3. Tak Ada lagi Harga Diri.

Catherine terduduk lesu di ruang BP bersama Wanda dan kedua teman lainnya. Sementara Jasmine dilarikan ke rumah sakit karena harus mendapatkan perawatan ekstra.

Mr. Jefferson, sang guru BP sekaligus pembina OSIS yang paling ditakuti di sekolah, datang menghampiri Catherine dengan memasang raut wajah penuh kebencian.

Catherine sama sekali tidak terkejut, sebab dia sudah terbiasa mendapatkan tatapan yang sama dari guru-guru lainnya. Tak ada yang menyukai gadis itu, sejak berita soal kebobrokan ayahnya mencuat di media. Hidupnya hanya dikelilingi oleh para pembenci.

Pria berjanggut tebal itu kemudian melempar sebuah buku berukuran besar dan tebal di hadapan Catherine. "Kau tahu buku apa ini?" tanyanya dingin.

Catherine terdiam, enggan menjawab.

"Ini adalah buku catatan sekolah untuk para siswa-siswi bermasalah seperti dirimu! Tak ada masa depan bila namamu tertulis di buku ini, Gilmer!" seru Mr. Jefferson sambil menunjuk-nunjuk buku tersebut.

Buku berwarna hitam tersebut merupakan momok paling menakutkan bagi para penghuni sekolah. Satu kali saja namamu tercantum di sana, niscaya tidak akan ada sekolah mau pun perguruan tinggi yang sudi menerimamu masuk. Mereka akan memblokir namamu selamanya.

Tak ada kesempatan, sebab bagi siswa mau pun siswa yang tercatat di sana, mereka akan dinilai sebagai produk gagal yang tidak memiliki masa depan.

Saat Mr. Jefferson hendak membuka suaranya kembali, tiba-tiba pintu ruangan BP terbuka. Ines, salah satu anggota OSIS, memberitahu beliau, bahwa semua orang sudah berkumpul di ruang kepala sekolah.

Mr. Jefferson mengangguk. Dia meminta Wanda dan dua temannya untuk pergi lebih dulu ke sana, sementara Catherine? Pria itu menahannya sejenak hanya untuk membisikkan kata-kata tidak menyenangkan di telinga gadis itu.

"Anak dari sampah masyarakat sepertimu tidak pantas menginjakkan kakinya di sini! Buku hitam itu bahkan tidak cukup menghukum diri dan kelakuan ayahmu! Seharusnya kau pergi dengan tenang dan jangan bertingkah!"

Dada Catherine sontak bergemuruh, begitu mendengar kata-kata Mr. Jefferson. Dengan tangan terkepal, Catherine berdiri dari kursi pesakitannya, lalu berjalan tegak menuju ruang kepala sekolah.

...**********...

Catherine sedikit terkejut begitu mendapati kehadiran ibunya di ruang kepala sekolah.

Hatinya berdenyut sakit saat melihat apa yang sang ibu lakukan, demi mendapat pengampunan dari kedua orang tua Jasmine.

"Bu!" sentak Catherine.

Jeanna dan semua orang yang ada di sana mengalihkan pandangannya pada Catherine. Wanita itu sama sekali tidak mengindahkan panggilan sang anak.

"Saya mohon, maafkan anak saya, Tuan dan Nyonya Garcia." Sambil bersimpuh, Jeanna kembali memohon pengampunan pada keluarga Jasmine, agar Catherine bisa tetap bersekolah di sana.

Dia sudah meminta permohonan maaf pada kepala sekolah, tetapi beliau berkata bahwa jawaban keluarga Garcia lah yang menentukan nasib Catherine.

"Oke, aku akan memaafkanmu. Namun, biarkan aku melakukan sesuatu dulu." Laura, ibu Jasmine, mengambil gelas berisi air putih dari meja sang kepala sekolah. Tanpa belas kasihan, wanita berpenampilan glamour itu menyiram kepala Jeanna. "Kau tahu, tujuh jahitan di kepala putriku tidaklah sepadan dengan hal ini."

"Bu!" seru Catherine. Gadis itu berjalan menghampiri sang ibu, guna membantu beliau berdiri. Namun, bukannya menuruti Catherine, Jeanna justru meminta putrinya untuk ikut meminta maaf.

"Jasmine lah yang lebih dulu merundvngku selama ini, aku hanya melakukan pembelaan diri!" tolak Catherine keras.

Laura dan Jason terkejut. "Kurang ajar sekali kau memfitnah putriku seperti itu!" seru Laura.

