NovelToon NovelToon

SALAH TUBUH

1. Catherine ... Catherine.

Lagi-lagi keributan itu kembali terdengar di salah satu rumah sederhana milik keluarga Gilmer. Hampir setiap hari telinga para tetangga akan disuguhi pertengkaran yang selalu dimulai oleh sang kepala keluarga, Charlie Gilmer. Seorang mantan Walikota yang dipecat secara tidak hormat, karena dicurigai telah menggelapkan dana jutaan dollar untuk keuntungan pribadi, selama memegang jabatannya.

Kendati proses pemeriksaan masih berlangsung, tetapi Charlie dapat melenggang bebas tanpa masuk tahanan berkat bantuan seorang pengacara kawakan kenalannya.

Pemberitaan mengenai sang mantan walikota pun mencuat di berbagai media masa, memenuhi pelosok negeri.

Hal itulah yang menyebabkan hidup keluarga Gilmer terjun bebas hanya dalam hitungan minggu. Mereka tidak lagi menempati rumah mewah di wilayah West Hawkins, dan terpaksa pindah ke kota kecil Deshington, dua bulan yang lalu.

Sejak saat itu pulalah, kehidupan putri tunggal Charlie dan Jeanna tak lagi sama.

"Anak si4lan tak tahu diuntung. Menyesal aku memiliki anak sepertimu! Kalau tidak mau mat1, lebih baik kau ju4l diri saja!" Teriakan pria berusia 45 tahun itu terdengar menggema hingga keluar rumah. Maklum saja, kawasan tempat tinggal mereka bukanlah kawasan bising penuh kendaraan seperti di West Hawkins. Apa lagi, jumlah rumah di distrik kecil tempat tinggal mereka hanya ada sekitar lima puluh saja.

"Pers3tan! Kau pikir, aku bangga memiliki ayah berkelakuan s4mp4h sepertimu? Kalau kau punya malu, seharusnya kau lah yang pantas m4ti!" sahut suara seorang gadis tak kalah keras.

Sedetik kemudian pintu rumah terbanting terbuka. Catherine, sang putri tunggal keluarga tersebut, keluar dari dalam rumah dengan langkah lebar. Wajahnya tampak kacau. Gadis itu bahkan tidak memakai sepatunya dengan benar.

"B3d3b4h!" Charlie hendak mengejar Catherine sambil mengacungkan tongkat bisbol, tetapi sang istri, Jeanna, segera menahan lengan pria itu.

Dia tak peduli lagi, bila pria yang dulu pernah menjadi pelindung keluarga kecil ini, akan kembali menghajar dirinya, karena telah melindungi sang putri.

"Lepaskan aku, wanita si4l!" hardik Charlie. Para tetangga yang mendengar dari balik dinding rumah mereka, hanya bisa berdoa akan keselamatan Jeanna mau pun Catherine. Mereka tidak berani melangkah lebih jauh, sebab Charlie tidak akan segan-segan menodongkan senj4t4 t4j4m, bila ada salah seorang dari mereka berusaha bertindak seperti pahlawan.

Catherine dengan wajah dingin menghapus air matanya kasar. Gadis itu duduk di halte bus yang tampak sepi, sebelum kemudian mengikat tali sepatunya yang belum tersimpul dengan benar.

Catherine tak lagi terkejut dengan perubahan sikap sang ayah, sejak kasus beliau mencuat.ke permukaan. Gadis itu telah terbiasa. Dihina dan direndahkan adalah makanan sehari-hari Catherine saat ini. Bahkan, perlakuan tersebut tak hanya dia dapatkan dari Charlie saja.

Bus sekolah yang Catherine tunggu pun tiba. Setiap hari gadis itu harus menempuh perjalanan satu setengah jam, baik menuju sekolah mau pun kembali ke rumah, menggunakan dua bus berbeda. Sebab sang ibu meminta Catherine untuk tetap bertahan di sekolah lamanya.

Jeanna tidak memiliki biaya lagi untuk mengurus kepindahan sang putri kesayangan. Sementara di sekolah lamanya, seluruh biaya sekolah Catherine sudah lunas sampai kelulusan tiba.

Alhasil, Catherine harus bersabar beberapa bulan lagi. Dia menempa batinnya sekuat mungkin, demi menghadapi keberingasan para penghuni sekolah yang kini membencinya.

Tak ada lagi Catherine dengan segudang teman. Bahkan ketiga sahabatnya pun kini berdiri di garda terdepan, setiap melakukan pervndvngan terhadap dirinya.

"Pagi, Kate," sapa Mr. Palmer, sang supir bus, ramah.

"Pagi, Pak," jawab Catherine. Gadis itu memasukkan beberapa koin uang ke dalam kotak pembayaran yang ada di sana. Dia tidak lagi memiliki smart card untuk melakukan pembayaran secara digital.

Setelah Catherine selesai membayar, Mr. Palmer segera menutup pintu bus dan menjalankan kendaraannya.

Mengabaikan tatapan dingin para penghuni bus, Catherine dengan penuh percaya diri berjalan menuju setiap kursi kosong yang ada. Namun, tak ada satu pun orang yang sudi memberi kursi tersebut padanya. Mereka akan langsung meletakkan tas masing-masing ke atas kursi kosong yang ada, agar Catherine tidak mendapatkan tempat duduk.

Sekali lagi, Catherine sudah terbiasa.

Alhasil, seperti hari-hari sebelumnya, dia akan berdiri persis di pintu belakang bus sampai tiba di halte berikutnya.

Mr. Palmer hanya bisa menatap perihatin Catherine dari pantulan kaca spion. Pria tua itu tak bisa berbuat banyak.

...*********...

Pagi yang cukup menyenangkan dan heboh di kediaman megah keluarga Wells. Setiap hari ada saja celotehan ketiga anak di keluarga tersebut, yang membuat suasana semakin semarak. Apa lagi dua di antaranya merupakan anak kembar yang masih berusia lima tahun.

"Casey, ada saus di mulutmu. Ibu sudah bilang untuk makan dengan—"

"Elegan dan berwibawa. Aku tahu, tak perlu diingatkan lagi, Bu." Lelaki tampan berusia sepuluh tahun itu memotong pembicaraan sang ibu tercinta.

"Casey," tegur sang ayah tanpa mengalihkan pandangannya pada tablet yang dia pegang. Pria itu tengah asik membaca laporan pekerjaan yang baru saja dikirim, Cisco, sekretaris pribadinya.

"Maaf, Bu," ucap Casey sambil tertunduk.

"Tidak apa-apa, My beautiful boy." Si wanita tersenyum ramah. Dia membantu membersihkan sisa saus yang ada di mulut sang putra, sembari sesekali mengawasi si kembar yang sedang sibuk makan di tempatnya masing-masing.

Melihat sang suami tak juga mengurangi sarapan di piringnya, wanita itu turut menegur. "Honey, sepertinya kau harus meletakkan tablet-mu dulu." Alunan lembut terdengar dari suaranya. Tak ada raut kekesalan yang tertera di wajah cantik wanita itu.

Ethan terkesiap. Pria itu buru-buru meletakkan tabletnya di atas meja makan, tepat di sebelah piring. "Oh, oke, maafkan aku, Sayang. Kau tahu, aku sudah harus membaca semua laporan yang Cisco berikan, sebelum sampai di kantor."

"Aku mengerti," jawab wanita tersebut.

Setelah menyelesaikan sarapannya, seperti biasa sang kepala keluarga akan pergi ke kantor terlebih dahulu, sedangkan ketiga anaknya masih harus menunggu mobil jemputan sekolah mereka.

Ethan mencium ketiga anaknya sembari menitip pesan agar menjaga sang ibu di rumah.

"Bye-bye, Ayah!" Si kembar Zac dan Zoey melambaikan tangannya dengan antusias ke arah sang ayah.

"Bye-bye!" Ethan membalas lambaian mereka. Ditemani Catherine, sang istri, keduanya pun pergi menuju pintu depan.

"Sayang, hari ini aku mungkin akan pulang terlambat. Jadi, kau tak perlu menunggu," ucap Ethan sebelum masuk ke dalam mobil.

"Baiklah. Hati-hati ya?" pesan Catherine sembari membenarkan posisi dasi sang suami yang sedikit miring.

"Baik, Sayang. Aku pergi dulu." Dengan penuh mesra, Ethan *****4* sebentar bibir tipis sang istri, lalu mengecup keningnya lama.

Catherine refleks memejamkan mata. Kendati mereka telah memiliki tiga orang anak, sikap dan kehangatan yang dimiliki Ethan tak pernah berubah.

"Aku mencintaimu," ucap Ethan setelah melepas kecupannya.

"Aku juga," jawab Catherine tersenyum. Wanita itu tetap menunggu di sana hingga mobil sang suami menghilang dari hadapannya.

2. Terpendam.

Suara-suara sumbang yang terdengar menyakitkan, tertangkap telinga Catherine begitu tiba di sekolah. Hinaan dan cemoohan para penghuni sekolah mengiringi langkah kaki Catherine menuju kelas.

Gadis itu sama sekali tidak terpengaruh. Dia telah terbiasa menghadapi hal tersebut setiap hari.

"Hei, j4l4ng! Rupanya kau masih memiliki muka datang ke sekolah ini!" Jasmine –mantan sahabat baik Catherine– berteriak nyaring, saat mendapati kedatangan gadis itu ke dalam kelas.

Seluruh penghuni kelas menatap Catherine dengan pandangan jijik. Mereka mencemooh keberanian Catherine yang masih menampakkan wujudnya di sekolah dengan penuh percaya diri.

Catherine tidak menjawab. Dia terus melangkah masuk menuju satu-satunya meja yang terletak di sudut belakang kelas, jauh dari meja-meja lain.

Sesampainya di sana, tubuh Catherine mematung, tatkala mendapati tulisan baru yang menghiasi meja belajar miliknya.

P3l4cvr jalanan!

Kau pantas m4t11 bersama ibu dan ayahmu!

Kenapa kau tidak bvnvh d1ri saja!

Catherine mencengkeram erat tali tasnya. Gemuruh dalam dada terasa sangat menyiksa.

Mengapa semua orang menginginkan kem4t14nnya? Padahal jelas-jelas bukan dia yang melakukan kesalahan?

Catherine berusaha menenangkan diri. Tanpa memerdulikan perkataan Jasmine dan beberapa siswi lain yang masih membeo, dia pun duduk di kursinya.

"Hei, berani-beraninya kau mengabaikanku!" bentak Jasmine sembari melangkah menghampiri Catherine.

Gadis itu diam-diam membawa sebotol besar lem kayu yang dia sembunyikan di belakang tubuhnya.

"Kau dengar kami tidak, gadis bodoh?" Wanda turut menyusul langkah Jasmine. Dia lah mantan sahabat Catherine yang lain.

"Sekolah kita akan berakhir kurang dari empat bulan lagi, jadi biarkan aku menjalani sisanya dengan tenang," ujar Catherine tanpa menatap Jasmine dan Wanda. Gadis itu memilih mengeluarkan bukunya dari dalam tas untuk dibaca.

Mendengar perkataan Catherine, Jasmine dan Wanda tertawa sinis. Wanda bahkan menggebrak meja Catherine. "Jangan bermimpi j44l4ng! Enteng sekali bicaramu!" hardiknya.

"Hei, seharusnya kau tahu diri, bahwa uang yang digunakan ayahmu adalah uang-uang dari keringat rakyat. Keringat orang tua kami. Jadi, bukanlah lebih baik kau pergi dan menggelandang di jalanan?" Jasmine menunduk menatap mata Catherine.

Catherine tetap bungkam. Dia lagi-lagi tidak menanggapi celotehan kedua mantan sahabatnya.

Sakit hati akan sikap Catherine, Jasmine menj4mb44k rambut gadis itu keras. "Dasar si4lan!" Sebotol lem kayu yang tadi dibawanya, kini ditumpahkan ke seluruh seragam Catherine hingga habis.

Catherine berusaha melepaskan diri, tetapi beberapa gadis lain –termasuk Wanda– malah membantu memeganginya.

Air mata mengalir membasahi sudut mata Catherine. Gadis itu bukan sedang menangisi nasibnya yang malang, melainkan menangisi satu-satunya seragam yang tersisa.

Bila seragam itu rusak, Catherine tentu tidak akan dapat memilikinya lagi. Sang ibu tidak mungkin mampu membelinya, karena harga satu setel seragam tersebut mencapai delapan belas ribu dollar.

Suara tawa menggelegar memenuhi telinga Catherine. Tak ada yang sudi membantu gadis itu, mereka malah asik memotret dan merekam kemalangannya.

...**********...

Catherine tidak bisa menahan air matanya begitu mendengar diagnosa dokter Belinda. Wanita berusia 35 tahun itu hanya bisa mematung di hadapan sang dokter.

"Secepat mungkin Anda harus menjalani kemoterapi guna menghancurkan sel kankernya, Nyonya Wells," ujar dokter Belinda.

Catherine tidak bereaksi.

"Anda tidak perlu cemas dan takut, Nyonya. Pada Leukimia stadium dua, sel-sel kanker telah berkembang, tetapi belum menyebar ke seluruh area tubuh. Apa lagi Anda termasuk berusia muda. Penderita berusia di bawah empat puluh tahun memiliki harapan hidup yang lebih lama dari penderita berusia lanjut," sambung dokter Belinda.

Catherine refleks menggeleng. Saat ini yang ada dalam kepalanya bukanlah penyakit mematikan tersebut, melainkan reaksi sang suami tercinta bila dia memberitahu dirinya.

"Aku akan menjalaninya, tetapi dengan satu syarat, dokter," ujar Catherine. Matanya menatap sang dokter dengan sungguh-sungguh. "Jangan beritahu siapa pun soal ini, termasuk pada suamiku, Ethan."

Embusan napas keluar dari mulut dokter Belinda, agaknya dia sudah dapat menebak hal tersebut.

Wanita berusia nyaris enam puluh tahun itu hendak membantah, tetapi Catherine buru-buru memotong.

"Kumohon Aunty, biarkan aku menanggung semua ini sendiri."

Catherine menangis sesenggukkan di hadapan dokter sekaligus tantenya.

Belinda beranjak dari kursinya dan memeluk Catherine penuh kasih sayang. Sebagai dokter dia tak boleh terbawa suasana, tetapi sebagai keluarga dia pantas menangisi keponakan satu-satunya saat ini.

...**********...

Catherine masih sibuk membersihkan sisa-sisa lem kayu yang menempel di seragamnya, meski bel masuk telah berbunyi. Tak akan ada yang mencari keberadaannya, termasuk guru-guru di sana. Mereka akan lebih banyak mengabaikan kehadiran Catherine. Itulah mengapa para murid leluasa melakukan p3rvndvng4n padanya.

Setelah dirasa selesai, Catherine pun bergegas keluar dari toilet. Noda lem memang tidak sepenuhnya terangkat, tetapi terlihat jauh lebih baik dari pada sebelumnya.

Beruntung setiap hari Catherine membawa jaket ke sekolah, jadi dia bisa menggunakan jaket tersebut untuk menutupi seragamnya yang nampak basah.

Suara tawa dari salah salah satu meja makan di dalam kantin terdengar menggelegar. Siapa lagi kalau bukan Jasmine, Wanda, dan beberapa gadis lain? Mereka tengah asik melempari Catherine yang sedang serius menyantap roti melon dan sekotak susu, dengan potongan-potongan buah.

"Ayo, makan buah ini! Kami sudah berbaik hati memberikannya untukmu, loh!" kelakar Jasmine sambil terbahak. Tak hanya buah saja yang dilempar Jasmine pada Catherine, dia juga melempari potongan daging penuh bumbu, hingga membuat rambut gadis itu kotor.

Catherine menghentikan kegiatannya meminum susu. Gadis itu meremas kotak susu tersebut hingga remuk, sebelum kemudian berbalik menatap Jasmine. "Bisakah kau berhenti melakukannya?"

"Tidak!" Tawa kembali memenuhi meja Jasmine. Gadis itu bahkan berdiri dari tempat duduknya sambil membawa segelas jus buah naga.

Wanda menatap antusias. Rupanya jus tersebut sengaja dibeli Jasmine bukan untuk diminum.

Jasmine berjalan mendekati Catherine lalu berisik sinis. "Aku akan berhenti bila kau mau pergi dari sekolah ini!"

Suara kantin sontak saja mendadak heboh, tatkala Jasmine tanpa merasa bersalah mengguyur kepala Catherine dengan segelas jus buah naga tersebut.

Catherine mengeratkan giginya kuat-kuat. Hatinya panas membara. Dalam pikirannya hanya ada bayangan sang ibu yang sedang menangis.

Jasmine meletakkan gelas tersebut di atas meja Catherine lalu mundur dua langkah.

Dengan wajah pura-pura perihatin, gadis itu meminta maaf pada Catherine. "Ups, maaf, tanganku tidak sengaja tergelincir!"

"Tanganmu tergelincir di tempat yang tepat, Jas!" sahut Wanda.

Jasmine berbalik menatap Wanda yang sedang tertawa. Baru saja dia hendak membalas perkataan Wanda, saat Catherine dengan wajah dingin tiba-tiba berdiri di belakang gadis itu.

Tanpa pikir panjang, Catherine mengh4nt44m kepala Jasmine menggunakan gelas yang tadi dia gunakan.

Jasmine roboh seketika. Teriakan horor para penghuni kantin sontak menggema. Mereka berhamburan keluar, ketika Catherine dengan penuh amarah mulai menghampiri teman-teman Jasmine yang lain, termasuk Wanda.

3. Tak Ada lagi Harga Diri.

Catherine terduduk lesu di ruang BP bersama Wanda dan kedua teman lainnya. Sementara Jasmine dilarikan ke rumah sakit karena harus mendapatkan perawatan ekstra.

Mr. Jefferson, sang guru BP sekaligus pembina OSIS yang paling ditakuti di sekolah, datang menghampiri Catherine dengan memasang raut wajah penuh kebencian.

Catherine sama sekali tidak terkejut, sebab dia sudah terbiasa mendapatkan tatapan yang sama dari guru-guru lainnya. Tak ada yang menyukai gadis itu, sejak berita soal kebobrokan ayahnya mencuat di media. Hidupnya hanya dikelilingi oleh para pembenci.

Pria berjanggut tebal itu kemudian melempar sebuah buku berukuran besar dan tebal di hadapan Catherine. "Kau tahu buku apa ini?" tanyanya dingin.

Catherine terdiam, enggan menjawab.

"Ini adalah buku catatan sekolah untuk para siswa-siswi bermasalah seperti dirimu! Tak ada masa depan bila namamu tertulis di buku ini, Gilmer!" seru Mr. Jefferson sambil menunjuk-nunjuk buku tersebut.

Buku berwarna hitam tersebut merupakan momok paling menakutkan bagi para penghuni sekolah. Satu kali saja namamu tercantum di sana, niscaya tidak akan ada sekolah mau pun perguruan tinggi yang sudi menerimamu masuk. Mereka akan memblokir namamu selamanya.

Tak ada kesempatan, sebab bagi siswa mau pun siswa yang tercatat di sana, mereka akan dinilai sebagai produk gagal yang tidak memiliki masa depan.

Saat Mr. Jefferson hendak membuka suaranya kembali, tiba-tiba pintu ruangan BP terbuka. Ines, salah satu anggota OSIS, memberitahu beliau, bahwa semua orang sudah berkumpul di ruang kepala sekolah.

Mr. Jefferson mengangguk. Dia meminta Wanda dan dua temannya untuk pergi lebih dulu ke sana, sementara Catherine? Pria itu menahannya sejenak hanya untuk membisikkan kata-kata tidak menyenangkan di telinga gadis itu.

"Anak dari sampah masyarakat sepertimu tidak pantas menginjakkan kakinya di sini! Buku hitam itu bahkan tidak cukup menghukum diri dan kelakuan ayahmu! Seharusnya kau pergi dengan tenang dan jangan bertingkah!"

Dada Catherine sontak bergemuruh, begitu mendengar kata-kata Mr. Jefferson. Dengan tangan terkepal, Catherine berdiri dari kursi pesakitannya, lalu berjalan tegak menuju ruang kepala sekolah.

...**********...

Catherine sedikit terkejut begitu mendapati kehadiran ibunya di ruang kepala sekolah.

Hatinya berdenyut sakit saat melihat apa yang sang ibu lakukan, demi mendapat pengampunan dari kedua orang tua Jasmine.

"Bu!" sentak Catherine.

Jeanna dan semua orang yang ada di sana mengalihkan pandangannya pada Catherine. Wanita itu sama sekali tidak mengindahkan panggilan sang anak.

"Saya mohon, maafkan anak saya, Tuan dan Nyonya Garcia." Sambil bersimpuh, Jeanna kembali memohon pengampunan pada keluarga Jasmine, agar Catherine bisa tetap bersekolah di sana.

Dia sudah meminta permohonan maaf pada kepala sekolah, tetapi beliau berkata bahwa jawaban keluarga Garcia lah yang menentukan nasib Catherine.

"Oke, aku akan memaafkanmu. Namun, biarkan aku melakukan sesuatu dulu." Laura, ibu Jasmine, mengambil gelas berisi air putih dari meja sang kepala sekolah. Tanpa belas kasihan, wanita berpenampilan glamour itu menyiram kepala Jeanna. "Kau tahu, tujuh jahitan di kepala putriku tidaklah sepadan dengan hal ini."

"Bu!" seru Catherine. Gadis itu berjalan menghampiri sang ibu, guna membantu beliau berdiri. Namun, bukannya menuruti Catherine, Jeanna justru meminta putrinya untuk ikut meminta maaf.

"Jasmine lah yang lebih dulu merundvngku selama ini, aku hanya melakukan pembelaan diri!" tolak Catherine keras.

Laura dan Jason terkejut. "Kurang ajar sekali kau memfitnah putriku seperti itu!" seru Laura.

Catherine berdiri lalu menatap Laura tajam. "Aku tidak pernah memfitnah siapa pun. Dia lah yang selama ini menyakiti dan memojokkanku! Seragam ini, dia lah yang sudah merusaknya!" Gadis itu menunjuk seragamnya yang kotor oleh sisa-sisa lem kayu.

Sang kepala sekolah menoleh ke arah Wanda dan kedua temannya. "Benar apa yang dikatakan Catherine?"

"Tentu saja bohong!" jawab Wanda tanpa pikir panjang. "Catherine lah yang selama ini mengganggu kami, karena kami sudah tidak mau berteman dengannya! Bahkan dia pernah mengancam akan melukai kami. Bapak bisa tanya seluruh siswa-siswi di sini, bagaimana bengalnya kelakuan Catherine!"

Mr. Jefferson pun membuka suaranya. "Saya juga sudah mendapat beberapa kali laporan."

Bohong! Batin Catherine menjerit. Semua yang dikatakan Wanda mau pun Jefferson merupakan sebuah kebohongan. Mereka hanya ingin menyingkirkan Catherine dari sana.

"Saya tidak pernah melakukannya. Saya tidak akan pernah berani berbohong," ujar Catherine lirih.

Laura tertawa sinis. "Sepertinya aku pernah mendengar kata-kata tersebut dari ayahmu, saat masih mencalonkan diri sebagai walikota. Ternyata, buah jatuh tak jauh dari pohonnya!"

Jeanna turut berdiri. "Kate, minta maaflah pada mereka," titah wanita itu.

"Bu, aku tak pernah melakukan apa pun. Ya, kali ini aku memang salah, tetapi bukan berarti seperti yang mereka tuduhkan!" Catherine berusaha membela dirinya.

"Kate, Ibu tak ingin mendengar apa pun darimu, yang jelas kau harus meminta maaf sekarang juga, agar kau tetap bisa bersekolah di sini," kata Jeanna putus asa.

Mendengar itu, Catherine menggeleng keras. Tampaknya dia sudah muak dengan kata-kata sang ibu soal bertahan di sekolah tersebut. "Aku tak pernah menginginkan bertahan di sekolah ini, Bu! Mengapa, Ibu selalu berusaha menahanku di neraka ini? Lebih baik aku menggelandang di jalanan dari pada harus menyerahkan harga diri hanya untuk diinjak-injak!"

Detik setelah Catherine berkata demikian, suara tamparan keras menggema memenuhi ruangan kepala sekolah.

Suasana mendadak hening. Catherine memegangi pipi kirinya yang terasa panas akibat tamparan Jeanna.

Air mata mengalir membasahi pipi Jeanna. Dengan tegar, wanita itu menoleh ke arah sang kepala sekolah dan juga kedua orang tua Jasmine. "Saya pastikan, besok putri saya akan meminta maaf pada kalian."

Setelah berkata demikian, Jeanna menarik kasar tangan Catherine dan meninggalkan ruangan kepala sekolah.

Mereka keluar dari sekolah menuju halte bus yang letaknya tak jauh dari sana.

Catherine menyentak kasar tangan sang ibu. "Terima kasih karena telah mempermalukanku di depan orang-orang yang sangat membenci keluarga kita!"

"Kate, maafkan Ibu. Kau harus mengerti, Ibu melakukan itu agar ...."

"Ibu tahu, butuh segenap kekuatan membangun dinding pertahanan, agar aku mampu menginjakkan kaki di sana, dan kini Ibu menghancurkannya dalam sekejap!" potong Catherine seketika. Tanpa pikir panjang, gadis itu berlari menjauhi Jeanna.

"Kate, mau ke mana?" teriak Jeanna pada sang putri. Namun, Catherine sama sekali enggan berbalik. Gadis itu malah terus mempercepat larinya.

Tak ada tujuan. Catherine hanya ingin menjauh dari sang ibu untuk sementara waktu, sembari menjernihkan pikirannya yang kacau balau.

Jeanna menangis sesenggukan. Dia bisa saja mengejar sang putri, tetapi entah mengapa kakinya tak sanggup melangkah.

Kubangan penuh penyesalan benar-benar menenggelamkan perasaan Jeanna kini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!