Gadis bernama lengkap Liora Rainy itu berangkat ke kampus seperti biasanya. Kali ini, ia diantar oleh sang ayah yang merasa khawatir akan keadaannya.
Sebelum putrinya itu benar-benar masuk ke area kampus, Jona mencoba bertanya, meyakinkan untuk kesekian kalinya.
“Kamu sungguh-sungguh, Nak? Masih mau kuliah?”
“Iya, Pah. Hanya untuk beberapa hari lagi. Sekarang aku harus masuk kelas, nanti telat.”
Tak punya pilihan lain, Jona membiarkan putrinya untuk belajar seperti biasa. Ia sangat tidak ingin menentang keinginan Liora untuk menuntut ilmu.
Gadis itu tampak memasuki ruangan belajarnya sembari sesekali menatap ke segala arah, mengharapkan kedatangan Riko.
Tatkala ia sudah duduk di bangku yang biasa ia tempati, sebuah tangan menggapai pundaknya. Iya, tebakannya benar. Dia adalah Riko—si manusia paling jahat.
“Ko, kamu nggak niat bolos, kan?” tanya Liora dengan segera.
“Kenapa? Kamu takut kangen berat? Duh … jangan pakai rindu-rindu banget lah,” celetuk Riko membalas dengan gaya songongnya.
Ia sengaja menaikkan nada suara sehingga perbincangan mereka menjadi bahan pandangan orang.
“Kamu apa-apaan, sih? Aku cuma mau bicara berdua dan serius sama kamu!” kesal gadis itu. “Kamu sudah berjanji tadi malam.”
“Apa lagi sih yang mau dibicarakan, Liora? Kamu mau minta balikan setelah kemarin selingkuh? Iya?”
Perkataan itu sungguh membuat Liora merasa terintimidasi dan ditipu. Putus? Belum ada kata putus di antara mereka. Lalu, kenapa harus di depan umum? Selingkuh? Sejak kapan ia pernah selingkuh?
Kini, semua orang mulai heboh berbisik, mencerca dirinya yang polos dan kebingungan.
“Aku nggak nyangka ya, Ko!” ketus Liora tak habis pikir. Ia memilih untuk pindah kursi di posisi terdepan.
Air matanya menetes, tatkala dirinya mencari-cari keberadaan tisu, sebuah tangan menghampiri.
“Ini, punya kamu kayaknya,” ucap Lehon yang di sekujur tubuhnya masih menyisakan beberapa luka.
Lehon segera berlalu dari hadapan gadis itu, mendekat pada Riko kemudian mengeluarkan sebuah kotak makan.
“Dari Mami.”
“Bawa saja,” ucap Riko santai, ia menolak pemberian saudara tirinya itu.
“Jangan terlalu keras kepala. Mami sudah berusaha.”
Lehon berlalu dengan langkah cepatnya, tak peduli dengan apa yang akan dilakukan saudaranya itu pada kotak makanan yang baru saja ia berikan.
Ia juga sempat melirik wajah Liora, memastikan bahwa gadis itu memanglah gadis yang ia lihat kemarin. Liora yang juga sama dengan korban Riko.
***
Jona tampak sedang bertemu dengan wanita yang ia temui di hotel beberapa hari yang lalu. Keduanya tampak tengah bersantai di sebuah kafe di tengah kota itu.
“Mas, lagi ada masalah ya di rumah?” tanya Helena mencoba memberi perhatian pada kekasihnya itu.
“Iya. Mungkin beberapa hari ini nggak ada waktu sama kamu dulu,” terang Jona.
“Kenapa? Apa masalahnya serumit itu sampai menumbalkan hubungan kita?”
“Jangan terlalu berlebihan kalau bicara, Helena. Ini masalah keluargaku. Penting.”
Wanita itu tampaknya sangat sensitif dengan kata penting. Seketika, ia menjadi sangat marah dan kecewa terhadap pria itu.
“Mas, apa aku tidak bisa sepenting itu? Apa ini adalah masalah istrimu yang tidak berguna dan membosankan itu? Apa lagi sih yang kamu harapkan dari dia? Kerja enggak, ngurus anak juga tidak bisa.”
Jona segera memasang wajah kesalnya. Ia menatap wanita itu dengan tatapan tajamnya kemudian menekan pergelangan tangan Helena dengan sangat kencang.
“Jangan asal bicara. Dia adalah wanita yang melahirkan kedua anakku. Dia masih lebih berharga dari kamu yang tidak punya anak. Mungkin juga tidak bisa punya anak. Berkeluarga saja belum pernah, jadi tidak akan pernah mengerti.”
Setelah berucap seperti itu, pria itu meraih jas yang ia gantungkan di atas kursi kemudian berlalu dari sana. Menyisakan Helena yang tengah menatap kosong kepergian Jona. Ia juga menundukkan kepala setelahnya, hatinya begitu terluka dengan perlakuan pahit itu.
“Jahat kamu, Mas Jona,” lirihnya menahan rasa benci.
***
Mike adalah seorang dosen yang bekerja di kampus tempat adiknya menuntut ilmu. Dengan terpaksa memutuskan keluar sebelum semuanya berantakan. Dengan begitu, ia bisa mewujudkan mimpinya untuk memberi pelajaran pada pelaku untuk luka keluarganya.
“Kamu seriusan akan keluar?” tanya semua orang yang sungguh penasaran dan masih tak percaya.
Mike memberi waktu untuk mereka mengeluarkan pendapat dan asumsi masing-masing. Setelah apa yang ia lakukan pada Liora, saat ini rasanya sudah tidak butuh orang lain lagi. Itulah mengapa, ia tak lagi peduli dengan pandangan orang-orang.
Sore itu, setelah menyelesaikan semua urusannya di kampus. Ia memutuskan untuk menemui pelaku pelecehan adiknya yang tak kunjung muncul untuk bertanggungjawab. Hal itulah yang memicu emosi dalam jiwanya ingin memberi pelajaran pada Riko.
Kini, ia tiba di tempat perkumpulan satu geng yang memang sudah dikenal meresahkan itu. Ia masuk lalu bergabung dengan anak-anak muda di sana.
“Mana? Mana saja yang bagian Riko di sini? Teman-temannya mana saja? Yang bukan teman Riko tolong menjauh.”
Tatapan sangar dan nada tegas itu segera membuat suasana hening seketika. Empat orang tersisa dan tersisihkan yang memang adalah teman Riko, pun membalas tatapan itu, sinis.
“Ada apa, Pak?” tanya Leo yang memang lebih berani dari temannya untuk menantang.
“Di mana teman kalian? Di mana Riko?” balas Mike yang tidak ingin bersentuhan dengan anak-anak nakal itu.
“Apa urusannya denganmu? Hadapi saja kami sebelum berhadapan langsung dengan Riko,” balas Leo yang segera membuat teman-temannya setuju dan mengangguk-anggukkan kepala.
“Hanya dalam satu kali telepon, nilai kalian bisa hancur seketika. Jadi, jangan mengancam. Katakan saja di mana dia?”
Tantangan dan saling mengancam itu rupanya mengundang keributan. Pertarungan sengit antara Mike dan keempat lawannya itu dimenangkan olehnya. Namun, ia menghentikan kegiatannya tatkala memastikan jika mereka tidak tahu keberadaan Riko sekarang.
***
Siang itu, Riko membonceng Liora ke luar dari kampus. Untuk pertama kalinya bagi Liora bolos kuliah. Ia yang selama ini sangat menghargai dosen, harus terpaksa melanggar.
Itu semua terpaksa ia lakukan demi kejelasan dari ayah bayi yang sedang ia kandung. Sesungguhnya, sejak awal ia sudah tidak yakin akan mendapat jalan keluar. Namun, ia harus tetap mencobanya.
Kini, keduanya berhenti di pinggiran tebing yang menunjukkan sebuah pemandangan indah. Liora cukup menikmatinya. Beberapa saat mereka terdiam.
Riko berdehem. Ia memasang tatapan datarnya yang membuat Liora semakin pesimis.
“Ko, gimana dengan bayi ini? Aku hamil, Riko.”
“Aku sudah tau itu. Kenapa harus diulang lagi kalimat yang sama?” kesal Riko. “Aku sudah membaca pesanmu di chat. Liora, aku masih muda, tidak ada niatan untuk menjadi seorang ayah. Banyak mimpi yang harus aku gapai. Kalau kamu mau, setelah aku sukses nanti, kamu dan anak itu akan aku jemput.”
Liora tercengang dibuatnya. Ia sungguh tidak percaya lelaki itu akan tega mengucapkan kalimat itu.
“Atau … kalau kamu mau, kita sama-sama belajar ... aborsi saja kandunganmu. Jadi, kita berdua aman. Keluarga kamu tidak akan malu atas perbuatan kamu, juga aku. Tidak ada yang dirugikan. Bagaimana?”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments