Chapter 4 : Bukan Kisah Lily (4)

Di tengah keramaian lorong sekolah, aku menggerakkan tungkaiku kembali menuju ruang komputer lima. Selama di perjalanan, hampir semua orang menyarangkan pandangannya padaku. Seragam putih musim panas yang dipenuhi dengan noda tinta hitam serta baunya yang menyengat itu tak luput dari pandangan mereka.

Aku menundukkan kepalaku; enggan melihat ekspresi mereka yang sudah pasti tengah melihatku dengan tatapan kasihan atau bahkan puas melihat mainan Zoey ini tampak kacau. Bahkan suara bisikan pun kerap terdengar olehku.

Menjadikan seseorang sebagai bahan gosip itu sangat mudah, tapi mereka tidak tahu bagaimana rasanya menjadi orang yang tengah dibicarakan orang-orang. Mereka tak pernah tahu perasaanku saat ini. Ingin rasanya aku bersembunyi di tempat yang tak ada satu orang pun di sana, tapi hal itu tak dapat menyelesaikan suatu masalah.

Begitu aku hampir sampai di ruangan tempatku ujian, aku merasakan seseorang memakaikanku jaket dari arah belakang. Hal itu membuatku menghentikan langkahku seraya menoleh padanya.

“Ada apa dengan penampilanmu ini. Apa ada orang yang mengganggumu?”

 “I do my self.” Aku menjawab dengan suara yang sedikit bergetar.

“Dilihat dari percikan noda tinta itu, sudah jelas bahwa yang melakukannya bukan kamu.”

“Aku tahu, Ryan ... aku tahu betul kalau kamu tidak bisa dibohongi. Can you leave me alone ... please?”

Lelaki itu menyejajarkan tubuhnya denganku seraya tangannya tergerak menyelipkan rambutku. “Tell me whenever you want.”

Aku terdiam sejenak sembari memandangnya. “Iya ....”

“Tunggu aku di kantin saat pulang nanti, ya. Ada permintaan dari kakekmu, jadi kita harus pulang bersama hari ini,” ucapnya, ia lantas ia melenggang pergi dari hadapanku.

Aku segera masuk ke dalam ruang komputer, lalu kembali duduk di kursiku. Lantas aku menenggelamkan kepalaku di antara lenganku. Tanpa sadar bulir-bulir likuid bening mulai berjatuhan membasahi lenganku. Aku berusaha untuk tetap tenang agar orang-orang tidak melihat kelemahanku, namun hal ini tidak dapat aku tahan lagi.

Bukannya menjernihkan beban pikiranku, aku malah mendapat beberapa pemikiran yang membuat kepalaku makin berat. Padahal baru tiga hari aku berada di dunia ini, tapi masalah selalu berdatangan padaku. Ya ... meskipun masalah-masalah yang kuhadapi masih disebut masalah ringan dan belum mencapai konflik apalagi klimaksnya, namun tetap saja hal itu terasa cukup berat bagiku.

...****************...

Para insan yang telah melaksanakan ujian hari ini segera berhamburan keluar dari ruang komputer. Berbeda dengan mereka yang berbondong-bondong keluar dari daerah sekolah, aku berdiam diri di ruangan komputer sampai tidak ada seorang pun yang ada di ruang ini. Setelah dipastikan sekolah sudah cukup sepi, aku memutuskan pergi ke kantin karena mungkin saja Ryan sedang menungguku di sana.

Saat di lorong menuju ke kantin, terlihat seorang pria yang tampak seperti seorang mahasiswa tengah berlari kecil dari arah yang berlawanan dariku. Bersamaan dengan hal itu ponsel yang ia bawa tak sengaja jatuh dan terlempar di dekatku. Aku lantas meraih ponsel itu yang tampak tidak retak walaupun sudah terbanting cukup jauh.

“Ini ponselmu.” Aku menyerahkan ponselnya begitu ia menghampiriku.

“Terima kasih.” Ia tersenyum, namun tatapannya langsung bersarang pada pakaianku  yang penuh dengan noda tinta.

Sadar akan hal itu, aku lantas menutup bagian seragamku menggunakan jaket yang dipinjamkan Ryan. Aku membalas senyumannya seraya melenggang pergi meninggalkannya yang masih memerhatikanku.

