Prolog
Apa kau akan bahagia jika berada di dunia yang dapat kau kendalikan? Aku berdiri di antara orang-orang yang terdiam kaku bagaikan patung di museum. Dunia yang dipenuhi warna dan manis pahitnya kehidupan, kini berubah menjadi dunia yang dilahap kesunyian. Semua objek yang kulihat di sekitarku berubah menjadi kelabu. Hanya diriku seorang yang berwarna.
Pada akhirnya aku bukan mendapatkan kebahagiaan seperti yang kuharapkan. Pikirku rasa kesepianku akan hilang jika aku berada di dunia yang dapat kukendalikan ini. Namun pemikiran itu ternyata salah. Aku tetap kesepian di dunia ini, bahkan lebih sepi dibanding diriku saat sebelum masuk ke dunia novel salah satu karyaku.
Aku tak sanggup mencerna semua hal yang terjadi saat ini. Aku terduduk lemas saat memfokuskan netraku menatap lurus ke arah menara jam. Melihat menara jam itu mengingatkanku pada masa sebelum masuk ke dalam novel ini.
Kala itu aku tengah mati-matian membuat beberapa bab baru untuk novel Topeng Kehidupan yang merupakan karya baruku. Bodohnya aku, hari sebelum kejadian itu aku meliburkan diri dua hari. Padahal aku hanya mendapat libur dua hari saja selama satu bulan.
Entah kebetulan dari mana, catatanku yang berisi kerangka cerita itu menghilang tiba-tiba. Dan membuatku mau tidak mau harus mempercepat kecepatan mengetikku. Meski aku mengetik lebih cepat dari biasanya, tak bisa terhindarkan bahwa kadang kali aku mengalami writer block di saat tidak membuat bab sesuai dengan kerangka cerita yang kubuat sebelumnya.
Lambat laun rasa kantuk mulai menyerangku. Ingin sekali aku menyudahi kegiatanku ini dan segera berbaring di kasurku saja. Namun aku tidak mau melakukan hal itu karena aku bisa dicap sebagai penulis buruk yang tidak menepati janji kontrak bersama platform menulis paling terkenal di dunia.
Kuteguk sampai habis latte yang senantiasa menemaniku di malam hari ini. Lantas kulihat jam di dinding, melihat waktu yang tersisa untuk tenggat waktu hari ini. Semakin dekat dengan tenggat waktu semakin cepat jantungku berpacu. Kegelisahan mulai menggerogoti diriku.
“Ayolah, Li! Cepat!” ucapku memperingati diriku sendiri.
Tak!
Aku kembali melihat ke arah jam. Kuhembuskan napas lega setelah selesai meng-upload bab terbaru tanpa melewati tenggat waktu.
“Huh! Melelahkan sekali ... nyaris saja aku terlambat. Kenapa aku bisa lupa catatanku ada di mana, sih? Jadinya terpaksa aku harus memikirkan kembali alur di bab itu.”
Aku melihat waktu yang tersisa sebelum tengah malam tiba. Ternyata masih tersisa beberapa menit lagi. Lantas kuputuskan untuk mengisi waktu dengan menyimpan alur-alur yang kuingat dalam bentuk file agar kejadian tadi tidak terulang lagi.
Seiring berjalannya waktu, rasa kantuk tidak dapat lagi kutahan. Mataku seakan-akan mempunyai magnet yang akan menutup kapan saja. Tanpa kusadari, aku terlelap dalam tidur.
Ah ... rasanya nyaman sekali tidur setelah melakukan tugasku. Aku terbangun dari tidur singkatku, lantas aku mengerjap seraya berusaha melihat layar laptopku yang masih menyala. Aku mengernyit begitu pandanganku sudah jelas. Tampak sebuah tulisan besar yang terpampang jelas di laptopku.
Rozalin time, itu adalah tulisan yang ada di laptopku. Aku tidak ingat mengetik kata tersebut. Yang kuingat aku sempat memikirkan ingin masuk ke dalam novel yang kubuat dan ingin merasakan sebagai Rozalin—pemeran utama wanita—untuk mendapatkan inspirasi alur yang lebih menarik dibanding yang kubuat sebelumnya.
Wush!
Kurasakan siliran angin malam menggelitik kulitku. Aku menutup wajahku setelah kusimpan kacamata yang selalu kupakai.
“Aneh ... padahal aku sama sekali tidak mengetik kata itu. Apa karena aku terlalu mengantuk hingga tak sadar akan hal itu?”
Kuhembuskan napas pelan sembari menurunkan tanganku. Aku menatap lurus ruangan yang ada di hadapanku. Ruangan dengan desain interior yang memanjakan mata, dengan orang-orang yang lalu lalang di depanku membuat diriku spontan membulatkan mata.
Aku menggosok-gosok mataku, memastikan yang kulihat adalah khayalanku saja. Namun nyatanya, apa yang kulihat sekarang tidak berubah sama sekali. Seketika hawa yang ada di sekitarku terasa berat. Jantungku berpacu dengan cepat bersamaan dengan keringat dingin yang mulai muncul di permukaan kulitku.
Apa yang terjadi? Mengapa aku terbangun di sebuah kafe? Jelas-jelas, tadi saat bekerja aku berada di kamarku. Tidak mungkin aku tidak sadar saat aku berjalan menuju ke tempat ini.
Lantas aku segera melihat ke sekelilingku mencoba mencari tahu apa yang sepatutnya kucurigai. Tapi semuanya tampak normal. Anehnya, tidak ada orang yang mencurigakan sama sekali.
“Hei, kau melamun?” ucap seorang pria membuyarkan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi benaknya.
Aku melihat ke kanan dan kiriku yang ternyata tidak ada siapa pun selain aku. “Kau berbicara padaku?”
Pria itu terkekeh pelan. “Tentu saja, dengan siapa lagi aku berbicara selain kamu di sini?”
Ia duduk di depanku sembari menyodorkan segelas minuman berwarna kuning dengan lemon di dalamnya. Aku tidak tahu bagaimana ia bisa mengenalku. Bahkan ia tahu salah satu minuman favoritku adalah lemonade.
Aku menatap dirinya lekat, mencoba mencari tahu siapa dirinya. Potongan rambut yang rapi dengan wajah yang kalem, ditambah kantung mata yang menyertai, selain itu dia mempunyai gigi gingsul yang tampak manis baginya. Tunggu! Aku merasa deskripsi pria itu familier. Aku merasa dia seperti karakter ....
“Elio?” ucapku spontan.
“Ada apa, Roza? Kenapa memanggilku?”
Aku terdiam seraya mempertahankan ekspresiku agar tak terlihat mencurigakan baginya. Sudah kupastikan bahwa dirinya memanglah Elio yang merupakan salah satu karakter di novel karyaku. Sesaat aku berpikir bahwa aku masuk ke dalam novelku karena orang yang berbicara denganku adalah Elio.
“A-aku mau ke toilet dulu. Tolong jaga laptopku, ya,” pintaku seraya melenggang pergi.
Dengan langkah yang terburu-buru, aku segera masuk ke dalam toilet yang kebetulan tidak ada siapa pun di sana. Kutatap pantulan diriku di cermin besar. Tidak ada yang berubah, wajahku tidak berubah sama sekali.
Mencerna semua hal yang terjadi padaku sekarang membuatku sakit kepala. Aku membasuh wajahku, mencoba mencari kesegaran sesaat.
Bila kuingat lagi, tadi Elio memanggilku dengan sebutan Roza. Apa mungkin aku masuk ke tubuh Rozalin sesuai dengan yang kuinginkan tadi saat membuat kerangka cerita?
Baiklah, anggap saja sekarang aku adalah Rozalin. Tapi, situasi tadi sangat mirip dengan yang kutulis minggu lalu. Mungkin pada bab akhir dua puluh?
Situasi yang kutulis adalah Rozalin dan Elio bertemu hanya berdua di suatu kafe. Hanya Rozalin yang membawa laptop karena Elio ingin memberikan sebuah tes sebagai persiapan ujian yang akan diadakan empat hari lagi. Aku dapat berspekulasi seperti itu karena Elio dan Rozalin tidak pernah bertemu hanya berdua di luar rumahnya.
Dengan begini aku sudah mendapat sedikit gambaran yang akan terjadi nanti. Aku kembali menatap pantulan diriku dan menyemangati diriku sendiri untuk menghadapi kejadian yang tidak aku duga sama sekali.
Aku kembali menghampiri Elio dengan langkah yang percaya diri. Tanpa ragu aku meneguk lemonade sampai tak tersisa. Elio yang melihatku tampak kebingungan dengan tingkah lakuku. Tapi aku tidak memedulikannya. Lantas aku menyunggingkan senyum andalanku.
“Elio, sepertinya untuk pertemuan sekarang sudah cukup. Aku harus segera pulang ke rumah. Ada hal sangat penting yang harus kulakukan.”
Bersambung ....
Setelah ke sana kemari mencari alamat rumah Rozalin yang kuingat, akhirnya aku menemukannya. Aku merebahkan tubuhku begitu masuk ke dalam kamar. Ya ... meskipun Rozalin hidup sendirian di rumah sederhana ini, setidaknya situasi sekarang menguntungkan bagiku. Jika tidak ada keluarga Rozalin yang ada di sisiku, kemungkinan besar aku tidak akan dicurigai karena perbedaan sifat kami.
Aku menciptakan karakter Rozalin yang sedikit mirip denganku. Salah satunya sulit untuk menjalin pertemanan. Namun, ada satu perbedaan di antara kami. Rozalin merupakan pribadi yang berani jika berada di situasi paling menakutkan sekalipun. Berbeda denganku, aku mudah sekali tertekan. Aku tidak bisa berada di situasi serius yang penuh ketegangan. Hanya dengan membayangkannya saja bisa membuatku stres.
“Untuk sekarang tidak ada masalah, ‘kan?” Aku menghela napas pelan. “Aku tak mau memikirkannya lebih lanjut, karena kepalaku sudah sakit akibat kurang tidur.”
Kupejamkan mataku, mencoba untuk mengistirahatkan diri dari padatnya kegiatanku sebelum masuk ke dalam novel ini. Hari yang sungguh melelahkan. Kuharap tidak ada lagi masalah yang datang di saat aku tidur.
***
Aku mencari file bab Topeng Kehidupan yang sebelumnya sudah di-upload. Aku membaca ulang bab akhir dua puluhan hingga bab terakhir yang kutulis. Mengantisipasi barangkali ada scene di mana Rozalin berhadapan dengan konflik ringan.
Di tengah fokusku dan heningnya kamarku, terdengar suara beberapa notifikasi yang menandakan banyaknya pesan yang masuk. Aku tak peduli di saat ponsel Rozalin terus berbunyi. Hal itu tak begitu penting bagiku.
Aku bisa menebak siapa yang berusaha menghubungi Rozalin. Siapa lagi kalau bukan Ryan—teman sekelas Rozalin—yang selalu mengganggu walau di hari libur yang seharusnya menjadi hari untuk beristirahat.
Tak ayal kudapati suara notifikasi telah berhenti, membuatku lebih fokus untuk membaca bab-bab itu. Aku mencerna kata demi kata yang kubaca, lantas kutuliskan poin-poin penting yang akan muncul beberapa hari ke depan.
Aku mengerutkan dahiku begitu mengetahui fakta yang membuatku khawatir. “Sial! Kenapa lusa harus ada ujian?! Astaga ... aku ‘kan sudah lupa semua mata pelajaran yang kupelajari. Yang kuingat hanya materi di pelajaran fisika tentang teori kuantum saja karena sering melihat video tentang teori itu.”
Kutatap buku-buku yang berjajar rapi di dalam rak. Di sana banyak sekali buku pelajaran yang digunakan oleh Rozalin untuk belajar mandiri. Melihat hal itu, aku terpaksa harus belajar hari ini agar nilaiku alias nilai Rozalin saat ujian tidak rendah.
“Meskipun aku berada di peringkat sepuluh besar di kelasku saat SMA, tetap saja aku harus belajar lagi untuk mengingat semua yang kupelajari beberapa tahun yang lalu. Ayo, semangat Lily!” ucapku menyemangati diriku sendiri.
Aku melirik kertas jadwal ujian yang tergelatak di atas meja. Lantas aku segera mengambil beberapa buku yang harus kupelajari hari ini. Tanpa berlama-lama lagi, akhirnya aku membuka lembaran-lembaran buku pelajaran bahasa Jerman yang merupakan pelajaran pertama pada ujian hari Senin nanti.
“Tulisannya rapi sekali. Bahkan buku catatannya mudah dipahami.” Aku tersenyum tipis. “Anak yang selalu berada di peringkat satu di sekolah memang beda, ya.”
Aku tidak mau menghafal semua materi pada semester ini. Aku hanya akan membacanya dan memahaminya sebisaku. Untung saja saat SMA ada pelajaran bahasa Jerman juga di sekolahku, jadi mempelajari pelajaran ini tak begitu sulit untukku.
Agar tak merasa jenuh, aku memutar musik dari laptopku. Alunan lagu dari girl group yang kusukai terdengar dalam runguku. Mendengar hal itu membuatku meningkatkan rasa semangatku.
“Andai saja aku bisa melewati waktu dan menjadi dewasa,” aku bersenandung di bagian favoritku.
Lirik dalam lagu itu membuatku terdiam. Materi yang tadinya tengah kubaca menjadi tak menarik lagi untukku. Aku merenungkan kutipan lirik tersebut seraya menatap ke satu titik dengan tatapan kosong.
Dulu aku berpikir bahwa lirik tersebut memang ditujukan untuk remaja sepertiku. Remaja yang ingin menjadi dewasa karena tidak mau berhadapan dengan masalah-masalah remaja yang kekanakan. Pemikiran itu sirna begitu aku menyadari bahwa aku memaksakan diri untuk menjadi dewasa karena aku adalah anak pertama dari keluargaku di dunia asalku.
Ingin menjadi dewasa, ya ... namun menjadi orang dewasa membuatku lelah. Aku tak mau menjadi orang dewasa dengan permasalahan yang rumit, atau bahkan ditekan menjadi wanita berpendidikan yang sempurna di keluarga besarku. Meskipun tahun ini aku masih gap year—tahun jeda dari sekolah dan kuliah—aku juga ingin menempuh pendidikan di universitas seperti teman-temanku yang sudah masuk sejak dua tahun lalu.
Sebagai anak pertama aku harus mengalah untuk menjeda masuk ke dunia perkuliahan karena beberapa alasan. Itulah mengapa aku sering sekali menginginkan untuk kembali ke masa kanak-kanakku tanpa harus memikirkan masalah kehidupan sekalipun. Aku ingin kembali merasakan euforia dalam hidupku. Keseharianku beberapa tahun ini terasa membosankan, apalagi semenjak COVID-19 datang mewabah ke seluruh penjuru dunia.
“Aku tidak boleh muram seperti ini. Aku harus mengembalikan suasana hatiku agar bisa mempelajari materi-materi itu.”
Tak mau berlarut dalam pikiranku yang terasa berantakan, aku memutuskan untuk mencari udara segar seraya berjalan-jalan untuk mengenali kota yang saat ini kutempati. Lantas kugerakkan tungkaiku keluar rumah dan berkeliling di taman yang kulihat tadi di dekat persimpangan.
Begitu sampai di taman, aku duduk di sebuah bangku hitam legam seraya melihat-lihat orang yang tengah bercengkerama di sana. Tampak beberapa anak kecil tengah bermain seraya diawasi oleh beberapa orang dewasa yang terlihat seperti orang tua mereka. Aku tersenyum tipis melihat kehangatan antar keluarga tersebut yang tampak harmonis di mataku.
Aku memejamkan mataku, mencoba menikmati siliran angin di bawah pohon rindang nan hijau yang melindungiku dari sinar mentari yang cukup terik. Larut dalam segarnya udara pagi menjelang siang itu membuatku tak menyadari bahwa sedari tadi ada seseorang yang memerhatikanku. Tak lama, suara derap langkah di atas rerumputan masuk dalam runguku.
Aku membuka mataku begitu menyadari bahwa derap langkah itu berhenti tepat di dekatku. Aku terpaku melihat seorang laki-laki bersurai pirang berdiri di depanku seraya menatapku dengan tatapan kesal. Aku mencoba mencari tahu siapa orang yang tengah berdiri di depanku ini.
“Wah ... aku mengirimu banyak pesan tadi, tapi tak sekalipun dibaca, apalagi dibalas.” Laki-laki itu menghela napasnya pelan. “Sedang apa kamu sendirian di sini? Bukankah seharusnya kamu sedang belajar di kamarmu untuk mempersiapkan ujian lusa nanti?”
Mendengar ucapannya tersebut membuatku yakin bahwa orang yang tengah berdiri di depanku ini adalah
Ryan. Tapi mengapa dirinya ada di sini? Jelas-jelas aku tidak menceritakan pertemuan Rozalin dan Ryan yang tidak disengajai ini. Apa hal ini merupakan scene bebas yang tak terikat oleh takdir jalan cerita yang kutulis?
Bersambung ....~~~~
Aku mengerjap begitu merasakan tangan Ryan menyentuh bahuku. Aku berdehem pelan untuk menetralkan atmosfer kecanggungan yang kurasakan saat ini. Tampak Ryan menarik lengannya, lantas dirinya duduk di sebelahku.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku, Rozalin.”
"Oh ... maaf, Ryan. Tadi aku belajar untuk ujian nanti. Aku tak sempat melirik ponselku karena aku tak mau membuang waktuku untuk bermain ponsel walau saat istirahat sejenak pun.”
“Kamu tidak bisa membohongiku semudah itu, Roza. Aku tahu kamu pasti mengetahui bahwa aku mengirimu pesan. Bukan hanya itu, yang kamu lakukan saat ini adalah membuang waktu.”
Astaga, aku lupa bahwa orang yang berada di sampingku ini adalah orang yang cukup teliti. Aku mengalihkan pandanganku, enggan menjawab tutur kata Ryan yang tampak kesal terhadapku.
Aku tak tahu apa yang berada di dalam benaknya saat ini hingga ia terus menatapku. Karena merasa sedikit tak nyaman, akhirnya aku menatap balik dirinya dan bertanya tujuan Ryan mengirim pesan padanya tadi.
“Tentu saja karena suruhan kakekmu. Beliau khawatir kamu akan mengurung di dalam kamar untuk belajar seharian tanpa istirahat. Kamu ini ‘kan maniak belajar.”
“Belajar adalah kebutuhan yang perlu disukai supaya menjadi orang yang lebih pintar, Ryan. Pengetahuan kita akan semakin berkembang kalau kita terus belajar tanpa henti. Ingat, belajar bukan hanya dari buku, guru, dan internet saja, tapi dari kehidupan sehari-hari seperti ini.”
Aku menatap ke arah anak-anak yang tengah bermain yang dipenuhi dengan suara tawa polos. “Kita bisa belajar satu atau beberapa hal saat melihat orang-orang berinteraksi. Kamu tahu pelajaran apa yang kuambil saat duduk di bangku ini?”
Ryan terdiam, kemudian ia menggeleng pelan. Aku tersenyum tipis melihat tanggapannya yang mudah ditebak itu. Aku lantas memberitahunya bahwa aku belajar cara berbagi kasih sayang antar keluarga seperti yang kulihat sekarang.
Tampak Ryan mencoba mencerna jawabanku. Ia tahu betul bahwa Rozalin tidak pernah mendapat kasih sayang yang cukup dari keluarganya. Rozalin dan Ryan memang berteman sejak kecil, maka dari itu aku sengaja mengatakan hal-hal yang dapat membuatnya terdiam tanpa menggangguku lagi.
“Roza, apa kamu mau melepas penatmu dengan bermain di game center?”
Aku tersenyum mendengar ajakannya itu. Sepertinya ia tahu apa yang tengah kuperlukan saat ini. Padahal dengan menghirup udara segar saja cukup untuk membuat benakku kembali tertata, tapi dia berusaha membuat perasaanku lebih baik lagi. Kuakui usahanya melindungi dan menghibur Rozalin tidak bisa disebut main-main saja. Setiap Rozalin tertimpa masalah mau itu sepele atau masalah yang sangat serius pun ia tetap berada di sisi Rozalin. Ryan tipikal sahabat yang sempurna untuk Rozalin.
“Kalau tidak mau ... aku akan menemanimu saja di sini sampai kamu bosan.”
Aku tersenyum. “Ayo, aku tidak sabar untuk mendapatkan banyak tiket dan menukarnya dengan hadiah.”
Melihatku yang begitu antusias, akhirnya Ryan menunjukkan senyumannya yang ceria. Yang kulihat sekarang adalah Ryan yang kukenal—berbeda dengan sebelumnya—karena Ryan adalah seorang pribadi yang amat ceria dan dapat memancarkan energi positifnya pada orang-orang yang ada di sekitarnya.
Kami lantas menggerakkan tungkai menuju game center yang letaknya ada di seberang taman. Selama di perjalanan, Ryan merangkul pundakku. Sungguh, sudah lama sekali sejak terakhir kali aku dirangkul oleh seorang pria seperti ini, terlebih lagi pria ini adalah pria yang terkenal akan ketampanan dan tubuhnya yang tinggi. Berada di sampingnya sedekat ini membuatku berdebar.
Tidak, aku tidak boleh berdebar hanya karena dirangkul oleh Ryan. Aku tidak bisa terjerumus dalam karakter buatanku dan jatuh cinta padanya. Ya, lebih baik aku menganggapnya sebagai adikku saja. Itu lebih baik, karena aku hanya akan tinggal di dunia untuk sementara waktu saja.
Aku ... bisa kembali ke dunia asalku, ‘kan? Tak mungkin aku menetap di dunia ini seumur hidup. Aku harus menata emosi dan hatiku agar tidak mudah jatuh ke dalam perangkap para karakter di dunia ini.
Tak ayal, aku dan Ryan sudah sampai di game center. Karena aku tidak membawa uang sepeser pun, akhirnya Ryan yang membayar limit kartu game center itu. Aku melirik pada Ryan yang tampak sangat antusias melihat rumah hantu yang ramai pengunjung.
“Jangan bilang ... kamu mau masuk ke sana?” tanyaku sekedar memastikan.
“Ayo, Roza! Sepertinya akan seru kalau kita mengawalinya dari rumah hantu!”
Menurut beberapa orang memang seru, tapi menurutku masuk ke dalam rumah hantu membuatku lelah. Penjaga di sana akan menyesatkan para pengunjung dan membuat mereka terkecoh saat mencari jalan keluar. Aku tak mau masuk lagi ke tempat yang memusingkan itu.
Aku segera menggeleng seraya tersenyum canggung, menolak ajakan Ryan untuk masuk ke dalam sana. Mendapati jawaban yang tak sesuai dengan keinginannya, lantas pria bersurai pirang itu menarik lenganku untuk mengikutinya.
“Muncul juga sifat pemaksamu itu,” ujarku tanpa didengar oleh Ryan.
...****************...
Hampir saja aku lupa bahwa setiap akhir pekan kakak Rozalin datang ke rumah ini. Kemarin aku sudah bersenang-senang dengan Ryan di game center, dan sekarang aku akan berhadapan langsung dengan salah satu keluarga Rozalin. Sesuai dengan ucapan orang-orang bahwa kita tak boleh terlalu senang karena akan dihadapkan dengan suatu masalah nantinya.
Aku segera masuk ke dalam kamar, lalu menutupnya rapat-rapat untuk menghindarinya. Aku tak mau berinteraksi dengannya karena Albern akan dengan mudahnya mengetahui sedikit perbedaan sifat antara aku dan Rozalin. Saking cerdasnya Albern, tak membutuhkan waktu yang lama ia pasti mencurigaiku.
“Ayo, Lily ... kamu pasti bisa menghindar dari Albern. Kalau Albern masuk ke dalam kamar, aku harus bisa berakting seperti Rozalin.”
Aku begitu percaya diri bisa berakting karena aku pernah mengikuti kelas akting saat SMP hingga awal masuk SMA, lalu masuk ke dalam klub teater di sekolah. Hingga saat ini pun aku terkadang berlatih akting di depan cermin sebagai antisipasi saat berada di situasi yang tidak kuinginkan.
Aku membuka buku catatan mata pelajaran untuk persiapan ujian esok hari. Bertepatan dengan hal itu, aku mendengar suara mobil yang berhenti tepat di depan rumahku. Tanpa melihat ke arah luar pun aku tahu siapa yang datang.
“Kesulitan akan dimulai, Lily. Let’s begin!”
Tak ayal, terdengar suara pintu yang telah terbuka. Aku mengira suara itu berasal dari luar kamarku, namun ternyata suara itu berasal dari pintu kamarku. Lantas aku segera menoleh ke arah Albern yang tengah berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang penuh kehangatan.
“Sedang belajar, ya?” tanyanya seraya tersenyum.
“Kalau sudah tahu kenapa harus tanya?”
Aku berdebar setelah mengucapkan kalimat itu. Aku tidak tahu apakah gaya bicaraku sudah terdengar seperti Rozalin yang asli atau belum, yang pasti aku merasakan perubahan air muka Albern.
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!