BAB 5 - ANDAI AKU PUNYA JURUS SERIBU BAYANGAN

Aku terduduk di ruang tunggu sementara nenek itu sedang ditangani dokter. Tak lama, dua orang polisi datang menghampiriku.

“Dengan Nona....”

“Saya Viona.” Jawabku.

“Baik, Nona Viona, apakah Anda ada disana saat kejadian berlangsung?” tanya salah seorang polisi.

Aku mengangguk, “Saya kebetulan duduk di halte bus.”

“Lalu apakah Anda melihat kejadian itu? dan penampakan mobilnya.”

Aku menggeleng, “Sejujurnya, saat itu saya sedang melamun jadi saya tidak terlalu memerhatikannya. Saya bahkan tidak tahu ada seorang nenek lewat di depan saya.”

Polisi itu menganggukan kepalanya mengerti, “Baiklah, kami mengerti. Terima kasih atas kerjasamanya.”

“Sama-sama. Maafkan saya, saya tidak bisa membantu lebih banyak. Semoga pelakunya bisa ketemu.”

“Kami sedang menyelidiki CCTV di tempat kejadian. Oh ya, berarti Anda tidak memiliki hubungan apapun dengan korban?” Aku langsung menggeleng.

Drrt

Ponselku berbunyi, ada pesan dari Sherly yang akan menjemputku di rumah sakit. Dia mengatakan bahwa dia sudah berada di lobi.

“Saya memiliki urusan, boleh saya pergi lebih dulu?” tanyaku.

“Silakan Nona. Keluarga pasien juga sudah dihubungi dan akan segera kemari.”

Aku mengangguk, “Kalau begitu saya permisi.” Pamitku.

“Terima kasih atas bantuan Anda. Hati-hati di jalan.” Ucap para polisi itu. aku mengangguk, lalu melangkah pergi.

Aku berjalan menuju lobi namun di pertengahan aku berhenti ketika melihat siluet tak asing dari seseorang yang sempat menyita fikiranku.

“Bukankah itu Angkasa?” gumamku. Anak itu nampak kacau, dia sedang berbicara di meja resepsionis.

Tanpa sadar, kakiku melangkah ingin menghampirinya. Namun tak lama ketika tanganku dicekal seseorang.

“Sherly?” tanyaku menoleh.

“Kau mau kemana lagi?” tanyanya balik.

“Kurasa aku bertemu dengan temanku.” Jawabku lalu menoleh ke tempat Angkasa tadi. “Eh mana dia?” tanyaku bingung karena Angkasa sudah tidak ada disana.

“Sudahlah, kita pulang saja. Ibumu marah besar karena kamu bolos les.” Beritahu Sherly.

“Aku tidak sengaja melakukannya. Aku menolong korban kecelakaan.” Tukasku.

“Aku tahu, tapi ibumu tidak. Jelaskan padanya di rumah. Ayo.” Sherly langsung menarik tanganku pergi.

...****************...

Kini aku tengah duduk di ruang tamu dengan kepala menunduk. Sedangkan mamaku berdiri menatapku dengan serius dan tajam. Aku tahu hanya dari rautnya saja, dia mungkin sedang mencoba menahan emosinya saat ini.

“Tidak masuk kelas dan tidak mengangkat telfon, sebenarnya apa yang kamu inginkan?” tanyanya membuat bulu kudukku merinding. Suara mamaku sangat khas, dan berwibawa.

“Tadi aku sedang membantu korban kecelakaan tabrak lari makanya tidak masuk kelas dan soal tidak mengangkat telfon, maafkan aku.” Ucapku pelan.

“Apakah orang lain lebih penting dibanding masa depanmu?”

Aku hendak mengangguk tapi aku terlalu takut jadilah aku menggeleng.

“Kau tahu persis jawabannya. Tapi kenapa kau malah melalaikannya demi kepentingan orang yang bahkan tidak kau kenal?”

Kepalaku semakin tertunduk, “Maafkan aku, ma.”

“Tidak bisa ditoleri meski satu kali saja, katakan hukuman apa yang kamu mau.”

“Aku...” Aku bingung, tidak tahu harus menjawab apa. Sejujurnya aku tidak menginginkan dihukum atas perbuatan yang kuyakini tidak salah.

“Kurangi waktu keluarmu, kini kau hanya diizinkan keluar rumah hanya untuk urusan penting seperti les. Kau harus banyak membaca buku-bukumu.” Sela mamaku.

Aku menganga tak percaya, ini sungguh kelewatan. Bagaimana bisa aku hanya diizinkan keluar saat les? Bahkan burung pun akan tersiksa terus terkurung di sangkar emas sekalipun.

Aku juga mendambakan kebebasan.

“Ma, aku mohon jangan lakukan itu. Aku ingin keluar untuk sekedar bermain dan melepas penat.” Pintaku.

“Apa yang sudah mama putuskan tidak bisa dibatalkan. Pembicaraan selesai.” Pungkas mamaku langsung pergi meninggalkanku.

Aku terhenyak di kursiku, rasanya sebagian jiwaku hilang dihempas angin. Kebebasanku terus tersedot tanpa mampu kupertahankan.

Tapi aku bisa apa, selain mematuhinya. Karena sudah kubilang, aku hanyalah sebuah robot.

...****************...

Satu bulan ini kulalui dengan penuh penderitaan. Aku hanya terus berdiam di rumah, keluar hanya saat les saja. Segala kebutuhanku memang dicukupi sampai-sampai aku tidak perlu keluar rumah untuk sekedar membeli camilan, karena pelayanku akan membelikannya.

Mama sungguh membatasi pergerakanku. Bahkan Tara pun tidak bisa berbuat apa-apa.

Kini aku sudah berada di bandara menuju New York. Tempatku di masa mendatang, entah untuk memenuhi keinginan mamaku atau justru menggapai mimpiku di Akademi Tari yang sama-sama berada di New York. Sampai sekarang aku belum memutuskan.

Setelah penerbangan panjang, aku sampai di tanah baruku selama menempuh pendidikan. Kak Alya benar menjemputku. Kami langsung berpelukan. Rasanya sangat senang setelah tak melihatnya lagi hampir satu tahun ini.

“Kau makin cantik, Vi. Sekarang sudah tumbuh menjadi wanita dewasa.” Puji kakakku.

“Kakak juga makin cantik. Tapi kenapa kamu tidak pulang liburan musim panas kemarin?” rajukku.

“Pulang ke rumah sama dengan pulang ke penjara. Lebih baik disini, bisa bebas pergi ke tempat manapun.” Ujar kakakku.

“Kamu benar, hidupku selama satu bulan kemarin sungguh seperti di neraka. Aku seperti seorang burung yang terus dikurung. Lama-lama sangat membosankan dan menyebalkan.” Rutukku.

Alya merangkul bahuku, “Makanya kau harus bersyukur bisa kuliah di luar negeri terutama di New York, kau akan mendapatkan kebebasan yang tidak pernah kamu rasakan saat di Indonesia.”

“Kebebasan apa yang kamu maksud?” tanyaku.

“Seperti nongkrong di cafe, menghadiri pameran, menonton bioskop, minum teh dan lain sebagainya. Anggap saja, disini kita menjadi anak muda seutuhnya.”

“Kau bisa melakukan itu semua? Kufikir disini lebih parah, seperti kau harus terus belajar. Tidak boleh melakukan apapun yang kamu katakan tadi.”

Alya berdecak, “Siapa peduli dengan belajar? Manusia sejenius apapun akan muak bila otaknya terus dipaksakan belajar. Lagipula kita harus mengeksplor yang ada disekeliling kita untuk menyegarkan otak.”

“Tapi apa mama tidak menegurmu?” tanyaku masih penasaran.

“Tidak, mama tidak pernah menegurku. Beliau hanya berkunjung sesekali dan tiap berkunjung hanya menanyakan soal nilaiku saja. Tidak ada hal lain sampai-sampai aku lebih merasa dia seperti wali kelas dibanding seorang ibu.” Ucapan kakakku tersirat nada sedih didalamnya. Aku bisa merasakannya dan aku mengerti.

“Ayo pergi. Kurasa aku mengalami jetlag.” Ucapku.

Alya mengangguk riang, “Yuk, kubawa kamu ke tanah kebebasan!”

...****************...

“Apa? Kau tidak akan berkuliah bisnis?!” pekik Alya di suatu sore, satu minggu sebelum perkuliahanku dimulai.

Aku mengangguk, “Aku benar-benar ingin menjadi penari bukan pengusaha. Lagipula percuma memiliki otak secerdas apapun tapi tidak memiliki bakat.”

Alya mendesah pelan, “Apa mama tahu soal ini?” tanyanya dengan hati-hati.

Aku menggeleng.

“Jadi apa yang akan kau lakukan?”

Aku terdiam. Saat ini aku sedang dalam jalan buntu. Dimana aku dilema harus memilih yang mana. Dua-duanya sangat penting bagiku.

Alya mengembuskan nafas pelan, “Kejarlah apa yang kamu mau. Jangan khawatir soal mama. Lagipula aku sudah memenuhi keinginannya sebagai anak pertama.”

Aku menoleh dengan raut terkejut, “Maksudmu...”

Alya mengangguk, “Tapi kau tidak bisa melakukannya sekarang-sekarang, lakukan saat mama mulai mengendurkan pengawasannya. Jadi saranku, kau tetap berkuliah bisnis tapi kau juga belajar tari, kau mengerti maksudku kan?”

“Maksudmu aku berkuliah ganda?” seruku terkejut.

Alya mengangguk, “Resiko. Kau tahu sendiri bahwa apapun yang terjadi pada kita, mama akan mengetahuinya cepat atau lambat. Tapi dengan cara ini kita bisa mengulur waktunya. Siapa tahu rahasia ini tidak terbongkar hingga kamu lulus 4 tahun kemudian?”

Dan karena perkataan Alya, aku mulai merenung kembali. Kuakui bahwa ide Alya masuk akal dan sangat cocok dengan waktu seperti ini. Meski sangat ekstrem.

“Kau akan membantuku merahasiakannya, kan?” tanyaku.

Alya mengangguk pasti, “Kamu adikku. Tentu aku harus melindungi kebahagiaan adikku.”

Aku tersenyum haru, dan langsung merangsek memeluk Alya erat. Senang rasanya bisa memiliki kakak seperti Alya.

“Terima kasih, kak.” Ucapku tulus.

...****************...

New York, 2013

Dan itulah yang kulakukan selama beberapa semester ini. Awalnya aku sangat kesulitan karena tidak bisa menyesuaikan jadwal demi jadwalku. Belum lagi aku harus bolak-balik ke dua tempat sekaligus. Misal pagi aku kuliah bisnis, dan siang hingga sore aku belajar tari di akademi. Malam adalah waktu paling melelahkan bagiku.

Ah, andai aku memiliki jurus seribu bayangan seperti Naruto. Aku bisa melakukan pekerjaan keduanya dengan baik dan aku tak mungkin akan selelah ini tiap malam.

Tapi untungnya rahasia ini tidak terbongkar hingga aku duduk di tahun ketiga. Alya yang kini sudah bekerja selalu mengacungkan jempolnya atas kelihaianku. Aku juga sering berterima kasih karena sampai sekarang Alya masih membantuku merahasiakannya. Bahkan ketika rahasiaku hampir ketahuan, Alya selalu membantuku keluar dari kesulitan.

Seperti sekarang ini, aku sedang di Akademi Tari ketika ponselku terus berdering.

Aku tak sadar dengan ponselku yang terus berdering puluhan kali satu jam kemudian. Setelah latihan selesai, aku mengecek ponselku dan langsung membeku. Ratusan telfon datang dari Alya bahkan Sherly. Aku mulai panik dan gugup.

Kemudian pesan Alya muncul dan mataku langsung terbelalak.

Kak Alya

Mama ada di asramamu sejak satu jam yang lalu. Cepatlah pulang!

Usai membaca itu, aku buru-buru berpamitan dengan guruku dan langsung naik taksi menuju asrama. Aku memang tidak jadi tinggal di apartement setelah tahun kedua, untuk alasannya aku tidak tahu karena mama yang memutuskannya. Tapi berdasarkan kejadian sekarang, aku mulai menduga-duga bahwa mama sudah mengetahui rahasiaku sejak lama. Dan itu adalah salah satu caranya mengawasiku.

Lima belas menit kemudian, aku sampai di asrama. Dua teman sekamarku berdiri di depan pintu dengan raut cemas.

“Your mom is here. She look very angry.” Beritahu teman sekamarku.

Aku mengangguk mengerti. Wajahku sudah pucat. Aku langsung masuk ke dalam kamar. Dan begitu masuk, terlihat mama dan Kak Alya duduk di kursi sedangkan Sherly berdiri di samping jendela. Alya dan Sherly yang pertama menyadari keberadaanku. Mereka mendesah lega.

“Ma.” panggilku dengan takut-takut.

Mama sama sekali tak menengok ke arahku. Dia terus menatap ke depan.

“Mama ingin bicara dengan Viona, tinggalkan kami berdua.” Tandasnya.

“Tapi, ma...” Alya hendak menyanggah. Jelas, dia sangat khawatir padaku.

“Sekarang juga.” tekan mama.

Sherly langsung merangkul Alya pergi sebelum Alya kembali protes. Kini di ruangan, hanya ada aku dan mama.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!