Senja sudah mulai hilang dari peraduan, ketika Catherine masih saja betah berlama-lama duduk di tepi jembatan layang pada sebuah jalan yang jarang dilalui kendaraan.
Catherine memang biasa menghabiskan waktu di sana semenjak pindah ke kota kecil ini.
Baginya tak ada yang mampu memberi ketenangan saat ini, selain suara deburan air sungai yang berada persis di bawah kaki gadis itu.
Mata Catherine kembali menerawang ke arah sana. Arah di mana terdapat aliran air sungai yang mengalir melewati celah-celah bebatuan besar.
Kendati matanya sibuk menelisik, tetapi isi kepalanya bergerilya mengingat kejadian di sekolah tadi siang.
Gadis berusia tujuh belas tahun itu masih mengingat dengan jelas, bagaimana raut kekecewaan yang tergambar dari wajah cantik sang ibu kepadanya. Bahkan, rasa panas dari tamparan beliau pun belum juga hilang dari pipi ranum Catherine.
Daarah dalam tubuh Catherine sontak mendidih kembali. Namun, bukan pada perlakuan sang ibu padanya, melainkan pada sikap beliau yang secara sukarela membuang harga diri, hanya demi sebuah pengampunan kecil dari pihak yang jelas-jelas lebih dulu berbuat salah pada gadis itu.
Catherine tidak peduli bila orang-orang memperlakukannya hina, tetapi jangan pada ibunya yang jauh lebih banyak menanggung beban sebagai pendamping sang mantan walikota bermasalah.
Kini, beban beliau semakin bertambah berat karena ulah dirinya.
Mungkin memang benar yang dikatakan orang-orang selama ini, bahwa lebih baik jika dia menggelandang saja di jalanan dari pada harus melanjutkan sekolah, sekaligus menghadapi pahitnya hidup karena ulah seseorang. Namun, bukan kah akan jauh lebih sempurna bila dia bisa melakukan sesuatu yang lebih dari pada itu, agar beban sang ibu bisa berkurang?
Catherine meninjau kembali arus sungai yang mulai deras. Gadis itu tampak sedang menerka-nerka seberapa dalam sungai tersebut. Cukupkah menenggelamkan sesuatu seukuran tubuh mahluk fana macam dirinya?
Dalam keheningan, Catherine mulai bangkit dari posisi duduknya dan memilih menaiki pembatas jembatan. Sorot mata gadis itu kini terlihat kosong. Semua yang tadi sempat melintas di kepalanya mendadak hilang, terhempas tanpa batas.
Tujuan Catherine saat ini hanyalah satu, yaitu meringankan beban di pundak sang ibu tercinta.
"Aku mencintaimu, Bu," ucapnya lirih, penuh kesakitan.
...**********...
Jeanna tampak sibuk berlalu lalang di depan teras rumah, meski waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Wajah kuyu wanita itu terlihat sangat tidak tenang. Pasalnya, Catherine, sang putri tercinta belum juga sampai di rumah.
Berbagai macam spekulasi buruk bermunculan di benak Jeanna, termasuk pelarian diri Catherine, sebagai bentuk pemberontakan.
Memikirkan kemungkinan tersebut, kekhawatiran Jeanna jelas semakin bertambah.
"Hei, mana makan malamku!" Charlie dari dalam rumah kembali berteriak. Sejak tadi pria itu selalu saja berteriak-teriak bak orang kesetanan, hanya untuk menyuruh sang istri melakukan banyak hal. Dia bahkan tidak peduli sama sekali, tatkala Jeanna memberitahu soal masalah yang menimpa Catherine, hingga membuatnya tak pulang juga ke rumah malam ini.
"Baguslah, buat apa dicari? Biar saja maatii sekalian!"
Hanya itu sepenggal kalimat menyakitkan yang keluar dari mulut Charlie, saat Jeanne meminta pria itu untuk mencari keberadaan putri semata wayang mereka.
Jeanna tidak menjawab teriakan Charlie, kendati pria itu sudah mulai mengeluarkan kata-kata kasarnya seperti biasa.
Mengetahui dirinya diabaikan, Charlie menyusul Jeanne ke teras rumah dan langsung menjaamb4k rambut wanita itu.
"Telingamu tuli atau bagaimana, hah! Kubilang, aku ingin makan!" teriak Charlie persis di telinga Jeanna.
Jeanne memekik kesakitan. Biasanya dia akan langsung mematuhi perintah sang suami, tetapi kini dengan wajah penuh ketegaran dia meminta Charlie untuk bersabar sedikit sampai Catherine pulang.
"Bukankah sudah aku bilang biarkan gadis bodoh itu pergi! Maatii pun aku tak peduli!" bentak Charlie.
"Dia anakku, dia putri kita! Bagaimana kau bisa berkata sekejam itu tentangnya? Charl, kau kepala keluarga ini, seharusnya kau mampu membimbing dan melindungi kami." Jeanna tak dapat menahan air matanya lagi. Wanita bertubuh mungil itu menangis tersedu-sedu.
Melihat air mata sang istri, bukannya membuat hati Charlie luluh, dia malah membentvrkan kepala Jeanne ke pintu rumah hingga terluka.
Jeanne kembali memekik kesakitan.
"Jangan pernah sekali-kali mengajariku!" Sorot kemarahan tampak jelas di mata Charlie.
Pria itu kemudian membuka pintu rumah dan menyeret Jeanna masuk. Baru saja dia hendak melakukan sesuatu pada sang istri, tiba-tiba pintu rumah kembali terbuka.
Chaterine muncul dengan seragam kotor dan penuh luka. Gadis itu segera berlari menghampiri ibunya yang kini terduduk tidak berdaya di lantai rumah.
"Apa yang kau lakukan pada ibuku, siiaalan!" teriak Catherine pada Charlie. Dia bahkan sudah tak ingat kapan terakhir kali memanggil Charlie dengan sebutan 'ayah'.
"Anak kurang ajar. Aku pikir kau sudah maatii. Kenapa kau tidak maatii saja!" Charlie menarik kerah seragam Catherine dan mengangkat tubuh kurusnya.
Catherine meronta-ronta. Melihat sang anak dalam bahaya, Jeanna bangkit dari posisinya dan langsung ikut membantu Catherine melepaskan diri dari kungkungan pria iblis tersebut.
"Aku tak akan maatii, sebelum kau membvsvk lebih dulu!"
Mendengar ucapan dingin Catherine, Charlie naik pitam. Pria itu melepaskan sabuk celananya dan mulai memukuli Catherine yang hanya bisa meringkuk di lantai.
Jeanna hendak menolong, tetapi Catherine memberi isyarat untuk menjauh. Gadis itu bahkan sempat melempar senyum sambil berkata 'maaf' padanya tanpa suara.
Jeanna menangis sesenggukan. Wanita itu hanya mampu memohon pada sang suami agar menghentikan perbuatannya.
...**********...
Catherine sedang menikmati keheningan malam dengan secangkir teh manis panas yang masih terlihat mengepul. Ditemani alunan musik dari beberapa hewan malam, membuat hati wanita berusia tiga puluh lima tahun itu semakin merasa tenang.
Dalam hati Catherine tengah menerka-nerka, berapa lama lagi waktu yang tersisa untuk menikmati semua karunia Tuhan ini? Akankah dia siap meninggalkan segalanya, termasuk suami dan ketiga anak yang sangat dia cintai.
Catherine akhirnya memang memutuskan menerima perawatan lebih lanjut pada leukimia yang dideritanya, dan bersamaan dengan itu, dia memutuskan untuk merahasiakan semua ini dari Ethan.
Catherine mengenal betul tabiat sang suami. Pria itu tidak akan tinggal diam bila mendengar begitu ini. Dia akan melakukan apa pun demi sang istri, meski terkadang sedikit kelewatan. Itu lah mengapa Catherine memutuskan memendam cerita ini lebih dulu, setidaknya sampai kondisi tubuhnya jauh lebih baik.
"Sayang!"
Catherine tersenyum lembut, tatkala mendengar nada hangat penuh cinta yang keluar dari mulut sang suami setiap memanggil dirinya.
"Aku mencarimu ke mana-mana," ujar pria itu sembari mendudukkan diri tepat di sebelah sang istri. Selembar selimut tebal tersampir di tubuh Catherine setelahnya.
"Terima kasih, Sayang," ucap Catherine tulus. Dia berdiri dan memindahkan diri di pangkuan sang suami. "Aku hanya sedang senang menikmati suasana malam begini," katanya memberi alasan.
Ethan dengan senang hati menyambut kedatangan Catherine dan langsung mendekap tubuhnya dari belakang.
"Seleramu cepat sekali berubah. Kemarin kau bilang lebih senang menikmati udara sejuk di pagi hari," ujar Ethan dengan nada jenaka.
Catherine menoleh ke arah sang suami sambil mengangkat kedua bahunya. "Yah, sepertinya seleraku kini tergantung pada suasana hati saja."
Tawa kecil keluar dari mulut Catherine, disusul juga dengan tawa Ethan.
Sebuah kecupan manis dilayangkan pria berusia 37 tahun itu pada sang istri tercinta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments