Chapter 2 : Bukan Kisah Lily (2)

Aku mengerjap begitu merasakan tangan Ryan menyentuh bahuku. Aku berdehem pelan untuk menetralkan atmosfer kecanggungan yang kurasakan saat ini. Tampak Ryan menarik lengannya, lantas dirinya duduk di sebelahku.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku, Rozalin.”

"Oh ... maaf, Ryan. Tadi aku belajar untuk ujian nanti. Aku tak sempat melirik ponselku karena aku tak mau membuang waktuku untuk bermain ponsel walau saat istirahat sejenak pun.”

“Kamu tidak bisa membohongiku semudah itu, Roza. Aku tahu kamu pasti mengetahui bahwa aku mengirimu pesan. Bukan hanya itu, yang kamu lakukan saat ini adalah membuang waktu.”

Astaga, aku lupa bahwa orang yang berada di sampingku ini adalah orang yang cukup teliti. Aku mengalihkan pandanganku, enggan menjawab tutur kata Ryan yang tampak kesal terhadapku.

Aku tak tahu apa yang berada di dalam benaknya saat ini hingga ia terus menatapku. Karena merasa sedikit tak nyaman, akhirnya aku menatap balik dirinya dan bertanya tujuan Ryan mengirim pesan padanya tadi.

“Tentu saja karena suruhan kakekmu. Beliau khawatir kamu akan mengurung di dalam kamar untuk belajar seharian tanpa istirahat. Kamu ini ‘kan maniak belajar.”

“Belajar adalah kebutuhan yang perlu disukai supaya menjadi orang yang lebih pintar, Ryan. Pengetahuan kita akan semakin berkembang kalau kita terus belajar tanpa henti. Ingat, belajar bukan hanya dari buku, guru, dan internet saja, tapi dari kehidupan sehari-hari seperti ini.”

Aku menatap ke arah anak-anak yang tengah bermain yang dipenuhi dengan suara tawa polos. “Kita bisa belajar satu atau beberapa hal saat melihat orang-orang berinteraksi. Kamu tahu pelajaran apa yang kuambil saat duduk di bangku ini?”

Ryan terdiam, kemudian ia menggeleng pelan. Aku tersenyum tipis melihat tanggapannya yang mudah ditebak itu. Aku lantas memberitahunya bahwa aku belajar cara berbagi kasih sayang antar keluarga seperti yang kulihat sekarang.

Tampak Ryan mencoba mencerna jawabanku. Ia tahu betul bahwa Rozalin tidak pernah mendapat kasih sayang yang cukup dari keluarganya. Rozalin dan Ryan memang berteman sejak kecil, maka dari itu aku sengaja mengatakan hal-hal yang dapat membuatnya terdiam tanpa menggangguku lagi.

“Roza, apa kamu mau melepas penatmu dengan bermain di game center?”

Aku tersenyum mendengar ajakannya itu. Sepertinya ia tahu apa yang tengah kuperlukan saat ini. Padahal dengan menghirup udara segar saja cukup untuk membuat benakku kembali tertata, tapi dia berusaha membuat perasaanku lebih baik lagi. Kuakui usahanya melindungi dan menghibur Rozalin tidak bisa disebut main-main saja. Setiap Rozalin tertimpa masalah mau itu sepele atau masalah yang sangat serius pun ia tetap berada di sisi Rozalin. Ryan tipikal sahabat yang sempurna untuk Rozalin.

“Kalau tidak mau ... aku akan menemanimu saja di sini sampai kamu bosan.”

Aku tersenyum. “Ayo, aku tidak sabar untuk mendapatkan banyak tiket dan menukarnya dengan hadiah.”

Melihatku yang begitu antusias, akhirnya Ryan menunjukkan senyumannya yang ceria. Yang kulihat sekarang adalah Ryan yang kukenal—berbeda dengan sebelumnya—karena Ryan adalah seorang pribadi yang amat ceria dan dapat memancarkan energi positifnya pada orang-orang yang ada di sekitarnya.

Kami lantas menggerakkan tungkai menuju game center yang letaknya ada di seberang taman. Selama di perjalanan, Ryan merangkul pundakku. Sungguh, sudah lama sekali sejak terakhir kali aku dirangkul oleh seorang pria seperti ini, terlebih lagi pria ini adalah pria yang terkenal akan ketampanan dan tubuhnya yang tinggi. Berada di sampingnya sedekat ini membuatku berdebar.

Tidak, aku tidak boleh berdebar hanya karena dirangkul oleh Ryan. Aku tidak bisa terjerumus dalam karakter buatanku dan jatuh cinta padanya. Ya, lebih baik aku menganggapnya sebagai adikku saja. Itu lebih baik, karena aku hanya akan tinggal di dunia untuk sementara waktu saja.

Aku ... bisa kembali ke dunia asalku, ‘kan? Tak mungkin aku menetap di dunia ini seumur hidup. Aku harus menata emosi dan hatiku agar tidak mudah jatuh ke dalam perangkap para karakter di dunia ini.

Tak ayal, aku dan Ryan sudah sampai di game center. Karena aku tidak membawa uang sepeser pun, akhirnya Ryan yang membayar limit kartu game center itu. Aku melirik pada Ryan yang tampak sangat antusias melihat rumah hantu yang ramai pengunjung.

“Jangan bilang ... kamu mau masuk ke sana?” tanyaku sekedar memastikan.

“Ayo, Roza! Sepertinya akan seru kalau kita mengawalinya dari rumah hantu!”

Menurut beberapa orang memang seru, tapi menurutku masuk ke dalam rumah hantu membuatku lelah. Penjaga di sana akan menyesatkan para pengunjung dan membuat mereka terkecoh saat mencari jalan keluar. Aku tak mau masuk lagi ke tempat yang memusingkan itu.

Aku segera menggeleng seraya tersenyum canggung, menolak ajakan Ryan untuk masuk ke dalam sana. Mendapati jawaban yang tak sesuai dengan keinginannya, lantas pria bersurai pirang itu menarik lenganku untuk mengikutinya.

“Muncul juga sifat pemaksamu itu,” ujarku tanpa didengar oleh Ryan.

...****************...

Hampir saja aku lupa bahwa setiap akhir pekan kakak Rozalin datang ke rumah ini. Kemarin aku sudah bersenang-senang dengan Ryan di game center, dan sekarang aku akan berhadapan langsung dengan salah satu keluarga Rozalin. Sesuai dengan ucapan orang-orang bahwa kita tak boleh terlalu senang karena akan dihadapkan dengan suatu masalah nantinya.

Aku segera masuk ke dalam kamar, lalu menutupnya rapat-rapat untuk menghindarinya. Aku tak mau berinteraksi dengannya karena Albern akan dengan mudahnya mengetahui sedikit perbedaan sifat antara aku dan Rozalin. Saking cerdasnya Albern, tak membutuhkan waktu yang lama ia pasti mencurigaiku.

“Ayo, Lily ... kamu pasti bisa menghindar dari Albern. Kalau Albern masuk ke dalam kamar, aku harus bisa berakting seperti Rozalin.”

Aku begitu percaya diri bisa berakting karena aku pernah mengikuti kelas akting saat SMP hingga awal masuk SMA, lalu masuk ke dalam klub teater di sekolah. Hingga saat ini pun aku terkadang berlatih akting di depan cermin sebagai antisipasi saat berada di situasi yang tidak kuinginkan.

Aku membuka buku catatan mata pelajaran untuk persiapan ujian esok hari. Bertepatan dengan hal itu, aku mendengar suara mobil yang berhenti tepat di depan rumahku. Tanpa melihat ke arah luar pun aku tahu siapa yang datang.

“Kesulitan akan dimulai, Lily. Let’s begin!”

Tak ayal, terdengar suara pintu yang telah terbuka. Aku mengira suara itu berasal dari luar kamarku, namun ternyata suara itu berasal dari pintu kamarku. Lantas aku segera menoleh ke arah Albern yang tengah berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang penuh kehangatan.

“Sedang belajar, ya?” tanyanya seraya tersenyum.

“Kalau sudah tahu kenapa harus tanya?”

Aku berdebar setelah mengucapkan kalimat itu. Aku tidak tahu apakah gaya bicaraku sudah terdengar seperti Rozalin yang asli atau belum, yang pasti aku merasakan perubahan air muka Albern.

Bersambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!