Pandangan Albern masih tertuju padaku. Semakin lama dia terdiam maka semakin berdebar pula detak jantungku. Bulir-bulir likuid mulai muncul di dahiku seiring Albern mendekat padaku. Apa aku kurang mendalami peran Rozalin sehingga perubahan ekspresi Albern sangat terlihat jelas di netraku?
“Sudah makan?” tanya Albern seraya membelai rambutku.
Apa ini? Bukankah tadi Albern terlihat seolah-olah mencurigaiku? Lalu kenapa ia bersikap manis seperti ini? Padahal ia tahu betul bahwa ucapan ketusku tadi membuatnya terdiam. Atau mungkin ... yang tadi itu tidak cukup untuk membuatnya curiga? Kalau begitu, aku dapat bernapas lega karena aktingku berhasil.
“Belum, aku malas masak,” jawabku jujur.
“Aku membawa makanan untukmu. Keluarlah, kita akan makan bersama.” Albern lantas menggerakkan tungkainya keluar dari kamarku.
Tak mau menimbulkan masalah, aku pun mengikutinya setelah merapikan meja belajar. Di ruang makan yang menyatu dengan dapur, aku melihat jajaran makanan yang meningkatkan selera makanku.
Aku langsung meraih makanan olahan kentang, lalu mencelupkannya pada saus tomat. Sebenarnya aku tidak bisa makan berhadapan dengan orang lain seperti ini, namun aku tidak bisa mengabaikan rasa lapar yang sudah muncul sedari pagi.
Aku memerhatikan Albern yang tengah melihat ke satu titik dengan tatapan yang kosong tanpa menyentuh makanannya. Aku lantas mengetuk meja di depannya yang membuat lamunannya seketika buyar.
“What’s going on with you? Kakak tidak lapar?”
Albern menghela napasnya. “Aku sudah makan di rumah tadi.”
Mendengar ucapan singkatnya itu aku tahu apa yang tengah terjadi saat dirinya makan bersama keluarga besar tadi. Kalau tidak salah, mereka membicarakan rencana masa depanku yang direncanakan oleh keluarga besar dan langsung ditentang oleh Albern.
“Aku tahu apa yang ada di benakmu, Kak.” Tampak Albern terdiam, mencoba mendengarkan opiniku. “Jangan khawatirkan aku, Kak. Yang mereka rencanakan pada akhirnya akan terwujud setelah aku lulus nanti.”
Albern mengerutkan dahinya. “Memangnya rencana apa yang kamu tahu, Rozalin?”
“Kakak pasti tahu maksudku.” Aku tersenyum seraya mengunyah.
“Itu sebabnya kamu tidak mau pulang?”
“Apa maksud Kakak? Seperti yang Kakak lihat, ini adalah rumahku. Ke mana lagi aku harus pulang selain ke rumah ini?”
Tahu maksud dari perkataanku, Albern lantas berhenti berbicara. Jika Rozalin menyinggung tentang suatu hal yang tidak disukainya, maka Albern akan langsung bereaksi sama seperti sekarang. Itulah caraku membuatnya bungkam, menyinggung sesuatu tentang hal yang membuat Rozalin kesal dan mencari atensi yang membuat siapa pun iba padaku.
...****************...
Sesampainya di Izel—Sekolah Menengah Atas yang berisi siswa-siswa yang unik—aku langsung mencari ruangan komputer lima. Tak lama setelahnya, aku duduk di salah satu kursi dengan nama Rozalin yang ada di atas meja. Aku lantas mengedarkan pandanganku, mencoba mengenali murid-murid yang sudah ada dalam ruangan komputer yang cukup besar itu.
Tampak beberapa di antara mereka membuka buku dan mempelajari materi yang akan muncul dalam ujian sebelum bel masuk berbunyi. Melihat ambisiusnya mereka membuatku sedikit kurang percaya diri dalam menyelesaikan soal ujian nanti. Hal itu membuatku memutuskan untuk kembali membaca poin-poin penting setiap materi dalam waktu yang cukup singkat.
Tak terasa waktu ujian telah tiba. Para murid yang tadinya membaca buku, kini menutup bukunya dan menyimpan ponsel mereka ke dalam tas. Para pengawas lantas meminta kami agar masuk ke dalam web untuk memulai ujian. Begitu soal keluar, aku membaca pertanyaan pada soal pertama yang membuatku optimis dalam mengerjakan soalnya.
Seiring berjalannya waktu, aku melupakan beberapa hal yang kupelajari dua hari kemarin. Hal itu membuatku semakin gelisah karena beberapa soal tidak bisa kujawab. Aku tidak tahu apakah semua jawaban yang berdasar dari dugaanku akan benar atau tidak. Yang pasti, aku harus menjawab semua pertanyaan dengan benar agar peringkat Rozalin di angkatannya tidak turun.
Meskipun aku berasumsi bahwa isi cerita “Topeng Kehidupan” tidak berubah, aku tidak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa jalan cerita kisah itu akan berubah karena aku menggantikan peran Rozalin sekarang. Itu membuatku harus berusaha semampuku untuk tetap berada di skenario yang kutulis. Jika tidak seperti itu, aku akan kesulitan dalam menjalankan keseharianku di sini karena tidak dapat berantisipasi dalam kejadian yang akan datang.
Diselimuti berbagai kecemasan yang berlebih membuatku tak bisa berpikir jernih. Hingga tak terasa waktu istirahat pun tiba. Mendengar suara bel yang terdengar nyaring membuatku menghembuskan napas gusar. Aku merutuki diriku sendiri akibat tak bisa menyelesaikan beberapa soal dalam waktu yang sudah ditentukan.
Ingin menjerihkan pikiranku yang kacau, lantas aku beranjak dan pergi ke toilet terdekat. Sesampainya di toilet, aku tidak mendapati seorang pun di dalam sana. Hal tersebut membuatku berasumsi bawa murid-murid tengah berada di kantin untuk mengganjal perut mereka.
Aku membasuh wajahku yang telah dibasahi oleh keringat, lantas kutatap pantulan diriku di cermin. Melihat diriku sendiri dalam kekacauan kecil ini membuatku merasa bahwa diriku tampak menyedihkan. Bertepatan dengan hal itu, beberapa orang masuk ke dalam toilet yang membuatku langsung meraih tisu, lalu menyeka air yang masih membasahi wajahku.
Tampak salah seorang tertawa diam-diam begitu melihatku. Mendengarnya terkekeh, aku lantas melirik ke arahnya. Gadis berambut coklat itu mengangkat kepalanya seraya tersenyum sinis padaku.
“What a mess!”
Awalnya aku tak tahu siapa yang tengah berbicara padaku. Namun, aku langsung mengetahuinya begitu melihat tanda nama yang ada di bagian kiri dadanya. Zoey ... adalah orang yang sangat ingin kuhindari saat ini. Tapi aku tak bisa melupakan fakta bahwa hari ini adalah hari di mana ia akan mengganggu Rozalin lagi.
Tak mau berurusan dengannya, akhirnya aku menggerakkan tungkaiku keluar dari toilet sembari tersenyum canggung padanya. Bertepatan dengan hal itu, dengan cepat Zoey mencekal tanganku, sehingga langkahku terhenti karenanya.
“Kudengar ... kamu masih bersama Ryan kemarin. Apa ucapanku waktu itu tidak membuatmu sadar?” ucapnya seraya mendekat ke arahku.
“Ma-maksudmu?” tanyaku seiring tanganku yang mulai bergetar.
“Bukankah kamu sudah kuperingati agar menghindar dari Ryan?”
Aku terdiam, aku mencoba mengingat kembali hal-hal yang kutulis sebelum berada di momen ini. Terlintas di benakku bahwa Zoey pernah mengancam Rozalin saat ia melihatnya dekat dengan Ryan.
“Kalau kamu masih tidak mau melakukannya, aku akan membuatmu keluar dari sekolah ini.”
Mentang-mentang ayahnya ketua yayasan, ia sampai mengancamku seperti ini. Apa Zoey tidak sadar bahwa dirinya bukan sekedar menyukai Ryan, tapi terobsesi padanya?
“Kalau begitu, lakukan saja sesukamu, Zoey. Aku tidak mungkin dikeluarkan dari sekolah semudah itu karena prestasiku yang sudah menaikkan nama baik sekolah ini.” Aku berusaha untuk berakting di depannya agar tidak terlihat lemah.
Zoey tertawa, ia meremehkan ucapanku tadi. Sesaat kemudian, ia mengeluarkan sesuatu dari saku roknya. Melihatnya memegang tinta spidol, dengan mudah aku bisa menebak apa yang akan ia lakukan terhadap tinta tersebut.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments