NovelToon NovelToon

I Love You To The Moon And Back

BAB 1 - SEMUANYA BERMULA

Aku tidak tahu akan seperti ini. Kalau aku tahu bahwa akan ada nasib tragis yang menantiku begitu aku memutuskan pilihanku, maka aku tak akan pernah memilihnya. Hidup bebas tanpa terikat peraturan ternyata tidak membuat hidupku bahagia. Melainkan membuatku menderita sepanjang sisa hidupku.

Semuanya bermula dari—

Jakarta, 15 Januari 2016

“Kak ayo cepat, pertandingannya mau dimulai!” ucapku pada kakak perempuanku yang duduk di kursi pengemudi, namanya Alya. Wajahnya risau dan gugup.

“Ini gak bisa lebih cepat lagi, hujan sedang turun dengan deras. Duduklah diam dengan tenang.” Tukas kakak perempuanku.

Aku tak bisa diam ketika hatiku tak tenang sama sekali. Wajahku sama gugupnya dengan kakakku. Karena hari ini aku memiliki pertandingan yang sangat bersejarah di hidupku.

Aku adalah seorang penari profesional. Profesi ini sudah kutekuni sejak tiga tahun silam, tepat ketika aku lulus dari akademi tari. Kini ada perlombaan mencari penari terbaik untuk dikutsertakan pada kompetisi penari internasional, dan aku ingin terpilih untuk bisa mewakili negaraku.

Tapi hujan mewarnai perjalananku ke tempat lomba. Dan aku hanya bisa mengandalkan kemampuan menyetir kakakku.

“Berapa lama lagi?” tanyaku.

“Mungkin sekitar sepuluh menit bila aku mengebut lebih cepat.” Jawab kakakku.

Terasa mobil melaju lebih cepat dari sebelumnya. Aku bahkan harus berpegangan pada sabuk pengaman agar tidak terdorong kedepan. Seketika aku mulai was-was.

“Kak Alya, pelan-pelan aja.” Ucapku pelan.

“Jangan khawatir.” Balas kakakku santai. Yah, hobi sampingannya mungkin balapan.

Mobil terus melaju lebih kencang, tak peduli dengan guyuran air hujan yang tumpah ruah membasahi jalanan hingga terasa jalan berkilat saking licinnya oleh air. Berbanding terbalik dengan ekspresi penuh ketegangan, kakakku malah beraut cukup tenang. Sedetik, aku mulai bisa percaya.

Hingga—

“Kak, awas!”

Brak

Yang kulihat terakhir kalinya adalah cahaya terang yang menyorot retinaku dan setelah itu aku tak tahu apa-apa lagi.

...****************...

Masa kini, 2022

(Viona POV)

Aku dikendalikan ibuku.

Namaku Viona Felysia Tan, usiaku 29 tahun. Aku adalah anak kedua sekaligus terakhir di keluarga konglomerat terkaya di Singapura, Zhousheng Tan. Ibuku adalah Marianne Tan, perempuan yang mengendalikan semua kerajaan bisnis Tan Group setelah ayahku meninggal. Seorang ibu yang otoriter, mendominasi dan cukup kejam. Terkadang, aku lebih suka menganggapnya sebagai Programmer bertangan dingin dan aku adalah robot percobaannya. Setelah lama menetap di Singapura, saat aku berusia sepuluh tahun, ayahku memutuskan pindah ke Indonesia, ke tanah kelahirannya dan memindahkan segalanya termasuk perusahaannya ke negeri ini.

Aku pernah mengalami mimpi buruk, meski semua orang juga sama. Tapi mimpi burukku berbeda—mimpi buruk yang amat jauh lebih mengerikan daripada mimpi yang semuanya berakhir begitu kau bangun. Mimpi buruk yang bahkan tak berani kau bayangkan.

Semua ini berawal dari 12 tahun silam, ketika aku mulai memberontak karena telah muak dengan kekangan seorang Marriane Tan.

...****************...

Jakarta, 2010

“Mama sudah mendaftarkanmu ke sekolah bisnis paling bergengsi di New York. Perkuliahannya dimulai bulan depan.” ujar mamaku, Nyonya Tan.

Aku tak menjawab sama sekali, hanya bisa menunduk sambil tanganku berusaha menyembunyikan selembar kertas penerimaan masukku ke Akedemi Tari.

“Alya akan menjemputmu nanti dan tinggalah di asrama hingga tahun kedua. Setelah itu kamu baru bisa pindah ke apartement yang sudah mama siapkan.” Lanjutnya.

Tapi kufikir, aku harus mengatakannya secara terus terang. Soal apa keinginan dan cita-citaku selama ini. Aku mengeratkan genggamanku pada kertas penerimaan masuk sekolahku dan mendongak melihat mama, “Ma—“

“Mama sudah siapkan buku-buku yang akan kamu pelajari sambil menunggu perkuliahan dimulai. Karena ini waktu yang sangat kritis, maka mama memutuskan untuk mengurangi jatah bermainmu menjadi dua kali seminggu dan tidak boleh bermain ponsel lebih dari tiga jam sehari.” Potong mama.

“Tapi ma..” aku mencoba protes tapi mama mengangkat satu tangannya, menghentikan segala apapun yang keluar dari mulutku.

“Mama belum selesai bicara.” Tekannya.

Aku mendesah pelan, lalu mengangguk mengalah. Mama mulai berbicara kembali.

“Jadi mulai malam ini, pembatasan malam juga akan berlaku kembali. Kamu tidak diizinkan keluar rumah diluar jam sembilan malam.”

Keterlaluan

“Ponselmu akan disita dan akan dikembalikan setiap pukul tujuh malam dan akan disita kembali pukul sepuluh malam sebelum kamu tidur.”

Benar-benar keterlaluan

Tapi aku tidak berani membantah apalagi membangkang.

“Kamu mengerti?”

Aku mengangguk pelan, “Mengerti, ma.” Lirihku.

“Baguslah. Jadi apa yang ingin kamu katakan tadi?” tanyanya.

Aku langsung menggeleng. Kurasa ini bukan waktu yang tepat. Keberanianku sudah menciut duluan.

“Kalau begitu, sekarang kembali ke kamarmu dan baca beberapa buku yang sudah mama siapkan.” Titahnya.

Aku mengangguk, lalu beranjak berdiri dan pergi menuju kamarku yang berada di lantai dua.

...****************...

Aku melemparkan tubuhku ke atas ranjang, mendesah kasar berkali-kali. Lagi-lagi gagal, kapan aku bisa memberitahukan padanya mengenai penerimaanku di sekolah tari? Aku benar-benar ingin menjadi penari profesional.

Alih-alih membaca buku seperti yang mama perintahkan, aku malah melempar buku-buku bisnis itu ke tempat sampah. Aku tidak mau melihatnya untuk selamanya kalau bisa. Aku sungguh muak.

Setelah itu aku membentangkan kertas penerimaan mahasiswa baru ke atas wajahku dan seketika tersenyum senang. Aku sungguh tak menyangka bahwa usahaku selama beberapa tahun ini berbuah manis.

Aku memang sangat suka menari. Kecintaan itu bermula ketika aku melihat kompetisi dance di sekolah menengah. Melihat gerakan para penari yang selaras dan sangat energik, aku mulai tertarik.

Tapi masalahnya...

Drrt

Ponselku bergetar. Sahabatku, Tara menelfonku. Dia ingin video call denganku.

“Hai, Viona, gimana udah kasih tau mamah kamu?” tanyanya.

Aku mendesah, “Belum. Atau mungkin gak akan pernah.” Jawabku murung,

“Kenapa?”

“Mamaku baru aja memberitahuku bahwa bulan depan aku akan berkuliah di satu kampus yang sama dengan Kak Alya. Aku sungguh gak ingin kesana tapi aku sama sekali gak berani membantahnya.”

“Kamu seharusnya mengatakannya. Gak peduli seperti apa tanggapan mamamu, yang penting adalah kamu harus vokal terhadap keinginan dan cita-citamu. Memangnya kamu ingin terus dikekang oleh mamamu? Dibatasi semua kegiatan yang kamu sukai? Dipaksa menjalani hal yang gak kamu inginkan?” papar Tara panjang lebar.

“Kalau begitu, kamu saja yang mengatakannya. Bantu aku.” Pintaku.

Wajah serius Tara seketika meluruh. Dia langsung menggeleng keras.

“Gak, aku gak mau.” tolaknya cepat.

“Kenapa?” tanyaku juga cepat.

“Salah satu orang di muka bumi ini yang paling ingin kuhindari adalah mamamu. Berada dalam satu ruangan saja, aku sudah bergidik tidak tahan.” Ujar Tara terus terang.

Aku kembali murung, Tara terlihat panik, dia buru-buru meralatnya. “Maksudku, aku bukannya ingin menjelek-jelekkan mamamu.”

“Aku tahu. Aku saja yang sebagai anaknya sangat takut dan terintimidasi oleh kehadirannya saja. Apalagi orang luar.”

Kini Tara yang mendesah pelan, “Sepertinya jalanmu mencapai mimpimu akan sangat sulit.”

Aku mengangguk setuju, “Kurasa, aku harus memiliki banyak keberanian lebih mulai sekarang.”

Tara tiba-tiba tersenyum lebar, “Ayo pergi. Kuajak kau tempat seru!” ajaknya.

“Kemana? Ini sudah malam. Aku memiliki peraturan malam.” Ujarku.

“Jam berapa?” tanya Tara.

“Jam sembilan malam.”

“Jam sembilan malam? Apa-apaan ini? kamu itu sudah berusia delapan belas tahun, masa jam malammu seperti jam malam adikku yang masih SD?!” pekik Tara tak percaya.

“Katanya ini waktu yang sangat penting jadi jam bermainku dikurangi oleh mamaku.” Jelasku.

“Mamamu benar-benar keterlaluan! Aku tahu dia memang sangat keras padamu tapi bukankah ini sudah sangat berlebihan?!”

“Sudahlah, jangan diteruskan. Bagaimanapun dia melakukannya demi masa depanku meski caranya terkadang keras.”

“Viona, kamu memang anak berbakti.” decak Tara.

Aku hanya tersenyum kecil, “Kenapa aku merasa nadamu memujimu sedikit sarkas ya?”

“Ah sudahlah, ayo main saja. Kutunggu di tempat biasa.”

“Tapi—“

“Sampai jumpa!”

Tara langsung menutup telfonnya.

Aku menjadi bimbang, haruskah aku ikut saja dengan Tara atau lebih baik tetap tinggal? Tapi sejujurnya, aku memang membutuhkan hiburan. Tapi masalahnya hanya ada dua jam lagi sebelum pukul sembilan malam. Sempatkah aku pulang sebelum itu?

“Ah aku tidak peduli lagi.” Pungkasku memilih mengikuti hati nuraniku saja.

Aku menuju ruang pakaian, menganti gaunku dengan pakaian lebih santai.

BAB 2 - ANAK SMP YANG EKSENTRIK

Halo semuanya. Ini adalah karya terbaru saya, semoga suka ya. Mohon dukungannya 🙏🤗

...****************...

Aku keluar dari rumah megahku dengan bantuan sepasang tali yang sengaja diikatkan Ningsih, asisten rumah tangga kesayanganku di balkon kamarku yang untungnya menghadap taman belakang. Karena ini bukan pertama kalinya, aku bisa menuruninya dengan mudah.

Aku mulai berjalan mengendap-endap menuju sebuah pintu tak terpakai yang berada di dinding belakang pagar rumah megahku. Pintu itu tak banyak yang tahu karena selalu terhalang oleh rimbunan semak-semak. Itu adalah pintu kecilku agar bisa terhubung kembali ke dunia luar.

Setelah perjuangan panjang, akhirnya aku selamat keluar. Tanpa menunggu waktu lagi, aku langsung berlari menuju tempat pertemuanku dengan Tara.

Lima belas menit kemudian, aku sampai di sebuah taman. Siluet Tara terlihat di balik kegelapan malam. Aku langsung menghampirinya.

“Tara!” panggilku. Tak berani keras-keras.

Tara langsung menoleh, “Viona! Akhirnya kau datang juga!” pekiknya senang. Dia langsung memelukku dengan erat.

“Kau mau mengajakku kemana? Waktuku tinggal satu setengah jam lagi.” Ucapku langsung melepaskan pelukan kami.

“Jangan khawatir. Tempatnya tidak terlalu jauh darisini. Ayo.” Ajak Tara.

Tara ternyata mengajakku ke sebuah gang kecil yang terkesan menyeramkan dan suram. Aku cukup ketakutan, bagaimanapun aku tidak pernah ke tempat seperti ini. kurasa ini juga kali pertama Tara mengajakku bermain ke gang ini, sebelumnya kami selalu bermain di mall atau taman.

“Ini dimana? Sebenarnya kita mau kemana?” tanyaku ketakutan. Pasalnya kami terus saja berjalan. Gang itu nampak panjang dan gelap. Seakan tanpa ujung.

“Tenang saja. Sebentar lagi sampai.” Ujar Tara menenangkanku.

Dan benar kata Tara, tak lama kami sampai. Ternyata di ujung jalan ini ada sebuah warung kecil yang terang benderang. Banyak anak muda berkumpul disana. Ada yang bernyanyi sambil bermain gitar, bermain kartu dan ada juga yang sedang bermain game ponsel.

“Selamat datang di surga anak muda!” pekik Tara riang. “Ayo.” Tara menarik tanganku untuk mendekat tapi aku buru-buru menghentikannya.

“Ada apa?” tanyanya menoleh.

“Tempat apa ini? Tara, kau membawaku kemana?” tanyaku was-was. Aku merasa bahwa tempat ini bukan tempat baik-baik. Lihat saja berbagai mural berwarna-warni dengan tulisan cukup kotor di dinding warung dan kursinya. Belum lagi dengan pakaian anak-anak muda itu yang nampak berlebihan dimata orang konservatif sepertiku.

“Kau pasti berfikir ini tempat yang tidak baik?” mau tak mau aku langsung mengangguk. Tara langsung merangkul bahuku, “Tenang saja, meski ini memang tongkrongan anak muda tapi tidak ada hal negatif apapun. Tidak ada judi, tidak ada taruhan, apalagi narkoba!”

“Jadi apa yang mereka lakukan disini?” aku langsung melepaskan rangkulannya.

“Tentu saja hanya untuk bermain! rata-rata yang datang ke tempat ini adalah anak orang kaya yang broken home. Daripada mereka balapan liar, narkoba dan lain sebagainya. Mereka datang kesini, bermain dengan yang senasib agar otak lebih positif. Bisa dibilang ini tempat mereka mencurahkan perasaan terdalam mereka. Tapi dengan cara yang lebih aman.”

“Lalu mural-mural ini? Dan tulisan kotornya?” tanyaku menunjuk apa yang kumaksud pada Tara.

“Ah, itu hanya keisengan anak muda saja.” Balas Tara santai. Sebelum aku bertanya lebih banyak lagi, Tara buru-buru merangkulku kembali, “Ayo, kubawa kau bertemu seseorang yang unik.” Ajaknya.

Tara membawaku ke depan warung. Kedatangan Tara ternyata disambut riuh dan hangat oleh yang lainnya. Tara bahkan sempat beberapa kali tos dengan beberapa anak muda lainnya. Disini tak hanya ada lelaki tapi perempuan juga ada. Setelah berbasa-basi sejenak, Tara membawaku masuk ke warung yang diberinama Kopie ini. Ternyata disana banyak lagi anak lain. Warung itu nyatanya lebih seperti kafe karena banyak meja-meja.

“Hai, babeh!” sapa Tara pada laki-laki paruh baya yang sedang duduk di kasir.

“Hei, Tara! Kemana saja kamu? Saban hari baru nongol?” sapanya balik dengan lantang.

“Ada Beh, banyak tugas.” Jawab Tara. “Hai, Nyak. Makin cantik saja!” Tara menyapa seorang perempuan paruh baya yang baru datang dari arah dapur.

Wanita yang dipanggil ‘Nyak’ itu langsung melambaikan tangannya, “Tara! Senang sekali lihat kamu disini lagi.” Sapanya ramah.

“Iya, Nyak. Oh ya kenalkan ini Viona, teman aku.” Tara tiba-tiba memperkenalkan aku pada mereka. Otomatis atensi mereka teralihkan padaku.

“Nah, Vi, ini Babeh Cak, pemilik Warung Kopie dan istrinya Nyak Halipeh.” Tara juga memperkenalkan mereka padaku.

Aku mengangguk sopan dan tersenyum tipis, “Viona, Babeh, Nyak.”

“Cantik ya teman kamu. Kenapa baru diajak sekarang?” tanya Nyak menatapku dengan berbinar.

“Dia tidak seperti anak muda yang lainnya. Diam terus di kastil mewahnya.” Jawab Tara becanda. Aku langsung memukul pundaknya.

“Baguslah kamu ajak dia. Kalau tidak, bisa mati bosan dia, benar tidak?” timpal Babeh ikut bercanda.

“Iya Beh.” Jawabku tersenyum.

“Segitu saja perkenalannya, ya Beh, Nyak. Viona seperti Cinderella, ada batas waktunya untuk kembali ke realita.”

“Tara...” rengekku karena Tara terus saja menggodaku meski aku setuju dengan perkataannya. Ingat, kan bahwa aku harus pulang sebelum pukul sembilan malam? Tidak ada bedanya dengan Cinderella.

“Iya-iya, ayo deh, Vi.” Ajak Tara.

Kami berpamitan pada Babeh dan Nyak lalu pergi menuju sebuah meja yang berada di sudut. Disana ada tiga orang laki-laki dan satu perempuan.

“Hei, bro, girl! Tara kambek!” pekik Tara membuat kehebohan. Dia tampak sangat nyaman di tempat ini.

“Wah, Tara!” pekik satu-satunya perempuan di meja itu. rambutnya berwarna blonde dan tampak senang bertemu Tara. Mereka berpelukan dan bercipika-cipiki.

“Kamu kemana saja? Aku menghubungimu dari kemarin tapi kamu bilang kamu sibuk.” Cebik perempuan itu kesal.

“Sorry, Mel. Baru saja lulus, banyak persiapan jadi calon mahasiswa baru.” Balas Tara.

Perempuan dipanggil ‘Mel’ itu lantas menatapku. Setelah itu menatap Tara penuh kebingungan, “Dia siapa?” tanyanya merujuk padaku.

“Lupa kenalkan, ini temanku Viona. Kalian harus baik-baik sama dia atau kalau tidak, dia akan kapok datang kesini.” Peringat Tara.

“Tenang saja.” Balasnya, perempuan itu lalu merangkulku dengan keras, aku sampai terkejut. “Hai, aku Amel. Salam kenal.” Ucapnya ramah dan sangat santai.

“Viona.” Ucapku agak risih. Aku tidak terbiasa di-skinship saat baru pertama bertemu.

“Dan tiga laki-laki ini, Jun, Aldebaran dan Angkasa.” Tara juga memperkenalkan ketiga laki-laki yang ada di meja Amel. Ketiganya terus menatapku.

“Viona.” Ucapku sopan.

“Hai, aku Jun. Salam kenal.” Ucap Jun riang. Rambutnya ikal dan berwarna coklat terang.

“Aku Aldebaran. Panggil saja Alde.” Timpal yang satunya. Di duduk di tengah teman-temannya. Rambutnya berwarna merah terang, aku cukup tak nyaman melihatnya. Akhirnya aku hanya mengangguk.

“Angkasa.” Tambah seorang laki-laki berambut cukup gondrong. Wajahnya sangat tampan dan memiliki lesung pipit. Dia juga yang paling menatapku sejak tadi. Tatapannya cukup berbeda dibanding teman-temannya saat menatapku. Atau mungkin hanya perasaanku saja.

“Viona.” Balasku tersenyum sopan.

“Duduk-duduk.” Tara langsung mendudukanku di kursi. Setelah itu dia dan Amel juga duduk.

“Kau mau pesan apa?” tanya Tara.

“Memangnya ada apa saja?” tanyaku balik.

“Mie, nasi goreng, ketoprak dan minuman dingin. Juga berbagai snack.” Sambar Amel.

“Aku...” aku bimbang. Karena aku sudah kenyang . Jadi kurasa aku ingin minum saja.

“Minuman saja. Ini sudah hampir larut malam, anak gadis jarang makan camilan malam.” Sela Angkasa sambil menatapku. Aku terkejut bahwa Angkasa seperti tahu apa yang kufikirkan.

“Wah, anak SMP ini sangat mengerti fikiran perempuan ya. Pantas pacarmu banyak.” Goda Tara.

Aku terkejut, Angkasa masih SMP?

Angkasa terlihat tersenyum kecil padaku, mungkin dia menangkap reaksi terperangahku tadi.

“Tidak kelihatan ya, saya masih SMP?” tanyanya.

Aku mengangguk kaku, “Iya.”

“Kenapa menjawab kaku seperti itu. Bukan hanya kamu yang tertipu statusnya, aku saja saat pertama bertemu dengannya sangat terkejut. Kukira dia paling tidak sudah duduk di kelas dua SMA.” Tukas Tara.

“Saya memang cukup dewasa untuk ukuran seusia saya.” Jelas Angkasa.

“Tunggu, sejak kapan kau menyebut dirimu dengan saya?” sela Jun.

Yang lainnya seakan tersadar, mereka beramai-ramai menuduh Angkasa.

“Ada apa ini?” tanya Amel.

“Kurasa ini berkat pesona Viona. Laki-laki seberandalan Angkasa saja tunduk dan berkata sopan.” Kekeh Tara.

Viona mencubit lengan Tara pelan, “Jangan bicara sembarangan.”

Angkasa tersenyum, “Keluar dulu ya.” Pamitnya.

“Mau apa?” tanya Alde.

Angkasa mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya, membentuk huruf V.

“Ah, oke-oke.” Balas Alde tak bertanya lebih lanjut.

Angkasa lalu pergi tapi sebelum itu dia sempat melihatku. Lelaki itu tiba-tiba mengedipkan sebelah matanya. Aku menjadi salah tingkah sesaat.

...****************...

Sudah setengah jam aku duduk bersama teman-teman Tara, mereka berbicara ngalor ngidul dan tampak seru dari luar. Tapi aku tidak mengerti satupun topik yang mereka bicarakan. Jadi aku hanya bisa mengatakan , oh, hmm, ya atau terkadang diam tak berbicara.

Karena bosan, aku memilih pergi menghirup udara segar.

“Aku keluar dulu.” bisikku pada Tara.

Tara hanya mengangguk, perempuan itu masih asik berbincang dengan Alde, Amel dan Jun.

Aku akhirnya keluar dari warung dan memilih menuju salah satu sudut yang sepi. Sampai disana, aku mendesah pelan. Lantas melirik arloji di tanganku, masih ada empat puluh menit lagi. Haruskah aku pulang sekarang juga? karena aku merasa tempat ini tak terlalu cocok untukku.

Tap tap

Seseorang datang menghampiriku. Aku menoleh dan langsung terbatuk-batuk keras. Angkasa datang sambil membawa rokok yang menyala. Aku tidak suka bau asapnya.

“Oh maaf-maaf.” ucap lelaki itu tapi dia tidak mematikan rokoknya hanya menjauhkannya sedikit dariku.

“Jadi yang kau maksud tanda V itu adalah merokok?” tanyaku.

Angkasa mengangguk, “Kau tidak tahu?” aku menggeleng.

“Tapi tunggu, kenapa bicaramu sangat santai?” ucapku tiba-tiba. Aku sungguh tak suka dengan nadanya yang informal dan terkesan tak menghormati yang lebih tua.

Angkasa menaikkan satu alisnya, “Beginilah cara saya berbicara. Kau keberatan?”

“Tapi kau masih SMP.” Tukasku.

“Saya sudah lulus. Dan kalau tidak salah tebak, kau berteman dengan Tara, itu artinya usia kalian sama?” tebaknya tepat sasaran. Aku dan Tara memang hanya selisih tiga bulan saja, Tara lebih tua dariku.

Aku mengangguk, “Iya, memangnya kenapa?”

“Tara adalah temanku dan aku suka berbicara santai padanya. Dan karena kalian berteman, jadi tidak ada bedanya bagiku.” Ujarnya mengendikkan bahu acuh.

Dasar tidak sopan!

Kami terdiam setelahnya. Angkasa juga masih menyesap rokoknya. Aku sebisa mungkin menutup hidungku karena asap itu. Seharusnya aku bergerak menjauh, tapi kakiku rasanya tertanam disini. Tidak mau kemana-mana.

Tak lama rokok lelaki itu sudah habis, dia menginjak puntungnya ke tanah.

BAB 3 - ANGKASA MALAM

Angkasa Nalucas menoleh pada Viona. “Ayo, saya bawa kamu ke suatu tempat.” Ajaknya tiba-tiba.

“Kemana?” tanyaku was-was dan curiga. Angkasa masih orang asing bagiku.

“Ke tempat yang akan cocok dengan orang polos sepertimu.”

“Apa maksudmu polos?” gerutuku pelan.

Angkasa tersenyum, “Ayo, ikut saja. Saya jamin kamu pasti suka.” Ucapnya lagi.

Aku belum sempat mengiyakan, Angkasa sudah lebih dulu menarik tanganku pergi. Dan dia ternyata membawaku ke gang yang lebih kecil di sebelah timur warung. Entah kemana tujuannya.

“Kita mau kemana?” tanyaku.

“Lihat saja.” Jawab Angkasa sambil tetap ‘menyeretku’

Tak lama kami sampai di depan sebuah gedung tua yang nampak menyeramkan dan terbengkalai.

“Ayo masuk.” Ujarnya hendak menarikku lagi tapi aku buru-buru menghentikannya.

“Ada apa?” tanyanya menoleh kearahku.

Aku menggeleng, “Aku tidak mau.” ujarku ketakutan. Ini jelas lebih menakutkan dibanding jalanan gelap saat menuju warung tadi.

“Tenang saja, tidak ada hantu disini. Oh mungkin ada tapi ada saya.” Ucapnya yang jelas tak bisa membuatku tenang.

Aku tetap menggeleng tidak mau.

...****************...

Sudah sepuluh menit kami saling diam. Aku tetap tidak mau meski Angkasa sudah berkali-kali membujukku. Dan aku bodoh sekali membiarkannya membawaku ke tempat antah berantah ini.

“Beranikan dirimu. Jangan takut. Ada saya.”

“Memangnya siapa kamu hingga harus kupercaya? Lagipula kenapa kamu mengajakku kesini? Hanya berdua lagi. Apa yang coba kau lakukan padaku?” rasanya aku ingin menangis.

 

Angkasa tersenyum tenang, “Saya hanya ingin menunjukkan satu tempat padamu, tidak ada hal lain. Kalaupun ada, saya akan bertanggung jawab.”

Aku mendelik, tak urung kesal dengan ucapannya.

“Hanya lima menit. Kalau kau tidak suka, kita kembali.” tegas Angkasa.

Aku terdiam sesaat, ragu haruskah mengiyakannya atau tidak. Tapi aku baru pertama kali bertemu dengannya malam ini, tidak mungkin kan bila langsung percaya begitu saja. Lagipula, hati siapa yang tahu?

“Saya berjanji. Saya bukan orang jahat. Saya hanya ingin menunjukkan sebuah tempat padamu.” Ulangnya lagi.

Aku akhirnya mengangguk. Aku juga penasaran dengan tempat yang ingin dia tunjukkan padaku.

Angkasa tersenyum cerah, lesung pipitnya kembali terlihat. Manis sekali.

“Ayo.” Ajaknya menarik tanganku. Tapi aku melepaskannya.

“Aku jalan sendiri saja.” Ujarku pelan. Angkasa mengangguk.

“Hati-hati dengan semak belukarnya ya.”

Akhirnya kami masuk ke dalam gedung terbengkalai itu. Aku harus sangat berhati-hati agar kakiku tidak teriris duri-duri dari semak belukar yang meninggi ini. tak lama, kami sampai di depan tangga yang usang dan nampak reyot.

“Ayo naik.” Ucapnya.

Aku menahan kaus belakangnya membuat Angkasa menoleh padaku, “Kau yakin tangganya tidak akan rubuh?”

Angkasa lagi-lagi tersenyum, “Tidak akan. Percaya pada saya.” Ucapnya meyakinkan. Lelaki itu kembali melangkah naik.

Melihat Angkasa yang baik-baik saja padahal sudah naik beberapa anak tangga membuatku yakin. Pada akhirnya aku mengikuti jejak Angkasa, naik ke tangga yang semula kutakuti.

Kami terus naik semakin tinggi. Total sudah ada tiga lantai yang kami lewati. Suasananya masih suram.

Lima menit kemudian, kami sampai di tempat paling tinggi di gedung ini. rooftop. Dan begitu aku sampai, aku langsung terperangah takjub. aku langsung berlari menuju tepi atap.

“Bagus kan?” tanya Angkasa menghampiriku.

Aku langsung mengangguk. Pemandangan yang kusaksikan di atas atap ini adalah pemandangan malam yang tak pernah aku lihat selama hidupku. Aku yang selalu terkurung di rumah dan hanya keluar untuk bersekolah dan les merasa sangat terpesona dengan apa yang tersaji didepanku.

“Saya selalu menyebutnya Angkasa Malam.” Celetuk Angkasa.

“Kenapa? Karena itu namamu?” tanyaku menoleh padanya.

Angkasa menengadah, “Dia seperti saya saat di malam hari. Penuh percaya diri menunjukkan pesona dan semua keindahan yang dia miliki. Menurut saya langit malam jauh lebih indah dibanding siang hari.”

Aku setuju dengan pendapatnya. Sejujurnya aku juga lebih suka malam hari. Karena saat siang, aku harus memakai kembali topeng baik-baikku. Sangat menyenangkan ketika melihat matahari terbenam. Aku bisa melepaskan topengku dan menjadi diri sendiri. Apa adanya.

“Jadi puas kan kesini? Tidak menyesal?” tanya Angkasa.

Aku mengangguk, “Terima kasih. Seperti apa katamu, tempat ini cocok denganku. Penuh ketenangan dan apa adanya.”

“Pelajaran yang bisa dipetik malam ini adalah tidak semua hal yang terlihat buruk, keseluruhannya buruk. Sebaliknya, tidak semua hal yang terlihat baik, keseluruhannya baik. Kita harus memahaminya sampai dasar, jangan sampai menyesal karena salah memutuskan.” Ucapnya bijak.

Aku tertegun dengan ucapan Angkasa. Selain merasa bahwa anak baru gede ini sepertinya bisa berkata dewasa, diluar itu konteks ucapannya mengena dalam hatiku. Aku seperti menemukan oase di dalam kekeringan gurun.

"Benar, keputusan mama mungkin keliru!" Pungkasku dalam hati.

“Terima kasih, Angkasa.” Ucapku tersenyum senang.

“Sama-sama. Bukannya tadi kau sudah mengatakannya?”

Aku menggeleng, “Bukan itu. karena ucapanmu tadi, aku sudah mendapat jawaban atas keraguan selama beberapa waktu terakhir ini. Terima kasih ya karena sudah menyadarkanku.” Ucapku tulus.

Angkasa menatapku dalam dan itu membuatku mengernyit bingung, “Kenapa diam saja?” tanyaku.

Angkasa tak menjawab, dia malah mendekatiku. Aku sampai termundur karena Angkasa terus mendekat.

“Aw!” kaki kananku terjegal oleh kaki kiriku sendiri hingga aku nyaris terjatuh kalau Angkasa tidak menahan tubuh belakangku. Kami saling bertatapan.

“Te-terima kasih.” Gugupku. Rasanya tidak nyaman dalam posisi nyaris berpelukan seperti ini. terlebih lagi kepalaku ada di depan dadanya. Astaga, dia tiga tahun lebih muda dariku tapi tingginya melampauiku jauh.

“Baru saya sadari, kamu memang mempesona.” Bisiknya membuat bulu kudukku meremang.

Wajahnya makin dekat ke wajahku. Astaga, apa yang sedang dia lakukan? Tanpa sadar, aku menutup mataku.

Kurasakan hembusan nafasnya disekitar wajahku. Aku membuka mata dan langsung terkejut ketika sebuah benda kenyal menempel di bibirku. Ini bibir Angkasa.

Cup

Angkasa menciumku!

...****************...

Angkasa menciumku dengan sangat lembut. Bibirnya hanya menempel di atas bibirku, tampak seakan meminta izin padaku. Dan aku sudah kehilangan akal, aku mengizinkannya menciumku. Kami akhirnya berciuman. Lidahnya menari di dalam mulutku, dan mengajak lidahku untuk berdansa. Anak SMP ini cukup lihai berciuman.

Aku sudah sepenuhnya merasa terbang ke langit ketika alarm jam tanganku berdering. Kami melompat terkejut. Aku langsung melirik arlojiku. Sial, sepuluh menit lagi menjelang pukul sembilan malam. Aku harus segera pulang.

“Aku harus pergi.” Ucapku.

Belum juga Angkasa menjawab ucapanku, aku sudah lebih dulu berlari pergi tanpa memberinya kesempatan bertanya.

Dan kurasa, itu adalah kali pertama kami bertemu dan juga kali terakhirnya.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!