Sungguh, ditatap dengan tatapan penuh selidik oleh orang lain cukup membuatku tak nyaman. Aku tak tahu pasti apa yang ia pikirkan, tapi aku tak membutuhkan belas kasih dari siapa pun, terlebih lagi orang asing.

Sesampainya di kantin aku mendapati Ryan yang tengah duduk sendirian seraya minum jus mangga. Aku lantas memanggil namanya yang membuatnya langsung menoleh. Ia tersenyum tipis, lalu menyodorkan jus mangga itu padaku.

“Minum dulu.”

“Memangnya tidak apa-apa aku minta punyamu?”

Ryan mengerutkan dahinya. “Tentu saja, Roza. Kamu kenapa tanya hal itu padaku? Bukankah biasanya kamu akan langsung mengambil makanan atau minumanku tanpa izinku?”

Aku terdiam sejenak. “Nothing.”

Aku lantas menyeruput jus mangga itu hingga habis tak bersisa. Ryan yang memerhatikanku sejak tadi tertawa renyah begitu melihat ada sisa jus yang ada di sisi bibirku. Sadar akan hal itu, aku langsung membersihkannya.

“Ayo kita pulang, aku harus mengganti bajuku yang baunya sangat menyengat ini,” ajakku seraya melenggang pergi.

Tak ayal, kami langsung melesat pergi dari parkiran sekolah menuju rumahku menggunakan motor listrik milik Ryan. Di kota ini seluruh siswa-siswi SMA diperbolehkan mengendarai transportasi pribadi setelah menjalankan tes bahkan di saat umur mereka belum menginjak umur dewasa.

Karena jarak rumahku dan Izel cukup dekat, tak terasa kami sudah sampai di rumahku. Aku lantas masuk ke dalam kamar dan menguncinya, lalu aku membersihkan diriku sebelum aku pergi bersama Ryan ke tujuan selanjutnya.

“Roza, apa aku boleh pinjam baju Kak Albern?” pekik Ryan dari luar kamar.

“Ambil saja di kamarnya,” jawabku dengan suara yang cukup lantang.

Di bawah guyuran air dari pancuran membuatku teringat lagi kejadian Zoey saat menyiramku dengan tinta. Merasa geram, aku meninju pelan dinding di sampingku untuk melepas rasa amarahku. Dengan bahu yang naik turun itu aku merasakan kepuasan sesaat.

“Aku harus balas perbuatannya. Tapi ... bukankah hal itu membuatku sama saja seperti Zoey?” Aku lantas menghela napas. “Kalau begitu, aku akan membiarkannya melakukan sesuatu seperti naskah aslinya. Namun, aku akan membuatnya menyesali perbuatannya jika dia tidak mau berhenti.”

Tak ayal setelah aku selesai bersiap-siap, aku segera menghampiri Ryan yang tengah duduk di ruang tamu seraya memainkan ponselnya. Ingin membuatnya menghilangkan atensinya pada ponsel itu, aku segera melemparkan bantal kursi padanya yang membuat dirinya langsung berseru padaku.

Aku terkekeh pelan melihat reaksinya yang cukup lucu itu seraya duduk di hadapannya. “Apa yang diperintahkan kakekku?”

“Kamu percaya ucapanku? Aku berkata seperti itu karena mau main di rumahmu ini. Kalau aku tidak mengelabuimu kamu pasti tidak memperbolehkanku masuk ke sini.”

“Jadi, kamu berbohong padaku?”

“Aku hanya tidak mengatakan kebenarannya.”

“Sama saja, sialan!” Aku lantas beranjak dari posisiku, lalu mengambil tas yang tergeletak di dekat kursi. “Aku harus bertemu dengan Elio sekarang.”

“Kamu ada janji dengannya? Kenapa dia tidak datang ke sini saja?”

“Karena aku yang meminta untuk bertemu di luar.”

“Aku ikut!” ucap Ryan sembari mengikutiku dari belakang.

“Terserah kamu saja, Ryan.”

Setelah aku mengunci pintu rumah, kemudian aku dan Ryan menggerakkan tungkai kami ke kafe belajar yang jaraknya tak jauh dari rumahku. Bertepatan dengan hal itu, Ryan tiba-tiba merangkul pundakku yang lantas membuatku terkejut. Aku menatapnya heran, berbeda dengannya yang justru tengah tersenyum jahil padaku.

Bersambung ....~~~~

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!