NovelToon NovelToon

Sandriana, My Lovely Sist

Part 1. Setelah Sepuluh Tahun

Sandriana Aubrey Rahmadi turun dari kereta eksekutif sambil melepaskan sebuah helaan napas panjang, seperti sebuah pemakluman dalam diri bahwa fase kehidupan yang baru sudah dimulai. Gadis langsing itu lalu mulai berjalan menuju eskalator untuk turun ke bawah menuju pintu keluar stasiun kereta api terbesar di negara ini. Sudah ada seseorang yang akan menjemputnya, entah siapa.

Dia beberapa kali berkunjung ke ibukota negara bersama ayah saat peringatan kematian ibu untuk berziarah. Tapi kali ini kedatangannya atas permintaan Tuan Harlandy Darwis.

Gawai hitamnya berbunyi. Dria, itu nama panggilannya, mengambil benda pipih penghubung manusia sejagat raya dari dalam tas punggungnya dan segera menjawab panggilan tak bernama di gawainya.

“Ya? Halo…”

“Non Sandriana?”

“Iya…”

“Saya Mamad, sopir Tuan Harlandy Non… saya pakai baju hitam dekat pintu keluar…”

“Oh… iya pak, saya juga pakai baju warna hitam… saya pakai topi putih…”

Sesampai di lantai dasar Dria mencari pria berbaju hitam dalam posisi sedang menelpon, hanya ada satu orang yang berbaju setelan hitam yang berdiri di pintu keluar.

“Pak… saya sudah melihat bapak…”

Dria mengakhiri panggilan, dengan bawaan yang agak merepotkan, dia mendekati pria yang terlihat seumuran ayahnya.

“Pak Mamad?”

“Iya Non… mari kopernya…”

Pria bernama Mamad itu mengambil koper besar milik Dria dan sebuah tas tenteng berukuran sedang lalu segera berjalan menuju mobil, sementara Dria mengikuti dari belakang dengan membawa tas punggungnya.

Dria sedikit tercengang melihat mobil yang akan dia naiki lalu tersenyum kecut saat pintu belakang mobil mewah itu dibukakan sang sopir, dia seperti anak orang kaya sekarang diperlakukan seperti tuan putri.

“Silahkan Non…”

Perjalanan menuju rumah kediaman keluarga Darwis memakan waktu yang cukup panjang dari stasiun karena lokasi yang berada jauh ke arah luar kota.

“Pak Mamad sudah lama bekerja di rumah besar?”

“Sudah lima tahun Non… saya sopir khusus untuk Tuan Besar…”

“Oh…“

Selanjutnya perjalanan berlangsung dalam kesunyian. Memori masa kecil segera berputar kembali membangkitkan rasa sesak di dada. Dria kehilangan ibu di rumah besar itu, tetapi dia masih terlalu kecil belum paham kehilangan itu, justru kehilangan Nyonya Rosalie Darwis yang masih membangkitkan kesedihan.

Hubungan keluarganya dengan keluarga bos dari ayahnya bermula saat nyonya Rosalie membutuhkan donor ginjal. Usaha mencari donor akhirnya diumumkan di perusahaan. Di antara banyak orang yang tergerak hatinya diperiksa sebagai donor, ibu satu-satunya yang dinyatakan cocok. Singkat cerita, nyonya Rosalie berangsur membaik karena transplantasi ginjal, tapi ibu setahun setelah operasi besar itu kesehatannya justru memburuk terutama setelah sang ibu hamil dirinya.

Hutang budi keluarga Darwis membawa mereka sekeluarga tinggal di rumah besar itu di tahun-tahun terakhir hidup ibunya. Saat ibu dipanggil pemilik hidup, ayah memilih pulang ke kota S karena sulit melupakan sedihnya. Dria berumur tiga tahun ketika itu dan tetap tinggal bersama Nyonya Rosalie. Sampai berumur tiga belas tahun Dria berpikir bahwa Nyonya Rosalie adalah maminya.

Sekarang, Dria sedang menuju rumah besar itu lagi, bukan hanya sekedar berkunjung tapi untuk kembali tinggal di sana.

Mobil bergerak perlahan ketika melewati sebuah pos penjagaan untuk memasuki sebuah kompleks, security yang berjaga segera membuka pagar hitam setinggi tiga meter. Setelah pos penjagaan itu mobil melewati jalan yang sisi kanan kirinya banyak pohon besar berjejer dengan rapih, seperti memasuki sebuah hutan saja. Dria tahu beberapa menit ke depan mereka akan tiba di rumah besar keluarga Darwis.

Mobil berhenti setelah memasuki gerbang yang terbuka secara otomatis. Dria memandang sekeliling saat turun dari mobil, bangunan yang besar berlantai dua dengan pilar-pilar besar itu menjulang nyata dan tidak berubah, hanya taman saja dan gerbang depan yang berubah penataannya.

Seorang pria membuka pintu besar dari kayu yang terlihat sangat tinggi dan kokoh, pria itu berdiri menunggu di sana.

“Mari Non…”

Pak Mamad sedikit membungkuk ke arahnya sambil tangan kanannya terentang dengan sopan menyilakan Dria mendahuluinya. Dria berjalan dengan perasaan mengambang, meraih keyakinan diri bahwa datang ke tempat ini adalah sebuah keputusan yang tepat. Dria menaiki lima anak tangga dengan mata terarah pada pria berambut putih pada kepala yang terlihat botak di bagian atas.

“Non Dria… selamat datang…”

Pria di depan pintu tersenyum ramah, rasanya dia masih mengingat senyum itu.

“Emm… pak Lucas?”

“Iya Non Dria… sudah jadi gadis manis sekarang ya…”

Pria yang disapa dengan pak Lucas itu masih tersenyum, perasaan Dria menjadi leluasa karena senyum itu. Sekelebat dia mengingat bagaimana dia selalu menganggu pak Lucas di masa kecilnya.

“Mungkin karena saya penyuka makanan manis pak Lucas…”

"Hahaha..."

Pak Lucas tertawa dan mulai melangkah masuk ruangan besar yang bergaya arsitektur klasik Eropa tersebut. Dria melangkah lambat sambil memperhatikan rumah di masa kecilnya.

“Bagaimana kabar Rahmadi? Sehat?”

“Ayah sehat pak…”

“Mengapa Non Dria menolak naik pesawat?”

“Saya takut berada di ketinggian pak…”

“Oh begitu… Kita ke ruang kerja Tuan Besar lebih dahulu ya, Non…”

“Iya pak Lucas…”

Dria mengangguk dalam jawabannya.

“Tety…”

Pak Lucas memberi isyarat kepada seorang pelayan yang menunggu di sana, koper Dria berpindah dari sang sopir ke tangan Tety, mata Dria hanya mengawasi sejenak sampai Tety menghilang entah ke ruangan mana.

“Mari Non Dria…”

Dria kemudian mengikuti pak Lucas yang memasuki sebuah lorong besar yang dindingnya berisi lukisan-lukisan besar, tepat di sebuah pintu pak Lucas membukakan pintu untuk Dria.

“Silahkan masuk Non…”

Dria menatap pak Lucas dengan pandangan ragu, pak Lucas hanya menganggukan kepala dan tidak bergerak di posisinya di sisi ambang pintu. Perlahan Dria akhirnya melangkah masuk. Dominasi warna merah maroon dan coklat tua tertangkap mata di seluruh ruangan yang sangat luas, banyak lemari buku yang menjulang setinggi dinding ruangan.

Di tengah ruangan ada sofa klasik juga berwarna maroon, Dria berhenti setelah matanya melihat pria tinggi besar sedang duduk di salah satu sofa dengan kaki ditumpangkan. Ada sebuah buku di tangan, terlihat asyik membaca dan tidak terganggu dengan kehadiran Dria. Dria mengenali, itu Tuan Harlandy.

Untuk sesaat Dria diam, bingung bagaimana menyapa dengan sopan. Tuan Harlandy mengangkat kepala dan menatap Dria, serangan gugup datang tiba-tiba.

“Emm… eh… selamat sore Tuan…”

Suara yang keluar seperti tercekik, dua telapak tangan yang mengatup di depan terasa mulai dingin.

“Sandriana… mari mendekat…”

Dengan langkah berat dalam gugupnya Dria mendekati Tuan Harlandy yang mengulurkan tangan ke arahnya. Dria mencium tangan dengan hormat, lalu undur beberapa langkah.

“Duduklah…”

Walau tak ada senyum di wajah itu tapi suara yang terdengar tegas tapi lembut membuat Dria sedikit tenang. Dria duduk di sebuah kursi yang ditunjuk oleh Tuan Harlandy.

“Butuh waktu lama memutuskan datang?”

Suara penuh wibawa tapi mengalun tenang menambah derajat ketenangan pada Dria. Sosok ini kharismanya tidak berubah.

“Emm… iya Tuan, maaf… saya… saya agak berat memutuskan resign dari kantor saya…”

Dria terbata menjawab.

“Dria akan bekerja juga di sini…”

“Saya tahu Tuan… tapi saya emm… saya menyukai pekerjaan saya sebelum ini…”

Tuan Harlandy hanya menganggukan kepalanya, masih menatap Dria, sorot matanya tak terbaca dan itu membuat Dria menunduk.

Hening sejenak…

“Saya hanya mewujudkan keinginan terakhir istri saya mengenai kamu, Sandriana…”

Dria mengangkat wajahnya, menatap dengan berani sekarang tepat di wajah Tuan Harlandy, sebuah dorongan dari rasa penasaran mengapa enam bulan ini Tuan Harlandy terus-menerus meminta dia datang ke kota ini meskipun ditolak berkali-kali oleh sang ayah. Kegigihan yang membuahkan hasil, ayah Rahmadi luluh dan berganti membujuk Dria untuk datang.

“Saya tenang sekarang… kedatanganmu membuat saya bisa melunasi hutang janji pada mendiang istri saya…”

Dria menunggu beberapa waktu, masih berharap penjelasan selain kalimat tadi… dan Tuan Harlandy juga menatap Dria, ada senyum kecil di wajah itu..

“Lucas sudah mengurus di mana Dria akan bekerja…”

Dria mengerjapkan mata, Tuan Harlandy garis bibir masih sedikit terangkat. Di dalam otaknya Dria mulai mengumpulkan memori tentang Tuan Besar, mengapa dulu sosok ini seperti menakutkan?

“Dria boleh beristirahat sekarang…”

Kalimat itu membuat Dria sadar dan merasa malu telah menatap Tuan Harlandy begitu lama. Dria segera berdiri.

“Eh… saya… saya pamit Tuan…”

Tuan Harlandy hanya menganggukkan kepala. Ada harapan besar mengenai kehadiran gadis ini di sini, dia berharap kerinduan mulia mendiang istri bisa diwujudkan, walau Tuan Harlandy pesimis tentang itu.

Sementara itu Dria buru-buru keluar tak berani menatap Tuan Harlandy lagi. Jika tentang mewujudkan keinginan mendiang mami untuk bekerja di perusahaan keluarga Darwis, Dria rela berada di sini, dia menghormati itu. Terlebih kesan terhadap Tuan Harlandy yang sekarang jauh berbeda dengan yang ada dalam gambaran benaknya.

Di luar ruangan, Dria berjalan dan mulai mengurai ingatan mengenai rumah ini. Furniture tidak sama lagi, hanya foto-foto keluarga yang besar-besar yang masih terpasang di dinding yang sama, dan masih ada foto dirinya saat masih balita dengan keluarga Darwis, lengkap berempat di salah satu bingkai. Dan ada bingkai lain dia bersama Mami Rosalie. Dria kaget, itu tidak diturunkan dari sana selama bertahun-tahun ini. Dria berhenti dan mengamati foto itu dengan mata mulai memanas.

Bagaimana bisa melupakan wanita ini, wanita yang melekat di hati sebagai ibu yang begitu menyayanginya. Airmata pun mengucur dari dua matanya.

Lalu sebuah foto menarik perhatiannya, foto yang belum ada sepuluh tahun yang lalu, foto seorang pria dewasa dengan senyum kecil di wajahnya.

“Kak Sandro…”

Garis wajah yang tidak jauh berubah, yang ada di bingkai adalah versi dewasa dan matang di bandingkan yang tergambar di benaknya. Sebuah ingatan menghampiri…

¤¤¤

“Mami… ade bayi di rumah belakang belum punya nama…”

“Kita akan memberi dia nama Charina… Deedee setuju?”

“Charina? Mmmh boleh mami… Dee suka… tapi, apa hanya satu nama? Nama Dee ada dua…”

“Pasti orangtua Charina sudah siapkan nama yang lain…”

“Oh begitu… Mmmh nama Dee yang satu dari Mami, satunya dari siapa?”

“Namamu dua-duanya dari kakakmu… saat kamu lahir dia membeli banyak buku tentang nama-nama bayi, lucunya kakakmu memilih nama yang mirip dengannya… dia begitu senang saat tahu kamu bayi perempuan…”

¤¤¤

Dria menghapus airmata di pipinya lalu beranjak beberapa langkah dan berhenti tepat di depan foto itu. Rasa penasaran menghampiri Dria, seperti apa sosok lelaki yang dulu pernah dia panggil ‘kakak’.

Sepuluh tahun yang lalu ayah menjemputnya, menurut ayah tidak ada alasan lagi Dria tinggal di rumah besar ini. Nyonya Rosalie bersikeras merawatnya setelah ibu berpulang, dan saat Nyonya Rosalie juga menghadap yang kuasa ayah merasa paling berhak membesarkan anak kandungnya dengan tangannya sendiri, maka Dria yang berumur tiga belas tahun ikut pulang bersama sang ayah ke kota S.

Sejak saat itu Dria tak tahu apapun dan terputus sepenuhnya dari keluarga Darwis, termasuk dengan Sandro.

“Tuan Muda masih di kantor…”

Pak Lucas memberikan informasi tanpa ditanya, mendekati Dria yang posisinya sedang mengamati foto Sandro. Entah kenapa Dria merasa malu kedapatan sedang mengamati foto seseorang yang baru saja disebut sebagai Tuan Muda di rumah ini.

“Tuan Muda sekarang mulai menggantikan Tuan Besar menangani semua bisnis, jadi dia selalu sibuk setiap hari… tapi dia masih tinggal di rumah ini dan belum menikah…”

Pak Lucas meneruskan membuat Dria melongo, dia memang penasaran tentang pria dewasa di foto tetapi dia juga merasa jengah mendengar keterangan pak Lucas, seolah-olah dia sangat ingin tahu soal si Tuan Muda, apalagi informasi terakhir sepertinya dikatakan dengan penekanan yang ditambahkan.

“Tuan Muda…”

Menyingkirkan rasa malu, Dria berjalan beberapa langkah mengabaikan pak Lucas yang masih ingin melanjutkan pembicaraan soal Tuan Muda Sandro Kristoffer Darwis.

“Emm pak… koper saya di mana?”

“Oh… sudah disimpan di kamar, mari saya antar ke kamar…”

“Mmh… pak… apa saya menempati kamar saya yang dulu?”

“Tidak… sekarang kamar Non Dria di lantai atas… kamar yang memiliki balkon yang menghadap ke taman belakang…”

“Oh… saya tahu kamar itu… pak Lucas tidak usah mengantar saya…”

“Baik Non… silahkan beristirahat, jika butuh sesuatu Non Dria bisa mencari Tety, Tuan Besar menugaskan Tety untuk membantu Non Dria di rumah ini…”

“Baik pak… terima kasih ya…”

“Sama-sama Non…”

Dengan sedikit menunduk pak Lucas meninggalkan Dria.

Dria tentu masih bisa mengingat seluk-beluk rumah ini, dia tahu posisi kamar yang dimaksud. Di lantai atas, ada empat kamar besar di bagian sayap kanan rumah ini, empat lainnya di sayap kanan. Kamar yang ditunjuk pak Lucas menerbitkan rasa senang untuk Dria, dari kamar itu pemandangan bagian belakang rumah cukup luas.

Dria masuk ke kamar yang diperuntukan baginya. Kamar ini sangat besar, yang dia sukai dari rumah ini adalah langit-langit yang sangat tinggi. Memperhatikan interior rumah termasuk kamar ini, Dria jadi mengingat film di Netfl*ix berjudul Bridger*ton yang jadi tontonan yang pernah dibahas di saat senggang di kantornya yang dulu.

Rumah besar ini seperti sebuah kastil, asal dia tidak menggunakan gaun seperti para pemeran putri bangsawan di film itu saja.

Dria mencari kopernya, dia berniat mandi lebih dahulu sebelum istirahat. Sesuatu telah dimulai di sini untuk hidupnya, di usia dua puluh tiga tahun.

Tety masuk kemudian…

“Permisi Non Dria…”

“Tety?”

“Iya Non… saya mau mengatur pakaian Non Dria…”

Tety menunjuk koper dan sebuah ruangan wardrobe, Dria menangkap maksud Tety.

“Biar saya sendiri Tety… pakaian saya tidak banyak...”

“Jangan Non… ini tugas saya mulai hari ini, mengurus keperluan Non Dria…”

“Hahh? Apa harus seperti itu?”

“Iya Non…”

“Ehh?”

Tety mendorong koper besar Dria ke arah ruang wardrobe yang menyatu dengan kamar mandi besar di kamar ini, Dria mengikuti lalu kemudian hanya mengawasi apa yang Tety lakukan dengan koper besarnya.

"Kunci kopernya Non..."

"Oh ya... sebentar..."

Dria memutar tiga angka untuk membuka kunci di kopernya.

“Emmh… berapa umurmu Tety?”

“Sembilan belas, Non…”

“Tidak kuliah?”

“Tidak Non…”

“Kenapa?”

“Saya hanya sampai kelas dua SMP Non… otak saya tidak cukup pintar, jadi saya menyerah untuk sekolah…”

“Oh?? Sudah lama bekerja di sini?”

“Hampir empat tahun, Non…”n...

Tety sudah mulai merapihkan pakaiannya di dalam lemari besar, mungkin hanya akan mengisi 10 % dari tiga lemari ukir yang ada di ruang ini.

“Emmh… sebaiknya saya mandi…”

“Silahkan Non…”

Sepotong adegan putri bangsawan yang mandi muncul di otaknya.

“Ehh… kamu tidak ditugaskan untuk memandikan saya juga kan?”

Dria tertawa saat mengucapkan kalimat itu.

“Ti…tidak Non, tapi perlengkapan mandi Non Dria sudah saya siapkan di kamar mandi… mari saya tunjukkan…”

Dria menatap tak percaya, dirinya perlu orientasi besar-besaran terhadap kehidupan di rumah ini, termasuk kenyataan bahwa dia punya seorang pelayan pribadi.

Selesai mandi, Tety masih ada di dalam kamar.

“Kamu masih di sini Tety?”

“Iya Non… mungkin Non Dria butuh sesuatu?”

“Oh… untuk sekarang tidak ada. Ehh… kamu boleh pergi sekarang Tety…”

“Rambut Non Dria… akan saya keringkan, ada hair dryer di meja rias…”

“Hahh? Ehh… tidak perlu Tety, saya lebih suka rambut saya kering secara alami…”

Tety menunggu dan Dria akhirnya tertawa, sungguh bukan fatamorgana ternyata, Dria boleh merasakan hidup punya pelayan yang akan mengerjakan semua untuk dirinya termasuk urusan pribadi.

“Kamu boleh pergi sekarang Tety…”

“Baik Non… kalau Non butuh saya, ada intercom…”

Mata Dria mencari alat komunikasi yang dimaksud.

“Terima kasih, Tety…”

“Iya Non…”

Masih menggunakan jubah mandi Dria menuju ke depan salah satu jendela kamar itu dan berdiri menatap ke bagian belakang rumah ini yang begitu luas… ada taman, ada rumah khusus para pelayan yang terlihat jelas. Perlahan rasa sakit yang hampir dia lupakan menghampiri…

“Mami… aku di sini lagi… Dee rindu mami…”

Sandriana membiarkan airmata merembes lagi di pipinya, kesedihan sepuluh tahun yang lalu muncul seketika, kesedihan saat dia harus kehilangan sang mami dan di saat yang sama dia harus tahu sebuah kebenaran yang begitu melukai hatinya, dia bukan anak kandung sang mami…

.

.

Halo...

Jumpa dengan Aby. Ikutin ceritaku ya... Update setiap pagi. Selesai/tamat cerita ini baru aku lanjut dengan Brill&Rilly.

Aku mulai dengan part yg panjang... Jgn bosan ya, biar dapat feelnya 😘

🌼🌼🌼

.

Part 2. Permintaan Mendiang Mami

Terbiasa bangun di pagi hari…

Di kota S Sandriana selalu memulai hari dengan mengerjakan beberapa pekerjaan rutin dalam rumah, maklum di rumah Dria hanya tinggal berdua dengan sang ayah. Setelah itu baru Dria berangkat ke kantor.

Di tempat ini, Dria pun terbangun di jam yang sama, alarm tubuhnya tidak terganggu. Semalam dia tidak bisa tidur lelap, tubuhnya butuh penyesuaian dengan ruangan kamar yang baru, masih terasa asing sehingga tubuhnya masih harus beradaptasi. Ya dia harus beradaptasi dengan banyak hal di sini.

Dria keluar kamar, ruangan besar di luar kamar masih gelap, matanya beradaptasi dengan sedikit cahaya dari sebuah standing lamp dan berjalan lambat hendak menuju tangga turun. Tujuannya adalah bagian belakang rumah besar ini. Aktivitas di sana telah dimulai sejak subuh, dia ingin bergabung dengan orang-orang yang bekerja di rumah ini. Sebelum masuk kamar semalam dia sempat bertemu dan berkenalan dengan beberapa dari mereka. Dria tahu sejak dulu ada banyak orang yang bekerja di rumah ini.

Baru beberapa langkah telinga Dria menangkap bunyi pintu dan langkah orang di belakangnya. Dria menoleh… netranya menangkap siluet tubuh tinggi tegap, entah apakah sedang melihat kepadanya atau tidak, cahaya sekarang tidak dapat menunjukkan dengan jelas wajah sosok itu.

“Siapa?”

Jarak sekitar tujuh langkah darinya terdengar suara berat khas lelaki.

“Saya Dria…”

“Sandriana?”

Suara itu lagi. Sekarang semakin dekat.

“Iya…”

Dria memperbaiki posisi tubuhnya berdiri menunggu, tidak sopan rasanya untuk melanjutkan langkah. Pikirannya memunculkan nama seseorang, sebab sejak dulu tidak mungkin seorang pelayan naik ke lantai atas ini di jam seperti ini tanpa diminta.

“Kak Sandro?”

Dria hanya bisa menahan pertanyaan itu di dalam hatinya. Suara itu terdengar lebih maskulin dari yang dia ingat. Saat mereka sejajar, Dria bisa melihat dalam temaram lampu wajah dalam foto besar di dinding ruang bawah menjadi nyata bukan hanya dua dimensi, walau masih versi buram karena kurangnya cahaya.

Dan... lelaki yang menyebut namanya dengan jelas sesaat tadi hanya melewati dirinya begitu saja, tanpa melihat padanya. Dria mengikuti dengan matanya lalu menatap pintu asal bunyi tadi, ternyata kamarnya berhadapan dengan kamar lelaki itu.

Sesuatu mengusik hati Dria, sepuluh tahun memang sangat panjang, bentangan waktu ternyata membuat jarak dalam hubungan antar manusia. Mereka berdua memang tidak punya hubungan darah tapi yang dia ingat mereka begitu dekat, dia pernah merasakan perhatian dan kepedulian sang kakak.

Dria memandang lagi ke arah Sandro, lelaki itu sudah menuruni tangga. Dria berlari kecil mengejar sosok itu, dia ingin tahu bagaimana Sandro menanggapi dirinya yang sekarang, tadi itu terlalu singkat dan berkesan dingin dan tak acuh.

Saat bisa menyamai langkah Sandro…

“Kak Sandro?”

Lelaki itu hanya memalingkan wajah satu detik tidak lebih, lalu menatap lurus ke depan, meskipun sedang menuruni tangga dia tidak memperhatikan langkahnya.

“Kak Sandro tidak mengenali Dee eh… saya?”

“Kenal… tadi sudah jelas kan?”

Dria ingat tadi Sandro menyebut namanya dengan benar.

“Tapi… kak Sandro…“

Sandro berhenti setelah kakinya berjejak di lantai bawah. Di sini ruangan semakin terang karena semua jendela besar telah dibuka, mereka berhadapan sekarang, wajah Sandro semakin jelas dan Dria bisa menangkap raut wajah yang tak ramah sedang menatapnya, sorot mata itu membuat lengannya meremang, terlalu menakutkan dalam cahaya pagi yang belum sepenuhnya datang.

Sandro segera berlalu tanpa berbicara, meninggalkan Dria dengan sebuah konklusi yang mulai terbentuk di otaknya… Kak Sandro yang sekarang ternyata berbeda.

“Kak Sandro…”

“Jangan pernah menganggu atau mengharapkan sesuatu dari saya…”

Sandro berkata dengan nada berhawa sedingin es kutub utara lalu menghilang di sebuah ruangan. Dria terpaku di ujung tangga setengah lingkaran itu. Satu-satunya yang membuat dia nyaman saat memutuskan untuk datang ke rumah besar ini adalah memori tentang kak Sandro.

Dia adalah kakak lelaki yang hangat, memperlakukan dirinya dengan sayang sama seperti Mami Rosalie. Di hatinya dia selalu menempatkan dua sosok ini di tempat terbaik, menganggap Sandro adalah kakak dan Mami Rosalie adalah ibu yang sesungguhnya. Dan di sini Dria berpikir memiliki seseorang yang akan menyambutnya dengan baik, rupanya itu tidak akan terjadi.

Tuan Harlandy terlalu kaku, sejak kecil Dria tak berani mendekat, dan amat jarang memanggilnya dengan sebutan Papi seperti yang diajarkan Mami Rosalie. Sekarang justru Kak Sandro yang bersikap kaku dan dengan cepat memberi dia batas yang jelas dengan kalimat terakhirnya, di pertemuan pertama mereka.

“Jangan menganggu, jangan mengharapkan sesuatu… maksudnya apa?”

Sikap optimis dan semangat untuk kehidupan yang lebih baik di tempat ini menjadi terganggu. Suatu fakta yang mencuat sekarang, fakta bahwa kak Sandro tidak ingin berhubungan dengannya memunculkan pemikiran yang lain, sebagai apa dia datang di rumah ini jika satu-satunya yang dia anggap keluarga di rumah ini justru menolak ikatan itu.

Dria melepaskan satu tarikan nafas dalam seperti membuang sesak dari hatinya, kakinya segera melangkah ke bagian belakang sesuai tujuan awal saat keluar dari kamar, membawa resah yang mulai menguasai hatinya di pagi pertama di rumah besar ini.

Service area yang terpisah oleh ruangan-ruangan yang besar-besar membuat ramainya orang yang telah memulai aktivitas di bagian itu tidak terdengar di bagian utama rumah ini.

Memasuki dapur Dria melihat beberapa pelayan sedang bekerja. Seorang pelayan yang sudah berumur yang Dria kenal sebagai pelayan utama Mami Rosalie semasa hidupnya, bu Lia, menyambut Dria dengan senyuman saat Dria masuk ke ruang dapur yang begitu luas.

“Non Dria… ini masih terlalu pagi, kenapa sudah bangun…”

“Saya terbiasa bangun pagi bu Lia…”

“Tapi Non tidak perlu datang ke belakang jika memerlukan sesuatu, Non hanya perlu membunyikan intercom …”

“Saya hanya akan membuat tangan dan kaki saya malas kalau seperti itu bu…”

“Bukan seperti itu Non… kami berkewajiban melayani Non Dria seperti melayani Tuan Besar dan Tuan Muda…”

“Bu… saya tidak terbiasa dan tidak cocok untuk hal seperti itu…”

“Non harus membiasakan diri ya… ada Tety yang selalu siap jika Non butuh sesuatu…”

Dria hanya bisa tersenyum kikuk.

“Iya bu saya paham, pak Lucas sudah memberitahu semalam. Ibu sedang membuat apa?”

Dria mendekati meja besar di tengah dapur itu lalu duduk berhadapan dengan bu Lia di sebuah bangku klasik dari kayu tanpa sandaran, sama panjang dengan meja besar itu.

“Roti… sarapan wajib Tuan Besar dan Tuan Muda…”

“Oh… saya kangen roti itu… tapi apa harus buat sendiri? Sekarang banyak toko roti yang enak-enak…”

“Tuan Besar dan Tuan Muda lebih menyukai roti olahan di rumah…”

“Oh begitu… berarti roti buatan bu Lia lebih enak…”

“Ini resep dari Nyonya, namanya Pretzel, katanya resep roti dari Eropa, dari negara asal mommy dari Nyonya Besar…”

“Saya masih ingat rasanya bu… enak memang apalagi kalau dimakan saat baru keluar dari oven…”

“Non Dria harus belajar membuatnya, biar nanti bisa membuatkan untuk Tuan Besar dan Tuan Muda…”

“Ada bu Lia di sini, kenapa saya harus belajar…”

“Suatu saat saya tidak ada di sini, Non Dria akan selamanya tinggal di rumah ini…”

“Wah… mungkin tidak seperti itu, bu… saya hanya memenuhi keinginan Mami Rosalie untuk bekerja di perusahaan… saya tidak berpikir akan tinggal di sini selamanya… suatu saat saya akan pergi juga…”

Dria memandang aktivitas bu Lia yang terlihat begitu terampil mencampur adonan roti. Pikiran yang muncul sekarang adalah setelah memenuhi keinginan Mami Rosalie seperti yang disampaikan Tuan Harlandy, satu atau dua tahun dia akan meminta diri kembali ke kota S. Lagi pula Tuan Harlandy hanya melunasi hutang janji, dan tidak ada klausal ‘selamanya’ dalam janji itu, tidak ada ketentuan berapa lama dia harus bekerja di perusahaan mereka.

Terlebih baru saja sikap kak Sandro terlihat tidak menyukai kemunculannya, ini entah mengapa berpengaruh besar sekarang, dia tidak akan lama di sini, hatinya telah mengambil sebuah keputusan lain sekarang.

“Nanti saya ajarkan Non Dria membuat roti ini, juga ada beberapa resep lain untuk sarapan Tuan Besar dan Tuan Muda… biar nanti Non Dria bisa ajarkan ke pelayan dapur selanjutnya…”

“Tidak usah bu… mungkin saya hanya setahun di sini atau bahkan lebih singkat dari itu… lagi pula saya akan bekerja mulai besok, mungkin saya tidak punya waktu…”

Mereka bertatapan, bu Lia tersenyum penuh makna.

“Nyonya pernah meminta saya mengajarkan Non Dria memasak semua makanan yang disukai Tuan Muda… Non Dria sudah ada di sini sekarang, jadi saya harus memenuhi janji saya pada Nyonya…”

“Bu Lia… itu tidak dibutuhkan sekarang… saya bukan seseorang yang harus mengetahui dan belajar semua itu…”

“Non Dria... sebagaimana Tuan Besar ingin memenuhi janjinya pada mendiang Nyonya Besar, ijinkan saya memenuhi janji saya juga… ya Non?”

“Bu… mungkin bu Lia lebih cocok mengajarkan pada calon istri kak Sandro kelak… itu baru benar… Soal ini tidak ada hubungannya dengan saya… lagi pula saya tidak terlalu suka memasak, saya hanya terpaksa belajar masak karena kami tidak punya pelayan di rumah…”

Bu Lia tersenyum simpul sekarang, tidak ingin memaksa Dria di hari pertama. Masih ada banyak hari ke depan, dan bahkan mungkin saja nantinya Dria akan datang meminta belajar sendiri.

“Anak bu Lia, si Ruby… tinggal di sini juga?”

“Tidak Non… Ruby kost di tengah kota, dekat perusahaan. Nanti Non akan bertemu dia di kantor…”

“Ruby sudah menikah bu?”

“Belum, Non… dia seumuran Non Dria kan…”

“Dia masih ingat saya tidak?”

“Masih Non… dia tahu Non akan datang…”

Dria tersenyum, seorang teman di masa lalu, mudah-mudahan bisa berteman juga sekarang.

“Saya ingin melihat-lihat di bagian belakang bu…”

“Silahkan Non… sarapan jam tujuh pagi Non, sebaiknya Non bersiap sebelum sarapan…”

“Iya bu…”

.

Tuan Muda Sandro mengamati dari jendela sosok Dria yang sedang berjalan di bagian belakang rumah besar. Dia mengeringkan keringat dari tubuhnya, dia baru saja selesai melakukan exercise di gym pribadinya.

“Timo… bawakan air minum…”

Secepatnya asisten Tuan Muda bergerak membawa sebotol air mineral dingin yang diminta Tuannya. Seperti Tuannya ini, dia akan bangun subuh dan berada di ruangan ini hanya untuk menemani Tuan Muda berolahraga dan melayani kebutuhan Tuan Muda.

Handuk yang disodorkan Tuan Muda berganti sebotol air mineral.

Sementara Tuan Muda Sandro masih mengamati Dria yang nampak mengobrol dengan seorang petugas taman. Dia tahu mengapa gadis itu sekarang ada di sini, meskipun sang papi tidak pernah menyebutkan secara langsung, tidak mengungkit dalam setiap perbincangan mereka, tapi dia tentu tidak akan pernah lupa apa yang pernah diminta sang mami saat sedang menjemput kematian.

Di sisa nafasnya mami tersayang meminta dia untuk berjanji hanya akan menikah dengan Sandriana, meminta sang papi untuk menyetujui dan berjanji mewujudkannya.

Sandro meneguk habis isi botol, memberikan botol kosong pada Timo lalu matanya kembali pada titik pengamatannya.

“Apa gadis itu akan ikut ke kantor hari ini?”

Sandro bertanya tanpa memandang asistennya. Timo mengikuti arah pandang tuannya lalu mengerti siapa yang dimaksud tuannya itu.

Apa susahnya menyebut nama? Hanya Dria, dan setahu Timo gadis cantik itu bukan orang lain, Tuan Harlan sendiri menyematkan kata ‘anakku’ saat menyebut Dria. Tetapi cara Tuan Muda menyebut Dria seperti seseorang yang asing buatnya.

“Besok Tuan… belum hari ini… saya sudah persiapkan tempatnya… saya sudah beritahu anak-anak…”

Sandriana masuk ke tim sekretarisnya, Sandro tidak bisa mendebat itu karena sang papi Tuan Besar Harlandy Darwis masih begitu berkuasa, termasuk menempatkan Sandriana di kantornya bukan di kantor sang papi. Lagi pula jarang ada riwayat perselisihan antara mereka berdua. Apa dasar dia keberatan sekarang, itu terlalu prematur.

“Kita tidak butuh tambahan sekretaris…”

Si Tuan Muda mendesis, dia tidak senang dengan hal ini.

“Tapi itu perintah Tuan Besar langsung pada saya Tuan… saya sudah mengatur perkerjaan Non Dria apa…”

Si Tuan Muda kehilangan objek pengamatan, Dria menghilang tertutup pepohonan besar di taman. Sandro pun beranjak meninggalkan ruangan gym pribadinya.

“Atur dengan baik supaya dia tidak berhubungan dengan saya…”

“Maksud Tuan?"

“Timotius… pekerjaannya atau apapun itu... jangan sampai dia masuk ruangan saya, saya tidak ingin melihatnya atau bicara dengannya.”

Timothy hanya bisa melangkah dalam diam di belakang tuannya. Dengan cara bicara seperti itu Timo paham itu adalah perintah yang tidak boleh dibantah.

“Bagaimana bisa tidak ingin melihatnya, Non Dria tempatnya di lantai yang sama, tepat di depan ruangan Tuan Muda? Dan ruangan Tuan Muda dindingnya terbuat dari kaca?”

Timo hanya bisa membatin… Jika di toko dijual jubah penghilang wujud sehingga manusia yang memakainya bisa berubah menjadi transparan Timo akan membelikan satu untuk Non Dria.

.

Enam bulan yang lalu Sandro memperkenalkan Emma Lynne kepada sang papi dan mulai menyebutkan tentang pernikahan. Sang papi tidak menolak Emma tapi tidak menanggapi, bahkan dalam beberapa kesempatan bertemu Emma, sang papi terlihat dingin.

Mengetahui apa yang dilakukan asisten sang papi, mulai dari hubungan intens papinya dengan pak Rahmadi, hingga rencana menempatkan Sandriana pada sebuah posisi pekerjaan di perusahaan, dan hari ini melihat gadis itu menempati kamar tepat di depan kamarnya, Sandro tahu papinya si Tuan Besar Harlandy Darwis sudah membuat rencana dan sekarang sedang melaksanakan permintaan mendiang maminya.

Dia harus menolak hal ini, sekalipun itu amanah terakhir sang mami, tapi dia sudah punya kekasih dan rencana mereka sudah pasti, dia sudah menetapkan hati untuk menikah dengan Emma Lynne, dan ini hidupnya, papi tidak berhak mencampuri soal paling pribadi yaitu cinta.

.

.

Readerssss... Udah dapet feelnya?

Jangan gak suka yaaa (maksa 🤭😘)

.

🌼🌼🌼

.

Part 3. Sesuatu yang Mengganggu Tuan Muda

Tuan Muda Sandro Kristoffer Darwis tidak bisa memprotes keputusan sang papi tanpa argumen yang logis. Dria berangkat dan pulang kantor bersama dirinya setiap hari, ini sengaja diatur seperti itu. Sandro belum sempat membicarakan lebih banyak mengenai Dria dengan sang papi, bertemu sang papi hanya di meja makan saat sarapan, dan sekarang selalu ada Dria di sana, tidak mungkin membahas itu di depan orangnya.

Sejak awal tak menerima kehadiran Dria, kini Sandro merasa terganggu Dria selalu menumpang di mobilnya, ini tidak nyaman. Sebenarnya karena Sandro tidak ingin beramah-ramah dengan Dria, itu sama saja memberi gadis itu harapan soal merealisasikan keinginan mendiang maminya, tidak ada secuil pun niat itu dalam hati.

Sandro konsisten dengan wajah super dinginnya tak pernah menjawab sapaan Dria, membangun tembok tebal, bukit gunung jurang virtual di antara mereka sehingga hubungan dua manusia ini di dunia nyata tampaknya mustahil, benar-benar tak ingin ada interaksi apapun.

Saatnya berangkat ke kantor, ini hari ke sepuluh mereka berangkat bersama. Pintu mobil dibukakan Timothy, Sandro menempati tempat duduk di sisi kiri mobilnya tanpa suara dan tanpa memandang Dria yang sudah duduk tenang di sisi kanan. Ekspresi tidak suka dengan kehadiran Dria sangat jelas di wajah Sandro.

Setelah hampir satu jam perjalanan mobil super mewah milik Sandro berhenti di bagian entrance gedung berlantai tiga puluh dua itu.

“Terima kasih, kak…”

Dria masih saja mengucapkan terima kasih setiap kali turun dari mobil. Sandro tak menggubris, hatinya kesal sekarang.

Berbeda dengan saat bertemu pertama kali, di mana sangat terlihat Dria ingin sekali berinteraksi dengannya, sekarang Dria tidak lagi berusaha untuk berkomunikasi melebihi ucapan terima kasih seperti tadi. Sialnya meskipun Sandro tak mengacuhkan, Dria terlihat nyaman, tenang, dan sesekali tersenyum pada Tuan Muda itu, seperti tidak bisa menafsirkan semua sikap ketus dan tak bersahabat dari Sandro.

“Mengapa dia begitu percaya diri naik dan turun dari mobilku? Mau memamerkan pada karyawan sekantor kedekatan dengan diriku?”

Lelaki bertubuh tinggi dengan wajah blasteran warisan gen dari oma pihak sang mami memandang gusar gerakan Dria dari balik jendela mobil sedan hitamnya. Gadis itu telah memasuki lobby dengan langkah cepatnya, berhenti sejenak menyapa security lalu melanjutkan langkahnya dengan wajah riang.

Dia masih mengingat kekesalannya ketika di hari pertama dia melalui sopirnya meminta Dria turun di tempat lain sebelum memasuki area gedung perkantoran miliknya, gadis itu menjawab lugas…

¤¤¤

“Tanggung pak Mulyo, tujuan kita jelas sama-sama ke kantor di gedung yang sama, mengapa saya harus jalan kaki dari sini…”

¤¤¤

Masih menatap sampai Dria menyatu bersama kumpulan karyawan yang sedang masuk ke dalam gedung.

“Dia tumbuh menjadi gadis yang menyebalkan seperti itu…”

Timothy sang asisten telah turun dari mobil bersamaan dengan Dria tadi, menunggu Sandro untuk turun. Sejak Dria ikut mereka, Sandro memilih turun setelah Dria telah masuk ke dalam kantor.

Setelah bayangan Dria sepenuhnya menghilang, pintu di sisi mama dia duduk dibuka pak Mulyo.

“Mulai besok, kamu atur dia naik mobil terpisah…”

Sandro hanya melirik Timo sejenak lalu mulai melangkah sambil mengancingkan jas navy yang dia kenakan. Timo tahu siapa yang dimaksudkan Tuan Muda, majikannya sudah menahan hal ini sejak hari pertama dan ternyata hanya bertahan sampai hari ke sepuluh saja. Timo berjalan mengikuti irama langkah majikannya.

“Tapi… ini pengaturan Tuan Besar…”

“Itu mobil saya dan saya terganggu… saya tidak suka…”

Sandro mengulurkan tangan meminta gawainya, Timo memberikan yang diminta Tuannya itu. Emosi kekesalan tergambar nyata di wajah tampannya. Timo melihat pancaran emosi ini sejak hari Dria ikut mereka.

“Sebentar pulang kantor saya tidak ingin dia pulang bersama lagi…”

“Katanya mulai besok Tuan…”

“Timotius!”

Bila majikannya memanggil namanya dengan cara seperti itu, alamat dia sudah marah dan tak ingin mendengarkan sanggahan. Timothy bukan seperti asisten lain yang juga adalah sahabat sang Tuan Muda mereka. Dia hanya asisten dan untuk mencapai posisi dan gaji ini tidak mudah, karena itu selain tetap bekerja dengan giat, dia hanya bisa melakukan perintah dan pandai-pandai menyenangkan hati majikan supaya tidak dipecat.

“Baik Tuan…”

Timo menjawab lalu menekan tombol lift khusus buat sang Tuan Muda, menunggu pintu lift terbuka selangkah di belakang tuannya. Dalam otaknya mulai tersusun skala prioritas pekerjaan yang harus dia kerjakan, dan nomor satu adalah menghubungi pak Lucas, asisten Tuan Besar. Tuan Besar berkantor di tempat lain, jadi tidak mungkin bertemu langsung pak Lucas di sini.

Sandro masuk lift, sedang mengobrol di telpon dengan sang kekasih hati, Emma Lynne. Dia butuh pengalihan dari kegusaran hatinya, konsentrasinya beberapa waktu terakhir sempat terpecah dengan kehadiran Dria.

.

“Em… kita makan siang sama-sama ya…”

“Hari ini?”

“Tentu saja…”

“Tapi aku punya makan siang bisnis hari ini…”

“Kita belum bertemu minggu ini…”

“Aku akan sisihkan waktu akhir pekan ini… aku tutup ya…”

.

Sepagi ini Emma sudah tak memiliki waktu panjang untuk berbincang, dan Sandro paham kesibukan kekasih hati, mereka berdua ada di posisi yang sama di perusahaan masing-masing, setumpuk agenda kesibukan setiap harinya membuat mereka jarang sekali bertemu.

Kondisi hubungan yang jauh dari normal selayaknya pasangan kekasih sebenarnya, tapi mereka nyaman dengan hal itu, telah berada di fase tidak saling menuntut kehadiran masing-masing dan punya pengertian yang besar terhadap posisi, kesibukan dan status masing-masing. Mungkin hal ini yang menyebabkan hubungan mereka bertahan selama tiga tahun terakhir.

Memasuki ruangannya, Sandro masih belum sepenuhnya dapat mengusir rasa gusar yang merajai hatinya. Sambil duduk dia mendial nomor sahabatnya.

.

“Ro… sebentar siang di Rit*z Carlto*n, kita makan siang…”

“Maaf Tuan Muda yang terhormat… sekalipun aku tidak sesibuk anda, aku tidak terima pertemuan tanpa ada janji sebelumnya…”

“Argemiro… aku ada di sana jam dua belas siang… kamu harus datang!”

Sandro mengeraskan suaranya di bagian akhir kalimat menegaskan kemauannya yang tidak ingin ditolak, membuat Miro di seberang menjauhkan gawainya.

“Wow Tuan Muda… telinga ini semakin berkurang sensitifitasnya karena anda selalu teriak padaku…”

“Kamu boleh ke dokter THT dan kirim tagihannya padaku…”

“Hahaha… baiklah kita bertemu di sana, San…”

.

Sandro meletakkan ponsel hitam itu di meja kerja besar miliknya, masih duduk di kursi kemuliaan kantor ini matanya memandang lekat Timothy, menanti rincian pekerjaan pagi ini.

“Meeting sudah siap Tuan…”

“Sekarang?”

Timothy tidak mungkin menjawab sembarangan.

“Iya Tuan…”

Sandro kembali meraih gawainya lalu segera melangkah keluar diikuti Timo.

Sandriana adalah salah satu staf sekretaris Sandro Kristoffer Darwis. Dria hanya melirik sebentar saat Sandro dan Timo keluar dari ruangan maha mulia di kantor ini. Ada meeting pagi ini dan Dria tidak pernah terlibat dengan hal-hal bernama meeting karena tugasnya hanya di belakang meja ini dengan tumpukan file berkaitan dengan pekerjaan Tuan Muda.

Sandro menangkap bayangan Dria dengan matanya, satu-satunya dari lima staff yang ada di ruangan itu yang tidak berdiri saat dia lewat baik saat dia tiba tadi maupun sekarang. Sandro mengatupkan bibirnya.

“Anak itu harus diajarkan sopan-santun…”

Timo yang mengamati gerak-gerik tuannya menyimpan senyum di belakang tuannya.

"Aneh, katanya tidak ingin melihat Non Dria... Justru Non Dria yang tidak memadangmu Tuan..."

.

🐢

.

Siang hari dengan cuaca cerah berawan, tetap saja bumi di bagian kota ini terasa panas, karenanya orang-orang dalam strata hidup yang baik mencari tempat yang nyaman untuk melewatkan makan siang di tengah padatnya kesibukan.

Di bagian restoran sebuah hotel bintang lima di kota ini, dua sahabat sejak jaman SMA duduk menghadapi makan siang. Membaca gurat ekspresi sahabatnya, Miro tahu Sandro sedang dalam suasana hati yang tidak baik.

“Sesuatu menganggumu?”

“Ah…iya, sedikit mengganggu…”

“Sedikit tapi dampaknya buruk… begitu kan?”

“Mmmh…”

“Pasti sesuatu yang luar biasa untuk seorang Tuan Muda, sampai bisa sedemikian mengoncangkan hati…”

“Biasa saja, hanya memang begitu menganggu…”

Miro menyimpan senyum mendengar kalimat ambigu dari bibir seseorang yang punya karakter seperti sahabatnya. Biasanya dia tenang, teguh, cenderung dingin dan tak akan terkalahkan oleh persoalan apapun… dan ini tidak mungkin mengenai perusahaan. Mega Buana masuk dalam daftar sepuluh perusahaan terkuat di Asia dengan nilai penjualan, profit, aset, dan nilai pasar yang sangat stabil dan dalam posisi paling menguntungkan dengan profit ratusan miliar dolar.

Apa yang menganggu salah satu pewaris kerajaan bisnis di negara ini?

“Emma selingkuh?"

"Tidak mungkin, mana berani?"

"Atau... Emma tidak ingin menikah? Kamu menyebut pernikahan waktu itu...”

“Siapa bilang… rencana itu sudah pasti, setahun atau dua tahun mendatang kami akan menikah…”

“San… itu masih jauh, belum pasti… astaga aku bingung dengan kalian, umurmu sudah 33 tahun, Emma 30 tahun… apa yang kalian tunggu?”

“Kami menunggu waktu yang terbaik…”

“Kapan? Sepertinya banyak waktu yang baik yang sudah kalian lewatkan…”

“Emma masih membutuhkan waktu untuk memperkuat bisnisnya dan memperluas ekspansi bisnisnya… lagi pula, menikah sekarang atau nanti tidak ada bedanya, wanita yang akan aku nikahi hanya satu, Emma saja…”

“Tuan Muda… sekarang aku malah menyimpulkan kalian tidak benar-benar menginginkan pernikahan…”

Sandro berhenti menyuap makanannya lalu menatap Miro dengan mimik bertanya.

“Umumnya tujuan akhir seorang human being itu adalah pernikahan… kalian berdua tidak punya tujuan itu…”

“Kami punya rencana itu…”

“Itu hanya sekedar wacana, Tuan Muda… aku mengenalmu, sedikitnya aku tahu Emma juga… bisnis adalah segalanya buat Emma sekarang… menurutku hubungan kalian hanya sekedar tuntutan tentang pelengkap kesempurnaan status semata… bahkan aku sangsi kalau ikatan kalian berdasarkan cinta…”

“Jangan mengada-ada… Kami telah tiga tahun bersama, tidak mungkin tidak ada cinta…”

“Itu bisa saja terjadi San… orang bertahan dalam satu hubungan tanpa adanya cinta…”

“Mengapa menyimpulkan seperti itu?”

“Mmmh… bagaimana menjelaskan ini… hubunganmu dengan Emma tidak seperti hubunganku dengan Audreey…”

“Ya… kamu menjadi irasional sejak bertemu Aubrey…”

“Audreey, Tuan Muda… Audreey! Berapa banyak kali aku harus mengoreksi nama istriku? Tetap saja anda salah menyebutkan namanya…”

“Di telingaku nama itu terdengar sama…”

“Mmmh, aku jadi penasaran… apa cinta pertamamu bernama Aubrey, Tuan Muda?”

Sandro tersenyum kecil, nama ini spontan selalu muncul di ingatannya.

“Itu nama tengah adikku…”

Tiba-tiba Sandro mengingat kegusaran hatinya, ya gadis itu sumbernya, dan dia sedikit meringis mengingat baru saja mengakui Sandriana sebagai adiknya.

“Dria? Oh oh… pantas saja… aku ingat kamu begitu sayang padanya.

Pikiran Sandro segera menjelajah melewati ruang dan waktu... Dia tidak dapat menyangkali dulu dia sangat menyayangi Sandriana. Dia hanya anak tunggal, bayi mungil perempuan yang lebih banyak diurusi sang mami mendapat tempat berharga di hatinya.

"San… di mana Dria sekarang? Aku penasaran seperti apa dia sekarang, pasti dia cantik… aku tidak bisa melupakan sorot matanya seperti meminta kita menunjukkan rasa sayang, hahaha dia menggemaskan di masa itu…”

Sandro tak memungkiri hal itu, di masa itu dia tahu perasaannya untuk gadis kecil yang dikatakan mami sebagai adiknya, dia juga masih mengingat selalu luluh dengan sorot mata bulat almond milik Sandriana. Di masa sekarang, kenapa hatinya begitu resah dan marah?

“San?”

Miro mengeraskan suaranya mendapati mata Sandro seperti melamun.

“Eh?? Kita sedang bahas soal aku dan Aubrey…”

“Iya Tuan Muda yang terhormat… tadi aku menanyakan tentang Sandriana Aubreymu…”

“Bukan itu, maksudku soal persepsimu sebelum ini tentang aku dan Emma…”

Sandro meringis mendapati kesalahan ucapannya. Ah… Sandriana Aubrey adalah nama yang dia berikan untuk bayi kecil mungil yang lahir di rumahnya dua puluh tiga tahun yang lalu.

“Kamu tahu San... bahkan setiap membicarakan tentang Emma, ekspresi dan nada suaramu terlalu miskin emosi…”

“Ro… kamu sedang menggiring aku dengan persepsimu sendiri tentang hubungan kami…”

“Aku yang mengamati kalian Tuan Muda… aku tahu apa yang aku lihat…”

“Dan aku yang merasakannya, jangan menafsirkan menurut logikamu…”

“Dengarkan aku Sandro… kamu sering bilang sejak aku bertemu Audreey aku menjadi irasional dan naif… menurutku sebenarnya seperti itulah cinta… bisa menghadirkan dan mengeluarkan begitu banyak emosi dari dalam diriku. Saat aku melihat Audreey, hatiku berkata ini dia wanitaku, dan kamu tahu… aku rela melakukan apapun demi Audreey, rela menggantikan semua yang aku punya dengan dirinya…”

“Kamu tidak mengorbankan apapun, kamu mendapatkan dia dengan mudah…”

“Itu hanya bagaimana menyatakan perasaanku tentang memiliki Audreey, yang lain seolah-olah tidak berarti… karena dia begitu penting dan berharga untukku maka aku segera menikahinya… aku tidak ingin kehilangan dirinya…”

“Itu terdengar aneh Miro…”

“Itulah yang aku maksud mengapa aku memastikan di antara kalian tidak ada cinta, terutama anda Tuan Muda… di hatimu tidak tidak ada perasaan yang special tentang Emma… tidak ada gairah atau letupan-letupan perasaan yang mendorongmu untuk segera memilikinya…”

Sandro diam tidak menyanggah, mulai merenung tentang Emma…

“Memiliki Emma, apakah penting buatku? Apakah Emma tujuan akhirku?”

“Jika suatu saat ada seorang wanita yang mengoncangkan duniamu, menjungkirbalikkan hatimu, membongkar seluruh emosimu, mungkin dia seseorang yang kau cinta, Tuan Muda Sandro Kristoffer Darwis… aku bisa membuktikan argumenku benar bahwa itu bukan Emma...”

Sandro segera tertawa sinis meremehkan pernyataan Argemiro.

“Tidak akan ada yang seperti Miro, nonsense… itu definisi aneh tentang cinta… wanita yang aku cinta sudah ada, tidak perlu pembuktian darimu... itu Emma…”

“Aku menantikan saat itu Tuan Muda, saat kamu jatuh cinta yang sebenarnya… kamu pasti akan melewatinya jika kamu lelaki normal… yang pasti wanita itu bukan Emma… seharusnya kamu yang lebih tahu tentang ini…”

Sandro menatap langit-langit restoran dengan sebuah pemikiran yang baru memasuki otaknya, mempertanyakan tentang cintanya sendiri.

Bagaimana mencinta seseorang dengan sebenarnya? Apa memang dia bodoh tentang hal ini, tidak mungkin, nilai iqnya di atas rata-rata.

Sandro mendengus tak kentara, maksud makan siang bersama sahabatnya karena ingin mengurai tentang sebuah resah karena Sandriana justru malah menambah kusut isi pemikirannya dengan persepsi yang baru saja dibicarakan sahabatnya tentang dirinya yang tidak sungguh-sungguh mencintai kekasihnya.

.

.

Apapun definisi cinta... Bagi author pernyataan cinta terbaik adalah ketika readers memberi apresiasi terbaik untuk cerita aku.... 😘😘😘🤭🤭🤭

Mencoba menulis ttg Tuan Muda, mencoba sisi yg baru dlm proses menghalu... berharap readers semua menyukai.... Tapi mohon jangan dibandingkan dengan Tuan Muda di sebelah ya, terutama si Tuan Muda yang paling top sejagat raya... 😘🥰

.

🌼🌼🌼

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!