Hoek!
Suara mual itu terdengar begitu jelas membuat Lehon yang masih berada di perpustakaan menjadi penasaran dan mengecek.
Keningnya mengerut tatkala mendapati seorang gadis yang tengah terduduk lemas. Ia tengah mengobrol dengan pasangannya melalui sambungan telepon.
“Ko, aku hamil. Aku bingung sekarang, tolong bantu aku. Tolong,” pintanya dengan sangat memelas.
Keningnya semakin mengerut tatkala mendengar nama panggilan itu. mungkinkah orang yang dimaksud adalah saudara tirinya?
“Riko, kamu kok diam saja? Ko, Riko!” geram gadis itu kemudian terisak tatkala panggilan itu sudah ditutup secara sepihak.
Saat itu juga, Lehon ingin menenangkan. Namun, Mike—dosen sekaligus abang Liora datang dan segera menariknya.
Hal itu menghentikan niat Lehon untuk ikut campur. Ia memilih melanjutkan kegiatannya menambah pengetahuan dalam pembuatan karya ilmiah.
***
“Liora, apa benar kamu hamil?” tanya Mely pada putri putrinya yang masih menempuh pendidikan kuliah semester 5.
Liora yang sudah mendapat amukan dari sang abang, pun menundukkan kepala. Ia takut, tak dapat berbuat apa-apa sekarang.
Plak! Plak!!
Tamparan bertubi-tubi ia rasakan, hal yang tak sepantasnya didapatkan olehnya sebab kesayangan semua orang. Ia menangis namun tak menuntut apa-apa.
“Dasar ******! Dasar murahan! Kamu sudah membuat malu keluarga ini! Dasar adik tidak tau diri!” teriak Mike yang menatap adiknya dengan sangar. “Apa sih yang kurang? Kurang apa lagi kamu di keluarga ini sampai melakukan hal menjijikkan itu?”
“Bang-“ Belum sempat gadis itu menjawab perkataan sang abang, ia sudah kembali mendapatkan tamparan.
“Mike, hentikan ini! Berikan kesempatan adikmu bicara. Jangan berbuat sesukamu.” Mely mencoba meredam emosi putranya.
Pria itu tidak berhenti sampai di sana, pun tidak mendengar permintaan dari ibunya. Ia malah berjalan seraya menyeret tubuh gadis mungil itu.
Liora yang penuh dengan ratap tangis itu kini berada di halaman depan rumahnya. Sesungguhnya, ia merasakan sakit di sekujur tubuh bagian belakang sebab diseret dari lantai dua.
“Bang, maafkan aku,” ucapnya dengan nada lirih.
“Diam!” teriak Mike tidak memberi ampun.
“Mike, jangan lakukan itu.” Mely berusaha menghentikan putranya sebelum berbuat semakin jauh.
“Mamah berhenti di sana. Anak ini sudah keterlaluan. Dia harus diberi pelajaran.”
“Mike …”
“Jangan larang aku kalau masih mau anak ini hidup!” ucap Mike menegaskan. Tangannya menekan pergelangan tangan sang adik dengan sangat kencang.
“Ssh … tolong jangan, Bang. Sakit.” Liora mencoba memohon.
“Semuanya, kemarilah!” teriak Mike memanggil semua pekerja di rumahnya yang tengah sibuk membereskan taman belakang rumah besar itu.
“Mike!” cegat Mely yang tak berhasil.
“Kalian harus tau. Kalau adikku ini adalah wanita tidak benar. Kelihatannya saja baik, tapi kenyataannya ... dia ini ******.”
Begitulah Mike mempermalukan adiknya di depan semua orang. Bukan hanya orang yang bekerja pada mereka. Namun, tetangga yang juga kepo sebab mendengar keributan itu.
“Liora, kalau kamu nggak jujur hari ini. Ingat, apa yang ada di dalam perutmu akan aku hancurkan,” ancam pria itu setelah mereka berada di rumah sekarang.
“Nak?” panggil Mely seraya menggeleng. Berharap jika yang ia khawatirkan hanyalah sebatas dugaan.
“Mamah, aku memang hamil. Maafkan aku, maafkan aku, Mah. Maaf.”
Pernyataan itu bagaikan petir di siang bolong. Mely tak dapat menahan kesedihan dan rasa kagetnya. Ia kembali bertanya pada putrinya dengan penuh harap.
“Nak, itu tidak betul, kan? Kamu nggak-“
“Mama, itu benar. Aku hamil, Ma. Aku hamil.”
Mendengar hal itu, Mely menatap mata putrinya. Ia tahu dan sadar jika ucapan itu benar adanya. Dengan segera, ia melangkah pergi dari sana dan akan mengurung diri selama beberapa saat.
Mike yang masih dengan amarah di kepalanya, pun segera menarik tangan sang adik. Tak peduli dengan erangan gadis itu. Ia terus menyeret sambil berharap Liora akan mengalami keguguran tanpa disengaja.
“Diam di sini, tidak boleh makan selama seminggu! Kamu benar-benar membuat hati abang kecewa.”
Pria itu memerintah sang adik untuk tetap berdiam di dalam gudang kosong. Salah satu tempat yang paling horor bagi Liora.
Namun, ia harus tetap terima sebab memang inilah ganjaran atas kesalahan yang sudah ia perbuat. Ia juga baru menyadari betapa hinanya keluarganya apabila masalah ini mencuat ke umum.
***
Di lapangan luas sebuah kampus ternama di kotanya, tampak seorang pria yang baru saja tiba kemudian menghantam lawan bicaranya.
“Apa-apaan lu, Sampah!” umpat Riko yang amat sangat kesal. Dari sudut bibirnya mengeluarkan cairan kental berwarna merah.
“Kamu yang sampah, Ko. Ayo, ikut aku!” Lehon memaksa Riko untuk ikut bersamanya. “Kalian semua jangan jadi pecundang. Beri kami waktu bicara berdua,” ucapnya pada teman-teman Riko yang padahal sudah siap dengan kepalan tangan.
Riko memberi anggukan yang segera dimengerti oleh teman-temannya.
“Apa ini?” tanya Lehon dengan memamerkan layar ponsel berisi percakapan antara Riko dan wanitanya.
“Kenapa kamu selalu kepo? Sudahlah, ponselnya sudah aku buang, kenapa harus dipungut? Atau, kamu mau Liora juga? Sudah, pungut saja sana. Sekalian jadi pemulung.”
Menjawab dengan santai dan terlalu sepele. Salah satu sikap yang paling tidak disukai oleh Lehon dari saudara tirinya itu.
“Ko, ayolah, sadar dan minta maaf ke dia. Kamu tau nggak sih, dengan begini, kamu telah merusak hidup anak orang. Kamu merusak masa depannya, mungkin juga dengan harapan keluarganya. Selesaikan masalah ini baik-baik!”
Mendengar hal itu, Riko menjadi kian kesal. Ia sama sekali tidak suka jika urusan pribadinya diurusi oleh orang lain.
“memangnya apa yang bisa diperbaiki? Apa aku harus menghancurkan masa depanku juga karenanya? Sudahlah, aku tidak ada urusan denganmu, Hon.” Terdiam sejenak. “Kamu dengan buku-bukumu, aku dengan hobbiku. Basket, renang, dan cewek.” Berucap dengan sombongnya.
Lehon tak habis pikir dengan pria itu. Ia mengambil salah satu buku tebalnya kemudian memukul bahu Riko.
“Jika kehebatanmu hanya untuk merusak hidup orang lain, maka kamu juga harus ikut rusak!” teriak Lehon yang ternyata segera dihindari oleh lawan bicaranya.
Riko tersenyum jahat. Rupanya, ia sedang diajak bermain-main sekarang. Hanya dengan satu siulan, keempat temannya segera datang, lalu bersama-sama mengeroyok Lehon.
Tatkala ia sudah puas dengan penderitaan lelaki itu, ia menghubungi ambulan untuk mengangkut saudara tirinya itu ke rumah sakit.
