Sandriana, My Lovely Sist
Sandriana Aubrey Rahmadi turun dari kereta eksekutif sambil melepaskan sebuah helaan napas panjang, seperti sebuah pemakluman dalam diri bahwa fase kehidupan yang baru sudah dimulai. Gadis langsing itu lalu mulai berjalan menuju eskalator untuk turun ke bawah menuju pintu keluar stasiun kereta api terbesar di negara ini. Sudah ada seseorang yang akan menjemputnya, entah siapa.
Dia beberapa kali berkunjung ke ibukota negara bersama ayah saat peringatan kematian ibu untuk berziarah. Tapi kali ini kedatangannya atas permintaan Tuan Harlandy Darwis.
Gawai hitamnya berbunyi. Dria, itu nama panggilannya, mengambil benda pipih penghubung manusia sejagat raya dari dalam tas punggungnya dan segera menjawab panggilan tak bernama di gawainya.
“Ya? Halo…”
“Non Sandriana?”
“Iya…”
“Saya Mamad, sopir Tuan Harlandy Non… saya pakai baju hitam dekat pintu keluar…”
“Oh… iya pak, saya juga pakai baju warna hitam… saya pakai topi putih…”
Sesampai di lantai dasar Dria mencari pria berbaju hitam dalam posisi sedang menelpon, hanya ada satu orang yang berbaju setelan hitam yang berdiri di pintu keluar.
“Pak… saya sudah melihat bapak…”
Dria mengakhiri panggilan, dengan bawaan yang agak merepotkan, dia mendekati pria yang terlihat seumuran ayahnya.
“Pak Mamad?”
“Iya Non… mari kopernya…”
Pria bernama Mamad itu mengambil koper besar milik Dria dan sebuah tas tenteng berukuran sedang lalu segera berjalan menuju mobil, sementara Dria mengikuti dari belakang dengan membawa tas punggungnya.
Dria sedikit tercengang melihat mobil yang akan dia naiki lalu tersenyum kecut saat pintu belakang mobil mewah itu dibukakan sang sopir, dia seperti anak orang kaya sekarang diperlakukan seperti tuan putri.
“Silahkan Non…”
Perjalanan menuju rumah kediaman keluarga Darwis memakan waktu yang cukup panjang dari stasiun karena lokasi yang berada jauh ke arah luar kota.
“Pak Mamad sudah lama bekerja di rumah besar?”
“Sudah lima tahun Non… saya sopir khusus untuk Tuan Besar…”
“Oh…“
Selanjutnya perjalanan berlangsung dalam kesunyian. Memori masa kecil segera berputar kembali membangkitkan rasa sesak di dada. Dria kehilangan ibu di rumah besar itu, tetapi dia masih terlalu kecil belum paham kehilangan itu, justru kehilangan Nyonya Rosalie Darwis yang masih membangkitkan kesedihan.
Hubungan keluarganya dengan keluarga bos dari ayahnya bermula saat nyonya Rosalie membutuhkan donor ginjal. Usaha mencari donor akhirnya diumumkan di perusahaan. Di antara banyak orang yang tergerak hatinya diperiksa sebagai donor, ibu satu-satunya yang dinyatakan cocok. Singkat cerita, nyonya Rosalie berangsur membaik karena transplantasi ginjal, tapi ibu setahun setelah operasi besar itu kesehatannya justru memburuk terutama setelah sang ibu hamil dirinya.
Hutang budi keluarga Darwis membawa mereka sekeluarga tinggal di rumah besar itu di tahun-tahun terakhir hidup ibunya. Saat ibu dipanggil pemilik hidup, ayah memilih pulang ke kota S karena sulit melupakan sedihnya. Dria berumur tiga tahun ketika itu dan tetap tinggal bersama Nyonya Rosalie. Sampai berumur tiga belas tahun Dria berpikir bahwa Nyonya Rosalie adalah maminya.
Sekarang, Dria sedang menuju rumah besar itu lagi, bukan hanya sekedar berkunjung tapi untuk kembali tinggal di sana.
Mobil bergerak perlahan ketika melewati sebuah pos penjagaan untuk memasuki sebuah kompleks, security yang berjaga segera membuka pagar hitam setinggi tiga meter. Setelah pos penjagaan itu mobil melewati jalan yang sisi kanan kirinya banyak pohon besar berjejer dengan rapih, seperti memasuki sebuah hutan saja. Dria tahu beberapa menit ke depan mereka akan tiba di rumah besar keluarga Darwis.
Mobil berhenti setelah memasuki gerbang yang terbuka secara otomatis. Dria memandang sekeliling saat turun dari mobil, bangunan yang besar berlantai dua dengan pilar-pilar besar itu menjulang nyata dan tidak berubah, hanya taman saja dan gerbang depan yang berubah penataannya.
Seorang pria membuka pintu besar dari kayu yang terlihat sangat tinggi dan kokoh, pria itu berdiri menunggu di sana.
“Mari Non…”
Pak Mamad sedikit membungkuk ke arahnya sambil tangan kanannya terentang dengan sopan menyilakan Dria mendahuluinya. Dria berjalan dengan perasaan mengambang, meraih keyakinan diri bahwa datang ke tempat ini adalah sebuah keputusan yang tepat. Dria menaiki lima anak tangga dengan mata terarah pada pria berambut putih pada kepala yang terlihat botak di bagian atas.
“Non Dria… selamat datang…”
Pria di depan pintu tersenyum ramah, rasanya dia masih mengingat senyum itu.
“Emm… pak Lucas?”
“Iya Non Dria… sudah jadi gadis manis sekarang ya…”
Pria yang disapa dengan pak Lucas itu masih tersenyum, perasaan Dria menjadi leluasa karena senyum itu. Sekelebat dia mengingat bagaimana dia selalu menganggu pak Lucas di masa kecilnya.
“Mungkin karena saya penyuka makanan manis pak Lucas…”
"Hahaha..."
Pak Lucas tertawa dan mulai melangkah masuk ruangan besar yang bergaya arsitektur klasik Eropa tersebut. Dria melangkah lambat sambil memperhatikan rumah di masa kecilnya.
“Bagaimana kabar Rahmadi? Sehat?”
“Ayah sehat pak…”
“Mengapa Non Dria menolak naik pesawat?”
“Saya takut berada di ketinggian pak…”
“Oh begitu… Kita ke ruang kerja Tuan Besar lebih dahulu ya, Non…”
“Iya pak Lucas…”
Dria mengangguk dalam jawabannya.
“Tety…”
Pak Lucas memberi isyarat kepada seorang pelayan yang menunggu di sana, koper Dria berpindah dari sang sopir ke tangan Tety, mata Dria hanya mengawasi sejenak sampai Tety menghilang entah ke ruangan mana.
“Mari Non Dria…”
Dria kemudian mengikuti pak Lucas yang memasuki sebuah lorong besar yang dindingnya berisi lukisan-lukisan besar, tepat di sebuah pintu pak Lucas membukakan pintu untuk Dria.
“Silahkan masuk Non…”
Dria menatap pak Lucas dengan pandangan ragu, pak Lucas hanya menganggukan kepala dan tidak bergerak di posisinya di sisi ambang pintu. Perlahan Dria akhirnya melangkah masuk. Dominasi warna merah maroon dan coklat tua tertangkap mata di seluruh ruangan yang sangat luas, banyak lemari buku yang menjulang setinggi dinding ruangan.
Di tengah ruangan ada sofa klasik juga berwarna maroon, Dria berhenti setelah matanya melihat pria tinggi besar sedang duduk di salah satu sofa dengan kaki ditumpangkan. Ada sebuah buku di tangan, terlihat asyik membaca dan tidak terganggu dengan kehadiran Dria. Dria mengenali, itu Tuan Harlandy.
Untuk sesaat Dria diam, bingung bagaimana menyapa dengan sopan. Tuan Harlandy mengangkat kepala dan menatap Dria, serangan gugup datang tiba-tiba.
“Emm… eh… selamat sore Tuan…”
Suara yang keluar seperti tercekik, dua telapak tangan yang mengatup di depan terasa mulai dingin.
“Sandriana… mari mendekat…”
Dengan langkah berat dalam gugupnya Dria mendekati Tuan Harlandy yang mengulurkan tangan ke arahnya. Dria mencium tangan dengan hormat, lalu undur beberapa langkah.
“Duduklah…”
Walau tak ada senyum di wajah itu tapi suara yang terdengar tegas tapi lembut membuat Dria sedikit tenang. Dria duduk di sebuah kursi yang ditunjuk oleh Tuan Harlandy.
“Butuh waktu lama memutuskan datang?”
Suara penuh wibawa tapi mengalun tenang menambah derajat ketenangan pada Dria. Sosok ini kharismanya tidak berubah.
“Emm… iya Tuan, maaf… saya… saya agak berat memutuskan resign dari kantor saya…”
Dria terbata menjawab.
“Dria akan bekerja juga di sini…”
“Saya tahu Tuan… tapi saya emm… saya menyukai pekerjaan saya sebelum ini…”
Tuan Harlandy hanya menganggukan kepalanya, masih menatap Dria, sorot matanya tak terbaca dan itu membuat Dria menunduk.
Hening sejenak…
“Saya hanya mewujudkan keinginan terakhir istri saya mengenai kamu, Sandriana…”
Dria mengangkat wajahnya, menatap dengan berani sekarang tepat di wajah Tuan Harlandy, sebuah dorongan dari rasa penasaran mengapa enam bulan ini Tuan Harlandy terus-menerus meminta dia datang ke kota ini meskipun ditolak berkali-kali oleh sang ayah. Kegigihan yang membuahkan hasil, ayah Rahmadi luluh dan berganti membujuk Dria untuk datang.
“Saya tenang sekarang… kedatanganmu membuat saya bisa melunasi hutang janji pada mendiang istri saya…”
Dria menunggu beberapa waktu, masih berharap penjelasan selain kalimat tadi… dan Tuan Harlandy juga menatap Dria, ada senyum kecil di wajah itu..
“Lucas sudah mengurus di mana Dria akan bekerja…”
Dria mengerjapkan mata, Tuan Harlandy garis bibir masih sedikit terangkat. Di dalam otaknya Dria mulai mengumpulkan memori tentang Tuan Besar, mengapa dulu sosok ini seperti menakutkan?
“Dria boleh beristirahat sekarang…”
Kalimat itu membuat Dria sadar dan merasa malu telah menatap Tuan Harlandy begitu lama. Dria segera berdiri.
“Eh… saya… saya pamit Tuan…”
Tuan Harlandy hanya menganggukkan kepala. Ada harapan besar mengenai kehadiran gadis ini di sini, dia berharap kerinduan mulia mendiang istri bisa diwujudkan, walau Tuan Harlandy pesimis tentang itu.
Sementara itu Dria buru-buru keluar tak berani menatap Tuan Harlandy lagi. Jika tentang mewujudkan keinginan mendiang mami untuk bekerja di perusahaan keluarga Darwis, Dria rela berada di sini, dia menghormati itu. Terlebih kesan terhadap Tuan Harlandy yang sekarang jauh berbeda dengan yang ada dalam gambaran benaknya.
Di luar ruangan, Dria berjalan dan mulai mengurai ingatan mengenai rumah ini. Furniture tidak sama lagi, hanya foto-foto keluarga yang besar-besar yang masih terpasang di dinding yang sama, dan masih ada foto dirinya saat masih balita dengan keluarga Darwis, lengkap berempat di salah satu bingkai. Dan ada bingkai lain dia bersama Mami Rosalie. Dria kaget, itu tidak diturunkan dari sana selama bertahun-tahun ini. Dria berhenti dan mengamati foto itu dengan mata mulai memanas.
Bagaimana bisa melupakan wanita ini, wanita yang melekat di hati sebagai ibu yang begitu menyayanginya. Airmata pun mengucur dari dua matanya.
Lalu sebuah foto menarik perhatiannya, foto yang belum ada sepuluh tahun yang lalu, foto seorang pria dewasa dengan senyum kecil di wajahnya.
“Kak Sandro…”
Garis wajah yang tidak jauh berubah, yang ada di bingkai adalah versi dewasa dan matang di bandingkan yang tergambar di benaknya. Sebuah ingatan menghampiri…
¤¤¤
“Mami… ade bayi di rumah belakang belum punya nama…”
“Kita akan memberi dia nama Charina… Deedee setuju?”
“Charina? Mmmh boleh mami… Dee suka… tapi, apa hanya satu nama? Nama Dee ada dua…”
“Pasti orangtua Charina sudah siapkan nama yang lain…”
“Oh begitu… Mmmh nama Dee yang satu dari Mami, satunya dari siapa?”
“Namamu dua-duanya dari kakakmu… saat kamu lahir dia membeli banyak buku tentang nama-nama bayi, lucunya kakakmu memilih nama yang mirip dengannya… dia begitu senang saat tahu kamu bayi perempuan…”
¤¤¤
Dria menghapus airmata di pipinya lalu beranjak beberapa langkah dan berhenti tepat di depan foto itu. Rasa penasaran menghampiri Dria, seperti apa sosok lelaki yang dulu pernah dia panggil ‘kakak’.
Sepuluh tahun yang lalu ayah menjemputnya, menurut ayah tidak ada alasan lagi Dria tinggal di rumah besar ini. Nyonya Rosalie bersikeras merawatnya setelah ibu berpulang, dan saat Nyonya Rosalie juga menghadap yang kuasa ayah merasa paling berhak membesarkan anak kandungnya dengan tangannya sendiri, maka Dria yang berumur tiga belas tahun ikut pulang bersama sang ayah ke kota S.
Sejak saat itu Dria tak tahu apapun dan terputus sepenuhnya dari keluarga Darwis, termasuk dengan Sandro.
“Tuan Muda masih di kantor…”
Pak Lucas memberikan informasi tanpa ditanya, mendekati Dria yang posisinya sedang mengamati foto Sandro. Entah kenapa Dria merasa malu kedapatan sedang mengamati foto seseorang yang baru saja disebut sebagai Tuan Muda di rumah ini.
“Tuan Muda sekarang mulai menggantikan Tuan Besar menangani semua bisnis, jadi dia selalu sibuk setiap hari… tapi dia masih tinggal di rumah ini dan belum menikah…”
Pak Lucas meneruskan membuat Dria melongo, dia memang penasaran tentang pria dewasa di foto tetapi dia juga merasa jengah mendengar keterangan pak Lucas, seolah-olah dia sangat ingin tahu soal si Tuan Muda, apalagi informasi terakhir sepertinya dikatakan dengan penekanan yang ditambahkan.
“Tuan Muda…”
Menyingkirkan rasa malu, Dria berjalan beberapa langkah mengabaikan pak Lucas yang masih ingin melanjutkan pembicaraan soal Tuan Muda Sandro Kristoffer Darwis.
“Emm pak… koper saya di mana?”
“Oh… sudah disimpan di kamar, mari saya antar ke kamar…”
“Mmh… pak… apa saya menempati kamar saya yang dulu?”
“Tidak… sekarang kamar Non Dria di lantai atas… kamar yang memiliki balkon yang menghadap ke taman belakang…”
“Oh… saya tahu kamar itu… pak Lucas tidak usah mengantar saya…”
“Baik Non… silahkan beristirahat, jika butuh sesuatu Non Dria bisa mencari Tety, Tuan Besar menugaskan Tety untuk membantu Non Dria di rumah ini…”
“Baik pak… terima kasih ya…”
“Sama-sama Non…”
Dengan sedikit menunduk pak Lucas meninggalkan Dria.
Dria tentu masih bisa mengingat seluk-beluk rumah ini, dia tahu posisi kamar yang dimaksud. Di lantai atas, ada empat kamar besar di bagian sayap kanan rumah ini, empat lainnya di sayap kanan. Kamar yang ditunjuk pak Lucas menerbitkan rasa senang untuk Dria, dari kamar itu pemandangan bagian belakang rumah cukup luas.
Dria masuk ke kamar yang diperuntukan baginya. Kamar ini sangat besar, yang dia sukai dari rumah ini adalah langit-langit yang sangat tinggi. Memperhatikan interior rumah termasuk kamar ini, Dria jadi mengingat film di Netfl*ix berjudul Bridger*ton yang jadi tontonan yang pernah dibahas di saat senggang di kantornya yang dulu.
Rumah besar ini seperti sebuah kastil, asal dia tidak menggunakan gaun seperti para pemeran putri bangsawan di film itu saja.
Dria mencari kopernya, dia berniat mandi lebih dahulu sebelum istirahat. Sesuatu telah dimulai di sini untuk hidupnya, di usia dua puluh tiga tahun.
Tety masuk kemudian…
“Permisi Non Dria…”
“Tety?”
“Iya Non… saya mau mengatur pakaian Non Dria…”
Tety menunjuk koper dan sebuah ruangan wardrobe, Dria menangkap maksud Tety.
“Biar saya sendiri Tety… pakaian saya tidak banyak...”
“Jangan Non… ini tugas saya mulai hari ini, mengurus keperluan Non Dria…”
“Hahh? Apa harus seperti itu?”
“Iya Non…”
“Ehh?”
Tety mendorong koper besar Dria ke arah ruang wardrobe yang menyatu dengan kamar mandi besar di kamar ini, Dria mengikuti lalu kemudian hanya mengawasi apa yang Tety lakukan dengan koper besarnya.
"Kunci kopernya Non..."
"Oh ya... sebentar..."
Dria memutar tiga angka untuk membuka kunci di kopernya.
“Emmh… berapa umurmu Tety?”
“Sembilan belas, Non…”
“Tidak kuliah?”
“Tidak Non…”
“Kenapa?”
“Saya hanya sampai kelas dua SMP Non… otak saya tidak cukup pintar, jadi saya menyerah untuk sekolah…”
“Oh?? Sudah lama bekerja di sini?”
“Hampir empat tahun, Non…”n...
Tety sudah mulai merapihkan pakaiannya di dalam lemari besar, mungkin hanya akan mengisi 10 % dari tiga lemari ukir yang ada di ruang ini.
“Emmh… sebaiknya saya mandi…”
“Silahkan Non…”
Sepotong adegan putri bangsawan yang mandi muncul di otaknya.
“Ehh… kamu tidak ditugaskan untuk memandikan saya juga kan?”
Dria tertawa saat mengucapkan kalimat itu.
“Ti…tidak Non, tapi perlengkapan mandi Non Dria sudah saya siapkan di kamar mandi… mari saya tunjukkan…”
Dria menatap tak percaya, dirinya perlu orientasi besar-besaran terhadap kehidupan di rumah ini, termasuk kenyataan bahwa dia punya seorang pelayan pribadi.
Selesai mandi, Tety masih ada di dalam kamar.
“Kamu masih di sini Tety?”
“Iya Non… mungkin Non Dria butuh sesuatu?”
“Oh… untuk sekarang tidak ada. Ehh… kamu boleh pergi sekarang Tety…”
“Rambut Non Dria… akan saya keringkan, ada hair dryer di meja rias…”
“Hahh? Ehh… tidak perlu Tety, saya lebih suka rambut saya kering secara alami…”
Tety menunggu dan Dria akhirnya tertawa, sungguh bukan fatamorgana ternyata, Dria boleh merasakan hidup punya pelayan yang akan mengerjakan semua untuk dirinya termasuk urusan pribadi.
“Kamu boleh pergi sekarang Tety…”
“Baik Non… kalau Non butuh saya, ada intercom…”
Mata Dria mencari alat komunikasi yang dimaksud.
“Terima kasih, Tety…”
“Iya Non…”
Masih menggunakan jubah mandi Dria menuju ke depan salah satu jendela kamar itu dan berdiri menatap ke bagian belakang rumah ini yang begitu luas… ada taman, ada rumah khusus para pelayan yang terlihat jelas. Perlahan rasa sakit yang hampir dia lupakan menghampiri…
“Mami… aku di sini lagi… Dee rindu mami…”
Sandriana membiarkan airmata merembes lagi di pipinya, kesedihan sepuluh tahun yang lalu muncul seketika, kesedihan saat dia harus kehilangan sang mami dan di saat yang sama dia harus tahu sebuah kebenaran yang begitu melukai hatinya, dia bukan anak kandung sang mami…
.
.
Halo...
Jumpa dengan Aby. Ikutin ceritaku ya... Update setiap pagi. Selesai/tamat cerita ini baru aku lanjut dengan Brill&Rilly.
Aku mulai dengan part yg panjang... Jgn bosan ya, biar dapat feelnya 😘
🌼🌼🌼
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Salsa Sal
aku bacanya satu-satu ya By, maraton nih hehe...
2024-07-09
1
Anonymous
/
2024-07-08
0
Anonymous
wahhh baru baca Bab awal aja otakku langsung membayangkan visualnya ky gimana ceritanya.. alurnya baguss.. mengalirr
2024-03-14
0