NovelToon NovelToon

Menggenggam Rasa

Rumah Baru

"Aku dengar kamu membeli rumah, Run?" tanya Abi setelah mereka membicarakan masalah pekerjaan.

Dia merasa Aruna tidak perlu melakukan itu. Abimana sudah merencanakan masa depan bersama Aruna, jika saja gadis itu sudah bisa membuka hati untuknya.

Kedatangan Abimana selain menanyakan masalah rumah yang baru saja dibeli Aruna, juga karena gadis yang baru memulai usaha butiknya itu memesan bahan motif khusus untuk koleksi terbaru pada Abimana, yang mana lelaki berkulit putih itu adalah owner pabrik kain dan batik.

"Iya, Mas. Aku ingin mandiri." jawab Aruna. Mereka berjalan keluar dari ruangan Aruna menuju parkiran.

"Bagaimana keamanan di komplek itu?" Abimana hanya mencemaskan Aruna yang tinggal sendirian. Setahu Abimana, itu bukan komplek elite yang bisa saja diragukan sistem keamanannya.

"Aman, Mas. Apalagi tetangga di sana juga baik- baik kok." jelas Aruna, dia sangat yakin dengan lingkungan rumah barunya meskipun dia baru menempati rumah itu tiga hari yang lalu.

"Jika ada sesuatu hubungi aku, Run. Aku pasti akan membantumu." Abimana berhenti sejenak, menatap begitu dalam pada gadis bermata bulat itu. Sejenak tatapan mereka saling beradu hingga membuat Aruna salah tingkah dan menundukkan pandangan.

"Terima kasih, Mas. Mas Abi selalu baik sama Runa." sambut Aruna yang sebenarnya merasa sungkan karena sudah banyak merepotkan Abimana. Meskipun lelaki itu juga senang melakukan semuanya.

Senja yang melukiskan warna merah tembaga menjadi saksi jika perjuangan seorang Abimana masih saja gigih untuk mendapatkan gadis yang masih menutup diri untuk lelaki manapun. Sudah lama Aruna menempati ruang khusus di hati Abimana, bahkan gadis dengan senyuman yang menawan itu pun selalu menyita perhatian lelaki itu sejak zaman putih abu-abu.

Aruna menatap mobil Pajero putih yang berlahan keluar dari halaman butiknya. Saat mobil yang ditumpangi Abimana menjauh, Aruna berbalik dan akan kembali masuk ke dalam. Tapi pemilik sepasang mata tajam yang sedari tadi menatapnya membuat Aruna menghentikan langkah dan menoleh, yang Aruna tahu, lelaki berwajah cool dan ganteng itu pernah dilihatnya di sebelah rumah barunya.

Gadis berusia hampir dua puluh tiga tahun itu mengangguk dan menyuguhkan senyum ramah pada lelaki yang beberapa kali dia lihat duduk di salah satu bangku coffe shop. Kafe itu memang terletak tepat di sebelah butiknya, bahkan meja dan kursi yang terletak di halaman terbuka membuat Aruna bisa melihat jelas beberapa pengunjung kafe.

Deg! Betapa malunya Aruna saat sapaannya hanya dibalas dengan tatapan tajam dari pemilik wajah yang sering dia lihat duduk di depan kafe. Dengan langkah seribu, gadis itu ingin segera menghilang masuk ke dalam ruang butiknya untuk melenyapkan rasa malu.

"Astaga... Kenapa harus menyapanya?" sesal Aruna, coba saja jika lelaki cool itu bukan tetangga sebelahnya pasti dia tidak akan menyapanya. Aruna memang pernah melihatnya berolahraga di depan rumah yang bersebelahan dengan rumahnya. Gadis yang dikenal supel dan ramah itu tidak hentinya merutuki diri.

"Cie-cie, yang baru ketemu pangeran sampai mukanya merah merona." goda Nina salah satu pegawai Aruna. Nina yang melihat Aruna tertegun di dekat meja pun mencoba membuyarkan lamunan gadis itu. Setahu Nina, Hati Aruna sedang berbunga-bunga setelah bertemu Abimana.