“Aku belum bisa kalau kamu mati hari ini. Ayah ibumu bisa depresi, terus gila!” ucapnya tanpa ekspresi. “Go!” ajaknya pada keempat temannya untuk meninggalkan Lehon di tempat itu sendirian.
Beberapa saat kemudian, Yona— sahabat Lehon datang dan berusaha membawa lelaki itu keluar dari sana. Ia merasa kasihan dengan keadaan Lehon yang cukup miris. Ternyata, ia sudah berada di sana dan menyaksikan kejadian itu sejak tadi.
“Kamu kenapa nggak kasih tau Om dan Tante saja, sih?”
“Nggak semudah itu, Yona. Aku tidak akan merusakan kebahagiaan keluargaku dengan mudahnya.”
“Pak, di sini! Di sini, Pak!” teriak gadis itu memanggil petugas medis yang baru saja tiba.
***
Jona Yalefa—ayah Liora baru saja kembali dari luar kota untuk menyelesaikan dinas kerjanya. Entah mengapa, ia memilih jalan membelok, tidak segera pulang ke rumah.
Pria itu tengah bersama seorang wanita, namun bukan istrinya di sebuah hotel. Keduanya tampak sangat mesra, berjalan beriringan hingga memasuki kamar yang sama.
“Mas, berapa malam?” tanya wanita itu.
“Kamu maunya berapa malam, Sayang?” balas Jona.
“Aku sih … mau selamanya, Mas,” jawab Helena dengan manja dan sedikit menggoda. Ia memberi pelukan pada lelaki itu dengan sangat erat. “Aku kangen.”
“Hm. Maaf, Sayang.”
Helena segera menjauhkan diri dari lelaki itu. Ia menatap Jona dengan rasa kecewanya. Dan di saat yang bersamaan, pria itu tampak mendapatkan pesan teks setelah tidak menjawab panggilan dari istrinya.
“Apa lagi sekarang?”
“Aku harus pulang. Ada hal penting yang harus aku urus.”
“Apa? Istri kamu?”
“Liora. Aku harus segera pulang. Maaf. Aku mencintaimu, Sayang.” Memberi kecupan singkat di kening wanita itu sebelum akhirnya benar-benar berlalu.
“Apa aku tidak bisa sepenting itu?” gumam Helena kemudian masuk ke dalam kamar yang padahal baru saja dipesan. Harapannya yang ingin melewati malam bersama Jona pupus seketika.
***
Baru saja tiba dan membuka sepatu, Riko telah diberondol oleh suara teriakan Sila yang memekik. Lelaki itu tampak tidak peduli dan melanjutkan aktivitasnya.
“Kamu dengar Mami bicara tidak? Riko!”
Riko berjalan dengan langkahnya yang gontai, melintasi ibunya yang tengah sangat marah. Ia masih tidak peduli, bahkan tidak menoleh sedikit pun.
“Itu pasti ulah kamu, kan? Kamu dan teman-teman kamu kan yang mengeroyok Lehon? Kamu punya otak tidak? Mami tuh sudah benar-benar capek dengan semua ulah kamu.”
Emosi wanita itu benar-benar terkuras. Ia menarik kerah jaket anaknya, hampir mencekiknya. Riko tidak peduli, ia tetap cuek bahkan dengan sengaja membuang pandangannya ke lain arah.
“Dasar anak tidak berguna!”
“Ck! Memangnya dari mana Mami selama ini? Lupa ingatan dalam semalam? Aku kan anak haram yang tidak sengaja mami pungut.”
“Kamu …”
“Ssst … stop! Mami dapat info dari mana tentang Lehon? Dia ngelapor, ya? Cuih … dasar banci!” umpat Riko dengan kesal. Ia bahkan dengan berani, meludah di hadapan ibunya.
“Oh. Jadi tebakan mami benar? Kamu yang telah mengeroyok Lehon?”
Tatkala Sila menuntut pengakuan dari anaknya, lawan bicaranya telah berlalu dari hadapannya dengan langkah cepat kemudian menutup pintu dengan sangat kencang dan menguncinya.
“Ssh … dosa apa yang telah kuperbuat sehingga punya anak dengan sikap yang sangat buruk,” gumam wanita itu kemudian mengangkat tasnya untuk segera berangkat ke rumah sakit.
Roy, suaminya telah menelepon berkali-kali. Jika bagi Riko dirinya adalah seorang ibu yang gagal, namun tidak bagi Lehon.
Riko menatap laju mobil ibunya dengan perasaan marah dan kecewa. Ia berteriak menyebut nama wanita itu dan mengumpatnya berkali-kali.
***
Jona baru saja tiba di rumah. Ia segera mencari keberadaan putri yang sangat ia sayangi itu. Tas yang ia bawa bahkan ia campakkan begitu saja.
“Liora? Di mana kamu, Nak?” panggilnya dengan nada khawatir.
Langkah kakinya mendekat pada Mike yang tengah duduk di depan televisi yang tidak menyala. Kemudian bertanya pada lelaki itu.
“Di mana adik kamu?”
Mike tampak tersenyum datar. Ia merasa kesal pada ayahnya itu.
“Ini nih yang buat anak itu tumbuh menjadi anak yang tidak berguna. Papah selalu memanjakan dia. Apa sih, Pah? Kenapa selalu manjain dia?”
“Mike, dia adik kamu satu-satunya. Itu hal yang wajar.”
“Shit! Bacot! Memangnya di dunia ini, hanya dia satu-satunya adik perempuan?”
“Memang tidak. Tapi itu mungkin karena mereka tidak bisa melakukan dan memberi kasih sayang seperti yang papah berikan. Sekarang cepat kasih tau, di mana dia?”
Mike semakin kesal dibuatnya. Ia mengambil kunci gudang dari saku celananya dan melemparkannya ke hadapan sang ayah.
“Sebelum ketemu dia, temui Mamah dulu. Pastikan bagaimana keadaannya,” ucap pria itu mengingatkan kemudian berlalu dari sana.
Dengan motornya, ia melaju dengan kencang. Sudah bisa dipastikan jika tempat tujuannya adalah basecamp yang sudah dibangun sejak ia duduk di bangku SMA.
“Mely?” panggil Jona mencari-cari istrinya. Sebelum ia masuk ke dalam kamar, ia menetralkan detak jantungnya.
“Mas?” panggil Mely kemudian memeluk suaminya dengan sangat erat. “Anak kita …” Air mata wanita itu mengalir dengan derasnya.
Jas yang dikenakan oleh Jona telah basah sekarang. Ia kemudian mengelus puncak kepala sang istri kemudian bertanya dengan lembut tentang apa yang tengah terjadi di tengah-tengah keluarganya.
“Anak kita, Pah. Anak kita … Liora ha-mil.”
Pria itu terdiam selama beberapa saat. Ia tak bisa berkata-kata. Ia bahkan tak mampu merespon perkataan istrinya.
“Pah, kita harus bagaimana?”
“Di mana dia? Di mana putri kita?” tanya Jona dengan nada suaranya yang melemah, bahkan hampir tak terdengar.
“Pah, berjanjilah untuk tidak pernah melukai dia. Bagaimana pun, ini semua adalah kecelakaan. Tidak ada wanita yang pernah berharap untuk hamil di luar nikah.”
Jona kembali terdiam. Ia sungguh tak mampu untuk menepati janji itu.
“Pa, tolong berjanjilah demi mamah,” pinta Mely membuat Jona akhirnya pasrah dan mengikuti kemauan istrinya.
Ia menengok kunci yang ada di tangannya dan bersama-sama dengan Mely menemui sang putri yang kini masih dengan isak tangisnya.
***
Roy menatap sinis kedatangan istrinya. Ia tak menyambut Sila yang padahal adalah atas dasar kemauan dan keinginannya.
“Papi, gimana keadaan anak kita?” tanya wanita itu dengan nada khawatir.
“Sudah membaik. Di mana anak kamu yang tidak berguna itu?”
Sila terdiam. Ia merasa kaget dengan pertanyaan dan sebutan dari suaminya itu. Ia bingung antara harus membalasnya dengan kemarahan atau terima saja. Pada akhirnya, ia mengalah demi nama baiknya.
“Papi, masih mau ke kantor? Biar aku saja yang jagain Lehon. Kebetulan, kerjaanku juga sudah beres.”
“Hm.” Hanya membalas dengan deheman singkat, Roy berlalu dari tempat itu.
Setelah kepergian ayahnya, Lehon yang sejak tadi hanya berpura-pura tidur, pun memanggil ibunya.
“Mi, di mana Riko? Apa Mami habis marahin dia lagi?”
Sila terdiam. Sesungguhnya, buruknya hubungannya dengan Riko, diakibatkan oleh Lehon walaupun tanpa unsur sengaja.
“Mami, aku kan sudah bilang berkali-kali. Jangan pernah mengaitkan masalahku dengan Riko apapun yang terjadi. Serius, ini tidak ada hubungannya dengan dia. Kalau begini terus, hubungan kalian akan semakin rumit dan sulit untuk diperbaiki.”
Ketegasan Lehon tak dapat diterima oleh Sila begitu saja.
“Iya, menurut kamu itu benar, tapi tidak bagi ayahmu, Lehon. Kamu tau kan, sejak awal dia tidak pernah menerima Riko di keluarga ini. Satu hal yang seharusnya tidak boleh dia lupakan, Riko adalah anak kandungku.”
Sedih berkecamuk dengan kecewa, Lehon segera bangkit dari tidurnya. Ia memeluk wanita itu dengan penuh kehangatan.
“Mami, dengarkan aku sekali ini saja. kita pulang sekarang dan perbaiki segalanya.”
“Apa maksudmu, Lehon? Kamu mau mami kena marah lagi sama Papi? Dia akan sangat marah besar kalau tamu kamu pulang sekarang, keadaan kamu sedang tidak baik.”
Lehon menggeleng.
“Malah kalau aku semakin lama di sini, Papi akan semakin khawatir. Percaya, Mi. kalau Papi marah, aku yang akan tanggung jawab.”
Cukup yakin dan percaya akan perkataan anak itu, Sila memilih setuju. Kini, keduanya tengah bersiap untuk segera pulang.
“Mami, percaya samaku, ya? Ini juga bukan hanya karena Riko. Banyak pekerjaan kampus yang harus aku selesaikan.”
Sila mengangguk setuju dan percaya. Ia cukup senang dengan sikap dewasa yang tertanam dalam diri anak itu sejak dini.
***
Tak jauh dari rumah sakit, keempat teman Riko yang tengah mengawasi Sila pun segera member kabar itu. Mereka adalah satu-satunya harta yang paling setia dan dapat diandalkan oleh Riko.
Entahlah bagaimana ia jika mereka sudah tidak ada bersama-sama dengan dia. Janji untuk selalu bersama telah tertanam dalam benak masing-masing.
“Kalau Lehon masih menjadi masalah untuk Riko, akan aku habisi dia,” ucap Leo dengan nada serius dan segera disahut setuju oleh ketiga temannya yang lain.
***
Gadis bernama lengkap Liora Rainy itu berangkat ke kampus seperti biasanya. Kali ini, ia diantar oleh sang ayah yang merasa khawatir akan keadaannya.
Sebelum putrinya itu benar-benar masuk ke area kampus, Jona mencoba bertanya, meyakinkan untuk kesekian kalinya.
“Kamu sungguh-sungguh, Nak? Masih mau kuliah?”
“Iya, Pah. Hanya untuk beberapa hari lagi. Sekarang aku harus masuk kelas, nanti telat.”
Tak punya pilihan lain, Jona membiarkan putrinya untuk belajar seperti biasa. Ia sangat tidak ingin menentang keinginan Liora untuk menuntut ilmu.
Gadis itu tampak memasuki ruangan belajarnya sembari sesekali menatap ke segala arah, mengharapkan kedatangan Riko.
Tatkala ia sudah duduk di bangku yang biasa ia tempati, sebuah tangan menggapai pundaknya. Iya, tebakannya benar. Dia adalah Riko—si manusia paling jahat.
“Ko, kamu nggak niat bolos, kan?” tanya Liora dengan segera.
“Kenapa? Kamu takut kangen berat? Duh … jangan pakai rindu-rindu banget lah,” celetuk Riko membalas dengan gaya songongnya.
Ia sengaja menaikkan nada suara sehingga perbincangan mereka menjadi bahan pandangan orang.
“Kamu apa-apaan, sih? Aku cuma mau bicara berdua dan serius sama kamu!” kesal gadis itu. “Kamu sudah berjanji tadi malam.”
“Apa lagi sih yang mau dibicarakan, Liora? Kamu mau minta balikan setelah kemarin selingkuh? Iya?”
Perkataan itu sungguh membuat Liora merasa terintimidasi dan ditipu. Putus? Belum ada kata putus di antara mereka. Lalu, kenapa harus di depan umum? Selingkuh? Sejak kapan ia pernah selingkuh?
Kini, semua orang mulai heboh berbisik, mencerca dirinya yang polos dan kebingungan.
“Aku nggak nyangka ya, Ko!” ketus Liora tak habis pikir. Ia memilih untuk pindah kursi di posisi terdepan.
Air matanya menetes, tatkala dirinya mencari-cari keberadaan tisu, sebuah tangan menghampiri.
“Ini, punya kamu kayaknya,” ucap Lehon yang di sekujur tubuhnya masih menyisakan beberapa luka.
Lehon segera berlalu dari hadapan gadis itu, mendekat pada Riko kemudian mengeluarkan sebuah kotak makan.
“Dari Mami.”
“Bawa saja,” ucap Riko santai, ia menolak pemberian saudara tirinya itu.
“Jangan terlalu keras kepala. Mami sudah berusaha.”
Lehon berlalu dengan langkah cepatnya, tak peduli dengan apa yang akan dilakukan saudaranya itu pada kotak makanan yang baru saja ia berikan.
Ia juga sempat melirik wajah Liora, memastikan bahwa gadis itu memanglah gadis yang ia lihat kemarin. Liora yang juga sama dengan korban Riko.
***
Jona tampak sedang bertemu dengan wanita yang ia temui di hotel beberapa hari yang lalu. Keduanya tampak tengah bersantai di sebuah kafe di tengah kota itu.
“Mas, lagi ada masalah ya di rumah?” tanya Helena mencoba memberi perhatian pada kekasihnya itu.
“Iya. Mungkin beberapa hari ini nggak ada waktu sama kamu dulu,” terang Jona.
“Kenapa? Apa masalahnya serumit itu sampai menumbalkan hubungan kita?”
“Jangan terlalu berlebihan kalau bicara, Helena. Ini masalah keluargaku. Penting.”
Wanita itu tampaknya sangat sensitif dengan kata penting. Seketika, ia menjadi sangat marah dan kecewa terhadap pria itu.
“Mas, apa aku tidak bisa sepenting itu? Apa ini adalah masalah istrimu yang tidak berguna dan membosankan itu? Apa lagi sih yang kamu harapkan dari dia? Kerja enggak, ngurus anak juga tidak bisa.”
Jona segera memasang wajah kesalnya. Ia menatap wanita itu dengan tatapan tajamnya kemudian menekan pergelangan tangan Helena dengan sangat kencang.
“Jangan asal bicara. Dia adalah wanita yang melahirkan kedua anakku. Dia masih lebih berharga dari kamu yang tidak punya anak. Mungkin juga tidak bisa punya anak. Berkeluarga saja belum pernah, jadi tidak akan pernah mengerti.”
Setelah berucap seperti itu, pria itu meraih jas yang ia gantungkan di atas kursi kemudian berlalu dari sana. Menyisakan Helena yang tengah menatap kosong kepergian Jona. Ia juga menundukkan kepala setelahnya, hatinya begitu terluka dengan perlakuan pahit itu.
“Jahat kamu, Mas Jona,” lirihnya menahan rasa benci.
***
Mike adalah seorang dosen yang bekerja di kampus tempat adiknya menuntut ilmu. Dengan terpaksa memutuskan keluar sebelum semuanya berantakan. Dengan begitu, ia bisa mewujudkan mimpinya untuk memberi pelajaran pada pelaku untuk luka keluarganya.
“Kamu seriusan akan keluar?” tanya semua orang yang sungguh penasaran dan masih tak percaya.
Mike memberi waktu untuk mereka mengeluarkan pendapat dan asumsi masing-masing. Setelah apa yang ia lakukan pada Liora, saat ini rasanya sudah tidak butuh orang lain lagi. Itulah mengapa, ia tak lagi peduli dengan pandangan orang-orang.
Sore itu, setelah menyelesaikan semua urusannya di kampus. Ia memutuskan untuk menemui pelaku pelecehan adiknya yang tak kunjung muncul untuk bertanggungjawab. Hal itulah yang memicu emosi dalam jiwanya ingin memberi pelajaran pada Riko.
Kini, ia tiba di tempat perkumpulan satu geng yang memang sudah dikenal meresahkan itu. Ia masuk lalu bergabung dengan anak-anak muda di sana.
“Mana? Mana saja yang bagian Riko di sini? Teman-temannya mana saja? Yang bukan teman Riko tolong menjauh.”
Tatapan sangar dan nada tegas itu segera membuat suasana hening seketika. Empat orang tersisa dan tersisihkan yang memang adalah teman Riko, pun membalas tatapan itu, sinis.
“Ada apa, Pak?” tanya Leo yang memang lebih berani dari temannya untuk menantang.
“Di mana teman kalian? Di mana Riko?” balas Mike yang tidak ingin bersentuhan dengan anak-anak nakal itu.
“Apa urusannya denganmu? Hadapi saja kami sebelum berhadapan langsung dengan Riko,” balas Leo yang segera membuat teman-temannya setuju dan mengangguk-anggukkan kepala.
“Hanya dalam satu kali telepon, nilai kalian bisa hancur seketika. Jadi, jangan mengancam. Katakan saja di mana dia?”
Tantangan dan saling mengancam itu rupanya mengundang keributan. Pertarungan sengit antara Mike dan keempat lawannya itu dimenangkan olehnya. Namun, ia menghentikan kegiatannya tatkala memastikan jika mereka tidak tahu keberadaan Riko sekarang.
***
Siang itu, Riko membonceng Liora ke luar dari kampus. Untuk pertama kalinya bagi Liora bolos kuliah. Ia yang selama ini sangat menghargai dosen, harus terpaksa melanggar.
Itu semua terpaksa ia lakukan demi kejelasan dari ayah bayi yang sedang ia kandung. Sesungguhnya, sejak awal ia sudah tidak yakin akan mendapat jalan keluar. Namun, ia harus tetap mencobanya.
Kini, keduanya berhenti di pinggiran tebing yang menunjukkan sebuah pemandangan indah. Liora cukup menikmatinya. Beberapa saat mereka terdiam.
Riko berdehem. Ia memasang tatapan datarnya yang membuat Liora semakin pesimis.
“Ko, gimana dengan bayi ini? Aku hamil, Riko.”
“Aku sudah tau itu. Kenapa harus diulang lagi kalimat yang sama?” kesal Riko. “Aku sudah membaca pesanmu di chat. Liora, aku masih muda, tidak ada niatan untuk menjadi seorang ayah. Banyak mimpi yang harus aku gapai. Kalau kamu mau, setelah aku sukses nanti, kamu dan anak itu akan aku jemput.”
Liora tercengang dibuatnya. Ia sungguh tidak percaya lelaki itu akan tega mengucapkan kalimat itu.
“Atau … kalau kamu mau, kita sama-sama belajar ... aborsi saja kandunganmu. Jadi, kita berdua aman. Keluarga kamu tidak akan malu atas perbuatan kamu, juga aku. Tidak ada yang dirugikan. Bagaimana?”
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!