ada di berita???” tanya Jack terkejut. “Kok bisa???”

“Udah gak ada waktu lagi, Pa! Ayo kita ke rumah sakit sekarang! Aditya, kamu juga ikut! Kita udah gak punya banyak waktu!” Diana keluar mansion meninggalkan kedua pria berbeda usia itu dengan keadaan melongo.

“Kita ke rumah sakit sekarang Aditya, ayo!” Kini, Jack pun ikut terburu-buru menyusul istrinya, disusul dengan Aditya yang menutup pintu mansion mereka.

Jack menyalakan mobil dan tanpa memanaskan mobil, Jack melajukan mobil itu dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit.

TBC

Satu : Kecacatan Yang Tak Dapat Diterima

Diana berlari disusul oleh suami dan putranya di belakang. Hingga tibalah di depan ruangan Felicia. Felicia kini sedang ditangani oleh dokter. Tak lama kemudian, dokter wanita bernametag Chendry itu keluar dan mendapati sepasang suami istri dan pemuda di hadapannya.

“Dokter, bagaimana keadaan Felicia?” tanya Diana khawatir.

“Keadaan Nona Felicia kritis. Benturan keras yang diakibatkan kecelakaan itu membuatnya kehilangan banyak darah. Seperti yang kami informasikan, Nona Felicia membutuhkan donor darah. Jika tidak, keadaannya akan jauh lebih parah,” jawab dokter pria paruh baya itu.

“Kalau gitu, ambil saja darah saya, Dok. Saya mohon, selamatkan Felicia. Dia sudah saya anggap sebagai putri saya sendiri, Dok,” pinta Diana dengan penuh air mata.

“Kalau begitu, kita harus periksa untuk memastikan golongan darah ibu cocok atau tidak dengan Nona Felicia. Nona Felicia bergolongan darah O.”

Mendengar golongan darah Felicia, Diana pun semakin yakin untuk mendonorkan darahnya. “Golongan darah saya O, Dok. Tolong ambil darah saya sebanyak apapun yang anda mau.”

“Baiklah kalau begitu, mari ikut saya," kata sang dokter.

Diana mengangguk dan mengikuti dokter itu. Sementara Aditya kebingungan dengan sikap ibunya. Dia menatap sang ayah dan bertanya, “Pa, kenapa Mama bisa sesayang itu sama Felicia? Bukannya Felicia gak ada hubungannya dengan kita?”

Mendengar pertanyaan Aditya, Jack tersenyum. “Mamanya Felicia itu sahabat dekat Mama kamu. Bukan hanya sahabat, tapi udah kayak saudara. Pas Mamanya Felicia meninggal, Mama kamu sangat sedih dan berjanji akan menjaga Felicia selayaknya ibu kandung.”

Aditya ber oh ria. “Begitu ya, pantesan Mama sayang banget sama Felicia.”

Jack mengangguk dan merangkul pundak putranya. “Kita doakan semoga gak terjadi apapun sama Felicia.”

Tak lama kemudian, Felicia sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Masker oksigennya kini berganti dengan selang oksigen dan terdapat dua infus yang menancap di tangan Felicia. Satu infus cairan dan satunya kantong darah. Keadaan Felicia sudah membaik dan tinggal menunggunya bangun.

Diana memegang tangan Felicia yang sedikit pucat. “Felicia, bangunlah nak.” Bagaikan sihir, jari-jemari Felicia bergerak seakan merespon suara Diana. Kedua mata yang terpejam itu ikut bergerak-gerak dan terbuka perlahan.

Cahaya terasa menyeruak hingga membuat matanya silau. Felicia mengerjap perlahan untuk menyesuaikan pandangannya terhadap cahaya di pengelihatannya. Saat cahaya itu tidak lagi menyilaukan, Felicia mendapati Diana yang menatapnya lega. Felicia berusaha mengeluarkan suaranya, namun, suaranya tidak keluar.

“Sayang, jangan bicara dulu. Tante panggilkan dokter, ya....” Diana menekan tombol yang ada di atas kepala Felicia dan datanglah dokter yang menangani Felicia.

“Nona Felicia sudah siuman dan keadaannya sudah baik-baik saja, Bu Diana. Hanya saja, saya mohon untuk berbicara perlahan mengenai kondisinya saat ini. Jika terjadi sesuatu, tolong panggil saya. Saya permisi.” Dokter itu pun meninggalkan ruangan perawatan. Tak lama kemudian Jack masuk ke ruangan dan merasa senang karena Felicia sudah sadar.

Felicia kembali berusaha untuk mengeluarkan suaranya untuk menanyakan keadaannya pada mereka. Namun sayangnya, suaranya masih tidak bisa dikeluarkan. Alhasil, Felicia hanya bisa berbicara tanpa suara. Diana hanya bisa menangis melihat Felicia yang berusaha berbicara.

Flashback

Setelah Diana mendonorkan darah, Dokter kembali meminta Diana dan suami untuk ke ruangannya. “Saya merasa sedih saat harus menyampaikan ini, Bu, Pak. Tapi saya harus menyampaikannya. Benturan yang dialami Nona Felicia tidak hanya membuatnya kehilangan darah. Benturan itu memberikan efek trauma pada lehernya hingga merusak pita suara Nona Felicia. Itu artinya, Nona Felicia tidak dapat bicara seuatuhnya sampai waktu yang tak dapat ditentukan.” Mendengar itu, Diana tak dapat menahan tangisannya.

“Gimana ini, Pa? Hiks ... Gimana caranya Mama menjelaskan keadaan Felicia yang sebenarnya? Hiks ... Mama takut jika Felicia tidak bisa menerima keadaannya.”

“Tenang sayang, kita akan bicarakan ini pelan-pelan pada Felicia. Lagipula, kita gak bisa nutupin keadaan Felicia selamanya. Dia akan tahu sendiri mengenai keadaannya. Bisa kamu bayangkan betapa hancurnya keadaan Felicia nanti?”

Diana menggelengkan kepalanya. Benar yang dikatakan suaminya, tapi dia tidak sanggup untuk melakukannya. Seolah paham ketakutan sang istri, Jack pun kembali bersuara, “Papa yang akan menjelaskan ke Felicia kalau dia sadar nanti.”

 Akhirnya, Diana menganggukkan kepalanya dan memeluk suaminya. Diana berharap jika Felicia tidak akan membenci keadaannya nanti.

End of Flashback

Jack memeluk istrinya dan menenangkan istrinya dengan mengusap lengannya. Lalu, sebelah tangannya yang teranggur pun menepuk bahu Felicia. Jack menarik napasnya dan menghembuskannya perlahan, berusaha menyiapkan hati untuk menjelaskan keadaan Felicia yang sebenarnya. “Nak Felicia, kamu yang tabah, ya ... untuk sementara, kamu gak bisa ngomong dulu. Pas kecelakaan, benturan yang kamu alami ngehasilin efek trauma di leher kamu dan ngebuet pita suara kamu—” penjelasan Jack terpotong saat melihat Felicia meneteskan air matanya.

Felicia kini hanya bisa menangis tanpa suara. Lengkaplah sudah kehancuran yang dialaminya hari ini. Felicia melepaskan infus yang menancap di tangannya dan berlari keluar dari ruang perawatan.

“Felicia!” panggil Diana dan Jack keras.

Felicia terus berlari tanpa menghiraukan siapapun yang lewat. Diana dan Jack keluar dari ruangan Felicia dan meminta putra mereka untuk mengejar Felicia.

“Dit! Cepat kejar Felicia! Mama takut Felicia kenapa-napa!”

Mendengar teriakan sang ibu, Aditya dengan sigap berlari menyusul Felicia. Felicia tidak menyadari sedikitpun ada orang yang berlari di belakang. Ia tetap berlari menuju atap diikuti oleh Aditya dan tibalah mereka di atap. Felicia terus berjalan hingga menuju pembatas dan menaiki pembatas tersebut. ‘Tidak ada gunanya lagi aku hidup. Lebih baik aku mati.’ Felicia menutup matanya, bersiap untuk melompat.

Sebelum melompat, Felicia bisa merasakan seseorang menarik tangannya hingga dia terjatuh menimpa sang pelaku penarikan tangannya.

“AWWW!!!” Mendengar ringisan laki-laki di bawahnya membuat Felicia tersadar dan beranjak dari tubuh pemuda itu. Felicia ingin bertanya pada laki-laki itu, tapi suaranya tidak bisa keluar. Alhasil, Felicia hanya bisa menggerakkan bibirnya untuk bertanya, “Kamu baik-baik saja?”

Entah beruntung atau bagaimana, ternyata pemuda itu bisa membaca gerakan bibirnya. “Aku baik-baik saja.” Pemuda itu mengusap sayang pucuk kepala Felicia hingga rambutnya berantakan.

Tanpa disadari oleh pemuda itu, Felicia merona karena usapan di pucuk kepalanya. Felicia menggerakkan bibirnya dan berucap, “Terima kasih.”

“Sama-sama. Oh iya ... perkenalkan, namaku Aditya Bhamantara.”

Felicia yang mendengar nama belakang pemuda itu pun akhirnya tahu jika pemuda itu anak dari Diana dan Jack. Felicia tersenyum dan menggerakkan bibirnya kembali. “Perkenalkan, namaku Felicia Daliani.”

“Nama yang cantik, seperti orangnya,” puji Aditya dengan senyuman tulus di wajahnya. Felicia kembali merona mendengar pujian Aditya.

“Lain kali, jangan lakuin hal-hal nekat kayak tadi, ya ... orang tua kamu pasti akan sedih kalo kamu bunuh diri. Aku tau, aku gak berada di situasi yang tepat buet bilang gitu sama kamu. Gak ada anak yang sedih pas ditinggalin sama orang tuanya. Terlebih, orang tuanya belum pernah melihat anaknya sukses dan menikah.” Kalimat panjang yang Aditya lontarkan mampu membuat kupu-kupu berterbangan di perut Felicia.

“Astaga, apa yang barusan kukatakan?! Aku gak nyangka bisa bilang gitu sama kamu. Yah, intinya aku mau kamu semangat buet jalanin hidup kamu. Meskipun ada kekurangan di diri kamu, aku yakin ada kelebihan yang bisa nutupin kekurangan kamu.” Aditya mengulurkan tangannya pada Felicia dan disambut hangat oleh Felicia. Aditya membantu Felicia berdiridan bertatapan untuk beberapa saat.

‘Cantik.’ ‘Tampan.’ Masing-masing saling memuji kecantikan dan ketampanan masing-masing, hingga akhirnya mereka tersentak secara kompak seketika.

“Yuk, kita balik, orang tuaku pasti khawatir banget sama kamu.” Aditya menggenggam tangan Felicia dan menuntun Felicia. Mereka meninggalkan atap menuju ke tempat orang tuanya berada.

TBC

Dua : Khawatir

Jack dan Diana menunggu dengan cemas keadaan Felicia, terutama Diana yang terlihat sangat khawatir. “Pa, Mama takut kalo Felicia bener-bener nekat untuk ngakhiri hidupnya.”

“Tenang Ma, tadi kan anak kita udah nyusul Felicia, Felicia pasti baik-baik aja.” Jack mengusap lengan istrinya.

“Tapi Pa, perasaan ini gak tenang kalo Felicia belum sampai sini.” Diana berkata sambil menepuk-nepuk dadanya. Yah, rasa khawatir itu seakan membuat dada Diana sakit.

“Papa ngerti perasaan Mama, tapi Papa yakin kalo Felicia aman bersama Aditya. Mereka pasti lagi menuju ke sini.” Jack berusaha menenangkan Diana agar Diana berpikir lebih positif.

“Memangnya, kenapa Papa yakin sekali kalo Felicia sama Aditya bakal ke sini?” tanya Diana penasaran.

“Jack tersenyum. “Firasat Papa yang bilang.”

“Pa, Ma,” Suara yang memanggil membuat Jack dan Diana menoleh.

“Tuh, aku bilang juga apa, Ma? Mereka baik-baik aja, kan?” bisik Jack membuat Diana malu karena khawatirnya yang berlebihan.

“Iya Pa, Papa bener.” Diana berjalan terlebih dahulu menghampiri Felicia dan memeluk Felicia.

“Oh Felicia, Mama seneng banget kamu baik-baik aja. Jangan bikin kami khawatir lagi, ya….” Air mata turun ke wajah Diana. Diana memeluk erat Felicia seakan takut kehilangan.

Ingin sekali rasanya Felicia meminta maaf, tapi keadaannya sendiri membuatnya tidak bisa melakukan itu. Felicia turut membalas pelukan Diana yang terasa hangat. ‘Seperti pelukan ibu,’ kata Felicia dalam hati.

Diana melepaskan pelukannya dan menangkup kedua wajah Felicia. “Janji sama Mama kalo kamu gak bakal nekat lagi.” Diana menatap tegas Felicia.

Felicia memiringkan kepalanya. Bibirnya bergerak untuk mengucapkan sesuatu. “Mama?”

Diana mengangguk, seolah mengerti gerak bibir Felicia. “Iya, kamu harus panggil aku Mama, oke?”

Felicia terdiam sebentar, lalu mengangguk. Bibirnya kembali bergerak untuk memanggil Diana mama.

“Mulai sekarang, kamu adalah putri Mama. Udah lama banget Mama pengen punya anak perempuan. Sekarang udah kesampaian, makasih ya Felicia.” Diana kembali memeluk Felicia dan kali ini dibalas oleh Felicia.

Felicia mengangguk dalam pelukan ibu barunya. Tanpa mereka sadari, dua pria berbeda usia itu menatap haru pada kedua wanita di hadapan mereka. “Adit, sepertinya kamu bakalan punya adik cewek.” Jack berkata pada putranya.

Adit menatap sang ayah, lalu kembali menatap sang ibu yang masih berpelukan dengan Felicia. “Kalo Mama seneng dengan punya anak perempuan, kenapa enggak? Aku seneng melihat Mama bahagia. Lagian, Mama pasti kesepian kalo gak ada anak perempuan. Apalagi, kita sebagai lelaki sibuk bekerja, Pa.”

Jack menatap putranya dan menghela napasnya. “Kamu benar, kita jarang punya waktu luang buat nemenin Mama. Selama ini, Mama gak punya temen buet diajak ngobrol selain temen arisannya di rumah.”

 Aditya kembali menatap sang ayah dan berkata, “Kenapa Papa sama Mama gak bikin anak lagi dulu?”

Mendengar pertanyaan Aditya, Jack menundukkan kepalanya. Dia merasa malu dan sedih di saat yang bersamaan. “Mungkin, ini waktu yang tepat buet cerita sama kamu, Dit. Mama divonis gak bisa punya anak lagi sehabis ngelahirin kamu. Makanya Papa sama Mama gak berencana buet ngasih adek buet kamu.”

Aditya ber oh ria, mendengar perkataan Jack tentu membuatnya sedih. Tapi sekarang, dia tidak boleh bersedih karena mamanya sudah bahagia. Dia akan memiliki adik baru yang akan menemani mamanya seharian di rumah. “Aku harap, Mama terus bahagia ya, Pa.”

Jack tersenyum. “Papa harap juga demikian.”

“Papa!!! Adit!!! Cepat kemari!!!” Teriakan Diana menyentak Jack dan Aditya.

Jack dan Aditya segera mendekati sang ibu. “Ada apa, Ma?” tanya Jack khawatir.

“Pa, cepetan panggil Dokter! Felicia pingsan, aku takut dia kenapa-kenapa hiks….” Air mata sudah menggenang di kedua sisi wajah Diana. Felicia kini sudah kehilangan kesadarannya di pangkuan Diana. “Dit, cepet bawa Felicia ke

ranjangnya.”

Aditya mengangguk dan menggendong Felicia ala bridal style kembali ke ruang rawat. Aditya dengan segera membaringkan Felicia di ranjang pasien dan wajah Felicia lebih pucat dibandingkan yang tadi.

Seorang dokter tiba di ruang rawat Felicia bersama Jack di belakangnya. “Bapak Ibu, saya mohon tolong keluar sebentar. Saya harus memeriksa Nona Felicia sekarang juga,” pinta dokter tersebut.

“Tolong pastikan anak saya gak kenapa-kenapa ya, Dok.” Diana keluar bersama suami dan putranya, lalu menunggu diluar ruangan Felicia.

Dokter mengeluarkan stetoskopnya untuk memeriksa keadaan Felicia dan mendapati infus tidak terpasang di tangan Felicia. Dokter itu segera memasangkan infus yang baru pada Felicia, beruntung Jack sempat bilang jika selang infus itu terlepas dari tangan Felicia. Jadi, dokter itu pun tidak perlu bekerja dua kali untuk mengambil infus baru. Setelah memastikan keadaan Felicia baik-baik saja, barulah dokter itu keluar.

Diana yang sedari tadi mondar-mandir pun berhenti setelah menyadari dokter keluar dari ruangan. “Bagaimana putri saya, Dok?” tanya Diana tidak sabaran.

“Ibu, harap tenang. Nona Felicia baik-baik saja. Tubuhnya belum pulih sepenuhnya sehingga membuatnya jatuh pingsan. Sebentar lagi dia akan siuman, tolong pastikan Nona Felicia tidak melakukan gerakan yang tidak diperlukan. Dia bisa kembali jatuh pingsan nanti,” kata sang Dokter panjang lebar.

“Syukurlah,” ucap Jack dan Diana bersamaan.

“Baiklah, kalau begitu saya permisi.” Dokter itu meninggalkan tiga orang tersebut setelah diizinkan untuk pergi.

“Adit!” Suara perempuan yang berteriak membuat sepasang suami dan sang anak menoleh.

Adit menatap berbinar perempuan tersebut dan berjalan ke arahnya. “Sayang, kok kamu dateng ke sini? Kamu sendirian?”

Perempuan bernama Maria itu mengangguk. “Aku denger kamu ada di rumah sakit. Aku takut kamu kenapa-kenapa, makanya aku dateng langsung ke sini.”

“Iyakah? Tapi, bukan aku yang sakit,” jawab Adit.

Dahi Maria mengernyit bingung. “Trus, siapa yang sakit?”

“Tadi ada cewek kecelakaan, kebetulan mamanya cewek ini temen mama aku. Makanya kami ada di rumah sakit ini. Kami khawatir, takut dia kenapa-kenapa.” Jawaban Adit membuat Maria cemberut.

Entah kenapa Maria tidak suka jika Adit dan keluarganya mengkhawatirkan gadis lain. “Siapa cewek itu?” tanya Maria datar.

“Hei, kenapa muka kamu ditekuk gitu? Kamu takut aku selingkuh?” tanya Adit kebingungan.

“Enggak, aku gak takut kamu selingkuh. Cuma khawatir aja kalo cewek itu ngerebut kamu dari aku.” Nada bicara Maria masih sama seperti tadi.

Adit terkekeh mendengar jawaban Maria. Dia memeluk dan mengecup bibir Maria membuat Diana melotot horor. Kecupan itu terhentikan oleh Adit dengan tatapan dalam yang diberikan Adit pada Maria. “Kamu gak usah takut, seorang Adit akan selalu setia pada cinta pertamanya.”

Maria menatap Aditya dengan tatapan menyelidik. “Yang bener?”

Adit mengangguk yakin. “Aku janji.”

“Oke, aku pegang janji kamu,” ucap Maria tersenyum manis.

Perempatan siku muncul di kening Diana melihat putranya mencium kekasih. “Lihatlah Pa, mereka benar-benar gak tau tempat! Apa mereka gak sadar ya kalo mereka berciuman di tempat umum?!”

Jack mengusap bahu Diana pelan untuk mengusir amarah yang menguasai Diana. “Sudahlah Ma, lagian mereka kan sepasang kekasih. Kamu lupa ya, kalo kita juga pernah ada di fase itu. Bahkan, kamu yang memulai duluan.”

Diana menatap tajam Jack, seakan-akan perkataan Jack salah. “Jangan asal bicara kamu, Pa!” ancamnya hingga membuat bibir Jack terkatup.

‘Hah … ternyata pepatah tidak pernah berbohong. Perempuan memang tidak pernah salah,’ ujar Jack dalam hatinya.

“Oke, maafkan aku karena salah berbicara.”

Diana mendengkus. “Seenggaknya kita memang saling mencintai dan ditakdirkan bersama. Sedangkan mereka? Aku gak yakin kalo gadis itu bener-bener yang terbaik untuk putra kita.”

Jack kembali mengusap bahu Diana. “Husstt, gak boleh ngomong kayak gitu, Ma. Kita gak boleh menilai yang mana yang cocok untuk putra kita. Tugas kita sebagai orang tua adalah membimbing bukannya memilih. Yang akan memilih adalah putra kita. Kalo ternyata mereka berjodoh, kita gak bisa melarang mereka untuk

bersama.”

Diana kembali mendengkus mendengar nasihat suaminya. “Kita lihat saja nanti, kalo aku bener gadis itu bukan yang terbaik, kamu tidur diluar! Berani-beraninya kamu sok bijak, Pa! Aku ini ibunya, dan jangan lupakan gelar wanita dalam diriku! Aku punya firasat kalo gadis itu bukan gadis baik-baik, Pa!”

“Hah….” Jack menghela napasnya. ‘Wanita memang tidak boleh didebat.’ Alhasil, Jack lebih memilih mengalah dari pada harus menghadapi amukan istrinya. “Ya udah, mending kita ke ruangan Felicia. Biarkan putra kita menghabiskan waktu bersama kekasihnya.”

“Hn.” Diana hanya bergumam dan masuk ke ruangan Felicia bersama suaminya.

Saking asiknya Adit dan Maria bertatap-tatapan, mereka tidak sadar jika kedua orang tua mereka sudah masuk ke ruangan Felicia.

“Kita cari makan yuk, aku laper banget nih.” Maria berekspresi memelas dan memegang perutnya yang keroncongan.

“Ayo.” Aditya menggandeng tangan Maria dan membawa gadis itu menuju kantin rumah sakit.

TBC

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!