5. Satu Sama Lain.

Jeanna membantu Catherine membaringkan tubuhnya di ranjang, setelah wanita itu selesai menggantikan pakaian dan mengobati seluruh tubuh sang putri yang dipenuhi banyak luka.

Tak hanya luka yang didapatkan dari Charlie, Catherine juga memiliki banyak luka yang entah dia dapat dari mana. Setiap kali ditanya, gadis itu malah meminta bersumpah untuk tidak membahasnya lagi.

"Bu, temani aku sampai tertidur ya?" pinta Catherine dengan suara parau.

Jeanna mengangguk. "Tak perlu diminta, Ibu akan menjagamu semalaman, Sayang," jawab wanita itu lembut. Dia kemudian memposisikan diri terbaring tepat di sebelah Catherine. Sambil menepuk-nepuk lengan sang putri tercinta, Jeanna meminta maaf atas perlakuannya tadi siang di sekolah.

"Ibu benar-benar minta maaf, Kate. Seharusnya Ibu sadar, bahwa Ibu tidak boleh memaksamu untuk tetap berada di lingkungan seperti itu."

Catherine tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Bu. Aku juga meminta maaf, karena telah meneriakimu di depan banyak orang," balasnya.

"Tak ada yang perlu dimaafkan Sayang. Bukan dirimulah yang salah di sini." Embusan napas terdengar dari mulut wanita itu. "Sekarang, semua pilihan ada di tanganmu. Kau boleh berhenti dari sana. Ibu akan berusaha mencari sekolah baru, meski itu hanya sekolah biasa. Yang penting kau harus tetap melanjutkan pendidikan." Sambung Jeanna.

Mendengar perkataan sang ibu, Catherine sontak menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, Bu. Sekolahku hanya tinggal beberapa minggu lagi. Akan sulit bagi sekolah lain menerima murid pindahan di angkatan terakhir, jadi biarkan aku tetap bersekolah di sana." Seulas senyum terpatri di wajah cantik Catherine yang kini tertutupi sedikit luka.

Jeanna membenarkan posisi tidurnya agar bisa melihat raut wajah Catherine. "Kau yakin Sayang? Ibu mohon jangan memaksakan diri! Kau tak perlu merasa terbebani dengan perkataan Ibu kemarin-kemarin. Uang masih bisa Ibu cari!" sergahnya.

Lagi-lagi Catherine menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya perlu bertahan sebentar lagi."

Sebuah pelukan hangat dari sang ibu membuat hati Catherine sedikit terobati. Gadis itu menitikkan air matanya di pelukan Jeanna.

Sembari berusaha tertidur, Catherine kembali mengingat kejadian di jembatan tadi.

Perasaan putus asa membuat gadis itu sempat berniat mengakhiri hidupnya sendiri. Namun, entah mengapa, bayangan wajah serta senyuman Jeanna tiba-tiba menari-nari di dalam kepala Catherine. Hal itu tentu saja membuat niat Catherine hilang dalam sekejap.

Gadis itu seolah tersadar, jika beban sang ibu mungkin saja malah akan bertambah, tatkala beliau mengetahui alasan kemaatiiiannya nanti. Jadi, dari pada membiarkan para pembenci itu menang, Catherine kini bertekad untuk menghadapi segala kesulitan yang ada.

Akan tetapi kesialan sempat menggerayangi Catherine. Saat dirinya hendak turun kembali ke jembatan, tanpa sengaja kakinya terpeleset. Beruntung gadis itu dengan sigap langsung berpegangan pada salah satu besi pembatas yang rusak dan menjuntai ke bawah.

Dalam kesendirian di kegelapan malam, Catherine berusaha menyelamatkan diri dari kecerobohannya. Namun, nahas besi tersebut ternyata tak mampu menahan beban tubuhnya lebih lama.

Saat Catherine hendak memasrahkan diri, tiba-tiba suara gonggongan anjing terdengar nyaring di telinganya.

Catherine mendongak ke arah jembatan dan mendapati seekor anjing Saint Bernard berwarna kecoklatan sedang menjulurkan kepalanya keluar dari jembatan. Dimulut anjing raksasa tersebut terdapat seutas tali yang bisa Catherine gapai.

Tanpa pikir panjang Catherine segera meraih tali tersebut. Seolah mengerti, anjing itu pun segera menarik tubuh kurus Catherine hingga naik ke atas jembatan.

Catherine sempat mengucapkan terima kasih, sebelum akhirnya membiarkan anjing tanpa pemilik itu pergi meninggalkannya.

...**********...

Jeanna belum juga dapat memejamkan kedua matanya, kendati waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.

Sorot matanya tampak dingin. Rasa sakit dan panas sejak tadi membelenggu menggulung jiwa wanita paruh baya itu.

Tanpa suara Jeanna mulai turun dari ranjang dan pergi dari kamar sang putri tercinta.

Langkah kaki Jeanne sontak terhenti, tatkala mendapati sosok sang suami tengah tertidur pulas di sofa ruang televisi.

Gemuruh dalam dadanya semakin membuncah. Dalam keadaan seperti ini, hanya dia lah satu-satunya orang yang masih mampu tertidur nyenyak, padahal jelas-jelas kehancuran hidup mereka merupakan akibat dari ulah pria itu sendiri.

Tangan Jeanna terkepal erat. Dia melangkah pergi melewati Charlie menuju dapur.

Entah apa yang merasuki jiwa wanita baik hati tersebut, ketika tiba-tiba dengan mudahnya dia mengambil sebilaah pisaauu daging, sebelum kemudian melangkah kembali menghampiri Charlie.

Jeanna berdiri tepat dua meter di sebelah Charlie. Di tangannya tergenggam erat sebilah pisaauu daging yang baru saja diambilnya tadi.

Tak ada yang tahu seberapa besar kesakitan yang telah tertanam dalam diri Jeanna, sebab dia berhasil menutupinya selama ini dari siapa pun, termasuk Catherine.

Belum lagi memikirkan beban berat yang harus Catherine pikul diusia mudanya saat ini.

Berbagai macam hinaan dan cacian harus di hadapi gadis itu, padahal seharusnya dia bisa hidup dan bergaul normal seperti remaja lain. Namun, karena keserakahan seseorang, masa depan sang putri tercinta nyaris hilang.

Jeanna tentu tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Dia yang tidak memiliki masa depan lagi tentu akan lebih mudah menjalani kelamnya hidup dari pada sang putri. Jadi, demi melindungi masa depan Catherine, wanita itu memutuskan akan mengakhiri semuanya.

Diiringi deraian air mata, tangan tuanya mulai mengangkat pisaauu daging sebatas dada. Angannya memiliki keluarga bahagia hingga akhir hayat, tak lagi terlintas dalam benak Jeanna.

Usahanya mengembalikan sang suami seperti dulu pun terasa sia-sia. Kini yang dia butuhkan hanya satu.

"Kau tak boleh menghancurkan masa depan anakku!" gumam Jeanna dingin.

Pisaauu mulai terayun ke arah lehher Charlie. Namun, sedetik kemudian, pisaauu yang ada dalam genggaman tangan Jeanna tiba-tiba terhempas jauh ke sudut ruangan.

Jeanna sama sekali tidak menyadari, bahwa Catherine telah berdiri di sana. Gadis itu baru saja menyelamatkan nasib dan masa depan ibunya.

"Kate!" Jeanna menatap Catherine dengan wajah terkejut.

Air mata mengalir membasahi pipi Catherine. Alih-alih menghakimi perbuatan sang ibu berusan, gadis itu malah memilih memeluk tubuh mungil beliau dan memberinya ketenangan.

Tangis Jeanna semakin pecah. Jiwanya yang semula diliputi kebencian kini mulai tertutup kembali.

"Maafkan Ibu, Nak! Maafkan Ibu!" seru Jeanna dalam dekapan hangat Catherine.

Catherine mengangguk tanpa suara. Jeanna tak butuh kata-kata penyemangat lain, sebab yang dia butuhkan saat ini hanyalah sebuah pelukan.

Keduanya saling bertukar rasa sakit selama beberapa saat dalam posisi yang sama. Mereka tak lagi memerdulikan Charlie yang masih tertidur pulas di atas sofa.

Baik Catherine mau pun Jeanna sama sekali tidak menyadari, bahwa mereka melakukan hal tersebut hanya demi menghilangkan beban satu sama lain.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!