Not My Own Story

Not My Own Story

Prolog

Prolog

Apa kau akan bahagia jika berada di dunia yang dapat kau kendalikan? Aku berdiri di antara orang-orang yang terdiam kaku bagaikan patung di museum. Dunia yang dipenuhi warna dan manis pahitnya kehidupan, kini berubah menjadi dunia yang dilahap kesunyian. Semua objek yang kulihat di sekitarku berubah menjadi kelabu. Hanya diriku seorang yang berwarna.

Pada akhirnya aku bukan mendapatkan kebahagiaan seperti yang kuharapkan. Pikirku rasa kesepianku akan hilang jika aku berada di dunia yang dapat kukendalikan ini. Namun pemikiran itu ternyata salah. Aku tetap kesepian di dunia ini, bahkan lebih sepi dibanding diriku saat sebelum masuk ke dunia novel salah satu karyaku.

Aku tak sanggup mencerna semua hal yang terjadi saat ini. Aku terduduk lemas saat memfokuskan netraku menatap lurus ke arah menara jam. Melihat menara jam itu mengingatkanku pada masa sebelum masuk ke dalam novel ini.

Kala itu aku tengah mati-matian membuat beberapa bab baru untuk novel Topeng Kehidupan yang merupakan karya baruku. Bodohnya aku, hari sebelum kejadian itu aku meliburkan diri dua hari. Padahal aku hanya mendapat libur dua hari saja selama satu bulan.

Entah kebetulan dari mana, catatanku yang berisi kerangka cerita itu menghilang tiba-tiba. Dan membuatku mau tidak mau harus mempercepat kecepatan mengetikku. Meski aku mengetik lebih cepat dari biasanya, tak bisa terhindarkan bahwa kadang kali aku mengalami writer block di saat tidak membuat bab sesuai dengan kerangka cerita yang kubuat sebelumnya.

Lambat laun rasa kantuk mulai menyerangku. Ingin sekali aku menyudahi kegiatanku ini dan segera berbaring di kasurku saja. Namun aku tidak mau melakukan hal itu karena aku bisa dicap sebagai penulis buruk yang tidak menepati janji kontrak bersama platform menulis paling terkenal di dunia.

Kuteguk sampai habis latte yang senantiasa menemaniku di malam hari ini. Lantas kulihat jam di dinding, melihat waktu yang tersisa untuk tenggat waktu hari ini. Semakin dekat dengan tenggat waktu semakin cepat jantungku berpacu. Kegelisahan mulai menggerogoti diriku.

“Ayolah, Li! Cepat!” ucapku memperingati diriku sendiri.

Tak!

Aku kembali melihat ke arah jam. Kuhembuskan napas lega setelah selesai meng­-upload bab terbaru tanpa melewati tenggat waktu.

“Huh! Melelahkan sekali ... nyaris saja aku terlambat. Kenapa aku bisa lupa catatanku ada di mana, sih? Jadinya terpaksa aku harus memikirkan kembali alur di bab itu.”

Aku melihat waktu yang tersisa sebelum tengah malam tiba. Ternyata masih tersisa beberapa menit lagi. Lantas kuputuskan untuk mengisi waktu dengan menyimpan alur-alur yang kuingat dalam bentuk file agar kejadian tadi tidak terulang lagi.

Seiring berjalannya waktu, rasa kantuk tidak dapat lagi kutahan. Mataku seakan-akan mempunyai magnet yang akan menutup kapan saja. Tanpa kusadari, aku terlelap dalam tidur.

Ah ... rasanya nyaman sekali tidur setelah melakukan tugasku. Aku terbangun dari tidur singkatku, lantas aku mengerjap seraya berusaha melihat layar laptopku yang masih menyala. Aku mengernyit begitu pandanganku sudah jelas. Tampak sebuah tulisan besar yang terpampang jelas di laptopku.

Rozalin time, itu adalah tulisan yang ada di laptopku. Aku tidak ingat mengetik kata tersebut. Yang kuingat aku sempat memikirkan ingin masuk ke dalam novel yang kubuat dan ingin merasakan sebagai Rozalin—pemeran utama wanita—untuk mendapatkan inspirasi alur yang lebih menarik dibanding yang kubuat sebelumnya.

Wush!

Kurasakan siliran angin malam menggelitik kulitku. Aku menutup wajahku setelah kusimpan kacamata yang selalu kupakai.

“Aneh ... padahal aku sama sekali tidak mengetik kata itu. Apa karena aku terlalu mengantuk hingga tak sadar akan hal itu?”

Kuhembuskan napas pelan sembari menurunkan tanganku. Aku menatap lurus ruangan yang ada di hadapanku. Ruangan dengan desain interior yang memanjakan mata, dengan orang-orang yang lalu lalang di depanku membuat diriku spontan membulatkan mata.

Aku menggosok-gosok mataku, memastikan yang kulihat adalah khayalanku saja. Namun nyatanya, apa yang kulihat sekarang tidak berubah sama sekali. Seketika hawa yang ada di sekitarku terasa berat. Jantungku berpacu dengan cepat bersamaan dengan keringat dingin yang mulai muncul di permukaan kulitku.

Apa yang terjadi? Mengapa aku terbangun di sebuah kafe? Jelas-jelas, tadi saat bekerja aku berada di kamarku. Tidak mungkin aku tidak sadar saat aku berjalan menuju ke tempat ini.

Lantas aku segera melihat ke sekelilingku mencoba mencari tahu apa yang sepatutnya kucurigai. Tapi semuanya tampak normal. Anehnya, tidak ada orang yang mencurigakan sama sekali.

“Hei, kau melamun?” ucap seorang pria membuyarkan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi benaknya.

Aku melihat ke kanan dan kiriku yang ternyata tidak ada siapa pun selain aku. “Kau berbicara padaku?”

Pria itu terkekeh pelan. “Tentu saja, dengan siapa lagi aku berbicara selain kamu di sini?”

Ia duduk di depanku sembari menyodorkan segelas minuman berwarna kuning dengan lemon di dalamnya. Aku tidak tahu bagaimana ia bisa mengenalku. Bahkan ia tahu salah satu minuman favoritku adalah lemonade.

Aku menatap dirinya lekat, mencoba mencari tahu siapa dirinya. Potongan rambut yang rapi dengan wajah yang kalem, ditambah kantung mata yang menyertai, selain itu dia mempunyai gigi gingsul yang tampak manis baginya. Tunggu! Aku merasa deskripsi pria itu familier. Aku merasa dia seperti karakter ....

“Elio?” ucapku spontan.

“Ada apa, Roza? Kenapa memanggilku?”

Aku terdiam seraya mempertahankan ekspresiku agar tak terlihat mencurigakan baginya. Sudah kupastikan bahwa dirinya memanglah Elio yang merupakan salah satu karakter di novel karyaku. Sesaat aku berpikir bahwa aku masuk ke dalam novelku karena orang yang berbicara denganku adalah Elio.

“A-aku mau ke toilet dulu. Tolong jaga laptopku, ya,” pintaku seraya melenggang pergi.

Dengan langkah yang terburu-buru, aku segera masuk ke dalam toilet yang kebetulan tidak ada siapa pun di sana. Kutatap pantulan diriku di cermin besar. Tidak ada yang berubah, wajahku tidak berubah sama sekali.

Mencerna semua hal yang terjadi padaku sekarang membuatku sakit kepala. Aku membasuh wajahku, mencoba mencari kesegaran sesaat.

Bila kuingat lagi, tadi Elio memanggilku dengan sebutan Roza. Apa mungkin aku masuk ke tubuh Rozalin sesuai dengan yang kuinginkan tadi saat membuat kerangka cerita?

Baiklah, anggap saja sekarang aku adalah Rozalin. Tapi, situasi tadi sangat mirip dengan yang kutulis minggu lalu. Mungkin pada bab akhir dua puluh?

Situasi yang kutulis adalah Rozalin dan Elio bertemu hanya berdua di suatu kafe. Hanya Rozalin yang membawa laptop karena Elio ingin memberikan sebuah tes sebagai persiapan ujian yang akan diadakan empat hari lagi. Aku dapat berspekulasi seperti itu karena Elio dan Rozalin tidak pernah bertemu hanya berdua di luar rumahnya.

Dengan begini aku sudah mendapat sedikit gambaran yang akan terjadi nanti. Aku kembali menatap pantulan diriku dan menyemangati diriku sendiri untuk menghadapi kejadian yang tidak aku duga sama sekali.

Aku kembali menghampiri Elio dengan langkah yang percaya diri. Tanpa ragu aku meneguk lemonade sampai tak tersisa. Elio yang melihatku tampak kebingungan dengan tingkah lakuku. Tapi aku tidak memedulikannya. Lantas aku menyunggingkan senyum andalanku.

“Elio, sepertinya untuk pertemuan sekarang sudah cukup. Aku harus segera pulang ke rumah. Ada hal sangat penting yang harus kulakukan.”

Bersambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!