BAB 4 - CINDERELLA YANG TERKURUNG DI KASTIL RAPUNZEL

Aku terus berlari menembus kegelapan malam dan jalanan aspal kecil yang sempat kutakuti. Tapi kini aku tidak memiliki waktu untuk takut. Aku bahkan tak sempat menghampiri Tara yang masih berada di warung, waktuku sudah sangat mepet.

Untungnya, ingatan geografisku kuat, aku mampu mengingat letak tempat dengan sangat cepat. Hingga akhirnya tak perlu lama bagiku untuk sampai di depan rumahku.

Aku mengecek arlojiku, astaga, tiga menit lagi! Aku buru-buru merangkak masuk melalui pintu rahasiaku, lalu berlari ke depan kamarku. Menurunkan tirai dengan sebuah katrol yang sudah kupasang sejak dulu, setelah itu langsung naik ke atas dengan gesit. Buah dari pengalamanku selama bertahun-tahun.

Satu menit menjelang pukul sembilan malam.

Aku buru-buru mengganti pakaian dengan gaun tidur, menggerai rambutku dan lekas menyembunyikan sepatu ketsku yang penuh noda kotor. Aku bahkan menyemprot sedikit parfum agar bau keringatku tidak tercium. Semuanya sudah kutata dengan sempurna. Aku yakin mama tidak akan menyadarinya.

Aku mengambil buku-buku bisnis yang sempat kulemparkan ke dalam tong sampah dan buru-buru duduk di meja belajar. Membuka salah satu buku, berpura-pura sejak awal aku tengah belajar.

Sepuluh detik menjelang waktunya, pintuku diketuk dari luar. Aku menelan ludah dengan perasaan gugup.

“Masuk.” Ucapku dengan tenang.

Pintu dibuka dari luar dan ternyata yang masuk adalah sekretaris mamaku, Sherly. Aku mendesah lega. Bisa dibilang Sherly tak seketat mamaku. Dia baik padaku.

“Kenapa? Kaget karena yang datang adalah saya alih-alih mamamu?” tanyanya geli.

“Tentu saja! Jantungku hampir copot, aku takut bila mama yang datang, dia akan mengetahui rahasiaku.” Ucapku.

“Kali ini kemana lagi?” tanyanya sambil duduk di ujung kasurku. Jangan terkejut, dari segelintir orang yang tahu rahasiaku, Sherly juga termasuk. Sekretaris mamaku bisa dibilang adalah kartu andalanku ketika aku tersudut. Dia juga tidak pernah mengadukan kebiasaanku yang suka pergi malam pada mama. Dia sangat baik padaku.

“Aku diajak Tara ke sebuah gang. Disana ada warung, isinya banyak anak-anak muda yang sedang nongkrong-nongkrong.” Ceritaku.

Mata Sherly membulat, “Kau diajak ke tempat nongkrong?” serunya tak percaya.

Aku mengangguk, “Sangat tak biasa, kan? Aku juga tidak mengerti kenapa Tara mengajakku kesana. Tapi itu bukan tempat yang negatif kok, meski seperti tongkrongan anak nakal, aslinya tidak.”

“Bagaimana bisa kau yakin kalau itu bukan tempat yang tidak baik-baik? Opini tempat menongkrong anak muda terutama di malam hari, selalu identik dengan unsur nakal.” Tukas Sherly. Dia nampak cemas karena perkataanku.

“Awalnya aku juga berfikir begitu tapi disana ada dua orang dewasa, mereka suami istri. Kurasa karena ada orang dewasa disana, mereka tidak akan berbuat yang aneh-aneh. Dan Tara juga bilang, kalau luarnya saja kelihatan tidak baik, aslinya mereka hanya sekedar bermain. Tidak ada minuman keras apalagi narkoba. Meski yah memang sebagian dari mereka merokok.” Jelasku dengan kalimat terakhir sengaja kupelankan suaraku.

“Saya tidak percaya. Dari kedengarannya saja sudah tidak meyakinkan.” tukas Sherly.

Aku hanya mengendikkan bahu, “Terserah padamu mau percaya atau tidak. Tapi aku sudah membentengi diriku untuk tidak terjerumus pada pergaulan yang salah.”

“Sebaiknya kau jauhi Tara dulu kalau ingin terhindar dari pergaulan bebas.” Tandas Sherly.

“Kenapa?” tanyaku bingung.

“Sebelum kau mengenal Tara, kau menjadi anak baik-baik yang tak pernah meninggalkan rumah terkecuali sudah meminta izin. Tapi semenjak kenal dengan Tara, kau selalu pergi diam-diam setiap malam. Awalnya hanya ke mall, taman atau perpustakaan tapi makin kesini, kau dibawa ke tempat yang aneh-aneh. Tara jelas bukan teman yang baik untukmu.”

Aku terdiam. Sherly sudah beberapa kali mengatakan hal ini padaku agar aku tidak terlalu dekat-dekat dengan Tara yang dianggapnya memberi pengaruh buruk untukku. Tapi Tara adalah satu-satunya teman yang kupunya. Teman yang tak pernah menusukku dari belakang, tak pernah memanfaatkanku dan yang terpenting sangat memahamiku dan gaya hidupku yang berbeda dari anak gadis seusiaku.

Kurasa aku harus membersihkan nama baik Tara.

“Aku hanya memiliki Tara sebagai temanku. Dan aku sangat menyukainya. Diantara teman-teman yang lainnya, dia yang tidak pernah berpura-pura didepanku. Dia sangat baik padaku dan jelas sangat memahamiku. Aku belum pernah bertemu dengan teman sebaik dia di hidupku.”

“Tapi pergaulan Tara yang membuat saya sangat khawatir. Saya hanya tidak mau kamu salah pergaulan yang pada akhirnya akan mengahancurkan hidupmu sendiri. Dan sejujurnya bila itu terjadi, saya paling kasihan pada mamamu. Nyonya melakukan segala cara untuk membuatmu terus berada dalam jalur meski caranya memang sangat ketat. Tapi kau harus tahu bahwa itu demi kebaikanmu. Nyonya melakukan yang sama pada Alya dan Alya sekarang sudah tumbuh menjadi perempuan yang anggun dan sesuai standar mamamu. Kau juga harus seperti itu.”

Aku mengangguk mengerti.

“Aku tidak pernah menganggap Tara membawa pergaulan yang salah untukku. Justru bagiku, keluar setiap malam dan diajak pergi ke semua tempat yang Tara tahu membuatku lebih mudah mengenal dunia yang kutempati.”

Sherly setuju soal itu sepertinya. Dia tak menjawab perkataanku lagi dan menyudahi pembicaraan kami.

“Yasudah, saya ikut apa katamu saja. Tapi ingat, kau harus berhenti begitu menyadari ada yang salah pada hubunganmu dengan Tara. Kau mengerti?”

Aku menganggukan kepala.

Sherly tersenyum sayang padaku, “Kau memang sudah dewasa ya, Viona. Tidak terasa waktu telah berlalu.”

Aku ikut tersenyum, “Aku juga merasa begitu.”

Sherly tersenyum, dia lalu mengadahkan telapak tangannya.

“Ponselmu?”

Aku mengambil ponselku yang kutaruh di atas meja belajar lalu menyerahkannya pada Sherly, “Kufikir kamu lupa. Atau bagaimana kalau kamu beri aku sedikit kelonggaran malam ini saja?” pintaku serius.

“Caranya?” tanya Sherly.

“Dengan tetap disini selama beberapa menit saja.” Jawabku cepat.

Sherly tersenyum manis lantas menggeleng, “Saya ingin tapi sayangnya saya tidak berani pada ibumu.”

Senyumku langsung hilang, “Yasudah. Ambil saja daripada kamu dipecat nantinya.” Lesuku.

“Maaf ya Viona. Saya sama seperti kamu, tidak bisa membantah perkataan Nyonya sedikitpun.” Ujar Sherly merasa bersalah.

“Tidak apa-apa. Serahkan pada ibuku, katakan jangan mengecek ponselku lagi seperti kemarin. Aku tidak memiliki pacar atau rahasia apapun. Aku tidak memiliki apa-apa.”

Sherly mengusap rambutku dengan sayang, aku tahu dia menjadi kasihan padaku.

“Istirahatlah yang baik ya. Jangan begadang.”

Aku hanya mengangguk. Sherly pun pergi dari kamarku.

Seusai Sherly keluar kamar, aku menumpukkan kepalaku di atas meja belajar. Dan menghela nafas berat.

Aku sungguh Cinderella yang terkurung di kastil Rapunzel.

...****************...

Pagi hari tiba, aku sudah duduk tenang di meja makan untuk sarapan bersama Rachel. Kemudian aku melirik arloji putih ditanganku, dua menit lagi menjelang waktu sarapan kami.

Sesuai dugaan, Rachel tiba di waktu yang tepat.

“Selamat pagi, ma.” Sapaku berdiri menyambut sang ibu.

“Pagi. Duduklah.” Balas Rachel. Aku langsung duduk kembali begitu Rachel sudah duduk.

“Kita mulai sarapan saja.” Ujar Rachel. Aku mengangguk.

Makanan dihidangkan oleh para pelayan. Dan makanan yang menjadi menu sarapan mereka adalah hidangan lengkap ala barat. Terdiri dari roti bakar, roti tawar, sereal, selai sayur, beef dan kornet serta omelet. Kami pun makan dengan tenang dan anggun.

“Bagaimana sudah membaca buku yang mama berikan?” tanya Rachel di sela-sela sarapan mereka.

“Sudah ma, tapi tidak semua. Hanya beberapa halaman pertama.”jawabku pelan.

“Tidak masalah. Yang terpenting sebelum perkuliahan kamu dimulai, buku-buku itu sudah selesai kamu pelajari.”

“Kenapa, ma?” Tiba-tiba perasaanku mulai tak enak.

“Karena mama akan memberikanmu buku penunjang yang lainnya.”

Aku terdiam, tak mengunyah makanan lagi. Tiba-tiba nafsu makanku hilang akibat ucapan mama.

“Apa aku harus membacanya? Sedangkan buku yang mama berikan adalah buku mahasiswa setara semester tiga.” Ucapku sedikit mengeluh.

Kudapati mama hanya menggeleng dan tetap fokus pada makanannya.

“Bukankah lebih baik bila kamu lebih cepat menguasainya? bagaimanapun setelah kamu lulus nanti, kamu akan langsung disibukkan oleh pekerjaan kantor. Kamu mana punya waktu, belajar bersama teman-teman sekelasmu dengan bekal yang sudah kamu dapatkan.”

Aku menundukan kepala. Rasanya aku ingin kabur dari sangkar emas ini. Namun bila aku pergi, kemana aku akan menepi ketika tempatku pulang hanyalah kastil mewah ini.

“Selesaikan sarapanmu, mama akan meeting di kantor. Ah, jangan lupa hari ini kamu memiliki les Bahasa Prancis.” Ucap Rachel.

“Baik, ma.” Ucapku.

Rachel pun langsung beranjak bangun. Dia diikuti Sherly meninggalkan ruang makan.

Sepeninggal mama, aku mendesah pelan. Kapan aku bisa mengatakannya pada mama?

...****************...

Nyatanya aku tidak masuk les sama sekali. Waktu sudah lewat dari waktu yang ditentukan, namun aku terus saja duduk di depan halte bus. Kalau aku pergi sekarang, ada kemungkinan aku bisa masuk kelas karena hanya terlambat beberapa menit saja. Tapi aku sama sekali tidak punya kekuatan melakukan apa yang tak kuinginkan.

Aku mendesah, menghirup udara yang malah terasa sesak di rongga paru-paruku. Rasanya beban ini terlalu berat. Dan aku bahkan bukanlah seorang pewaris tahta pertama, tapi bebanku masih sama beratnya dengan Kak Alya.

Aku jadi penasaran, apakah Kak Alya sungguh bisa menanggung beban seberat ini di pundaknya atau sebenarnya dia sama lelahnya denganku?

Brak

Aku tersentak dalam lamunanku kala terdengar suara tabrakan yang cukup keras. Aku sontak berdiri, di hadapanku, sebuah mobil rupanya menabrak seorang nenek hingga terbaring tak berdaya di atas aspal. Namun mobil itu malah melarikan diri.

“Astaga!” pekikku syok. Aku langsung menghampiri tempat kejadian yang sudah jadi kerumunan itu.

“Cepat telfon ambulans!” seru seorang warga panik.

Aku buru-buru menelfon 119 karena ponselku kebetulan berada di tanganku.

“Halo, ada korban kecelakaan tabrak lari di Jalan Cemara.” Laporku.

Usai menelfon ambulans, aku terdiam tidak tahu harus melakukan apa lagi. Untungnya tak lama, ambulans datang, mereka langsung membawa nenek malang itu ke dalam mobil.

“Ada yang bisa ikut menemani?” tanya petugas ambulans.

“Si neng saja!” jawab seorang warga menunjukku.

“Saya?” tanyaku kaget.

“Iya, neng saja. Neng kayaknya saksi mata juga. Bisa dimintai keterangan sama polisi nanti.”

“Tapi saya...”

Belum juga selesai bicara, aku sudah didorong untuk masuk ke ambulans. Dan karena sudah begini, mau tak mau aku menemani nenek malang ini ke rumah sakit.

Tidak apa-apa, mungkin kejadian ini bisa kujadikan sebagai alasan pada mamaku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!