Halo semuanya. Ini adalah karya terbaru saya, semoga suka ya. Mohon dukungannya 🙏🤗
...****************...
Aku keluar dari rumah megahku dengan bantuan sepasang tali yang sengaja diikatkan Ningsih, asisten rumah tangga kesayanganku di balkon kamarku yang untungnya menghadap taman belakang. Karena ini bukan pertama kalinya, aku bisa menuruninya dengan mudah.
Aku mulai berjalan mengendap-endap menuju sebuah pintu tak terpakai yang berada di dinding belakang pagar rumah megahku. Pintu itu tak banyak yang tahu karena selalu terhalang oleh rimbunan semak-semak. Itu adalah pintu kecilku agar bisa terhubung kembali ke dunia luar.
Setelah perjuangan panjang, akhirnya aku selamat keluar. Tanpa menunggu waktu lagi, aku langsung berlari menuju tempat pertemuanku dengan Tara.
Lima belas menit kemudian, aku sampai di sebuah taman. Siluet Tara terlihat di balik kegelapan malam. Aku langsung menghampirinya.
“Tara!” panggilku. Tak berani keras-keras.
Tara langsung menoleh, “Viona! Akhirnya kau datang juga!” pekiknya senang. Dia langsung memelukku dengan erat.
“Kau mau mengajakku kemana? Waktuku tinggal satu setengah jam lagi.” Ucapku langsung melepaskan pelukan kami.
“Jangan khawatir. Tempatnya tidak terlalu jauh darisini. Ayo.” Ajak Tara.
Tara ternyata mengajakku ke sebuah gang kecil yang terkesan menyeramkan dan suram. Aku cukup ketakutan, bagaimanapun aku tidak pernah ke tempat seperti ini. kurasa ini juga kali pertama Tara mengajakku bermain ke gang ini, sebelumnya kami selalu bermain di mall atau taman.
“Ini dimana? Sebenarnya kita mau kemana?” tanyaku ketakutan. Pasalnya kami terus saja berjalan. Gang itu nampak panjang dan gelap. Seakan tanpa ujung.
“Tenang saja. Sebentar lagi sampai.” Ujar Tara menenangkanku.
Dan benar kata Tara, tak lama kami sampai. Ternyata di ujung jalan ini ada sebuah warung kecil yang terang benderang. Banyak anak muda berkumpul disana. Ada yang bernyanyi sambil bermain gitar, bermain kartu dan ada juga yang sedang bermain game ponsel.
“Selamat datang di surga anak muda!” pekik Tara riang. “Ayo.” Tara menarik tanganku untuk mendekat tapi aku buru-buru menghentikannya.
“Ada apa?” tanyanya menoleh.
“Tempat apa ini? Tara, kau membawaku kemana?” tanyaku was-was. Aku merasa bahwa tempat ini bukan tempat baik-baik. Lihat saja berbagai mural berwarna-warni dengan tulisan cukup kotor di dinding warung dan kursinya. Belum lagi dengan pakaian anak-anak muda itu yang nampak berlebihan dimata orang konservatif sepertiku.
“Kau pasti berfikir ini tempat yang tidak baik?” mau tak mau aku langsung mengangguk. Tara langsung merangkul bahuku, “Tenang saja, meski ini memang tongkrongan anak muda tapi tidak ada hal negatif apapun. Tidak ada judi, tidak ada taruhan, apalagi narkoba!”
“Jadi apa yang mereka lakukan disini?” aku langsung melepaskan rangkulannya.
“Tentu saja hanya untuk bermain! rata-rata yang datang ke tempat ini adalah anak orang kaya yang broken home. Daripada mereka balapan liar, narkoba dan lain sebagainya. Mereka datang kesini, bermain dengan yang senasib agar otak lebih positif. Bisa dibilang ini tempat mereka mencurahkan perasaan terdalam mereka. Tapi dengan cara yang lebih aman.”
“Lalu mural-mural ini? Dan tulisan kotornya?” tanyaku menunjuk apa yang kumaksud pada Tara.
“Ah, itu hanya keisengan anak muda saja.” Balas Tara santai. Sebelum aku bertanya lebih banyak lagi, Tara buru-buru merangkulku kembali, “Ayo, kubawa kau bertemu seseorang yang unik.” Ajaknya.
Tara membawaku ke depan warung. Kedatangan Tara ternyata disambut riuh dan hangat oleh yang lainnya. Tara bahkan sempat beberapa kali tos dengan beberapa anak muda lainnya. Disini tak hanya ada lelaki tapi perempuan juga ada. Setelah berbasa-basi sejenak, Tara membawaku masuk ke warung yang diberinama Kopie ini. Ternyata disana banyak lagi anak lain. Warung itu nyatanya lebih seperti kafe karena banyak meja-meja.
“Hai, babeh!” sapa Tara pada laki-laki paruh baya yang sedang duduk di kasir.
“Hei, Tara! Kemana saja kamu? Saban hari baru nongol?” sapanya balik dengan lantang.
“Ada Beh, banyak tugas.” Jawab Tara. “Hai, Nyak. Makin cantik saja!” Tara menyapa seorang perempuan paruh baya yang baru datang dari arah dapur.
Wanita yang dipanggil ‘Nyak’ itu langsung melambaikan tangannya, “Tara! Senang sekali lihat kamu disini lagi.” Sapanya ramah.
“Iya, Nyak. Oh ya kenalkan ini Viona, teman aku.” Tara tiba-tiba memperkenalkan aku pada mereka. Otomatis atensi mereka teralihkan padaku.
“Nah, Vi, ini Babeh Cak, pemilik Warung Kopie dan istrinya Nyak Halipeh.” Tara juga memperkenalkan mereka padaku.
Aku mengangguk sopan dan tersenyum tipis, “Viona, Babeh, Nyak.”
“Cantik ya teman kamu. Kenapa baru diajak sekarang?” tanya Nyak menatapku dengan berbinar.
“Dia tidak seperti anak muda yang lainnya. Diam terus di kastil mewahnya.” Jawab Tara becanda. Aku langsung memukul pundaknya.
“Baguslah kamu ajak dia. Kalau tidak, bisa mati bosan dia, benar tidak?” timpal Babeh ikut bercanda.
“Iya Beh.” Jawabku tersenyum.
“Segitu saja perkenalannya, ya Beh, Nyak. Viona seperti Cinderella, ada batas waktunya untuk kembali ke realita.”
“Tara...” rengekku karena Tara terus saja menggodaku meski aku setuju dengan perkataannya. Ingat, kan bahwa aku harus pulang sebelum pukul sembilan malam? Tidak ada bedanya dengan Cinderella.
“Iya-iya, ayo deh, Vi.” Ajak Tara.
Kami berpamitan pada Babeh dan Nyak lalu pergi menuju sebuah meja yang berada di sudut. Disana ada tiga orang laki-laki dan satu perempuan.
“Hei, bro, girl! Tara kambek!” pekik Tara membuat kehebohan. Dia tampak sangat nyaman di tempat ini.
“Wah, Tara!” pekik satu-satunya perempuan di meja itu. rambutnya berwarna blonde dan tampak senang bertemu Tara. Mereka berpelukan dan bercipika-cipiki.
“Kamu kemana saja? Aku menghubungimu dari kemarin tapi kamu bilang kamu sibuk.” Cebik perempuan itu kesal.
“Sorry, Mel. Baru saja lulus, banyak persiapan jadi calon mahasiswa baru.” Balas Tara.
Perempuan dipanggil ‘Mel’ itu lantas menatapku. Setelah itu menatap Tara penuh kebingungan, “Dia siapa?” tanyanya merujuk padaku.
“Lupa kenalkan, ini temanku Viona. Kalian harus baik-baik sama dia atau kalau tidak, dia akan kapok datang kesini.” Peringat Tara.
“Tenang saja.” Balasnya, perempuan itu lalu merangkulku dengan keras, aku sampai terkejut. “Hai, aku Amel. Salam kenal.” Ucapnya ramah dan sangat santai.
“Viona.” Ucapku agak risih. Aku tidak terbiasa di-skinship saat baru pertama bertemu.
“Dan tiga laki-laki ini, Jun, Aldebaran dan Angkasa.” Tara juga memperkenalkan ketiga laki-laki yang ada di meja Amel. Ketiganya terus menatapku.
“Viona.” Ucapku sopan.
“Hai, aku Jun. Salam kenal.” Ucap Jun riang. Rambutnya ikal dan berwarna coklat terang.
“Aku Aldebaran. Panggil saja Alde.” Timpal yang satunya. Di duduk di tengah teman-temannya. Rambutnya berwarna merah terang, aku cukup tak nyaman melihatnya. Akhirnya aku hanya mengangguk.
“Angkasa.” Tambah seorang laki-laki berambut cukup gondrong. Wajahnya sangat tampan dan memiliki lesung pipit. Dia juga yang paling menatapku sejak tadi. Tatapannya cukup berbeda dibanding teman-temannya saat menatapku. Atau mungkin hanya perasaanku saja.
“Viona.” Balasku tersenyum sopan.
“Duduk-duduk.” Tara langsung mendudukanku di kursi. Setelah itu dia dan Amel juga duduk.
“Kau mau pesan apa?” tanya Tara.
“Memangnya ada apa saja?” tanyaku balik.
“Mie, nasi goreng, ketoprak dan minuman dingin. Juga berbagai snack.” Sambar Amel.
“Aku...” aku bimbang. Karena aku sudah kenyang . Jadi kurasa aku ingin minum saja.
“Minuman saja. Ini sudah hampir larut malam, anak gadis jarang makan camilan malam.” Sela Angkasa sambil menatapku. Aku terkejut bahwa Angkasa seperti tahu apa yang kufikirkan.
“Wah, anak SMP ini sangat mengerti fikiran perempuan ya. Pantas pacarmu banyak.” Goda Tara.
Aku terkejut, Angkasa masih SMP?
Angkasa terlihat tersenyum kecil padaku, mungkin dia menangkap reaksi terperangahku tadi.
“Tidak kelihatan ya, saya masih SMP?” tanyanya.
Aku mengangguk kaku, “Iya.”
“Kenapa menjawab kaku seperti itu. Bukan hanya kamu yang tertipu statusnya, aku saja saat pertama bertemu dengannya sangat terkejut. Kukira dia paling tidak sudah duduk di kelas dua SMA.” Tukas Tara.
“Saya memang cukup dewasa untuk ukuran seusia saya.” Jelas Angkasa.
“Tunggu, sejak kapan kau menyebut dirimu dengan saya?” sela Jun.
Yang lainnya seakan tersadar, mereka beramai-ramai menuduh Angkasa.
“Ada apa ini?” tanya Amel.
“Kurasa ini berkat pesona Viona. Laki-laki seberandalan Angkasa saja tunduk dan berkata sopan.” Kekeh Tara.
Viona mencubit lengan Tara pelan, “Jangan bicara sembarangan.”
Angkasa tersenyum, “Keluar dulu ya.” Pamitnya.
“Mau apa?” tanya Alde.
Angkasa mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya, membentuk huruf V.
“Ah, oke-oke.” Balas Alde tak bertanya lebih lanjut.
Angkasa lalu pergi tapi sebelum itu dia sempat melihatku. Lelaki itu tiba-tiba mengedipkan sebelah matanya. Aku menjadi salah tingkah sesaat.
...****************...
Sudah setengah jam aku duduk bersama teman-teman Tara, mereka berbicara ngalor ngidul dan tampak seru dari luar. Tapi aku tidak mengerti satupun topik yang mereka bicarakan. Jadi aku hanya bisa mengatakan , oh, hmm, ya atau terkadang diam tak berbicara.
Karena bosan, aku memilih pergi menghirup udara segar.
“Aku keluar dulu.” bisikku pada Tara.
Tara hanya mengangguk, perempuan itu masih asik berbincang dengan Alde, Amel dan Jun.
Aku akhirnya keluar dari warung dan memilih menuju salah satu sudut yang sepi. Sampai disana, aku mendesah pelan. Lantas melirik arloji di tanganku, masih ada empat puluh menit lagi. Haruskah aku pulang sekarang juga? karena aku merasa tempat ini tak terlalu cocok untukku.
Tap tap
Seseorang datang menghampiriku. Aku menoleh dan langsung terbatuk-batuk keras. Angkasa datang sambil membawa rokok yang menyala. Aku tidak suka bau asapnya.
“Oh maaf-maaf.” ucap lelaki itu tapi dia tidak mematikan rokoknya hanya menjauhkannya sedikit dariku.
“Jadi yang kau maksud tanda V itu adalah merokok?” tanyaku.
Angkasa mengangguk, “Kau tidak tahu?” aku menggeleng.
“Tapi tunggu, kenapa bicaramu sangat santai?” ucapku tiba-tiba. Aku sungguh tak suka dengan nadanya yang informal dan terkesan tak menghormati yang lebih tua.
Angkasa menaikkan satu alisnya, “Beginilah cara saya berbicara. Kau keberatan?”
“Tapi kau masih SMP.” Tukasku.
“Saya sudah lulus. Dan kalau tidak salah tebak, kau berteman dengan Tara, itu artinya usia kalian sama?” tebaknya tepat sasaran. Aku dan Tara memang hanya selisih tiga bulan saja, Tara lebih tua dariku.
Aku mengangguk, “Iya, memangnya kenapa?”
“Tara adalah temanku dan aku suka berbicara santai padanya. Dan karena kalian berteman, jadi tidak ada bedanya bagiku.” Ujarnya mengendikkan bahu acuh.
Dasar tidak sopan!
Kami terdiam setelahnya. Angkasa juga masih menyesap rokoknya. Aku sebisa mungkin menutup hidungku karena asap itu. Seharusnya aku bergerak menjauh, tapi kakiku rasanya tertanam disini. Tidak mau kemana-mana.
Tak lama rokok lelaki itu sudah habis, dia menginjak puntungnya ke tanah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments