I Love You To The Moon And Back
Aku tidak tahu akan seperti ini. Kalau aku tahu bahwa akan ada nasib tragis yang menantiku begitu aku memutuskan pilihanku, maka aku tak akan pernah memilihnya. Hidup bebas tanpa terikat peraturan ternyata tidak membuat hidupku bahagia. Melainkan membuatku menderita sepanjang sisa hidupku.
Semuanya bermula dari—
Jakarta, 15 Januari 2016
“Kak ayo cepat, pertandingannya mau dimulai!” ucapku pada kakak perempuanku yang duduk di kursi pengemudi, namanya Alya. Wajahnya risau dan gugup.
“Ini gak bisa lebih cepat lagi, hujan sedang turun dengan deras. Duduklah diam dengan tenang.” Tukas kakak perempuanku.
Aku tak bisa diam ketika hatiku tak tenang sama sekali. Wajahku sama gugupnya dengan kakakku. Karena hari ini aku memiliki pertandingan yang sangat bersejarah di hidupku.
Aku adalah seorang penari profesional. Profesi ini sudah kutekuni sejak tiga tahun silam, tepat ketika aku lulus dari akademi tari. Kini ada perlombaan mencari penari terbaik untuk dikutsertakan pada kompetisi penari internasional, dan aku ingin terpilih untuk bisa mewakili negaraku.
Tapi hujan mewarnai perjalananku ke tempat lomba. Dan aku hanya bisa mengandalkan kemampuan menyetir kakakku.
“Berapa lama lagi?” tanyaku.
“Mungkin sekitar sepuluh menit bila aku mengebut lebih cepat.” Jawab kakakku.
Terasa mobil melaju lebih cepat dari sebelumnya. Aku bahkan harus berpegangan pada sabuk pengaman agar tidak terdorong kedepan. Seketika aku mulai was-was.
“Kak Alya, pelan-pelan aja.” Ucapku pelan.
“Jangan khawatir.” Balas kakakku santai. Yah, hobi sampingannya mungkin balapan.
Mobil terus melaju lebih kencang, tak peduli dengan guyuran air hujan yang tumpah ruah membasahi jalanan hingga terasa jalan berkilat saking licinnya oleh air. Berbanding terbalik dengan ekspresi penuh ketegangan, kakakku malah beraut cukup tenang. Sedetik, aku mulai bisa percaya.
Hingga—
“Kak, awas!”
Brak
Yang kulihat terakhir kalinya adalah cahaya terang yang menyorot retinaku dan setelah itu aku tak tahu apa-apa lagi.
...****************...
Masa kini, 2022
(Viona POV)
Aku dikendalikan ibuku.
Namaku Viona Felysia Tan, usiaku 29 tahun. Aku adalah anak kedua sekaligus terakhir di keluarga konglomerat terkaya di Singapura, Zhousheng Tan. Ibuku adalah Marianne Tan, perempuan yang mengendalikan semua kerajaan bisnis Tan Group setelah ayahku meninggal. Seorang ibu yang otoriter, mendominasi dan cukup kejam. Terkadang, aku lebih suka menganggapnya sebagai Programmer bertangan dingin dan aku adalah robot percobaannya. Setelah lama menetap di Singapura, saat aku berusia sepuluh tahun, ayahku memutuskan pindah ke Indonesia, ke tanah kelahirannya dan memindahkan segalanya termasuk perusahaannya ke negeri ini.
Aku pernah mengalami mimpi buruk, meski semua orang juga sama. Tapi mimpi burukku berbeda—mimpi buruk yang amat jauh lebih mengerikan daripada mimpi yang semuanya berakhir begitu kau bangun. Mimpi buruk yang bahkan tak berani kau bayangkan.
Semua ini berawal dari 12 tahun silam, ketika aku mulai memberontak karena telah muak dengan kekangan seorang Marriane Tan.
...****************...
Jakarta, 2010
“Mama sudah mendaftarkanmu ke sekolah bisnis paling bergengsi di New York. Perkuliahannya dimulai bulan depan.” ujar mamaku, Nyonya Tan.
Aku tak menjawab sama sekali, hanya bisa menunduk sambil tanganku berusaha menyembunyikan selembar kertas penerimaan masukku ke Akedemi Tari.
“Alya akan menjemputmu nanti dan tinggalah di asrama hingga tahun kedua. Setelah itu kamu baru bisa pindah ke apartement yang sudah mama siapkan.” Lanjutnya.
Tapi kufikir, aku harus mengatakannya secara terus terang. Soal apa keinginan dan cita-citaku selama ini. Aku mengeratkan genggamanku pada kertas penerimaan masuk sekolahku dan mendongak melihat mama, “Ma—“
“Mama sudah siapkan buku-buku yang akan kamu pelajari sambil menunggu perkuliahan dimulai. Karena ini waktu yang sangat kritis, maka mama memutuskan untuk mengurangi jatah bermainmu menjadi dua kali seminggu dan tidak boleh bermain ponsel lebih dari tiga jam sehari.” Potong mama.
“Tapi ma..” aku mencoba protes tapi mama mengangkat satu tangannya, menghentikan segala apapun yang keluar dari mulutku.
“Mama belum selesai bicara.” Tekannya.
Aku mendesah pelan, lalu mengangguk mengalah. Mama mulai berbicara kembali.
“Jadi mulai malam ini, pembatasan malam juga akan berlaku kembali. Kamu tidak diizinkan keluar rumah diluar jam sembilan malam.”
Keterlaluan
“Ponselmu akan disita dan akan dikembalikan setiap pukul tujuh malam dan akan disita kembali pukul sepuluh malam sebelum kamu tidur.”
Benar-benar keterlaluan
Tapi aku tidak berani membantah apalagi membangkang.
“Kamu mengerti?”
Aku mengangguk pelan, “Mengerti, ma.” Lirihku.
“Baguslah. Jadi apa yang ingin kamu katakan tadi?” tanyanya.
Aku langsung menggeleng. Kurasa ini bukan waktu yang tepat. Keberanianku sudah menciut duluan.
“Kalau begitu, sekarang kembali ke kamarmu dan baca beberapa buku yang sudah mama siapkan.” Titahnya.
Aku mengangguk, lalu beranjak berdiri dan pergi menuju kamarku yang berada di lantai dua.
...****************...
Aku melemparkan tubuhku ke atas ranjang, mendesah kasar berkali-kali. Lagi-lagi gagal, kapan aku bisa memberitahukan padanya mengenai penerimaanku di sekolah tari? Aku benar-benar ingin menjadi penari profesional.
Alih-alih membaca buku seperti yang mama perintahkan, aku malah melempar buku-buku bisnis itu ke tempat sampah. Aku tidak mau melihatnya untuk selamanya kalau bisa. Aku sungguh muak.
Setelah itu aku membentangkan kertas penerimaan mahasiswa baru ke atas wajahku dan seketika tersenyum senang. Aku sungguh tak menyangka bahwa usahaku selama beberapa tahun ini berbuah manis.
Aku memang sangat suka menari. Kecintaan itu bermula ketika aku melihat kompetisi dance di sekolah menengah. Melihat gerakan para penari yang selaras dan sangat energik, aku mulai tertarik.
Tapi masalahnya...
Drrt
Ponselku bergetar. Sahabatku, Tara menelfonku. Dia ingin video call denganku.
“Hai, Viona, gimana udah kasih tau mamah kamu?” tanyanya.
Aku mendesah, “Belum. Atau mungkin gak akan pernah.” Jawabku murung,
“Kenapa?”
“Mamaku baru aja memberitahuku bahwa bulan depan aku akan berkuliah di satu kampus yang sama dengan Kak Alya. Aku sungguh gak ingin kesana tapi aku sama sekali gak berani membantahnya.”
“Kamu seharusnya mengatakannya. Gak peduli seperti apa tanggapan mamamu, yang penting adalah kamu harus vokal terhadap keinginan dan cita-citamu. Memangnya kamu ingin terus dikekang oleh mamamu? Dibatasi semua kegiatan yang kamu sukai? Dipaksa menjalani hal yang gak kamu inginkan?” papar Tara panjang lebar.
“Kalau begitu, kamu saja yang mengatakannya. Bantu aku.” Pintaku.
Wajah serius Tara seketika meluruh. Dia langsung menggeleng keras.
“Gak, aku gak mau.” tolaknya cepat.
“Kenapa?” tanyaku juga cepat.
“Salah satu orang di muka bumi ini yang paling ingin kuhindari adalah mamamu. Berada dalam satu ruangan saja, aku sudah bergidik tidak tahan.” Ujar Tara terus terang.
Aku kembali murung, Tara terlihat panik, dia buru-buru meralatnya. “Maksudku, aku bukannya ingin menjelek-jelekkan mamamu.”
“Aku tahu. Aku saja yang sebagai anaknya sangat takut dan terintimidasi oleh kehadirannya saja. Apalagi orang luar.”
Kini Tara yang mendesah pelan, “Sepertinya jalanmu mencapai mimpimu akan sangat sulit.”
Aku mengangguk setuju, “Kurasa, aku harus memiliki banyak keberanian lebih mulai sekarang.”
Tara tiba-tiba tersenyum lebar, “Ayo pergi. Kuajak kau tempat seru!” ajaknya.
“Kemana? Ini sudah malam. Aku memiliki peraturan malam.” Ujarku.
“Jam berapa?” tanya Tara.
“Jam sembilan malam.”
“Jam sembilan malam? Apa-apaan ini? kamu itu sudah berusia delapan belas tahun, masa jam malammu seperti jam malam adikku yang masih SD?!” pekik Tara tak percaya.
“Katanya ini waktu yang sangat penting jadi jam bermainku dikurangi oleh mamaku.” Jelasku.
“Mamamu benar-benar keterlaluan! Aku tahu dia memang sangat keras padamu tapi bukankah ini sudah sangat berlebihan?!”
“Sudahlah, jangan diteruskan. Bagaimanapun dia melakukannya demi masa depanku meski caranya terkadang keras.”
“Viona, kamu memang anak berbakti.” decak Tara.
Aku hanya tersenyum kecil, “Kenapa aku merasa nadamu memujimu sedikit sarkas ya?”
“Ah sudahlah, ayo main saja. Kutunggu di tempat biasa.”
“Tapi—“
“Sampai jumpa!”
Tara langsung menutup telfonnya.
Aku menjadi bimbang, haruskah aku ikut saja dengan Tara atau lebih baik tetap tinggal? Tapi sejujurnya, aku memang membutuhkan hiburan. Tapi masalahnya hanya ada dua jam lagi sebelum pukul sembilan malam. Sempatkah aku pulang sebelum itu?
“Ah aku tidak peduli lagi.” Pungkasku memilih mengikuti hati nuraniku saja.
Aku menuju ruang pakaian, menganti gaunku dengan pakaian lebih santai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments