Chapter 1 : Bukan Kisah Lily

Setelah ke sana kemari mencari alamat rumah Rozalin yang kuingat, akhirnya aku menemukannya. Aku merebahkan tubuhku begitu masuk ke dalam kamar. Ya ... meskipun Rozalin hidup sendirian di rumah sederhana ini, setidaknya situasi sekarang menguntungkan bagiku. Jika tidak ada keluarga Rozalin yang ada di sisiku, kemungkinan besar aku tidak akan dicurigai karena perbedaan sifat kami.

Aku menciptakan karakter Rozalin yang sedikit mirip denganku. Salah satunya sulit untuk menjalin pertemanan. Namun, ada satu perbedaan di antara kami. Rozalin merupakan pribadi yang berani jika berada di situasi paling menakutkan sekalipun. Berbeda denganku, aku mudah sekali tertekan. Aku tidak bisa berada di situasi serius yang penuh ketegangan. Hanya dengan membayangkannya saja bisa membuatku stres.

“Untuk sekarang tidak ada masalah, ‘kan?” Aku menghela napas pelan. “Aku tak mau memikirkannya lebih lanjut, karena kepalaku sudah sakit akibat kurang tidur.”

Kupejamkan mataku, mencoba untuk mengistirahatkan diri dari padatnya kegiatanku sebelum masuk ke dalam novel ini. Hari yang sungguh melelahkan. Kuharap tidak ada lagi masalah yang datang di saat aku tidur.

***

Aku mencari file bab Topeng Kehidupan yang sebelumnya sudah di­-upload. Aku membaca ulang bab akhir dua puluhan hingga bab terakhir yang kutulis. Mengantisipasi barangkali ada scene di mana Rozalin berhadapan dengan konflik ringan.

Di tengah fokusku dan heningnya kamarku, terdengar suara beberapa notifikasi yang menandakan banyaknya pesan yang masuk. Aku tak peduli di saat ponsel Rozalin terus berbunyi. Hal itu tak begitu penting bagiku.

Aku bisa menebak siapa yang berusaha menghubungi Rozalin. Siapa lagi kalau bukan Ryan—teman sekelas Rozalin—yang selalu mengganggu walau di hari libur yang seharusnya menjadi hari untuk beristirahat.

Tak ayal kudapati suara notifikasi telah berhenti, membuatku lebih fokus untuk membaca bab-bab itu. Aku mencerna kata demi kata yang kubaca, lantas kutuliskan poin-poin penting yang akan muncul beberapa hari ke depan.

Aku mengerutkan dahiku begitu mengetahui fakta yang membuatku khawatir. “Sial! Kenapa lusa harus ada ujian?! Astaga ... aku ‘kan sudah lupa semua mata pelajaran yang kupelajari. Yang kuingat hanya materi di pelajaran fisika tentang teori kuantum saja karena sering melihat video tentang teori itu.”

Kutatap buku-buku yang berjajar rapi di dalam rak. Di sana banyak sekali buku pelajaran yang digunakan oleh Rozalin untuk belajar mandiri. Melihat hal itu, aku terpaksa harus belajar hari ini agar nilaiku alias nilai Rozalin saat ujian tidak rendah.

“Meskipun aku berada di peringkat sepuluh besar di kelasku saat SMA, tetap saja aku harus belajar lagi untuk mengingat semua yang kupelajari beberapa tahun yang lalu. Ayo, semangat Lily!” ucapku menyemangati diriku sendiri.

Aku melirik kertas jadwal ujian yang tergelatak di atas meja. Lantas aku segera mengambil beberapa buku yang harus kupelajari hari ini. Tanpa berlama-lama lagi, akhirnya aku membuka lembaran-lembaran buku pelajaran bahasa Jerman yang merupakan pelajaran pertama pada ujian hari Senin nanti.

“Tulisannya rapi sekali. Bahkan buku catatannya mudah dipahami.” Aku tersenyum tipis. “Anak yang selalu berada di peringkat satu di sekolah memang beda, ya.”

Aku tidak mau menghafal semua materi pada semester ini. Aku hanya akan membacanya dan memahaminya sebisaku. Untung saja saat SMA ada pelajaran bahasa Jerman juga di sekolahku, jadi mempelajari pelajaran ini tak begitu sulit untukku.

Agar tak merasa jenuh, aku memutar musik dari laptopku. Alunan lagu dari girl group yang kusukai terdengar dalam runguku. Mendengar hal itu membuatku meningkatkan rasa semangatku.

“Andai saja aku bisa melewati waktu dan menjadi dewasa,” aku bersenandung di bagian favoritku.

Lirik dalam lagu itu membuatku terdiam. Materi yang tadinya tengah kubaca menjadi tak menarik lagi untukku. Aku merenungkan kutipan lirik tersebut seraya menatap ke satu titik dengan tatapan kosong.

Dulu aku berpikir bahwa lirik tersebut memang ditujukan untuk remaja sepertiku. Remaja yang ingin menjadi dewasa karena tidak mau berhadapan dengan masalah-masalah remaja yang kekanakan. Pemikiran itu sirna begitu aku menyadari bahwa aku memaksakan diri untuk menjadi dewasa karena aku adalah anak pertama dari keluargaku di dunia asalku.

Ingin menjadi dewasa, ya ... namun menjadi orang dewasa membuatku lelah. Aku tak mau menjadi orang dewasa dengan permasalahan yang rumit, atau bahkan ditekan menjadi wanita berpendidikan yang sempurna di keluarga besarku. Meskipun tahun ini aku masih gap year—tahun jeda dari sekolah dan kuliah—aku juga ingin menempuh pendidikan di universitas seperti teman-temanku yang sudah masuk sejak dua tahun lalu.

Sebagai anak pertama aku harus mengalah untuk menjeda masuk ke dunia perkuliahan karena beberapa alasan. Itulah mengapa aku sering sekali menginginkan untuk kembali ke masa kanak-kanakku tanpa harus memikirkan masalah kehidupan sekalipun. Aku ingin kembali merasakan euforia dalam hidupku. Keseharianku beberapa tahun ini terasa membosankan, apalagi semenjak COVID-19 datang mewabah ke seluruh penjuru dunia.

“Aku tidak boleh muram seperti ini. Aku harus mengembalikan suasana hatiku agar bisa mempelajari materi-materi itu.”

Tak mau berlarut dalam pikiranku yang terasa berantakan, aku memutuskan untuk mencari udara segar seraya berjalan-jalan untuk mengenali kota yang saat ini kutempati. Lantas kugerakkan tungkaiku keluar rumah dan berkeliling di taman yang kulihat tadi di dekat persimpangan.

Begitu sampai di taman, aku duduk di sebuah bangku hitam legam seraya melihat-lihat orang yang tengah bercengkerama di sana. Tampak beberapa anak kecil tengah bermain seraya diawasi oleh beberapa orang dewasa yang terlihat seperti orang tua mereka. Aku tersenyum tipis melihat kehangatan antar keluarga tersebut yang tampak harmonis di mataku.

Aku memejamkan mataku, mencoba menikmati siliran angin di bawah pohon rindang nan hijau yang melindungiku dari sinar mentari yang cukup terik. Larut dalam segarnya udara pagi menjelang siang itu membuatku tak menyadari bahwa sedari tadi ada seseorang yang memerhatikanku. Tak lama, suara derap langkah di atas rerumputan masuk dalam runguku.

Aku membuka mataku begitu menyadari bahwa derap langkah itu berhenti tepat di dekatku. Aku terpaku melihat seorang laki-laki bersurai pirang berdiri di depanku seraya menatapku dengan tatapan kesal. Aku mencoba mencari tahu siapa orang yang tengah berdiri di depanku ini.

“Wah ... aku mengirimu banyak pesan tadi, tapi tak sekalipun dibaca, apalagi dibalas.” Laki-laki itu menghela napasnya pelan. “Sedang apa kamu sendirian di sini? Bukankah seharusnya kamu sedang belajar di kamarmu untuk mempersiapkan ujian lusa nanti?”

Mendengar ucapannya tersebut membuatku yakin bahwa orang yang tengah berdiri di depanku ini adalah

Ryan. Tapi mengapa dirinya ada di sini? Jelas-jelas aku tidak menceritakan pertemuan Rozalin dan Ryan yang tidak disengajai ini. Apa hal ini merupakan scene bebas yang tak terikat oleh takdir jalan cerita yang kutulis?

Bersambung ....~~~~

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!