Catherine berdiri lalu menatap Laura tajam. "Aku tidak pernah memfitnah siapa pun. Dia lah yang selama ini menyakiti dan memojokkanku! Seragam ini, dia lah yang sudah merusaknya!" Gadis itu menunjuk seragamnya yang kotor oleh sisa-sisa lem kayu.

Sang kepala sekolah menoleh ke arah Wanda dan kedua temannya. "Benar apa yang dikatakan Catherine?"

"Tentu saja bohong!" jawab Wanda tanpa pikir panjang. "Catherine lah yang selama ini mengganggu kami, karena kami sudah tidak mau berteman dengannya! Bahkan dia pernah mengancam akan melukai kami. Bapak bisa tanya seluruh siswa-siswi di sini, bagaimana bengalnya kelakuan Catherine!"

Mr. Jefferson pun membuka suaranya. "Saya juga sudah mendapat beberapa kali laporan."

Bohong! Batin Catherine menjerit. Semua yang dikatakan Wanda mau pun Jefferson merupakan sebuah kebohongan. Mereka hanya ingin menyingkirkan Catherine dari sana.

"Saya tidak pernah melakukannya. Saya tidak akan pernah berani berbohong," ujar Catherine lirih.

Laura tertawa sinis. "Sepertinya aku pernah mendengar kata-kata tersebut dari ayahmu, saat masih mencalonkan diri sebagai walikota. Ternyata, buah jatuh tak jauh dari pohonnya!"

Jeanna turut berdiri. "Kate, minta maaflah pada mereka," titah wanita itu.

"Bu, aku tak pernah melakukan apa pun. Ya, kali ini aku memang salah, tetapi bukan berarti seperti yang mereka tuduhkan!" Catherine berusaha membela dirinya.

"Kate, Ibu tak ingin mendengar apa pun darimu, yang jelas kau harus meminta maaf sekarang juga, agar kau tetap bisa bersekolah di sini," kata Jeanna putus asa.

Mendengar itu, Catherine menggeleng keras. Tampaknya dia sudah muak dengan kata-kata sang ibu soal bertahan di sekolah tersebut. "Aku tak pernah menginginkan bertahan di sekolah ini, Bu! Mengapa, Ibu selalu berusaha menahanku di neraka ini? Lebih baik aku menggelandang di jalanan dari pada harus menyerahkan harga diri hanya untuk diinjak-injak!"

Detik setelah Catherine berkata demikian, suara tamparan keras menggema memenuhi ruangan kepala sekolah.

Suasana mendadak hening. Catherine memegangi pipi kirinya yang terasa panas akibat tamparan Jeanna.

Air mata mengalir membasahi pipi Jeanna. Dengan tegar, wanita itu menoleh ke arah sang kepala sekolah dan juga kedua orang tua Jasmine. "Saya pastikan, besok putri saya akan meminta maaf pada kalian."

Setelah berkata demikian, Jeanna menarik kasar tangan Catherine dan meninggalkan ruangan kepala sekolah.

Mereka keluar dari sekolah menuju halte bus yang letaknya tak jauh dari sana.

Catherine menyentak kasar tangan sang ibu. "Terima kasih karena telah mempermalukanku di depan orang-orang yang sangat membenci keluarga kita!"

"Kate, maafkan Ibu. Kau harus mengerti, Ibu melakukan itu agar ...."

"Ibu tahu, butuh segenap kekuatan membangun dinding pertahanan, agar aku mampu menginjakkan kaki di sana, dan kini Ibu menghancurkannya dalam sekejap!" potong Catherine seketika. Tanpa pikir panjang, gadis itu berlari menjauhi Jeanna.

"Kate, mau ke mana?" teriak Jeanna pada sang putri. Namun, Catherine sama sekali enggan berbalik. Gadis itu malah terus mempercepat larinya.

Tak ada tujuan. Catherine hanya ingin menjauh dari sang ibu untuk sementara waktu, sembari menjernihkan pikirannya yang kacau balau.

Jeanna menangis sesenggukan. Dia bisa saja mengejar sang putri, tetapi entah mengapa kakinya tak sanggup melangkah.

Kubangan penuh penyesalan benar-benar menenggelamkan perasaan Jeanna kini.

Terpopuler

Comments

Siska Agustin

Siska Agustin

Bu Jeana kalo sekolah udah gak ngarepin Catherine ada disana ya buat apa bakal slalu dpt masalah Catherine nya,percuma juga disekolah itu kalo tiap hari nyiksa batin.. malah bikin mental Cate jadi down yang ada..

2023-01-04

0

Lee

Lee

Oke , kisah chaterin ini mengingatkanku sma tmen skolah dlu. Kurang lbih sma sprti yg di alami cterin dsni..
skuntum 🌹 biar ka othor ya semangat..💪

2022-12-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!