Dia Milikku Tetapi Untukmu
Usai kelulusan sekolah dasar, Dinda bercita-cita melanjutkan sekolahnya di Sekolah Menengah Pertama favorit di kota Yogya. Meskipun terhitung jauh dari tempat tinggalnya, namun niat dalam hatinya tidak menciutkan keseriusannya untuk tetap bisa sekolah di Sekolahan yang dia impikan.
Pada saat ia tiba di sekolah ketika ia mendaftar, dia melihat seorang anak laki-laki yang duduk dengan santainya di kursi depan tempat ruang pendaftaran. Wajahnya sangat lugu namun tampan. Ia duduk sendirian sambil tertunduk. Ketenangan dirinya tak terusik meskipun banyak orang berlalu lalang di depannya.
Dinda mencoba mendekatinya dan bermaksud ingin berkenalan dengannya. Dengan perasaan gugup, Dinda mencoba memberanikan dirinya untuk menyapa anak laki-laki itu.
" Ehemm.." Dinda berdehem sembari duduk disebelah Bary, Anak laki-laki disamping Dinda.
Bary tak bergeming sedikitpun. Ia juga tak menoleh ke arah Dinda yang mencoba mendekatinya. Dinda menjadi bingung. Ia merasa canggung untuk menyapa, apalagi mengajaknya berkenalan.
Dinda terdiam beberapa saat sembari menyibakkan rambutnya yang terurai menutupi mata kanannya. Dalam hatinya ia mencoba-coba kata apa yang tepat untuk berkenalan dengan laki-laki disampingnya itu. Ia pun kembali berdehem dan mulai menyapa Bary.
Tak pernah dia sangka, Bary meninggalkannya ketika Dinda bermaksud ingin menyapanya. Dinda menjadi kesal lalu berlari menghampiri Bary.
" Hei.. Kamu.. Aku ingin berkenalan denganmu. Namaku Dinda, nama kamu siapa?" ucap Dinda sembari mengulurkan tangan kanannya agar Bary menjabat tangannya.
Bary hanya melirik ke arah Dinda. Wajahnya yang dingin seakan tak senang dengan kehadiran Dinda. Ia pun berlalu begitu saja tanpa mempedulikan Dinda.
Dinda kembali mengikutinya lalu kembali menanyakan namanya. Bary lalu menghentikan langkahnya dan berbalik ke arah Dinda.
" Namaku, Bary. Pergilah.. Aku tidak punya waktu untuk bicara denganmu." ucap Bary lalu kembali memutar tubuhnya dan meninggalkan Dinda begitu saja.
"Eh, Bary.. Nama yang keren. Eh, kamu juga mendaftar di sekolah ini?" tanya Dinda sembari tersenyum.
Tak sadar Dinda tersenyum-senyum sendiri sementara bary telah meninggalkannya lagi. Beberapa orang yang melihatnya tertawa melihat tingkah Dinda.
Ia pun sadar ketika ada seorang anak perempuan menegurnya.
" Hei.. Dia sudah pergi, tuh. Kenapa kamu masih senyum-senyum sendiri." ucap seorang perempuan yang bernama Arista.
" Apa.. Ihh.. Anak itu benar-benar membuatku kesal! Aku ingin menyapanya, berkenalan dengannya. Tapi dia malah pergi begitu saja." ucap Dinda sembari memegangi kedua pipinya yang terlihat memerah, karena menahan malu.
" Dia itu teman sekelasku di bangku SD. Dia anak yng baik dan juga pintar. Dia juga tampan, dia itu banyak yang naksir."
" Oh..begitu. Kamu tahu banyak tentang dia, kan?"
" Ya sudah pasti, lah. Kenapa? Kamu penasaran ya sama dia?" ucap Arista sembari menyolek lengan Dinda.
" Ah.. Apaan kamu itu. Enggak kok. Eh, iya.. Kita kan belum kenalan. Kenalkan, namaku Dinda." ucap Dinda lalu mengulurkan tangannya pada Arista.
" Aku Arista. Aku juga mendaftar di sekolah ini. Kamu juga, kan?"
" Iya.. Aku sudah mengimpikannya sejak jelas tiga SD. Ada seorang kakak perempuan yang bilang kepadaku, di sekolah ini banyak sekali tercipta murid-murid hebat. Aku juga ingin menjadi hebat. Makanya aku mendaftar di sekolah ini."
" Sama.. Dan kebetulan Ayahku menjadi seorang Pengajar di sekolah ini. Jadi, aku pasti lolos masuk ke sekolah ini." ucap Arista sembari tersenyum.
" Wah.. Enak ya punya Ayah seorang Guru. Kan kita bisa belajar darinya."
" Nggak juga, Dinda. Ayahku itu terlalu sibuk. Pagi sampai siang mengajar. Pulang dari sekolah, dia mengajar les privat bahasa inggris. Pulang dari ngajar les, Dia jualan bakmi jawa di depan kantor Pos sampai pukul sebelas malam. Jadi, aku jarang ngobrol dengannya. Ketemu saja kalau pas pagi ketika sarapan."
" Mending kamu, Rista. Aku malah hanya tinggal sendiri di rumah. Orang tuaku tinggal di jerman. Kalau pulang, mungkin dua tahun sekali. Disini juga nggak lama. Paling seminggu terus balik ke jerman lagi."
"Haa? Kamu sendirian dirumahmu, Din? Wah, kalau aku pasti sudah ketakutan. Apalagi kalau habis nonton film horor."
" Aku nggak takut. Memang dari kecil sudah terbiasa sendiri. Tapi aku nggak pernah mengalami kejadian yang menakutkan."
" Syukurah, Dinda. Senang bisa berkenalan denganmu. Oh iya, aku tinggal tak jauh dari sekolah ini. Kalau kamu nggak keberatan, pulang nanti main ke rumahku ya."
" Oh maaf, Rista. Lain kali saja, ya. Hari ini ada yang mesthi aku kerjakan dirumah. Cucianku banyak sekali dan belum sempat aku lipat. Gara-gara hujan yang nggak berhenti-berhenti, cucianku jadi menumpuk. Maaf ya, Rista."
" Nggak apa-apa, Din. Besok juga masih banyak waktu. Mudah-mudahan kamu bisa keterima di sekolah ini, supaya kita bisa sering ketemu."
" Oke, Rista.. Aku pasti akan datang ke rumahmu. Kalau begitu aku mau pulang dulu."
" Eh, kok sudah mau pulang. Memangnya kamu sudah selesai pendaftarannya?"
" Sudah, Rista. Yah..mudah-mudahan bisa masuk sepuluh besar. Kalau tidak masuk, yang penting bisa keterima disini saja aku sudah sangat bersyukur."
" Tenang saja, Dinda. Aku akan membantumu. Aku akan minta Ayah untuk memberikanmu tempat duduk di sekolah ini."
" Wah..terima kasih banyak, Rista. Kamu baik sekali. Kalau kamu ada waktu, kau boleh main ke rumahku. Disana nggak ada siapa-siapa. Kita bisa belajar bareng di rumahku."
" Baik, Dinda.. Besok kita gantian main ke rumah. Setelah ke rumahku, aku akan ikut kamu main ke rumahku."
" Oke.. Da.. Rista."
" Da.. Juga, Dinda."
Pukul Sebelas siang, Dinda berniat pulang. Ia menunggu ojek di depan gerbang sekolah. Bary keluar dari sekolah menuju gerbang.
Hati Dinda berdebar-debar seakan dia bertemu dengan pangerannya. Ia berharap Bary akan melihatnya dan menyapanya. Namun kenyataannya tidak. Bary malah berjalan menundukkan kepalanya dan tidak melihat ke arah Dinda sedikitpun.
Dinda merasa jengkel dengan Bary. Ia lalu menarik tangan Bary lalu menatap wajahnya.
" Kamu itu kenapa? Kenapa kamu dingin sekali. Aku cuma ingin berkenalan denganmu. Kenapa kamu nggak mau?"
" Kamu Dinda, kan? Baiklah.. Sekarang aku sudah tahu namamu. Tapi maaf, aku harus segera pulang. Tak ada waktu untuk mengobrol denganmu." ucap Bary lalu kembali melanjutkan lagkahnya, meninggalkan Dinda yang masih terheran-heran dengan sikap Bary.
" Tunggu.. Kenapa kamu terburu-buru. Apa yang ingin kamu lakukan?" tanya Dinda penasaran.
" Bukan urusanmu. Sudahlah.. Aku harus pulang sekarang." ucap Bary dengan ketus lalu meninggalkan Dinda tanpa sepatah katapun.
" Ihhh.. Menyebalkan sekali, anak itu. Apa yang sebenarnya terjadi dengan anak itu. Pasti dia sedang ada masalah yang mungkin saja sangat berat. Aku harus membantunya." gumam Dinda.
Tak lama kemudian, tukang ojek datang. Dia terus memandangi Dinda dengan penuh keheranan. Sambil tertawa-tawa tukang ojek itu menyapa Dinda.
" Dik Dinda.."
Dinda terkejut mendengar orang memanggil namanya. Ia lalu mencari dimana suara itu.
" Aku disini Dik." ucap Tukang ojek sembari melambaikan tangannya ke wajah Dinda.
" Oh.. Maaf, Pak. Saya kira teman saya yang memanggil saya." ucap Dinda dengan gugup.
" Hehe.. Sudah.. Jangan melamun di pinggir jalan. Nanti kesambet. Di bawa kabur orang, nanti nggak sadar. Tahu-tahunya di bawa ke hutan belantara."
" Ihh.. jangan begitu, Pak. Ada-ada saja, Bapak ini." ucap Dinda dengan kesalnya.
" Hehe.. Itu bisa saja terjadi, dik. Makanya jangan banyak melamun. Apalagi di pinggir jalan seperti ini."
" Ya sudah... Ayo jalan, Pak. Jangan lama-lama."
Tukang ojek itu menurut saja dengan perintah Dinda. Sembari tersenyum ia melajukan motornya menuju jalan ke rumah Dinda. Tampak raut wajah Dinda yang sedang jengkel di spion motor tukang ojek. Berkali-kali tukang ojek itu tersenyum melihat tingkah Dinda. Namun ia tak berani menegurnya.
......................
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments