Beberapa hari ini cuaca begitu terik, tapi hari ini mendung menyelimuti sejak siang tadi. Aruna memutuskan untuk pulang setelah Salat Magrib di butik. Gadis yang sudah mengenakan jaketnya itu, menghampiri motor matic yang selalu terparkir di depan butik.
Seandainya saja, dia sudah mampu membeli mobil. Tentu saja, dia tidak akan gelisah memikirkan hujan seperti sekarang. Tapi sayang sekali, semua tabungannya sudah terkuras untuk menyewa tempat untuk butiknya dan uang muka rumah.
Mendung yang menyelimuti malam, hingga terasa beberapa tetes air yang jatuh membuat Aruna mempercepat laju motornya. Jarak butik dengan rumahnya bisa ditempuh hanya dengan lima belas menit.
Tetapi jalanan yang lenggang, ditambah penerangan lampu jalan yang redup karena terhalang pepohonan yang rindang.
"Ya Allah, kenapa sih nggak ada satu kendaraan yang lewat." gerutu Aruna dengan cemasnya. Rasa takut mulai menghampirinya.
Belum berhenti bayangan tindak kriminal yang biasa terjadi di jalanan sepi, tiba- tiba gerimis berganti hujan yang mengguyur dengan derasnya. Gadis yang mulai panik itu memutuskan untuk melajukan motornya lebih cepat dari pada berhenti untuk mengenakan jas hujan.
" Tin.. Tin... " Sebuah klakson dan suara nyaring sepeda motor yang melaju begitu cepat dari belakang membuat Aruna mengarahkan pandangannya dari spion.
"Akkkhhh.... " Pekikan keras membuat lelaki yang begitu cepat melewatinya pun menoleh.
Seorang gadis bertubuh mungil tertindih badan motor. Sosok yang sempat menoleh itu kemudian memutar balik motornya, menghampiri Aruna yang masih berusaha bangun.
"Kakiku.... Hik.. Hik. " tangis Aruna pecah kala merasakan nyeri yang teramat saat di pergelangan kakinya.
Gegas, lelaki bertubuh atletis itu turun dari motor dan membuka helmnya. Sabda, dia terlihat panik saat melihat Aruna yang kesakitan tertindih motor matic.
"Kenapa tidak hati-hati." gerutu Sabda dengan menegakkan motor berukuran lebih besar jika di bandingkan pemiliknya.
Bukannya menjawab, Aruna masih terlihat kesakitan memegangi pergelangan kakinya. Gadis itu mendongak menatap wajah pemilik tangan yang terulur untuk membantunya. Dia baru menyadari ternyata tetangga sebelah rumah yang kini menolongnya.
"Kakiku sakit jika digerakkan." gumam Aruna dengan memegangi pergelangan kakinya.
Sabda mulai mengerti, lelaki itu kemudian berjongkok dan membantu Aruna meluruskan kakinya, " Aaaarrggg.... " pekik Aruna begitu nyaring setelah Sabda menarik kaki Aruna yang terkilir.
"Sudah enakan?" tanya Sabda dengan nada datarnya. Kelihatan sekali lelaki itu kaku saat menghadapi wanita.
"Udah enakan. Terima kasih." ucap Aruna yang masih dibantu Sabda berdiri meski masih menahan nyeri.
"Tapi aku yakin, kamu tidak bisa membawa motor itu." lanjut Sabda saat melihat Aruna menatap motornya.
"Mungkin sedikit di paksa, bisa. Toh, ini sudah dekat dengan rumah." jawab Aruna, dia merasa sungkan dengan Sabda.
"Jangan suka memaksakan diri. Motormu biar diambil security komplek. Kamu pulang bersamaku." cetus lelaki yang sejak tadi sudah mempertimbangkan semuanya.
"Eh.. eh... Mas, sembarangan sekali." protes Aruna saat Sabda mengangkat tubuh mungilnya.
Tanpa menunggu jawaban Aruna, Sabda mengangkat gadis yang sudah mulai kedinginan itu dan mendudukkannya di tangki motornya.
"Aku tidak bisa duduk di depan." tolak Aruna, bagaimana bisa dia duduk sedekat itu pada lelaki yang bahkan tidak dikenalnya.
Sabda hanya melirik Aruna tanpa memberi respon. Dia sendiri sedikit gugup saat kembali berdekatan dengan seorang perempuan. Sudah tujuh tahun, lelaki yang pernah patah hati itu menghindar berdekatan dengan makhluk Tuhan bernama perempuan.
Aruna tak mampu menjawab lagi, gadis itu duduk di atas motor. Diantara hujan yang mengguyur, Sabda mulai melajukan motornya.
Niat awal yang ingin menghindar dari hujan, justru berhasil membuat tubuh keduanya basah kuyup. Posisi mereka yang saling berdekatan membuat degup jantung keduanya seperti meledak ledak di dalam dada.
Hening. Keduanya terdiam dengan perasaan yang... Entah. Aruna tidak berani menolehkan wajah ketika nafas Sabda terasa menyentuh kulit pipi kirinya dengan lembut.
"Namamu siapa?" tanya Sabda berusaha menetralkan sedikit rasa gugup yang kini menyapanya. Dia sendiri tidak bisa mengerti dengan jantungnya yang berdentam tak biasa di dalam dadanya. Sesekali lelaki berwajah tegas itu melirik dan menikmati wajah cantik yang ada di dekatnya.
"Aruna." jawab Aruna tanpa menoleh.
Tidak ada pembicaraan lagi, hingga Sabda menghentikan motornya di depan apotek untuk membeli sesuatu. Aruna pun masih terdiam, gadis itu seperti sulit untuk mengatakan sesuatu meski sekedar bertanya saat Sabda meninggalkannya yang masih di atas motor.
"Hujan sedikit mereda dan kita akan segera sampai." ucap Sabda saat lelaki itu kembali menaiki motor dengan menenteng plastik hitam di tangannya.
Aruna hanya mengangguk, wajahnya memang terlihat sangat pucat dengan bibir yang sedikit bergetar.
Motor kembali melaju masuk ke dalam komplek perumahan. Hingga kini mereka berhenti di depan rumah Aruna, membuka pintu gerbang dan memasukkan motornya di sana.
"Aku bisa sendiri, Mas." ucap Aruna berusaha untuk turun sendiri. Tapi, Sabda dengan gesit langsung menggendong Aruna yang kembali tersentak kaget.
"Aku tidak ingin tetangga kita salah faham dan... "
"Buka saja pintunya." sela Sabda saat menurunkan tubuh mungil itu.
Aruna membuka pintu rumah. Dan berusaha berjalan sendiri mencari sofa terdekat. Memang benar, kakinya masih sangat nyeri saat dia berjalan.
Sabda mencari sakelar untuk menghidupkan lampu. Lelaki itu tidak ingin membuang waktu karena melihat tubuh Aruna yang sudah mulai menggigil kedinginan.
"Kamu akan merasa lebih nyaman dengan menggunakan ini." Sabda membungkus pergelangan kaki Aruna dengan perban elastik.
"Cepatlah istirahat dan segera ganti baju! Aku akan mengurus motormu. Dan jika butuh sesuatu hubungi Aku." sabda menyodorkan kartu namanya.
"Aku biasa di teras sampai malam." lanjut Sabda. Bukan hanya sampai malam, lelaki itu terkadang sampai menjelang pagi di teras rumah saat teman- temannya datang.
"Iya, Mas. Terima kasih sudah merepotkan." jawab Aruna.
Lelaki itu pun keluar rumah dan menutup pintu utama rumah Aruna. Dia sebenarnya, tidak tega meninggalkan gadis bertubuh mungil itu sendirian. Tapi, dia tidak ingin keduanya mendapatkan masalah dengan warga jika tidak memberi batasan.
Kepergian Sabda membuat Aruna sedikit lega. Berdekatan dengan lelaki itu membuat jantungnya berpacu dengan liar. Dengan sangat kesulitan Aruna masuk ke dalam kamar, tapi itu justru lebih baik dari pada harus berdekatan dengan lelaki yang mampu membuatnya gugup.
###
Sabda menatap layar ponselnya. Pukul satu pagi, lelaki itu masih belum merasa ngantuk sama sekali.
Sesekali dia meraba dadanya, kembali mengingat debaran yang tidak biasa yang dia rasakan saat berdekatan dengan Aruna.
Sabda kembali teringat jika Aruna belum makan. Dia memang menunggu gadis bertubuh mungil itu menghubunginya. Tapi, sampai tengah malam pun Aruna tidak menghubungi dirinya.
"Mungkinkah dia sudah tidur?" gumam Sabda masih menatap layar ponselnya. Dia pun tidak menanyakan itu pada gadis yang menyita rasa khawatirnya itu. Dia lupa menanyakan nomer ponsel Aruna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
🇵🇸Kᵝ⃟ᴸ
awal mula rasa tumbuh nih
2023-01-03
0
Dwi Puji Lestari
kykny ad yg sama2 jatuj cinta ni
2022-11-27
0
Kas tiani
lajut k
2022-11-26
0