Usai kelulusan sekolah dasar, Dinda bercita-cita melanjutkan sekolahnya di Sekolah Menengah Pertama favorit di kota Yogya. Meskipun terhitung jauh dari tempat tinggalnya, namun niat dalam hatinya tidak menciutkan keseriusannya untuk tetap bisa sekolah di Sekolahan yang dia impikan.
Pada saat ia tiba di sekolah ketika ia mendaftar, dia melihat seorang anak laki-laki yang duduk dengan santainya di kursi depan tempat ruang pendaftaran. Wajahnya sangat lugu namun tampan. Ia duduk sendirian sambil tertunduk. Ketenangan dirinya tak terusik meskipun banyak orang berlalu lalang di depannya.
Dinda mencoba mendekatinya dan bermaksud ingin berkenalan dengannya. Dengan perasaan gugup, Dinda mencoba memberanikan dirinya untuk menyapa anak laki-laki itu.
" Ehemm.." Dinda berdehem sembari duduk disebelah Bary, Anak laki-laki disamping Dinda.
Bary tak bergeming sedikitpun. Ia juga tak menoleh ke arah Dinda yang mencoba mendekatinya. Dinda menjadi bingung. Ia merasa canggung untuk menyapa, apalagi mengajaknya berkenalan.
Dinda terdiam beberapa saat sembari menyibakkan rambutnya yang terurai menutupi mata kanannya. Dalam hatinya ia mencoba-coba kata apa yang tepat untuk berkenalan dengan laki-laki disampingnya itu. Ia pun kembali berdehem dan mulai menyapa Bary.
Tak pernah dia sangka, Bary meninggalkannya ketika Dinda bermaksud ingin menyapanya. Dinda menjadi kesal lalu berlari menghampiri Bary.
" Hei.. Kamu.. Aku ingin berkenalan denganmu. Namaku Dinda, nama kamu siapa?" ucap Dinda sembari mengulurkan tangan kanannya agar Bary menjabat tangannya.
Bary hanya melirik ke arah Dinda. Wajahnya yang dingin seakan tak senang dengan kehadiran Dinda. Ia pun berlalu begitu saja tanpa mempedulikan Dinda.
Dinda kembali mengikutinya lalu kembali menanyakan namanya. Bary lalu menghentikan langkahnya dan berbalik ke arah Dinda.
" Namaku, Bary. Pergilah.. Aku tidak punya waktu untuk bicara denganmu." ucap Bary lalu kembali memutar tubuhnya dan meninggalkan Dinda begitu saja.
"Eh, Bary.. Nama yang keren. Eh, kamu juga mendaftar di sekolah ini?" tanya Dinda sembari tersenyum.
Tak sadar Dinda tersenyum-senyum sendiri sementara bary telah meninggalkannya lagi. Beberapa orang yang melihatnya tertawa melihat tingkah Dinda.
Ia pun sadar ketika ada seorang anak perempuan menegurnya.
" Hei.. Dia sudah pergi, tuh. Kenapa kamu masih senyum-senyum sendiri." ucap seorang perempuan yang bernama Arista.
" Apa.. Ihh.. Anak itu benar-benar membuatku kesal! Aku ingin menyapanya, berkenalan dengannya. Tapi dia malah pergi begitu saja." ucap Dinda sembari memegangi kedua pipinya yang terlihat memerah, karena menahan malu.
" Dia itu teman sekelasku di bangku SD. Dia anak yng baik dan juga pintar. Dia juga tampan, dia itu banyak yang naksir."
" Oh..begitu. Kamu tahu banyak tentang dia, kan?"
" Ya sudah pasti, lah. Kenapa? Kamu penasaran ya sama dia?" ucap Arista sembari menyolek lengan Dinda.
" Ah.. Apaan kamu itu. Enggak kok. Eh, iya.. Kita kan belum kenalan. Kenalkan, namaku Dinda." ucap Dinda lalu mengulurkan tangannya pada Arista.
" Aku Arista. Aku juga mendaftar di sekolah ini. Kamu juga, kan?"
" Iya.. Aku sudah mengimpikannya sejak jelas tiga SD. Ada seorang kakak perempuan yang bilang kepadaku, di sekolah ini banyak sekali tercipta murid-murid hebat. Aku juga ingin menjadi hebat. Makanya aku mendaftar di sekolah ini."
" Sama.. Dan kebetulan Ayahku menjadi seorang Pengajar di sekolah ini. Jadi, aku pasti lolos masuk ke sekolah ini." ucap Arista sembari tersenyum.
" Wah.. Enak ya punya Ayah seorang Guru. Kan kita bisa belajar darinya."
" Nggak juga, Dinda. Ayahku itu terlalu sibuk. Pagi sampai siang mengajar. Pulang dari sekolah, dia mengajar les privat bahasa inggris. Pulang dari ngajar les, Dia jualan bakmi jawa di depan kantor Pos sampai pukul sebelas malam. Jadi, aku jarang ngobrol dengannya. Ketemu saja kalau pas pagi ketika sarapan."
" Mending kamu, Rista. Aku malah hanya tinggal sendiri di rumah. Orang tuaku tinggal di jerman. Kalau pulang, mungkin dua tahun sekali. Disini juga nggak lama. Paling seminggu terus balik ke jerman lagi."
"Haa? Kamu sendirian dirumahmu, Din? Wah, kalau aku pasti sudah ketakutan. Apalagi kalau habis nonton film horor."
" Aku nggak takut. Memang dari kecil sudah terbiasa sendiri. Tapi aku nggak pernah mengalami kejadian yang menakutkan."
" Syukurah, Dinda. Senang bisa berkenalan denganmu. Oh iya, aku tinggal tak jauh dari sekolah ini. Kalau kamu nggak keberatan, pulang nanti main ke rumahku ya."
" Oh maaf, Rista. Lain kali saja, ya. Hari ini ada yang mesthi aku kerjakan dirumah. Cucianku banyak sekali dan belum sempat aku lipat. Gara-gara hujan yang nggak berhenti-berhenti, cucianku jadi menumpuk. Maaf ya, Rista."
" Nggak apa-apa, Din. Besok juga masih banyak waktu. Mudah-mudahan kamu bisa keterima di sekolah ini, supaya kita bisa sering ketemu."
" Oke, Rista.. Aku pasti akan datang ke rumahmu. Kalau begitu aku mau pulang dulu."
" Eh, kok sudah mau pulang. Memangnya kamu sudah selesai pendaftarannya?"
" Sudah, Rista. Yah..mudah-mudahan bisa masuk sepuluh besar. Kalau tidak masuk, yang penting bisa keterima disini saja aku sudah sangat bersyukur."
" Tenang saja, Dinda. Aku akan membantumu. Aku akan minta Ayah untuk memberikanmu tempat duduk di sekolah ini."
" Wah..terima kasih banyak, Rista. Kamu baik sekali. Kalau kamu ada waktu, kau boleh main ke rumahku. Disana nggak ada siapa-siapa. Kita bisa belajar bareng di rumahku."
" Baik, Dinda.. Besok kita gantian main ke rumah. Setelah ke rumahku, aku akan ikut kamu main ke rumahku."
" Oke.. Da.. Rista."
" Da.. Juga, Dinda."
Pukul Sebelas siang, Dinda berniat pulang. Ia menunggu ojek di depan gerbang sekolah. Bary keluar dari sekolah menuju gerbang.
Hati Dinda berdebar-debar seakan dia bertemu dengan pangerannya. Ia berharap Bary akan melihatnya dan menyapanya. Namun kenyataannya tidak. Bary malah berjalan menundukkan kepalanya dan tidak melihat ke arah Dinda sedikitpun.
Dinda merasa jengkel dengan Bary. Ia lalu menarik tangan Bary lalu menatap wajahnya.
" Kamu itu kenapa? Kenapa kamu dingin sekali. Aku cuma ingin berkenalan denganmu. Kenapa kamu nggak mau?"
" Kamu Dinda, kan? Baiklah.. Sekarang aku sudah tahu namamu. Tapi maaf, aku harus segera pulang. Tak ada waktu untuk mengobrol denganmu." ucap Bary lalu kembali melanjutkan lagkahnya, meninggalkan Dinda yang masih terheran-heran dengan sikap Bary.
" Tunggu.. Kenapa kamu terburu-buru. Apa yang ingin kamu lakukan?" tanya Dinda penasaran.
" Bukan urusanmu. Sudahlah.. Aku harus pulang sekarang." ucap Bary dengan ketus lalu meninggalkan Dinda tanpa sepatah katapun.
" Ihhh.. Menyebalkan sekali, anak itu. Apa yang sebenarnya terjadi dengan anak itu. Pasti dia sedang ada masalah yang mungkin saja sangat berat. Aku harus membantunya." gumam Dinda.
Tak lama kemudian, tukang ojek datang. Dia terus memandangi Dinda dengan penuh keheranan. Sambil tertawa-tawa tukang ojek itu menyapa Dinda.
" Dik Dinda.."
Dinda terkejut mendengar orang memanggil namanya. Ia lalu mencari dimana suara itu.
" Aku disini Dik." ucap Tukang ojek sembari melambaikan tangannya ke wajah Dinda.
" Oh.. Maaf, Pak. Saya kira teman saya yang memanggil saya." ucap Dinda dengan gugup.
" Hehe.. Sudah.. Jangan melamun di pinggir jalan. Nanti kesambet. Di bawa kabur orang, nanti nggak sadar. Tahu-tahunya di bawa ke hutan belantara."
" Ihh.. jangan begitu, Pak. Ada-ada saja, Bapak ini." ucap Dinda dengan kesalnya.
" Hehe.. Itu bisa saja terjadi, dik. Makanya jangan banyak melamun. Apalagi di pinggir jalan seperti ini."
" Ya sudah... Ayo jalan, Pak. Jangan lama-lama."
Tukang ojek itu menurut saja dengan perintah Dinda. Sembari tersenyum ia melajukan motornya menuju jalan ke rumah Dinda. Tampak raut wajah Dinda yang sedang jengkel di spion motor tukang ojek. Berkali-kali tukang ojek itu tersenyum melihat tingkah Dinda. Namun ia tak berani menegurnya.
......................
Tiba di depan rumahnya, Dinda turun dari motor dan langsung membuka pintu gerbang rumahnya dengan kasar. Setelah masuk, ia kembali menutupnya dan menguncinya kembali dengan keras lagi.
Tampak tukang ojek yang masih menunggu di depan, tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. Tak berapa lama ia kembali melanjutkan perjalanannya untuk mencari penumpang lain.
"Ceklekk...brakkkk..." Dinda membuka pintu rumahnya lalu menutupnya kembali dengan keras.
" Kenapa sih, hari ini menyebalkan sekali. Apa yang salah denganku?! Perasaan aku tak melakukan apa-apa. Aduh....mimpi apa aku semalam?!" gumam Dinda sembari memegang kepalanya dengan kedua tangannya. Rambutnya yang halus dan lembut, terurai menutupi wajahnya.
" Bary... Ahhh... Kenapa aku jadi memikirkannya! Apa yang terjadi denganku? Aduh..bisa gila kalau aku seperti ini!" ucap Dinda lalu berlari ke dapur untuk mengambil air minum dingin dalam kulkas.
" Ahhh... ada apa dengan cowok itu? Bisa-bisanya aku memikirkan dia. Kenal saja belum, kenapa aku bisa peduli sama dia!"
Hingga satu jam lamanya, Dinda terus memikirkan Bary. Anak laki-laki yang ia temui di sekolah tadi pagi. Semakin ia ingin menghilangkan pikiran tentang Bary, Dinda semakin mengingatnya dan ingin sekali bertemu dengannya.
Ada banyak sekali pertanyaan di dalam pikirannya. Semua tentang Bary. Laki-laki judes yang tak banyak bicara, namun membuat banyak anak perempuan memuja kepribadiannya.
" Ayo lah, Dinda.. cowok itu bukan siapa-siapa kamu. Kamu jangan sampai membuat malu dirimu sendiri. Belum apa-apa kamu sudah menyukainya.." gumam Dinda sembari merebahkan tubuhnya di atas kasur di ruang Tv.
" Apa?! Apa yang baru saja aku katakan?! Aku menyukainya. Tidak..tidak.. Maafkan aku, aku hanya salah bicara. Aku tidak pernah menyukainya.." teriak Dinda karena telah keceplosan berkata kalau dia menyukai Bary.
" Aku harus menyibukkan diriku dengan kegiatan-kegiatan positif, agar tidak memikirkan yang tidak-tidak pada cowok itu. Aku nggak boleh malas gerak. Aku harus melakukan sesuatu.. Tapi apa?" ucap Dinda lagi sembari menggaruk-garuk kepalanya karena tak tahu apa yang ingin dia lakukan.
Ia berdiri sejenak lalu memikirkan apa yang ingin ia lakukan untuk menghilangkan pikirannya tentang Bary. Tiba-tiba perut Dinda bersuara. Ia pun memegangi perutnya.
"Aku lapar... Oh iya, aku juga belum masak. Persediaan bahan makanan di kulkas juga sudah habis. Baiklah..lebih baik aku ke pasar dulu. Siapa tahu pikiranku bisa lebih tenang." ucap Dinda lalu bergegas masuk kedalam kamar untuk mengganti pakaiannya.
Usai mengganti pakaiannya, Dinda keluar untuk mengambil sepeda mini miliknya di samping rumah. Ia kemudian mengayuh sepedanya menuju ke pasar.
Banyak pedagang-pedagang yang menyapa sembari menawarkan barang dagangnnya kepada setiap pembeli. Tak beda dengan Dinda, ia juga ditawari oleh setiap Pedagang di lapak mereka ketika Dinda lewat di depannya.
" Sayur, Dik.." ucap Pedagang ketika Dinda berhenti di depan lapaknya.
" Iya, Pak. Saya mau beli bayam, kangkung, sama daun kol ya." ucap Dinda.
" Boleh..kebetulan ini masih segar. Baru di petik tadi pagi. Nah mau beli berapa?" tanya Pedagang lagi.
" Sedikit-sedikit saja, Pak. Itu hanya untuk saya sendiri kok. Sudah cukup untuk tiga hari."
" Baiklah, Dik.. Sebentar, saya ambilkan wadah terlebih dahulu."
Sembari menunggu Pedagang sayur menaruh sayuran ke dalam kantong plastik, Dinda iseng-iseng melihat ke kanan dan kiri. Ia melihati setiap lapak di samping kanan dan kirinya. Namun tiba-tiba matanya tertuju pada lapak paling ujung, tiga puluh langkah di sebelah kanan dari tempatnya berdiri.
" Bukankah itu, si Bari? Sedang apa dia disini?" Dinda bertanya-tanya dalam hati.
Kembali pikirannya tertuju pada Bary, cowok yang telah membuat hari ini sangat menyebalkan.
" Dik, ini sayurnya.." ucap Pedagang sayur yang dengan tiba-tiba hingga membuat Dinda terkejut.
" Oh..maaf, Pak. Jadi semua habis berapa?" ucap Dinda namun tak melihat ke arah Pedagang sayur, tetapi melihat ke arah pedagang Ayam goreng di sudut pasar.
" Semuanya sepuluh ribu saja, Dik." jawab Pedagang sayur, sembari melihat ke arah dimana mata Dinda tertuju.
Berkali-kali Pedagang sayur itu celingukan melihat ke arah kirinya. Ia lalu melihat ke arah Dinda lagi, dan kembali meihat ke arah kiri lagi. Ia kemudian bertanya-tanya dalam hati. Ada apa dengan Pembelinya itu.
Karena Dinda tak henti-hentinya melihat ke sudut pasar, dan juga ia tak segera membayar sayur belanjaannya, Pedagang sayur itu memberanikan diri untuk menegurnya.
" Dik.. Dik... Sedang melihat apa? Jangan melamun, nanti kesambet lho. Apalagi disini tempa ramai. Saya takut jika masih begitu, ada orang jahat yang menghipnotis adik lalu dibawa pergi oleh Penjahat itu."
"Eh maaf, Pak. Saya hanya seperti mengenal anak laki-laki di ujung sana."
" Anak laki-laki? Maksudnya pedagang ayam goreng di ujung sana?" tanya Pedagang sayur sembari menunjuk ke arah Bary.
" Iya benar, Pak. Kami mendaftar sekolah di sekolah yang sama. Tadi kami ketemu di sekolah. Tapi setelah selesai, dia buru-buru pulang."
" Dia itu namanya, Bary. Anak dari Pak Guntur sama Bu Tika. Dia menggantikan Ayahnya berjualan, karena Ayahnya sakit. Sementara Ibunya menunggu Ayah Bary di rumah sakit."
" Tapi kenapa Dia harus menggantikan Ayahnya berjualan? Bagaimana jika dia sekolah? Pasti Dia akan ketinggalan pelajaran di sekolah."
" Entahlah.. Saya juga tidak tahu, Dik. Bary itu keluarga yang sederhana. Selama Ayahnya sakit, banyak sekali aset yang dijual untuk beaya berobat Ayahnya. Mulai dari motor, Tv, setrika, hingga kipas angin, mereka jual semua untuk beaya pengobatan Pak Guntur. Dan untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari, mereka membuka usaha jual ayam goreng untuk menyambung hidup mereka."
" Oh, jadi begitu. Kasihan sekali anak itu. Kalau begitu saya mau kesana, Pak. Saya mau membeli ayam gorengnya." ucap Dinda lalu menenteng sayurnya pergi.
" Dik..maaf, bayar dulu sayurnya." ucap Pedagang sayur sambil tersenyum.
" Oh..maafkan saya, Pak. Saya lupa. Tadi habis berapa?" ucap Dinda dengan wajah memerah dan tersipu malu karena belum membayar belanjaan yang ia beli.
" Semuanya sepuluh ribu, Dik. Tidak mahal, kok." jawab pedagang sayur.
" Ini, Pak.." ucap Dinda sembari mengulurkan uang selembar seratus ribu dari dompetnya.
" Aduhh...yang kecil saja, Dik. Saya tidak ada kembaliannya. Dagangan saya masih sepi. Belum ada pembeli yang datang kemari."
" Saya juga nggak punya uang kecil, Pak. Kembaliannya buat, Bapak saja."
" Maaf, Dik.. Tidak usah. Kalau begitu uangnya dibawa Adik saja. Bayarnya lain kali saja."
" Tidak, Pak. Kembaliannya buat Bapak saja. Saya masih punya uang lebih, kok."
" Baiklah kalau begitu.. Terima kasih banyak ya, Dik. Semoga Tuhan membalas kebaikan Adik. Semoga jadi anak yang sukses. Aamiin.." ucap Pedagang sayur itu lalu menerima uang dari Dinda.
" Aamiin..terima kasih juga atas doanya,Pak. Kalau begitu saya permisi dulu." ucap Dinda lalu segera pergi menghampiri Bary yang masih sibuk melayani Pembeli Ayam gorengnya.
Dinda memelankan jalannya ketika hampir dekat dengan lapak Bary. Ia kemudian berdiri disamping dua orang pembeli dan melihat Bary yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
" Ayam goreng empat dan tahu crispy sepuluh ribu, ya Bu?" ucap Bary lalu menyerahkan satu plastik berisi ayam goreng dan tahu crispy.
" Masnya, mau beli apa?" tanya Bary pada pembeli yang satunya lagi tanpa melihat ke arah cewek belia yang ternyata adalah Dinda.
" Saya tahu crispy saja lima belas ribu, Dik." ucap Pembeli lalu mengambil uang lima belas ribu dari sakunya.
" Baik.. ini Mas." ucap Bary lalu menyerahkan dagangannya sembari menerima uang dari pembelinya.
Dinda menggeser tubuhnya setelah pembeli terakhir pergi dari lapak Bary. Sementara itu Bary sibuk menata uangnya yang berserak di laci. Ia tak menghiraukan Dinda yang sudah berdiri sejak tadi.
Beberapa saat kemudian, Bary melihat ke arah Dinda. Ia terkejut ketika cewek yang sebenarnya berdiri di depannya sejak tadi adalah Dinda.
" Eh, kamu. Ada apa kemari?" tanya Bary dengan wajah kaku. Ia tak terbiasa melayani pembeli seusianya sehingga membuatnya canggung.
" Ada apa kemari, katamu? Ya tentu saja mau beli. Ada orang datang kemari pasti mau membeli, kan? pakai tanya lagi. Nyebelin..."
" Maaf, kalau mau beli seharusnya kamu bilang. Mas mau beli, atau kalau nggak, panggil namaku terus bilang saja kalau mau beli. Kalau kamu diam saja, mana tahu aku kalau kamu mau beli." ucap Bary lalu kembali menyiapkan adonan dan bersiap menggoreng lagi.
" Aku nggak mau tahu. Menyebalkan!" ucap Dinda dengan kesalnya.
" Kamu marah? Mau beli atau mau marahi aku?"
" Nggak!!! Iya aku mau beli!"
" Ayam goreng atau tahu crispy? Mau beli berapa?"
" Terserah kamu saja!" ucap Dinda lagi dengan ketus.
Bary hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia sudah bersiap menggoreng ayam, namun ia kembali mematikan kompornya lalu mengambil bungkus plastik untuk wadah.
" Kan, kamu yang beli. Kenapa aku yang disuruh milih."
" Masa bodoh..pokoknya terserah kamu!"
Semakin lama, kata-kata Dinda semakin menjengkelkan. Namun sebagai Pedagang, Bary diajarkan untuk selalu bersabar dalam menghadapi pelanggan-pelanggannya. Ia pun tak mau ambil pusing. Ia memasukkan tiga ayam goreng dan sepuluh tahu crispy ke dalam kantong plastik dan menyerahkannya pada Dinda.
" Ini..ambil saja. Nggak usah bayar. Aku tahu kamu sedang lapar. Makanya marah-marah terus." ucap Bary sambil tersenyum.
Dinda melihat senyum di wajah Bary. Hatinya seketika bergejolak. Ia seakan berteriak dan memuji senyuman itu. Namun ia sadar, Ia baru saja mengenalnya. Tak mungkin bagi dirinya untuk mengucapkan sesuatu yang belum sewajarnya.
" Aku nggak mau. Bilang saja berapa semuanya."
" Ini gratis untukmu, nggak usah bayar. Bawa saja uangmu."
" Enggak! Aku disini mau beli, bukan mau minta. Cepat bilang berapa semuanya."
" Aku juga nggak bilang kamu meminta, aku yang memberikannya kepadamu."
" Kamu itu makin lama makin menyebalkan! Nih!" ucap Dinda lalu menyodorkan uang lembaran seratus ribu pada Bary.
Ia lalu pergi begitu saja meninggalkan Bary. Bary berusaha mengejarnya, namun Dinda tetap saja tak menggubris kata-katanya. Karena sudah terlalu jauh dari lapak dan Dinda juga terus berjalan menjauh darinya, Bary menghentikan langkahnya untuk terus mengejar Dinda. Ia pun kembali ke lapaknya dan meneruskan kembali pekerjaannya.
......................
Seminggu kemudian, pengumuman penerimaan siswa baru telah di terbitkan. Dinda datang lebih awal ke sekolah. Dia melihat ke papan pengumuman di depan ruang kepala sekolah.
Kedua matanya tertuju pada papan pengumuman. Ia berulang kali melihat ke atas hingga ke bawah. Namun ia tak menemukan namanya. Ia mulai cemas, sekujur tubuhnya seakan tak bertulang. Keringat dingin mulai membanjiri wajah hingga tubuhnya.
Ia tak menyangka dirinya tak diterima di sekolah favorit pilihannya. Ia tertunduk lesu lalu berjalan mencari tempat duduk. Tiba-tiba saja seseorang datang lalu menepuk bahunya.
" Plakkk.."
Dinda terkejut hingga hampir terjatuh. Ia lalu menatap seseorang yang sudah duduk dan berada disampingnya.
" Kamu kenapa, Dinda?" tanya seorang cewek yang ternyata Arista.
" Aku nggak diterima di sekolah ini, Ta. Padahal aku sangat ingin sekolah disini. Ini sekolah favorit yang aku idam-idamkan sejak dulu. Tak ada namaku di papan pengumuman itu." ucap Dinda sembari menata rambutnya yang terurai menutupi mata kirinya.
Arista hanya tertawa mendengar kata-kata Dinda. Saking gelinya, dia tertawa sampai mengeluarkan air mata melihat sikap Dinda.
" Dinda cantik... Apa kamu sudah melihat dengan benar, pengumuman di papan itu?"
" Kok kamu malah ngetawain aku, sih. Senang ya kalau temanmu ini susah." ucap Dinda sedikit ketus.
" Aku ketawa karena lihat tingkahmu itu. Lucu, tahu. Coba lihat sekali lagi, siapa tahu namanu nyelip diantara banyak nama di papan itu."
" Aku sudah melihatnya sampai lima kali, tapi memang nggak ada namaku di papan itu."
" Dinda.. Dinda... Kamu itu cuma kurang fokus saja. Ayo, kita lihat sama-sama. Aku tadi lihat ada namamu kok di papan itu."
" Yang benar, Ta.. Jangan memberi harapan palsu padaku. Ini tidak lucu, Rista."
Arista tiba-tiba meraih tangan Dinda lalu menariknya dan membawa Dinda ke depan Papan pengumuman.
" Coba..kamu lihat lagi. Ada nggak namamu di papan ini. Kalau nggak ada, berarti salah lihat. Tapi kalau ada, aku minta hari ini, kamu traktir aku makan. Hehehe.."
" Aku janji akan mentraktirmu. Kamu mau makan apa, aku yang bayar. Tapi kalau aku diterima di sekolah ini."
" Oke.. Janji, ya."
" Iya..."
Dinda memulai lagi melihat dan mencari namanya di papan pengumuman. Ia berharap sekali menemukan namanya seperti yang di katakan Arista. Dengan perlahan dia mengurutkan nama-nama yang tercantum di papan pengumuman.
" Ada! Rista, aku diterima..." teriak Dinda sambil lalu memeluk Arista karena saking senangnya.
" Apa, ku bilang.. Kamu itu diterima di sekolah ini. Jadi, kamu akan mentraktirku, kan?"
" Iya..aku kan, sudah janji akan mentraktirmu. Ayo, kita makan di kantin."
" Yes... Let's go. Di kantin pojok sana, makanannya enak-enak. Yang paling aku suka, soto ayamnya. Aromanya menggoda, banget.."
" Boleh, ayo kita kesana. Tapi aku lihat dompetku dulu. Mana tahu uangku nggak cukup."
" Hahaha..tenang saja. Kalau kau bawa uang dua puluh ribu, buat berdua sudah cukup, kok. Sotonya saja cuma lima ribu. Minumnya paling mahal cuma tiga ribu."
" Oh, ku kira mahal. Ini kan sekolah bagus, pastinya jajanan di kantin juga mahal."
" Enggak, Dinda. Meskipun sekolah Favorit, tapi nggak berpengaruh pada makanan di kantin. Ayo, buruan kesana. Mumpung masih pagi. Kalau sudah jam istirahat, nanti ramai."
" Baiklah, Rista."
Dinda mengikuti Arista berjalan ke kantin di sudut sekolah. Kantinnya sangat bersih dan di depan kantin terdapat kolam kecil dengan air mancur di tengahnya. Suasana di Kantin ini membuat Dinda merasa nyaman. Sebelum ia memesan makanan, ia lebih dulu melihat-lihat di sekitar kantin.
Ketika ia melamun mengagumi tempat itu, seseorang datang dan menepuk pundaknya. Dinda terkejut. Ia hampir saja memukul orang yang mengejutkannya dengan tangan kirinya. Namun niatnya terhenti karena orang yang menepuk pundaknya adalah Bary.
" Bary! Kenapa kamu mengagetkanku! Untung saja aku nggak memkulmu. Menyebalkan!" ucap Dinda dengan ketus.
" Maafkan aku.. Aku hanya ingin mengembalikan uangmu. Kamu memberiku uang yang terlalu banyak."
" Sudah kubilang, bawa saja. Aku sudah memberikannya untukmu, kenapa dikembalikan?"
" Aku nggak bisa menerimanya. Uang ini terlalu banyak. Aku nggak mau kamu dimarahi orang tua kamu."
" Santai saja. Orang tuaku nggak tahu kok masalah ini. Sudahlah, jangan memaksaku. Simpan saja uangnya. Lagipula kamu pasti lebih membutuhkannya."
" Eh, aku memang butuh. Tapi dengan kerja kerasku, bukan pemberian orang."
" Kamu itu sombong banget jadi orang.. Ada orang yang ngasih kamu uang malah dikembalikan. Nanti orang yang ngasih ke kamu, kapok."
" Baiklah..aku terima uangmu. Terima kasih, ya.."
" Iya, sama-sama. Eh, bary kamu diterima di sekolah ini?" tanya Dinda sembari menyibakkan rambutnya yang terurai.
" Jangan ditanya diterima atau nggak, Dinda. Dia pasti di terima. Dia kan anak pintar." sahut Arista lalu duduk di samping Dinda.
" Jadi.. Kamu diterima, Bar?!" Teriak Dinda sambil tersenyum.
" Iya..begitu lah." ucap Bary singkat.
" Yeeee...mudah-mudahan kita bisa satu kelas, ya."
" Cieee.. Kalau satu kelas memangnya kamu mau ngapain sama Bary, Dinda." ucap Arista.
" Ah, nggak ngapa-ngapain. Cuma, aku senang saja bisa sekelas sama Bary."
" Ehem..pasti ada apa-apanya nih.."
" Ihh.. apa, Rista? jangan bicara yang aneh-aneh." ucap Dinda sembari mencubit lengan Arista.
" Aduhhh...sakit.." keluh Rista lalu membalas Dinda dengan menabok punggungnya.
" Aduhh.. Berani nabok, nggak jadi ku traktir lho. "
" Eh.. Nggak bisa begitu. Kamu kan, sudah janji. Janji harus ditepati."
" Iya... Iya.. Eh Bary kamu mau makan apa? Aku yang traktir." tanya Dinda pada Bary.
" Oh, tidak usah Dinda. Terima kasih banyak. Aku sudah kenyang. Kamu saja yang makan."
" Bary.. Kenapa kamu menolak tawaran Dinda? Padahal makanan disini enak-enak lho." tanya Rista.
" Tidak apa, aku tadi sudah makan. Lagipula sebentar lagi aku harus pulang." ucap Bary.
" Eh, Bary..katanya Ayahmu sakit, sakit apa?"
" Darimana kamu tahu?"
" Dari Penjual sayur di pasar. Kamu menggantikan pekerjaan Ayahmu, kan?"
Bary menganggukan kepalanya. Sebenarnya ia tak ingin Dinda tahu kalau ia membantu Ayahnya berjualan. Ia malu untuk mengatakannya.
" Bary.. Malah bengong, jawab tu pertanyaan Dinda." ucap Tasya sambil menepuk pundak Bary.
" Eh maaf, aku harus segera pulang. Hari ini pekerjaanku banyak sekali. Cucianku juga sudah menumpuk. Aku pergi dulu, ya." ucap Bary lalu bergegas pergi meninggalkan kantin.
" Duhh...memang aneh anak itu. Main pergi saja.. Ditanya bukannya menjawab malah langsung pamit pulang." ucap Rista saking kesalnya sama Bary.
" Sudah, jangan ngomelin dia. Nggak apa kan, kalau dia mau pergi. Lagi pula dia pasti banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Kan, Ayahnya sekarang lagi dirawat di rumah sakit."
" Iya, tapi setidaknya dia jawab dulu pertanyaanmu sebelum dia pergi."
" Kamu kok gitu sama Bary. Bukannya dia tetangga kamu. Harusnya kamu lebih mengerti dia, Rista."
" Eh, aku hanya nggak enak sama kamu, Dinda. Kayaknya kamu seperti dicuekin."
" Aku tidak apa-apa, Rista. Tenang saja..dari pada ngomongin Dia mending kita makan saja. Mumpung masih hangat."
Dinda dan Rista segera menyantap makanan yang sudah tersaji di meja makan. Dalam hati Dinda sebenarnya merasa kesal dengan sikap Bary. Namun ia mampu untuk menyembunyikan kekesalannya. Ia tak ingin Arista menjadi kesal juga, karena sikap Bary.
......................
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!