Tiba di depan rumahnya, Dinda turun dari motor dan langsung membuka pintu gerbang rumahnya dengan kasar. Setelah masuk, ia kembali menutupnya dan menguncinya kembali dengan keras lagi.
Tampak tukang ojek yang masih menunggu di depan, tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. Tak berapa lama ia kembali melanjutkan perjalanannya untuk mencari penumpang lain.
"Ceklekk...brakkkk..." Dinda membuka pintu rumahnya lalu menutupnya kembali dengan keras.
" Kenapa sih, hari ini menyebalkan sekali. Apa yang salah denganku?! Perasaan aku tak melakukan apa-apa. Aduh....mimpi apa aku semalam?!" gumam Dinda sembari memegang kepalanya dengan kedua tangannya. Rambutnya yang halus dan lembut, terurai menutupi wajahnya.
" Bary... Ahhh... Kenapa aku jadi memikirkannya! Apa yang terjadi denganku? Aduh..bisa gila kalau aku seperti ini!" ucap Dinda lalu berlari ke dapur untuk mengambil air minum dingin dalam kulkas.
" Ahhh... ada apa dengan cowok itu? Bisa-bisanya aku memikirkan dia. Kenal saja belum, kenapa aku bisa peduli sama dia!"
Hingga satu jam lamanya, Dinda terus memikirkan Bary. Anak laki-laki yang ia temui di sekolah tadi pagi. Semakin ia ingin menghilangkan pikiran tentang Bary, Dinda semakin mengingatnya dan ingin sekali bertemu dengannya.
Ada banyak sekali pertanyaan di dalam pikirannya. Semua tentang Bary. Laki-laki judes yang tak banyak bicara, namun membuat banyak anak perempuan memuja kepribadiannya.
" Ayo lah, Dinda.. cowok itu bukan siapa-siapa kamu. Kamu jangan sampai membuat malu dirimu sendiri. Belum apa-apa kamu sudah menyukainya.." gumam Dinda sembari merebahkan tubuhnya di atas kasur di ruang Tv.
" Apa?! Apa yang baru saja aku katakan?! Aku menyukainya. Tidak..tidak.. Maafkan aku, aku hanya salah bicara. Aku tidak pernah menyukainya.." teriak Dinda karena telah keceplosan berkata kalau dia menyukai Bary.
" Aku harus menyibukkan diriku dengan kegiatan-kegiatan positif, agar tidak memikirkan yang tidak-tidak pada cowok itu. Aku nggak boleh malas gerak. Aku harus melakukan sesuatu.. Tapi apa?" ucap Dinda lagi sembari menggaruk-garuk kepalanya karena tak tahu apa yang ingin dia lakukan.
Ia berdiri sejenak lalu memikirkan apa yang ingin ia lakukan untuk menghilangkan pikirannya tentang Bary. Tiba-tiba perut Dinda bersuara. Ia pun memegangi perutnya.
"Aku lapar... Oh iya, aku juga belum masak. Persediaan bahan makanan di kulkas juga sudah habis. Baiklah..lebih baik aku ke pasar dulu. Siapa tahu pikiranku bisa lebih tenang." ucap Dinda lalu bergegas masuk kedalam kamar untuk mengganti pakaiannya.
Usai mengganti pakaiannya, Dinda keluar untuk mengambil sepeda mini miliknya di samping rumah. Ia kemudian mengayuh sepedanya menuju ke pasar.
Banyak pedagang-pedagang yang menyapa sembari menawarkan barang dagangnnya kepada setiap pembeli. Tak beda dengan Dinda, ia juga ditawari oleh setiap Pedagang di lapak mereka ketika Dinda lewat di depannya.
" Sayur, Dik.." ucap Pedagang ketika Dinda berhenti di depan lapaknya.
" Iya, Pak. Saya mau beli bayam, kangkung, sama daun kol ya." ucap Dinda.
" Boleh..kebetulan ini masih segar. Baru di petik tadi pagi. Nah mau beli berapa?" tanya Pedagang lagi.
" Sedikit-sedikit saja, Pak. Itu hanya untuk saya sendiri kok. Sudah cukup untuk tiga hari."
" Baiklah, Dik.. Sebentar, saya ambilkan wadah terlebih dahulu."
Sembari menunggu Pedagang sayur menaruh sayuran ke dalam kantong plastik, Dinda iseng-iseng melihat ke kanan dan kiri. Ia melihati setiap lapak di samping kanan dan kirinya. Namun tiba-tiba matanya tertuju pada lapak paling ujung, tiga puluh langkah di sebelah kanan dari tempatnya berdiri.
" Bukankah itu, si Bari? Sedang apa dia disini?" Dinda bertanya-tanya dalam hati.
Kembali pikirannya tertuju pada Bary, cowok yang telah membuat hari ini sangat menyebalkan.
" Dik, ini sayurnya.." ucap Pedagang sayur yang dengan tiba-tiba hingga membuat Dinda terkejut.
" Oh..maaf, Pak. Jadi semua habis berapa?" ucap Dinda namun tak melihat ke arah Pedagang sayur, tetapi melihat ke arah pedagang Ayam goreng di sudut pasar.
" Semuanya sepuluh ribu saja, Dik." jawab Pedagang sayur, sembari melihat ke arah dimana mata Dinda tertuju.
Berkali-kali Pedagang sayur itu celingukan melihat ke arah kirinya. Ia lalu melihat ke arah Dinda lagi, dan kembali meihat ke arah kiri lagi. Ia kemudian bertanya-tanya dalam hati. Ada apa dengan Pembelinya itu.
Karena Dinda tak henti-hentinya melihat ke sudut pasar, dan juga ia tak segera membayar sayur belanjaannya, Pedagang sayur itu memberanikan diri untuk menegurnya.
" Dik.. Dik... Sedang melihat apa? Jangan melamun, nanti kesambet lho. Apalagi disini tempa ramai. Saya takut jika masih begitu, ada orang jahat yang menghipnotis adik lalu dibawa pergi oleh Penjahat itu."
"Eh maaf, Pak. Saya hanya seperti mengenal anak laki-laki di ujung sana."
" Anak laki-laki? Maksudnya pedagang ayam goreng di ujung sana?" tanya Pedagang sayur sembari menunjuk ke arah Bary.
" Iya benar, Pak. Kami mendaftar sekolah di sekolah yang sama. Tadi kami ketemu di sekolah. Tapi setelah selesai, dia buru-buru pulang."
" Dia itu namanya, Bary. Anak dari Pak Guntur sama Bu Tika. Dia menggantikan Ayahnya berjualan, karena Ayahnya sakit. Sementara Ibunya menunggu Ayah Bary di rumah sakit."
" Tapi kenapa Dia harus menggantikan Ayahnya berjualan? Bagaimana jika dia sekolah? Pasti Dia akan ketinggalan pelajaran di sekolah."
" Entahlah.. Saya juga tidak tahu, Dik. Bary itu keluarga yang sederhana. Selama Ayahnya sakit, banyak sekali aset yang dijual untuk beaya berobat Ayahnya. Mulai dari motor, Tv, setrika, hingga kipas angin, mereka jual semua untuk beaya pengobatan Pak Guntur. Dan untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari, mereka membuka usaha jual ayam goreng untuk menyambung hidup mereka."
" Oh, jadi begitu. Kasihan sekali anak itu. Kalau begitu saya mau kesana, Pak. Saya mau membeli ayam gorengnya." ucap Dinda lalu menenteng sayurnya pergi.
" Dik..maaf, bayar dulu sayurnya." ucap Pedagang sayur sambil tersenyum.
" Oh..maafkan saya, Pak. Saya lupa. Tadi habis berapa?" ucap Dinda dengan wajah memerah dan tersipu malu karena belum membayar belanjaan yang ia beli.
" Semuanya sepuluh ribu, Dik. Tidak mahal, kok." jawab pedagang sayur.
" Ini, Pak.." ucap Dinda sembari mengulurkan uang selembar seratus ribu dari dompetnya.
" Aduhh...yang kecil saja, Dik. Saya tidak ada kembaliannya. Dagangan saya masih sepi. Belum ada pembeli yang datang kemari."
" Saya juga nggak punya uang kecil, Pak. Kembaliannya buat, Bapak saja."
" Maaf, Dik.. Tidak usah. Kalau begitu uangnya dibawa Adik saja. Bayarnya lain kali saja."
" Tidak, Pak. Kembaliannya buat Bapak saja. Saya masih punya uang lebih, kok."
" Baiklah kalau begitu.. Terima kasih banyak ya, Dik. Semoga Tuhan membalas kebaikan Adik. Semoga jadi anak yang sukses. Aamiin.." ucap Pedagang sayur itu lalu menerima uang dari Dinda.
" Aamiin..terima kasih juga atas doanya,Pak. Kalau begitu saya permisi dulu." ucap Dinda lalu segera pergi menghampiri Bary yang masih sibuk melayani Pembeli Ayam gorengnya.
Dinda memelankan jalannya ketika hampir dekat dengan lapak Bary. Ia kemudian berdiri disamping dua orang pembeli dan melihat Bary yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
" Ayam goreng empat dan tahu crispy sepuluh ribu, ya Bu?" ucap Bary lalu menyerahkan satu plastik berisi ayam goreng dan tahu crispy.
" Masnya, mau beli apa?" tanya Bary pada pembeli yang satunya lagi tanpa melihat ke arah cewek belia yang ternyata adalah Dinda.
" Saya tahu crispy saja lima belas ribu, Dik." ucap Pembeli lalu mengambil uang lima belas ribu dari sakunya.
" Baik.. ini Mas." ucap Bary lalu menyerahkan dagangannya sembari menerima uang dari pembelinya.
Dinda menggeser tubuhnya setelah pembeli terakhir pergi dari lapak Bary. Sementara itu Bary sibuk menata uangnya yang berserak di laci. Ia tak menghiraukan Dinda yang sudah berdiri sejak tadi.
Beberapa saat kemudian, Bary melihat ke arah Dinda. Ia terkejut ketika cewek yang sebenarnya berdiri di depannya sejak tadi adalah Dinda.
" Eh, kamu. Ada apa kemari?" tanya Bary dengan wajah kaku. Ia tak terbiasa melayani pembeli seusianya sehingga membuatnya canggung.
" Ada apa kemari, katamu? Ya tentu saja mau beli. Ada orang datang kemari pasti mau membeli, kan? pakai tanya lagi. Nyebelin..."
" Maaf, kalau mau beli seharusnya kamu bilang. Mas mau beli, atau kalau nggak, panggil namaku terus bilang saja kalau mau beli. Kalau kamu diam saja, mana tahu aku kalau kamu mau beli." ucap Bary lalu kembali menyiapkan adonan dan bersiap menggoreng lagi.
" Aku nggak mau tahu. Menyebalkan!" ucap Dinda dengan kesalnya.
" Kamu marah? Mau beli atau mau marahi aku?"
" Nggak!!! Iya aku mau beli!"
" Ayam goreng atau tahu crispy? Mau beli berapa?"
" Terserah kamu saja!" ucap Dinda lagi dengan ketus.
Bary hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia sudah bersiap menggoreng ayam, namun ia kembali mematikan kompornya lalu mengambil bungkus plastik untuk wadah.
" Kan, kamu yang beli. Kenapa aku yang disuruh milih."
" Masa bodoh..pokoknya terserah kamu!"
Semakin lama, kata-kata Dinda semakin menjengkelkan. Namun sebagai Pedagang, Bary diajarkan untuk selalu bersabar dalam menghadapi pelanggan-pelanggannya. Ia pun tak mau ambil pusing. Ia memasukkan tiga ayam goreng dan sepuluh tahu crispy ke dalam kantong plastik dan menyerahkannya pada Dinda.
" Ini..ambil saja. Nggak usah bayar. Aku tahu kamu sedang lapar. Makanya marah-marah terus." ucap Bary sambil tersenyum.
Dinda melihat senyum di wajah Bary. Hatinya seketika bergejolak. Ia seakan berteriak dan memuji senyuman itu. Namun ia sadar, Ia baru saja mengenalnya. Tak mungkin bagi dirinya untuk mengucapkan sesuatu yang belum sewajarnya.
" Aku nggak mau. Bilang saja berapa semuanya."
" Ini gratis untukmu, nggak usah bayar. Bawa saja uangmu."
" Enggak! Aku disini mau beli, bukan mau minta. Cepat bilang berapa semuanya."
" Aku juga nggak bilang kamu meminta, aku yang memberikannya kepadamu."
" Kamu itu makin lama makin menyebalkan! Nih!" ucap Dinda lalu menyodorkan uang lembaran seratus ribu pada Bary.
Ia lalu pergi begitu saja meninggalkan Bary. Bary berusaha mengejarnya, namun Dinda tetap saja tak menggubris kata-katanya. Karena sudah terlalu jauh dari lapak dan Dinda juga terus berjalan menjauh darinya, Bary menghentikan langkahnya untuk terus mengejar Dinda. Ia pun kembali ke lapaknya dan meneruskan kembali pekerjaannya.
......................
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments