Menggenggam Rasa
"Aku dengar kamu membeli rumah, Run?" tanya Abi setelah mereka membicarakan masalah pekerjaan.
Dia merasa Aruna tidak perlu melakukan itu. Abimana sudah merencanakan masa depan bersama Aruna, jika saja gadis itu sudah bisa membuka hati untuknya.
Kedatangan Abimana selain menanyakan masalah rumah yang baru saja dibeli Aruna, juga karena gadis yang baru memulai usaha butiknya itu memesan bahan motif khusus untuk koleksi terbaru pada Abimana, yang mana lelaki berkulit putih itu adalah owner pabrik kain dan batik.
"Iya, Mas. Aku ingin mandiri." jawab Aruna. Mereka berjalan keluar dari ruangan Aruna menuju parkiran.
"Bagaimana keamanan di komplek itu?" Abimana hanya mencemaskan Aruna yang tinggal sendirian. Setahu Abimana, itu bukan komplek elite yang bisa saja diragukan sistem keamanannya.
"Aman, Mas. Apalagi tetangga di sana juga baik- baik kok." jelas Aruna, dia sangat yakin dengan lingkungan rumah barunya meskipun dia baru menempati rumah itu tiga hari yang lalu.
"Jika ada sesuatu hubungi aku, Run. Aku pasti akan membantumu." Abimana berhenti sejenak, menatap begitu dalam pada gadis bermata bulat itu. Sejenak tatapan mereka saling beradu hingga membuat Aruna salah tingkah dan menundukkan pandangan.
"Terima kasih, Mas. Mas Abi selalu baik sama Runa." sambut Aruna yang sebenarnya merasa sungkan karena sudah banyak merepotkan Abimana. Meskipun lelaki itu juga senang melakukan semuanya.
Senja yang melukiskan warna merah tembaga menjadi saksi jika perjuangan seorang Abimana masih saja gigih untuk mendapatkan gadis yang masih menutup diri untuk lelaki manapun. Sudah lama Aruna menempati ruang khusus di hati Abimana, bahkan gadis dengan senyuman yang menawan itu pun selalu menyita perhatian lelaki itu sejak zaman putih abu-abu.
Aruna menatap mobil Pajero putih yang berlahan keluar dari halaman butiknya. Saat mobil yang ditumpangi Abimana menjauh, Aruna berbalik dan akan kembali masuk ke dalam. Tapi pemilik sepasang mata tajam yang sedari tadi menatapnya membuat Aruna menghentikan langkah dan menoleh, yang Aruna tahu, lelaki berwajah cool dan ganteng itu pernah dilihatnya di sebelah rumah barunya.
Gadis berusia hampir dua puluh tiga tahun itu mengangguk dan menyuguhkan senyum ramah pada lelaki yang beberapa kali dia lihat duduk di salah satu bangku coffe shop. Kafe itu memang terletak tepat di sebelah butiknya, bahkan meja dan kursi yang terletak di halaman terbuka membuat Aruna bisa melihat jelas beberapa pengunjung kafe.
Deg! Betapa malunya Aruna saat sapaannya hanya dibalas dengan tatapan tajam dari pemilik wajah yang sering dia lihat duduk di depan kafe. Dengan langkah seribu, gadis itu ingin segera menghilang masuk ke dalam ruang butiknya untuk melenyapkan rasa malu.
"Astaga... Kenapa harus menyapanya?" sesal Aruna, coba saja jika lelaki cool itu bukan tetangga sebelahnya pasti dia tidak akan menyapanya. Aruna memang pernah melihatnya berolahraga di depan rumah yang bersebelahan dengan rumahnya. Gadis yang dikenal supel dan ramah itu tidak hentinya merutuki diri.
"Cie-cie, yang baru ketemu pangeran sampai mukanya merah merona." goda Nina salah satu pegawai Aruna. Nina yang melihat Aruna tertegun di dekat meja pun mencoba membuyarkan lamunan gadis itu. Setahu Nina, Hati Aruna sedang berbunga-bunga setelah bertemu Abimana.
"Apaan sih, Nin. Jangan berfikir ngaco!" elaknya tak ingin Nina berfikir macam-macam tentang hubungannya dengan Abimana. Tak mau memperpanjang ledekan itu, Aruna memilih berjalan melewati jajaran etalase menuju ruangannya.
Nina hanya menggelengkan kepala. Dia merasa heran saja mengetahui cerita Aruna yang tidak pernah pacaran dan selalu mengelak jika di jodoh-jodohkan dengan cowok. Padahal Aruna adalah gadis yang cantik dan cukup pintar.
"Paket komplet! Hanya kurang tinggi badan saja." gumam Nina sambil terkikik, gadis itu kemudian melanjutkan kerjaannya mencatat pesanan dari konsumen.
###
Aruna mendesah kesal setelah mendapat telpon dari ibu tirinya. Setiap kali menelpon, Hesti selalu mendesak Aruna untuk segera menikah. Terkadang, wanita itu mengeluarkan beberapa ancaman untuk memaksa putri tirinya agar mau mengakhiri masa lajang.
"Astaga... Apa sih maunya wanita itu? Kalau dia yang mau menikah lagi, ya menikah saja. Lagian kenapa juga Ayah memberi wasiat yang tidak masuk akal." gerutu Aruna. Dia merasa masih terlalu muda untuk memutuskan menikah.
Setiap kali berhadapan dengan wanita itu, perasaannya bercampur aduk. Ada rasa marah, benci, kecewa dan rasa memiliki. Hanya Hesti satu satunya keluarga yang dia punya meskipun tak ada hubungan darah.
"Tok... Tok... Tok...tok ..." Terdengar suara penjual sate membuat Aruna tersadar dari lamunannya. Perutnya yang sudah terasa lapar, sudah ingin diisi.
Gadis berambut panjang itu pun bangkit dan tidak lupa menyambar dompet yang ada di nakas sebelum berjalan keluar untuk mengejar penjual sate ayam biasa lewat.
"Pak, satu porsi ya!" pinta Aruna.
"Iya, Mbak." jawab lelaki paruh baya itu.
Sambil menunggu si penjual sate menyiapkan pesanannya, Aruna menatap lelaki yang sedang mencuci sebuah mobil mewah di depan rumahnya. Lelaki yang sama dengan yang dia jumpai tadi sore di kafe sebelah butiknya.
Merasa diperhatikan, lelaki yang punya tinggi badan maksimal itu pun meliriknya tajam hingga membuat Aruna salah tingkah dan kembali memperhatikan pesanannya.
"Berapa, Pak?" tanya Aruna saat melihat penjual sate selesai membungkus satu porsi.
" Sebentar, Mbak. Yang ini, pesanannya Mas Sabda." sambut penjual sate dan membuat Sabda yang mendengarnya pun bangkit dan mencuci tangannya terlebih dahulu sebelum menghampiri pesanannya.
" Tapi saya yang pesan duluan, Pak." protes Aruna dengan menatap penuh tanya pada penjual sate dan kemudian tatapannya beralih pada lelaki berhidung mancung yang kini mulai berjalan mendekat.
"Maaf, Mbak. Mas Sabda sudah dari tadi sore pesannya, saat saya mangkal di pertigaan dekat showroom mobil." jawab penjual sate sambil tersenyum singkat saat melihat wajah Aruna yang sedikit kecewa.
Sementara Sabda hanya melirik Aruna dengan wajah datarnya, sebelum pergi mengambil pesanan.
"Astaga, orang macam apa lelaki itu. Wajahnya begitu menyebalkan." gerutu Aruna dalam hati meski dia mengakui ketampanan lelaki itu, sementara kenyataannya Aruna hanya bisa mendengus kesal sambil mengamati rumah yang bersebelahan dengan rumahnya.
Tetangga sebelahnya sempat menyita perhatiannya. Netra gadis itu kembali memperhatikan mobil mewah yang dicuci oleh Sabda. Bahkan, pikirannya pun tidak luput membandingkan mobil mewah itu dengan rumah pemiliknya.
Bagi Aruna itu sangat aneh jika pemilik rumah itu punya mobil semewah itu. Bahkan, mobil itu bisa membeli tiga rumah tipe 45 yang juga berseragam dengan rumahnya.
"Mbak, ini pesanannya selesai." Aruna seolah tergagap dari lamunannya. Gadis itu pun segera mengambil uang untuk membayar sebelum kembali masuk.
"Please Aruna, otaknya digunakan buat mikir yang bener." gumam Aruna seraya meletakkan makanannya di meja makan. Bagi Aruna rasanya tidak penting memikirkan lelaki aneh yang menjadi tetangga sebelahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
🇵🇸Kᵝ⃟ᴸ
hayo tetangganya sapa tuh
2023-01-02
0
Lilik En.Er
💕💞
2022-12-18
0
pena_knia04
Tetangga oh tetangga....cool ganteng atletis tapi tatapannya setajam silet bisa bisa aku padamu🤭🤭
2022-12-17
0