"Apaan sih, Nin. Jangan berfikir ngaco!" elaknya tak ingin Nina berfikir macam-macam tentang hubungannya dengan Abimana. Tak mau memperpanjang ledekan itu, Aruna memilih berjalan melewati jajaran etalase menuju ruangannya.

Nina hanya menggelengkan kepala. Dia merasa heran saja mengetahui cerita Aruna yang tidak pernah pacaran dan selalu mengelak jika di jodoh-jodohkan dengan cowok. Padahal Aruna adalah gadis yang cantik dan cukup pintar.

"Paket komplet! Hanya kurang tinggi badan saja." gumam Nina sambil terkikik, gadis itu kemudian melanjutkan kerjaannya mencatat pesanan dari konsumen.

###

Aruna mendesah kesal setelah mendapat telpon dari ibu tirinya. Setiap kali menelpon, Hesti selalu mendesak Aruna untuk segera menikah. Terkadang, wanita itu mengeluarkan beberapa ancaman untuk memaksa putri tirinya agar mau mengakhiri masa lajang.

"Astaga... Apa sih maunya wanita itu? Kalau dia yang mau menikah lagi, ya menikah saja. Lagian kenapa juga Ayah memberi wasiat yang tidak masuk akal." gerutu Aruna. Dia merasa masih terlalu muda untuk memutuskan menikah.

Setiap kali berhadapan dengan wanita itu, perasaannya bercampur aduk. Ada rasa marah, benci, kecewa dan rasa memiliki. Hanya Hesti satu satunya keluarga yang dia punya meskipun tak ada hubungan darah.

"Tok... Tok... Tok...tok ..." Terdengar suara penjual sate membuat Aruna tersadar dari lamunannya. Perutnya yang sudah terasa lapar, sudah ingin diisi.

Gadis berambut panjang itu pun bangkit dan tidak lupa menyambar dompet yang ada di nakas sebelum berjalan keluar untuk mengejar penjual sate ayam biasa lewat.

"Pak, satu porsi ya!" pinta Aruna.

"Iya, Mbak." jawab lelaki paruh baya itu.

Sambil menunggu si penjual sate menyiapkan pesanannya, Aruna menatap lelaki yang sedang mencuci sebuah mobil mewah di depan rumahnya. Lelaki yang sama dengan yang dia jumpai tadi sore di kafe sebelah butiknya.

Merasa diperhatikan, lelaki yang punya tinggi badan maksimal itu pun meliriknya tajam hingga membuat Aruna salah tingkah dan kembali memperhatikan pesanannya.

"Berapa, Pak?" tanya Aruna saat melihat penjual sate selesai membungkus satu porsi.

" Sebentar, Mbak. Yang ini, pesanannya Mas Sabda." sambut penjual sate dan membuat Sabda yang mendengarnya pun bangkit dan mencuci tangannya terlebih dahulu sebelum menghampiri pesanannya.

" Tapi saya yang pesan duluan, Pak." protes Aruna dengan menatap penuh tanya pada penjual sate dan kemudian tatapannya beralih pada lelaki berhidung mancung yang kini mulai berjalan mendekat.

"Maaf, Mbak. Mas Sabda sudah dari tadi sore pesannya, saat saya mangkal di pertigaan dekat showroom mobil." jawab penjual sate sambil tersenyum singkat saat melihat wajah Aruna yang sedikit kecewa.

Sementara Sabda hanya melirik Aruna dengan wajah datarnya, sebelum pergi mengambil pesanan.

"Astaga, orang macam apa lelaki itu. Wajahnya begitu menyebalkan." gerutu Aruna dalam hati meski dia mengakui ketampanan lelaki itu, sementara kenyataannya Aruna hanya bisa mendengus kesal sambil mengamati rumah yang bersebelahan dengan rumahnya.

Tetangga sebelahnya sempat menyita perhatiannya. Netra gadis itu kembali memperhatikan mobil mewah yang dicuci oleh Sabda. Bahkan, pikirannya pun tidak luput membandingkan mobil mewah itu dengan rumah pemiliknya.

Bagi Aruna itu sangat aneh jika pemilik rumah itu punya mobil semewah itu. Bahkan, mobil itu bisa membeli tiga rumah tipe 45 yang juga berseragam dengan rumahnya.

"Mbak, ini pesanannya selesai." Aruna seolah tergagap dari lamunannya. Gadis itu pun segera mengambil uang untuk membayar sebelum kembali masuk.

"Please Aruna, otaknya digunakan buat mikir yang bener." gumam Aruna seraya meletakkan makanannya di meja makan. Bagi Aruna rasanya tidak penting memikirkan lelaki aneh yang menjadi tetangga sebelahnya.

Bertemu Cowok Itu

Masih memperhatikan beberapa sketsa yang sudah siap dia bawa ke ruang produksi, Aruna kembali teringat jika ada janji makan siang dengan sahabatnya Tita.

Gadis itu sudah merasa kepayahan karena sejak pagi dia hanya duduk di belakang meja, Aruna pun segera menutup laptop yang baru saja dia gunakan untuk membuat sketsa.

"Uhhh... Semangat Aruna! " Gadis pemilik mata indah itu pun menyemangati diri sendiri disaat rasa lelah melanda. Dia sadar tidak mudah mewujudkan cita- citanya, pencapaiannya saat ini mungkin baru awal hingga dia harus terus berjuang dan bekerja lebih keras lagi.

Setelah Salat Dhuhur dan merapikan kembali tampilannya, Aruna gegas berjalan keluar butik. Lantunan heels yang beradu dengan lantai menggema membuat Nina yang sedang melayani seseorang yang sedang melakukan pembayaran, itu pun menoleh.

"Mbak Runa." panggil Nina.

"Ada langganan kita yang mau bicara." lanjut Nina membuat Aruna berbalik dan berjalan mendekati gadis yang berdiri menatapnya.

Gadis dengan kesan seksi itu merasa heran saat melihat pemilik butik yang masih sangat muda. Baby face, terkadang orang meragukan kedewasaan dari sosok Aruna yang sudah berumur 22 tahun.

"Ini Mbak Aruna, Kak." ucap Nina yang ditanggapi tamunya dengan senyuman. Gadis dengan blus tanpa lengan itu mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.

"Kenalkan saya Mariska, panggil saja Riska." ucap Gadis dengan rambut tersanggul rapi. Wanita cantik, seksi dan berkelas. Sekilas, kesan yang bisa ditangkap dari sosok Mariska.

"Aruna. Senang atas kunjungannya di butik kecil kami, Kak." sambut Aruna dengan senyum tak kalah ramah.

"Sebenarnya, saya baru sekali membeli baju di sini, tapi saya sudah merasa cocok. Jadi saya ingin memesan baju untuk acara dua minggu ke depan apa kira- kira bisa?" ujar Mariska membuat Aruna antusias karena mendapat pelanggan baru.

"Tentu saja, Kak. Kalau boleh tahu, untuk acara apa?" tanya Aruna dia sengaja mengulur waktu bertemu Tita demi pelanggan baru.

"Sebenarnya untuk acara kantor, tapi saya ingin memberi kesan kasual." jelas Mariska, gadis itu mencoba mendiskripsikan keinginannya hingga membuat Aruna faham.

"Tapi, berhubung saya buru-buru, bisakah nanti kita saling bicara lewat WhatsApp saja. Atau membuat pertemuan di lain waktu." pinta Mariska. Gadis bertubuh semampai itu pun memberi kartu namanya pada Nina dan mengambil paper bag yang sudah disiapkan di meja kasir.

"Baiklah, nanti saya hubungi. Kebetulan siang ini saya juga ada janji bertemu seseorang." jelas Aruna.

Mereka pun keluar dari butik bersama. Aruna sempat mengantarkan pelanggannya masuk kedalam mobil dan duduk di belakang kemudi.

"Ya Allah, kapan aku bisa beli mobil? Sementara butik kecil itu masih kempang kempis untuk berkembang." gumam Aruna dalam hati bersamaan bibirnya yang tersenyum ramah, saat mobil yang ditumpangi Mariska itu berlahan menghilang dari pandangan.

Setiap kali mengantarkan tamunya ke depan pandangan Aruna tertuju pada bangku yang ada di pinggir pojok, tapi kali ini kosong. Tidak ada siapapun yang berada di sana. Entah kenapa sejak memergoki Sabda sering berada di sana menatapnya, Aruna juga tidak pernah luput untuk melihat tempat itu setiap keluar.

Gila. Lelaki aneh yang memberi radiasi padanya untuk bersikap aneh.

"Run...!" panggil Tita sambil melambaikan tangan. Gadis yang masih mengenakan stelan kantor itu pun sudah duduk diantara jajaran bangku di kafe tersebut.

Dengan senyum mengembang di bibir, gadis bertubuh mungil dan berwajah imut itu pun melangkah dengan gesitnya menghampiri sahabatnya. Tita adalah sahabat Aruna sejak SMU, satu kampus, tapi memilih pekerjaan yang berbeda.

"Duh... Calon pengusaha sukses, mau hang out susah amat." sindir Tita yang sejak tadi melihat Aruna masih sibuk dengan pelanggannya. Mereka kini berpelukan, melepas rindu setelah sekian minggu tidak bertemu.

"Amiiin... Pokoknya diaminkan saja deh, meskipun saat ini masih... entahlah." jawab Aruna, dibanding dengan Tita yang bekerja di perusahaan Asing, penghasilan Tita mungkin lebih besar dari penghasilan bersih Aruna. Mereka pun duduk dan memesan minuman pada pramusaji.

"Tapi tetap saja jadi Bu Bos... " lanjut Tita yang sebenarnya juga bangga melihat Aruna yang sekarang.

"Hmmm...Bos rasa kuli. Aku kudu kerja keras, Ta. Biaya kontrak butik tidaklah murah, belum lagi biaya lainnya juga banyak. Kamu kira ceritanya seperti di novel atau sinetron yang hanya butuh beberapa waktu langsung punya butik ternama." Aruna sudah mulai jengah jika Tita sudah berlebihan. Tapi itu membuat Tita terkekeh.

Di siang yang begitu terik, percakapan mereka terus bergulir hingga pada inti tujuan pertemuan mereka. Tita meminta Aruna menghandle semua baju untuk keluarga besarnya saat acara pertunangannya bulan depan.

"Kenapa sih, kamu pesennya mepet banget! Kamu tau kan aku hanya punya dua penjahit." keluh Aruna setelah menghitung banyaknya anggota keluarga besar Tita.

"Karena aku tahu, kamu pasti bisa menyelesaikan tepat waktu heee... " celetuk Tita menampilkan jejeran gigi putihnya.

Aruna mencebikkan bibirnya, kemudian menyeruput jus alpukat yang sudah dia pesan. Tatapannya mengedar, spontan mencari keberadaan cowok yang biasa duduk di bangku pojok, tapi kosong. Entah kenapa ada yang berbeda saat bangku pojok itu terlihat kosong.

"Run... " panggil Tita.

"Hmmm... " jawab Aruna dengan melirik gadis di depannya. Aruna sudah bisa menebak saat Tita memanggilnya seperti itu. Dia yakin pasti ada hal yang lebih serius yang ingin dibicarakan.

"Kapan kamu bisa membuka hati untuk seseorang?" tanya Tita dengan hati-hati. Aruna masih tak bergeming, dia tidak tahu harus menjawab apa.

"Aku belum siap, Ta. Aku masih ingin fokus pada butik." Masih jawaban sama yang di dengar Tita.

Sekali lagi Tita menatap lemah, Aruna yang malah tersenyum padanya. Bagi Aruna, Tita memang sangat lucu, dia yang tidak ingin pacaran tapi Tita yang kalang kabut.

"Apa yang membuatmu tidak siap dari dulu, Run? Kamu tidak belok kan? Kamu masih normal, kan?" cemas Tita yang membuat Aruna tergelak.

"Setidaknya kamu punya pacarlah, Run. Jika kamu tidak ingin dibilang belok. Lagian aku yakin, kamu tahu jika Mas Abi masih menunggumu." cebilk Tita yang merasa kesal. Bagi gadis bermata sipit itu, Aruna terlalu kaku untuk urusan perasaan.

"Ih...percaya diri banget Mas Abi masih menungguku? Aku emang nggak ingin pacaran." Kalimat Aruna membuat Tita melotot.

"Aku maunya langsung nikah." lanjut Aruna. Gadis itu tidak ingin belibet untuk urusan asmara. Dia hanya akan memutuskan menikah di saat yang menurutnya tepat dan pada orang yang tepat.

"Syukur, deh. " Tita bernafas lega mendengar pengakuan sahabatnya.

Setelah banyak pembahasan yang mereka utarakan untuk mengisi istirahat siang. Tita pun pamit pada Aruna untuk kembali ke kantor. Dia juga sempat mengatakan jika sesekali ingin menginap di rumah baru Aruna.

Kepergian Tita membuat Aruna kembali tertegun, wajahnya pun serius mengaduk minuman yang ada di depannya. Pikirannya kembali gelisah saat mengingat desakan Tita. Tidak mudah bagi Aruna untuk menjalin hubungan dengan seseorang, meskipun dia bisa merasakan jika Abimana masih memberi perhatian padanya.

Tidak bisa dipungkiri oleh Aruna jika ada ketertarikan pada lelaki yang diinginkan banyak gadis itu. Tapi, dia memilih menggenggam rasa itu hingga dia yakin Abimana memang lelaki yang tepat yang memilih dan dia pilih untuk menua bersama.

"Ting... " Sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselnya.

"Sepertinya kamu butuh melakukan konseling untuk hatimu."

Pesan dari Tita membuat Aruna tersenyum. Dia merasa Tita berlebihan menanggapi kisah asmaranya.

Belum lama Aruna meletakkan ponselnya, suara sering pun kembali membuatnya mengangkat telpon yang ternyata dari Nina.

"Mbak, Bu Hendri sedang mencari, Mbak Runa." ucap Nina saat Aruna baru saja membuka panggilan.

"Beberapa menit lagi. " jawab Aruna sedikit mendesah karena masih ingin menikmati jam makan siangnya.

"Nggak bisa, Mbak. sebentar lagi beliau ada acara." desak Nina membuat Aruna terpaksa berdiri.

"iya- ya aku balik." jawab Aruna sambil berjalan.

Aruna berjalan dengan menoleh ke kanan, dimana dia menemukan sebuah mobil Expander putih terparkir di depan butik.

"Eh... " cicit Aruna seketika menghentikan langkahnya saat merasa ada sesuatu di depannya.

Dia hampir saja menabrak sosok yang sempat dia cari keberadaannya. Sabda. Lelaki itu berdiri menjulang tinggi di depan gadis yang kini tengah mendongakkan wajah. Mata indah itu menatap wajah lelaki berkaca mata hitam yang kini menunduk ke arahnya.

"Maaf... " lirih Aruna hampir tidak terdengar. Gadis itu sedikit kaget hingga membuat jantungnya berdebar karena pertemuan tiba tiba itu.

Terjebak Hujan

Beberapa hari ini cuaca begitu terik, tapi hari ini mendung menyelimuti sejak siang tadi. Aruna memutuskan untuk pulang setelah Salat Magrib di butik. Gadis yang sudah mengenakan jaketnya itu, menghampiri motor matic yang selalu terparkir di depan butik.

Seandainya saja, dia sudah mampu membeli mobil. Tentu saja, dia tidak akan gelisah memikirkan hujan seperti sekarang. Tapi sayang sekali, semua tabungannya sudah terkuras untuk menyewa tempat untuk butiknya dan uang muka rumah.

Mendung yang menyelimuti malam, hingga terasa beberapa tetes air yang jatuh membuat Aruna mempercepat laju motornya. Jarak butik dengan rumahnya bisa ditempuh hanya dengan lima belas menit.

Tetapi jalanan yang lenggang, ditambah penerangan lampu jalan yang redup karena terhalang pepohonan yang rindang.

"Ya Allah, kenapa sih nggak ada satu kendaraan yang lewat." gerutu Aruna dengan cemasnya. Rasa takut mulai menghampirinya.

Belum berhenti bayangan tindak kriminal yang biasa terjadi di jalanan sepi, tiba- tiba gerimis berganti hujan yang mengguyur dengan derasnya. Gadis yang mulai panik itu memutuskan untuk melajukan motornya lebih cepat dari pada berhenti untuk mengenakan jas hujan.

" Tin.. Tin... " Sebuah klakson dan suara nyaring sepeda motor yang melaju begitu cepat dari belakang membuat Aruna mengarahkan pandangannya dari spion.

"Akkkhhh.... " Pekikan keras membuat lelaki yang begitu cepat melewatinya pun menoleh.

Seorang gadis bertubuh mungil tertindih badan motor. Sosok yang sempat menoleh itu kemudian memutar balik motornya, menghampiri Aruna yang masih berusaha bangun.

"Kakiku.... Hik.. Hik. " tangis Aruna pecah kala merasakan nyeri yang teramat saat di pergelangan kakinya.

Gegas, lelaki bertubuh atletis itu turun dari motor dan membuka helmnya. Sabda, dia terlihat panik saat melihat Aruna yang kesakitan tertindih motor matic.

"Kenapa tidak hati-hati." gerutu Sabda dengan menegakkan motor berukuran lebih besar jika di bandingkan pemiliknya.

Bukannya menjawab, Aruna masih terlihat kesakitan memegangi pergelangan kakinya. Gadis itu mendongak menatap wajah pemilik tangan yang terulur untuk membantunya. Dia baru menyadari ternyata tetangga sebelah rumah yang kini menolongnya.

"Kakiku sakit jika digerakkan." gumam Aruna dengan memegangi pergelangan kakinya.

Sabda mulai mengerti, lelaki itu kemudian berjongkok dan membantu Aruna meluruskan kakinya, " Aaaarrggg.... " pekik Aruna begitu nyaring setelah Sabda menarik kaki Aruna yang terkilir.

"Sudah enakan?" tanya Sabda dengan nada datarnya. Kelihatan sekali lelaki itu kaku saat menghadapi wanita.

"Udah enakan. Terima kasih." ucap Aruna yang masih dibantu Sabda berdiri meski masih menahan nyeri.

"Tapi aku yakin, kamu tidak bisa membawa motor itu." lanjut Sabda saat melihat Aruna menatap motornya.

"Mungkin sedikit di paksa, bisa. Toh, ini sudah dekat dengan rumah." jawab Aruna, dia merasa sungkan dengan Sabda.

"Jangan suka memaksakan diri. Motormu biar diambil security komplek. Kamu pulang bersamaku." cetus lelaki yang sejak tadi sudah mempertimbangkan semuanya.

"Eh.. eh... Mas, sembarangan sekali." protes Aruna saat Sabda mengangkat tubuh mungilnya.

Tanpa menunggu jawaban Aruna, Sabda mengangkat gadis yang sudah mulai kedinginan itu dan mendudukkannya di tangki motornya.

"Aku tidak bisa duduk di depan." tolak Aruna, bagaimana bisa dia duduk sedekat itu pada lelaki yang bahkan tidak dikenalnya.

Sabda hanya melirik Aruna tanpa memberi respon. Dia sendiri sedikit gugup saat kembali berdekatan dengan seorang perempuan. Sudah tujuh tahun, lelaki yang pernah patah hati itu menghindar berdekatan dengan makhluk Tuhan bernama perempuan.

Aruna tak mampu menjawab lagi, gadis itu duduk di atas motor. Diantara hujan yang mengguyur, Sabda mulai melajukan motornya.

Niat awal yang ingin menghindar dari hujan, justru berhasil membuat tubuh keduanya basah kuyup. Posisi mereka yang saling berdekatan membuat degup jantung keduanya seperti meledak ledak di dalam dada.

Hening. Keduanya terdiam dengan perasaan yang... Entah. Aruna tidak berani menolehkan wajah ketika nafas Sabda terasa menyentuh kulit pipi kirinya dengan lembut.

"Namamu siapa?" tanya Sabda berusaha menetralkan sedikit rasa gugup yang kini menyapanya. Dia sendiri tidak bisa mengerti dengan jantungnya yang berdentam tak biasa di dalam dadanya. Sesekali lelaki berwajah tegas itu melirik dan menikmati wajah cantik yang ada di dekatnya.

"Aruna." jawab Aruna tanpa menoleh.

Tidak ada pembicaraan lagi, hingga Sabda menghentikan motornya di depan apotek untuk membeli sesuatu. Aruna pun masih terdiam, gadis itu seperti sulit untuk mengatakan sesuatu meski sekedar bertanya saat Sabda meninggalkannya yang masih di atas motor.

"Hujan sedikit mereda dan kita akan segera sampai." ucap Sabda saat lelaki itu kembali menaiki motor dengan menenteng plastik hitam di tangannya.

Aruna hanya mengangguk, wajahnya memang terlihat sangat pucat dengan bibir yang sedikit bergetar.

Motor kembali melaju masuk ke dalam komplek perumahan. Hingga kini mereka berhenti di depan rumah Aruna, membuka pintu gerbang dan memasukkan motornya di sana.

"Aku bisa sendiri, Mas." ucap Aruna berusaha untuk turun sendiri. Tapi, Sabda dengan gesit langsung menggendong Aruna yang kembali tersentak kaget.

"Aku tidak ingin tetangga kita salah faham dan... "

"Buka saja pintunya." sela Sabda saat menurunkan tubuh mungil itu.

Aruna membuka pintu rumah. Dan berusaha berjalan sendiri mencari sofa terdekat. Memang benar, kakinya masih sangat nyeri saat dia berjalan.

Sabda mencari sakelar untuk menghidupkan lampu. Lelaki itu tidak ingin membuang waktu karena melihat tubuh Aruna yang sudah mulai menggigil kedinginan.

"Kamu akan merasa lebih nyaman dengan menggunakan ini." Sabda membungkus pergelangan kaki Aruna dengan perban elastik.

"Cepatlah istirahat dan segera ganti baju! Aku akan mengurus motormu. Dan jika butuh sesuatu hubungi Aku." sabda menyodorkan kartu namanya.

"Aku biasa di teras sampai malam." lanjut Sabda. Bukan hanya sampai malam, lelaki itu terkadang sampai menjelang pagi di teras rumah saat teman- temannya datang.

"Iya, Mas. Terima kasih sudah merepotkan." jawab Aruna.

Lelaki itu pun keluar rumah dan menutup pintu utama rumah Aruna. Dia sebenarnya, tidak tega meninggalkan gadis bertubuh mungil itu sendirian. Tapi, dia tidak ingin keduanya mendapatkan masalah dengan warga jika tidak memberi batasan.

Kepergian Sabda membuat Aruna sedikit lega. Berdekatan dengan lelaki itu membuat jantungnya berpacu dengan liar. Dengan sangat kesulitan Aruna masuk ke dalam kamar, tapi itu justru lebih baik dari pada harus berdekatan dengan lelaki yang mampu membuatnya gugup.

###

Sabda menatap layar ponselnya. Pukul satu pagi, lelaki itu masih belum merasa ngantuk sama sekali.

Sesekali dia meraba dadanya, kembali mengingat debaran yang tidak biasa yang dia rasakan saat berdekatan dengan Aruna.

Sabda kembali teringat jika Aruna belum makan. Dia memang menunggu gadis bertubuh mungil itu menghubunginya. Tapi, sampai tengah malam pun Aruna tidak menghubungi dirinya.

"Mungkinkah dia sudah tidur?" gumam Sabda masih menatap layar ponselnya. Dia pun tidak menanyakan itu pada gadis yang menyita rasa khawatirnya itu. Dia lupa menanyakan nomer ponsel Aruna.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!