SALAH TUBUH

SALAH TUBUH

1. Catherine ... Catherine.

Lagi-lagi keributan itu kembali terdengar di salah satu rumah sederhana milik keluarga Gilmer. Hampir setiap hari telinga para tetangga akan disuguhi pertengkaran yang selalu dimulai oleh sang kepala keluarga, Charlie Gilmer. Seorang mantan Walikota yang dipecat secara tidak hormat, karena dicurigai telah menggelapkan dana jutaan dollar untuk keuntungan pribadi, selama memegang jabatannya.

Kendati proses pemeriksaan masih berlangsung, tetapi Charlie dapat melenggang bebas tanpa masuk tahanan berkat bantuan seorang pengacara kawakan kenalannya.

Pemberitaan mengenai sang mantan walikota pun mencuat di berbagai media masa, memenuhi pelosok negeri.

Hal itulah yang menyebabkan hidup keluarga Gilmer terjun bebas hanya dalam hitungan minggu. Mereka tidak lagi menempati rumah mewah di wilayah West Hawkins, dan terpaksa pindah ke kota kecil Deshington, dua bulan yang lalu.

Sejak saat itu pulalah, kehidupan putri tunggal Charlie dan Jeanna tak lagi sama.

"Anak si4lan tak tahu diuntung. Menyesal aku memiliki anak sepertimu! Kalau tidak mau mat1, lebih baik kau ju4l diri saja!" Teriakan pria berusia 45 tahun itu terdengar menggema hingga keluar rumah. Maklum saja, kawasan tempat tinggal mereka bukanlah kawasan bising penuh kendaraan seperti di West Hawkins. Apa lagi, jumlah rumah di distrik kecil tempat tinggal mereka hanya ada sekitar lima puluh saja.

"Pers3tan! Kau pikir, aku bangga memiliki ayah berkelakuan s4mp4h sepertimu? Kalau kau punya malu, seharusnya kau lah yang pantas m4ti!" sahut suara seorang gadis tak kalah keras.

Sedetik kemudian pintu rumah terbanting terbuka. Catherine, sang putri tunggal keluarga tersebut, keluar dari dalam rumah dengan langkah lebar. Wajahnya tampak kacau. Gadis itu bahkan tidak memakai sepatunya dengan benar.

"B3d3b4h!" Charlie hendak mengejar Catherine sambil mengacungkan tongkat bisbol, tetapi sang istri, Jeanna, segera menahan lengan pria itu.

Dia tak peduli lagi, bila pria yang dulu pernah menjadi pelindung keluarga kecil ini, akan kembali menghajar dirinya, karena telah melindungi sang putri.

"Lepaskan aku, wanita si4l!" hardik Charlie. Para tetangga yang mendengar dari balik dinding rumah mereka, hanya bisa berdoa akan keselamatan Jeanna mau pun Catherine. Mereka tidak berani melangkah lebih jauh, sebab Charlie tidak akan segan-segan menodongkan senj4t4 t4j4m, bila ada salah seorang dari mereka berusaha bertindak seperti pahlawan.

Catherine dengan wajah dingin menghapus air matanya kasar. Gadis itu duduk di halte bus yang tampak sepi, sebelum kemudian mengikat tali sepatunya yang belum tersimpul dengan benar.

Catherine tak lagi terkejut dengan perubahan sikap sang ayah, sejak kasus beliau mencuat.ke permukaan. Gadis itu telah terbiasa. Dihina dan direndahkan adalah makanan sehari-hari Catherine saat ini. Bahkan, perlakuan tersebut tak hanya dia dapatkan dari Charlie saja.

Bus sekolah yang Catherine tunggu pun tiba. Setiap hari gadis itu harus menempuh perjalanan satu setengah jam, baik menuju sekolah mau pun kembali ke rumah, menggunakan dua bus berbeda. Sebab sang ibu meminta Catherine untuk tetap bertahan di sekolah lamanya.

Jeanna tidak memiliki biaya lagi untuk mengurus kepindahan sang putri kesayangan. Sementara di sekolah lamanya, seluruh biaya sekolah Catherine sudah lunas sampai kelulusan tiba.

Alhasil, Catherine harus bersabar beberapa bulan lagi. Dia menempa batinnya sekuat mungkin, demi menghadapi keberingasan para penghuni sekolah yang kini membencinya.

Tak ada lagi Catherine dengan segudang teman. Bahkan ketiga sahabatnya pun kini berdiri di garda terdepan, setiap melakukan pervndvngan terhadap dirinya.

"Pagi, Kate," sapa Mr. Palmer, sang supir bus, ramah.

"Pagi, Pak," jawab Catherine. Gadis itu memasukkan beberapa koin uang ke dalam kotak pembayaran yang ada di sana. Dia tidak lagi memiliki smart card untuk melakukan pembayaran secara digital.

Setelah Catherine selesai membayar, Mr. Palmer segera menutup pintu bus dan menjalankan kendaraannya.

Mengabaikan tatapan dingin para penghuni bus, Catherine dengan penuh percaya diri berjalan menuju setiap kursi kosong yang ada. Namun, tak ada satu pun orang yang sudi memberi kursi tersebut padanya. Mereka akan langsung meletakkan tas masing-masing ke atas kursi kosong yang ada, agar Catherine tidak mendapatkan tempat duduk.

Sekali lagi, Catherine sudah terbiasa.

Alhasil, seperti hari-hari sebelumnya, dia akan berdiri persis di pintu belakang bus sampai tiba di halte berikutnya.

Mr. Palmer hanya bisa menatap perihatin Catherine dari pantulan kaca spion. Pria tua itu tak bisa berbuat banyak.

...*********...

Pagi yang cukup menyenangkan dan heboh di kediaman megah keluarga Wells. Setiap hari ada saja celotehan ketiga anak di keluarga tersebut, yang membuat suasana semakin semarak. Apa lagi dua di antaranya merupakan anak kembar yang masih berusia lima tahun.

"Casey, ada saus di mulutmu. Ibu sudah bilang untuk makan dengan—"

"Elegan dan berwibawa. Aku tahu, tak perlu diingatkan lagi, Bu." Lelaki tampan berusia sepuluh tahun itu memotong pembicaraan sang ibu tercinta.

"Casey," tegur sang ayah tanpa mengalihkan pandangannya pada tablet yang dia pegang. Pria itu tengah asik membaca laporan pekerjaan yang baru saja dikirim, Cisco, sekretaris pribadinya.

"Maaf, Bu," ucap Casey sambil tertunduk.

"Tidak apa-apa, My beautiful boy." Si wanita tersenyum ramah. Dia membantu membersihkan sisa saus yang ada di mulut sang putra, sembari sesekali mengawasi si kembar yang sedang sibuk makan di tempatnya masing-masing.

Melihat sang suami tak juga mengurangi sarapan di piringnya, wanita itu turut menegur. "Honey, sepertinya kau harus meletakkan tablet-mu dulu." Alunan lembut terdengar dari suaranya. Tak ada raut kekesalan yang tertera di wajah cantik wanita itu.

Ethan terkesiap. Pria itu buru-buru meletakkan tabletnya di atas meja makan, tepat di sebelah piring. "Oh, oke, maafkan aku, Sayang. Kau tahu, aku sudah harus membaca semua laporan yang Cisco berikan, sebelum sampai di kantor."

"Aku mengerti," jawab wanita tersebut.

Setelah menyelesaikan sarapannya, seperti biasa sang kepala keluarga akan pergi ke kantor terlebih dahulu, sedangkan ketiga anaknya masih harus menunggu mobil jemputan sekolah mereka.

Ethan mencium ketiga anaknya sembari menitip pesan agar menjaga sang ibu di rumah.

"Bye-bye, Ayah!" Si kembar Zac dan Zoey melambaikan tangannya dengan antusias ke arah sang ayah.

"Bye-bye!" Ethan membalas lambaian mereka. Ditemani Catherine, sang istri, keduanya pun pergi menuju pintu depan.

"Sayang, hari ini aku mungkin akan pulang terlambat. Jadi, kau tak perlu menunggu," ucap Ethan sebelum masuk ke dalam mobil.

"Baiklah. Hati-hati ya?" pesan Catherine sembari membenarkan posisi dasi sang suami yang sedikit miring.

"Baik, Sayang. Aku pergi dulu." Dengan penuh mesra, Ethan *****4* sebentar bibir tipis sang istri, lalu mengecup keningnya lama.

Catherine refleks memejamkan mata. Kendati mereka telah memiliki tiga orang anak, sikap dan kehangatan yang dimiliki Ethan tak pernah berubah.

"Aku mencintaimu," ucap Ethan setelah melepas kecupannya.

"Aku juga," jawab Catherine tersenyum. Wanita itu tetap menunggu di sana hingga mobil sang suami menghilang dari hadapannya.

Terpopuler

Comments

Siska Agustin

Siska Agustin

namanya sama Catherine nya ya.. satu masih pelajar yg satu lagi ibu rumah tangga..

2023-01-04

1

Lee

Lee

Baca bab 1 aja sdh bkin pnasaran..lnjut thor..
slam dri berpisah karena mandul..💪🤗

2022-12-04

0

IndraAsya

IndraAsya

👣👣👣 Jejak 💪💪💪😘😘😘

2022-12-02

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!