BAB 3 - ANGKASA MALAM

Angkasa Nalucas menoleh pada Viona. “Ayo, saya bawa kamu ke suatu tempat.” Ajaknya tiba-tiba.

“Kemana?” tanyaku was-was dan curiga. Angkasa masih orang asing bagiku.

“Ke tempat yang akan cocok dengan orang polos sepertimu.”

“Apa maksudmu polos?” gerutuku pelan.

Angkasa tersenyum, “Ayo, ikut saja. Saya jamin kamu pasti suka.” Ucapnya lagi.

Aku belum sempat mengiyakan, Angkasa sudah lebih dulu menarik tanganku pergi. Dan dia ternyata membawaku ke gang yang lebih kecil di sebelah timur warung. Entah kemana tujuannya.

“Kita mau kemana?” tanyaku.

“Lihat saja.” Jawab Angkasa sambil tetap ‘menyeretku’

Tak lama kami sampai di depan sebuah gedung tua yang nampak menyeramkan dan terbengkalai.

“Ayo masuk.” Ujarnya hendak menarikku lagi tapi aku buru-buru menghentikannya.

“Ada apa?” tanyanya menoleh kearahku.

Aku menggeleng, “Aku tidak mau.” ujarku ketakutan. Ini jelas lebih menakutkan dibanding jalanan gelap saat menuju warung tadi.

“Tenang saja, tidak ada hantu disini. Oh mungkin ada tapi ada saya.” Ucapnya yang jelas tak bisa membuatku tenang.

Aku tetap menggeleng tidak mau.

...****************...

Sudah sepuluh menit kami saling diam. Aku tetap tidak mau meski Angkasa sudah berkali-kali membujukku. Dan aku bodoh sekali membiarkannya membawaku ke tempat antah berantah ini.

“Beranikan dirimu. Jangan takut. Ada saya.”

“Memangnya siapa kamu hingga harus kupercaya? Lagipula kenapa kamu mengajakku kesini? Hanya berdua lagi. Apa yang coba kau lakukan padaku?” rasanya aku ingin menangis.

 

Angkasa tersenyum tenang, “Saya hanya ingin menunjukkan satu tempat padamu, tidak ada hal lain. Kalaupun ada, saya akan bertanggung jawab.”

Aku mendelik, tak urung kesal dengan ucapannya.

“Hanya lima menit. Kalau kau tidak suka, kita kembali.” tegas Angkasa.

Aku terdiam sesaat, ragu haruskah mengiyakannya atau tidak. Tapi aku baru pertama kali bertemu dengannya malam ini, tidak mungkin kan bila langsung percaya begitu saja. Lagipula, hati siapa yang tahu?

“Saya berjanji. Saya bukan orang jahat. Saya hanya ingin menunjukkan sebuah tempat padamu.” Ulangnya lagi.

Aku akhirnya mengangguk. Aku juga penasaran dengan tempat yang ingin dia tunjukkan padaku.

Angkasa tersenyum cerah, lesung pipitnya kembali terlihat. Manis sekali.

“Ayo.” Ajaknya menarik tanganku. Tapi aku melepaskannya.

“Aku jalan sendiri saja.” Ujarku pelan. Angkasa mengangguk.

“Hati-hati dengan semak belukarnya ya.”

Akhirnya kami masuk ke dalam gedung terbengkalai itu. Aku harus sangat berhati-hati agar kakiku tidak teriris duri-duri dari semak belukar yang meninggi ini. tak lama, kami sampai di depan tangga yang usang dan nampak reyot.

“Ayo naik.” Ucapnya.

Aku menahan kaus belakangnya membuat Angkasa menoleh padaku, “Kau yakin tangganya tidak akan rubuh?”

Angkasa lagi-lagi tersenyum, “Tidak akan. Percaya pada saya.” Ucapnya meyakinkan. Lelaki itu kembali melangkah naik.

Melihat Angkasa yang baik-baik saja padahal sudah naik beberapa anak tangga membuatku yakin. Pada akhirnya aku mengikuti jejak Angkasa, naik ke tangga yang semula kutakuti.

Kami terus naik semakin tinggi. Total sudah ada tiga lantai yang kami lewati. Suasananya masih suram.

Lima menit kemudian, kami sampai di tempat paling tinggi di gedung ini. rooftop. Dan begitu aku sampai, aku langsung terperangah takjub. aku langsung berlari menuju tepi atap.

“Bagus kan?” tanya Angkasa menghampiriku.

Aku langsung mengangguk. Pemandangan yang kusaksikan di atas atap ini adalah pemandangan malam yang tak pernah aku lihat selama hidupku. Aku yang selalu terkurung di rumah dan hanya keluar untuk bersekolah dan les merasa sangat terpesona dengan apa yang tersaji didepanku.

“Saya selalu menyebutnya Angkasa Malam.” Celetuk Angkasa.

“Kenapa? Karena itu namamu?” tanyaku menoleh padanya.

Angkasa menengadah, “Dia seperti saya saat di malam hari. Penuh percaya diri menunjukkan pesona dan semua keindahan yang dia miliki. Menurut saya langit malam jauh lebih indah dibanding siang hari.”

Aku setuju dengan pendapatnya. Sejujurnya aku juga lebih suka malam hari. Karena saat siang, aku harus memakai kembali topeng baik-baikku. Sangat menyenangkan ketika melihat matahari terbenam. Aku bisa melepaskan topengku dan menjadi diri sendiri. Apa adanya.

“Jadi puas kan kesini? Tidak menyesal?” tanya Angkasa.

Aku mengangguk, “Terima kasih. Seperti apa katamu, tempat ini cocok denganku. Penuh ketenangan dan apa adanya.”

“Pelajaran yang bisa dipetik malam ini adalah tidak semua hal yang terlihat buruk, keseluruhannya buruk. Sebaliknya, tidak semua hal yang terlihat baik, keseluruhannya baik. Kita harus memahaminya sampai dasar, jangan sampai menyesal karena salah memutuskan.” Ucapnya bijak.

Aku tertegun dengan ucapan Angkasa. Selain merasa bahwa anak baru gede ini sepertinya bisa berkata dewasa, diluar itu konteks ucapannya mengena dalam hatiku. Aku seperti menemukan oase di dalam kekeringan gurun.

"Benar, keputusan mama mungkin keliru!" Pungkasku dalam hati.

“Terima kasih, Angkasa.” Ucapku tersenyum senang.

“Sama-sama. Bukannya tadi kau sudah mengatakannya?”

Aku menggeleng, “Bukan itu. karena ucapanmu tadi, aku sudah mendapat jawaban atas keraguan selama beberapa waktu terakhir ini. Terima kasih ya karena sudah menyadarkanku.” Ucapku tulus.

Angkasa menatapku dalam dan itu membuatku mengernyit bingung, “Kenapa diam saja?” tanyaku.

Angkasa tak menjawab, dia malah mendekatiku. Aku sampai termundur karena Angkasa terus mendekat.

“Aw!” kaki kananku terjegal oleh kaki kiriku sendiri hingga aku nyaris terjatuh kalau Angkasa tidak menahan tubuh belakangku. Kami saling bertatapan.

“Te-terima kasih.” Gugupku. Rasanya tidak nyaman dalam posisi nyaris berpelukan seperti ini. terlebih lagi kepalaku ada di depan dadanya. Astaga, dia tiga tahun lebih muda dariku tapi tingginya melampauiku jauh.

“Baru saya sadari, kamu memang mempesona.” Bisiknya membuat bulu kudukku meremang.

Wajahnya makin dekat ke wajahku. Astaga, apa yang sedang dia lakukan? Tanpa sadar, aku menutup mataku.

Kurasakan hembusan nafasnya disekitar wajahku. Aku membuka mata dan langsung terkejut ketika sebuah benda kenyal menempel di bibirku. Ini bibir Angkasa.

Cup

Angkasa menciumku!

...****************...

Angkasa menciumku dengan sangat lembut. Bibirnya hanya menempel di atas bibirku, tampak seakan meminta izin padaku. Dan aku sudah kehilangan akal, aku mengizinkannya menciumku. Kami akhirnya berciuman. Lidahnya menari di dalam mulutku, dan mengajak lidahku untuk berdansa. Anak SMP ini cukup lihai berciuman.

Aku sudah sepenuhnya merasa terbang ke langit ketika alarm jam tanganku berdering. Kami melompat terkejut. Aku langsung melirik arlojiku. Sial, sepuluh menit lagi menjelang pukul sembilan malam. Aku harus segera pulang.

“Aku harus pergi.” Ucapku.

Belum juga Angkasa menjawab ucapanku, aku sudah lebih dulu berlari pergi tanpa memberinya kesempatan bertanya.

Dan kurasa, itu adalah kali pertama kami bertemu dan juga kali terakhirnya.

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!