Terpaksa Menjadi Single Mom
Hoek!
Suara mual itu terdengar begitu jelas membuat Lehon yang masih berada di perpustakaan menjadi penasaran dan mengecek.
Keningnya mengerut tatkala mendapati seorang gadis yang tengah terduduk lemas. Ia tengah mengobrol dengan pasangannya melalui sambungan telepon.
“Ko, aku hamil. Aku bingung sekarang, tolong bantu aku. Tolong,” pintanya dengan sangat memelas.
Keningnya semakin mengerut tatkala mendengar nama panggilan itu. mungkinkah orang yang dimaksud adalah saudara tirinya?
“Riko, kamu kok diam saja? Ko, Riko!” geram gadis itu kemudian terisak tatkala panggilan itu sudah ditutup secara sepihak.
Saat itu juga, Lehon ingin menenangkan. Namun, Mike—dosen sekaligus abang Liora datang dan segera menariknya.
Hal itu menghentikan niat Lehon untuk ikut campur. Ia memilih melanjutkan kegiatannya menambah pengetahuan dalam pembuatan karya ilmiah.
***
“Liora, apa benar kamu hamil?” tanya Mely pada putri putrinya yang masih menempuh pendidikan kuliah semester 5.
Liora yang sudah mendapat amukan dari sang abang, pun menundukkan kepala. Ia takut, tak dapat berbuat apa-apa sekarang.
Plak! Plak!!
Tamparan bertubi-tubi ia rasakan, hal yang tak sepantasnya didapatkan olehnya sebab kesayangan semua orang. Ia menangis namun tak menuntut apa-apa.
“Dasar ******! Dasar murahan! Kamu sudah membuat malu keluarga ini! Dasar adik tidak tau diri!” teriak Mike yang menatap adiknya dengan sangar. “Apa sih yang kurang? Kurang apa lagi kamu di keluarga ini sampai melakukan hal menjijikkan itu?”
“Bang-“ Belum sempat gadis itu menjawab perkataan sang abang, ia sudah kembali mendapatkan tamparan.
“Mike, hentikan ini! Berikan kesempatan adikmu bicara. Jangan berbuat sesukamu.” Mely mencoba meredam emosi putranya.
Pria itu tidak berhenti sampai di sana, pun tidak mendengar permintaan dari ibunya. Ia malah berjalan seraya menyeret tubuh gadis mungil itu.
Liora yang penuh dengan ratap tangis itu kini berada di halaman depan rumahnya. Sesungguhnya, ia merasakan sakit di sekujur tubuh bagian belakang sebab diseret dari lantai dua.
“Bang, maafkan aku,” ucapnya dengan nada lirih.
“Diam!” teriak Mike tidak memberi ampun.
“Mike, jangan lakukan itu.” Mely berusaha menghentikan putranya sebelum berbuat semakin jauh.
“Mamah berhenti di sana. Anak ini sudah keterlaluan. Dia harus diberi pelajaran.”
“Mike …”
“Jangan larang aku kalau masih mau anak ini hidup!” ucap Mike menegaskan. Tangannya menekan pergelangan tangan sang adik dengan sangat kencang.
“Ssh … tolong jangan, Bang. Sakit.” Liora mencoba memohon.
“Semuanya, kemarilah!” teriak Mike memanggil semua pekerja di rumahnya yang tengah sibuk membereskan taman belakang rumah besar itu.
“Mike!” cegat Mely yang tak berhasil.
“Kalian harus tau. Kalau adikku ini adalah wanita tidak benar. Kelihatannya saja baik, tapi kenyataannya ... dia ini ******.”
Begitulah Mike mempermalukan adiknya di depan semua orang. Bukan hanya orang yang bekerja pada mereka. Namun, tetangga yang juga kepo sebab mendengar keributan itu.
“Liora, kalau kamu nggak jujur hari ini. Ingat, apa yang ada di dalam perutmu akan aku hancurkan,” ancam pria itu setelah mereka berada di rumah sekarang.
“Nak?” panggil Mely seraya menggeleng. Berharap jika yang ia khawatirkan hanyalah sebatas dugaan.
“Mamah, aku memang hamil. Maafkan aku, maafkan aku, Mah. Maaf.”
Pernyataan itu bagaikan petir di siang bolong. Mely tak dapat menahan kesedihan dan rasa kagetnya. Ia kembali bertanya pada putrinya dengan penuh harap.
“Nak, itu tidak betul, kan? Kamu nggak-“
“Mama, itu benar. Aku hamil, Ma. Aku hamil.”
Mendengar hal itu, Mely menatap mata putrinya. Ia tahu dan sadar jika ucapan itu benar adanya. Dengan segera, ia melangkah pergi dari sana dan akan mengurung diri selama beberapa saat.
Mike yang masih dengan amarah di kepalanya, pun segera menarik tangan sang adik. Tak peduli dengan erangan gadis itu. Ia terus menyeret sambil berharap Liora akan mengalami keguguran tanpa disengaja.
“Diam di sini, tidak boleh makan selama seminggu! Kamu benar-benar membuat hati abang kecewa.”
Pria itu memerintah sang adik untuk tetap berdiam di dalam gudang kosong. Salah satu tempat yang paling horor bagi Liora.
Namun, ia harus tetap terima sebab memang inilah ganjaran atas kesalahan yang sudah ia perbuat. Ia juga baru menyadari betapa hinanya keluarganya apabila masalah ini mencuat ke umum.
***
Di lapangan luas sebuah kampus ternama di kotanya, tampak seorang pria yang baru saja tiba kemudian menghantam lawan bicaranya.
“Apa-apaan lu, Sampah!” umpat Riko yang amat sangat kesal. Dari sudut bibirnya mengeluarkan cairan kental berwarna merah.
“Kamu yang sampah, Ko. Ayo, ikut aku!” Lehon memaksa Riko untuk ikut bersamanya. “Kalian semua jangan jadi pecundang. Beri kami waktu bicara berdua,” ucapnya pada teman-teman Riko yang padahal sudah siap dengan kepalan tangan.
Riko memberi anggukan yang segera dimengerti oleh teman-temannya.
“Apa ini?” tanya Lehon dengan memamerkan layar ponsel berisi percakapan antara Riko dan wanitanya.
“Kenapa kamu selalu kepo? Sudahlah, ponselnya sudah aku buang, kenapa harus dipungut? Atau, kamu mau Liora juga? Sudah, pungut saja sana. Sekalian jadi pemulung.”
Menjawab dengan santai dan terlalu sepele. Salah satu sikap yang paling tidak disukai oleh Lehon dari saudara tirinya itu.
“Ko, ayolah, sadar dan minta maaf ke dia. Kamu tau nggak sih, dengan begini, kamu telah merusak hidup anak orang. Kamu merusak masa depannya, mungkin juga dengan harapan keluarganya. Selesaikan masalah ini baik-baik!”
Mendengar hal itu, Riko menjadi kian kesal. Ia sama sekali tidak suka jika urusan pribadinya diurusi oleh orang lain.
“memangnya apa yang bisa diperbaiki? Apa aku harus menghancurkan masa depanku juga karenanya? Sudahlah, aku tidak ada urusan denganmu, Hon.” Terdiam sejenak. “Kamu dengan buku-bukumu, aku dengan hobbiku. Basket, renang, dan cewek.” Berucap dengan sombongnya.
Lehon tak habis pikir dengan pria itu. Ia mengambil salah satu buku tebalnya kemudian memukul bahu Riko.
“Jika kehebatanmu hanya untuk merusak hidup orang lain, maka kamu juga harus ikut rusak!” teriak Lehon yang ternyata segera dihindari oleh lawan bicaranya.
Riko tersenyum jahat. Rupanya, ia sedang diajak bermain-main sekarang. Hanya dengan satu siulan, keempat temannya segera datang, lalu bersama-sama mengeroyok Lehon.
Tatkala ia sudah puas dengan penderitaan lelaki itu, ia menghubungi ambulan untuk mengangkut saudara tirinya itu ke rumah sakit.
“Aku belum bisa kalau kamu mati hari ini. Ayah ibumu bisa depresi, terus gila!” ucapnya tanpa ekspresi. “Go!” ajaknya pada keempat temannya untuk meninggalkan Lehon di tempat itu sendirian.
Beberapa saat kemudian, Yona— sahabat Lehon datang dan berusaha membawa lelaki itu keluar dari sana. Ia merasa kasihan dengan keadaan Lehon yang cukup miris. Ternyata, ia sudah berada di sana dan menyaksikan kejadian itu sejak tadi.
“Kamu kenapa nggak kasih tau Om dan Tante saja, sih?”
“Nggak semudah itu, Yona. Aku tidak akan merusakan kebahagiaan keluargaku dengan mudahnya.”
“Pak, di sini! Di sini, Pak!” teriak gadis itu memanggil petugas medis yang baru saja tiba.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments