Terbiasa bangun di pagi hari…
Di kota S Sandriana selalu memulai hari dengan mengerjakan beberapa pekerjaan rutin dalam rumah, maklum di rumah Dria hanya tinggal berdua dengan sang ayah. Setelah itu baru Dria berangkat ke kantor.
Di tempat ini, Dria pun terbangun di jam yang sama, alarm tubuhnya tidak terganggu. Semalam dia tidak bisa tidur lelap, tubuhnya butuh penyesuaian dengan ruangan kamar yang baru, masih terasa asing sehingga tubuhnya masih harus beradaptasi. Ya dia harus beradaptasi dengan banyak hal di sini.
Dria keluar kamar, ruangan besar di luar kamar masih gelap, matanya beradaptasi dengan sedikit cahaya dari sebuah standing lamp dan berjalan lambat hendak menuju tangga turun. Tujuannya adalah bagian belakang rumah besar ini. Aktivitas di sana telah dimulai sejak subuh, dia ingin bergabung dengan orang-orang yang bekerja di rumah ini. Sebelum masuk kamar semalam dia sempat bertemu dan berkenalan dengan beberapa dari mereka. Dria tahu sejak dulu ada banyak orang yang bekerja di rumah ini.
Baru beberapa langkah telinga Dria menangkap bunyi pintu dan langkah orang di belakangnya. Dria menoleh… netranya menangkap siluet tubuh tinggi tegap, entah apakah sedang melihat kepadanya atau tidak, cahaya sekarang tidak dapat menunjukkan dengan jelas wajah sosok itu.
“Siapa?”
Jarak sekitar tujuh langkah darinya terdengar suara berat khas lelaki.
“Saya Dria…”
“Sandriana?”
Suara itu lagi. Sekarang semakin dekat.
“Iya…”
Dria memperbaiki posisi tubuhnya berdiri menunggu, tidak sopan rasanya untuk melanjutkan langkah. Pikirannya memunculkan nama seseorang, sebab sejak dulu tidak mungkin seorang pelayan naik ke lantai atas ini di jam seperti ini tanpa diminta.
“Kak Sandro?”
Dria hanya bisa menahan pertanyaan itu di dalam hatinya. Suara itu terdengar lebih maskulin dari yang dia ingat. Saat mereka sejajar, Dria bisa melihat dalam temaram lampu wajah dalam foto besar di dinding ruang bawah menjadi nyata bukan hanya dua dimensi, walau masih versi buram karena kurangnya cahaya.
Dan... lelaki yang menyebut namanya dengan jelas sesaat tadi hanya melewati dirinya begitu saja, tanpa melihat padanya. Dria mengikuti dengan matanya lalu menatap pintu asal bunyi tadi, ternyata kamarnya berhadapan dengan kamar lelaki itu.
Sesuatu mengusik hati Dria, sepuluh tahun memang sangat panjang, bentangan waktu ternyata membuat jarak dalam hubungan antar manusia. Mereka berdua memang tidak punya hubungan darah tapi yang dia ingat mereka begitu dekat, dia pernah merasakan perhatian dan kepedulian sang kakak.
Dria memandang lagi ke arah Sandro, lelaki itu sudah menuruni tangga. Dria berlari kecil mengejar sosok itu, dia ingin tahu bagaimana Sandro menanggapi dirinya yang sekarang, tadi itu terlalu singkat dan berkesan dingin dan tak acuh.
Saat bisa menyamai langkah Sandro…
“Kak Sandro?”
Lelaki itu hanya memalingkan wajah satu detik tidak lebih, lalu menatap lurus ke depan, meskipun sedang menuruni tangga dia tidak memperhatikan langkahnya.
“Kak Sandro tidak mengenali Dee eh… saya?”
“Kenal… tadi sudah jelas kan?”
Dria ingat tadi Sandro menyebut namanya dengan benar.
“Tapi… kak Sandro…“
Sandro berhenti setelah kakinya berjejak di lantai bawah. Di sini ruangan semakin terang karena semua jendela besar telah dibuka, mereka berhadapan sekarang, wajah Sandro semakin jelas dan Dria bisa menangkap raut wajah yang tak ramah sedang menatapnya, sorot mata itu membuat lengannya meremang, terlalu menakutkan dalam cahaya pagi yang belum sepenuhnya datang.
Sandro segera berlalu tanpa berbicara, meninggalkan Dria dengan sebuah konklusi yang mulai terbentuk di otaknya… Kak Sandro yang sekarang ternyata berbeda.
“Kak Sandro…”
“Jangan pernah menganggu atau mengharapkan sesuatu dari saya…”
Sandro berkata dengan nada berhawa sedingin es kutub utara lalu menghilang di sebuah ruangan. Dria terpaku di ujung tangga setengah lingkaran itu. Satu-satunya yang membuat dia nyaman saat memutuskan untuk datang ke rumah besar ini adalah memori tentang kak Sandro.
Dia adalah kakak lelaki yang hangat, memperlakukan dirinya dengan sayang sama seperti Mami Rosalie. Di hatinya dia selalu menempatkan dua sosok ini di tempat terbaik, menganggap Sandro adalah kakak dan Mami Rosalie adalah ibu yang sesungguhnya. Dan di sini Dria berpikir memiliki seseorang yang akan menyambutnya dengan baik, rupanya itu tidak akan terjadi.
Tuan Harlandy terlalu kaku, sejak kecil Dria tak berani mendekat, dan amat jarang memanggilnya dengan sebutan Papi seperti yang diajarkan Mami Rosalie. Sekarang justru Kak Sandro yang bersikap kaku dan dengan cepat memberi dia batas yang jelas dengan kalimat terakhirnya, di pertemuan pertama mereka.
“Jangan menganggu, jangan mengharapkan sesuatu… maksudnya apa?”
Sikap optimis dan semangat untuk kehidupan yang lebih baik di tempat ini menjadi terganggu. Suatu fakta yang mencuat sekarang, fakta bahwa kak Sandro tidak ingin berhubungan dengannya memunculkan pemikiran yang lain, sebagai apa dia datang di rumah ini jika satu-satunya yang dia anggap keluarga di rumah ini justru menolak ikatan itu.
Dria melepaskan satu tarikan nafas dalam seperti membuang sesak dari hatinya, kakinya segera melangkah ke bagian belakang sesuai tujuan awal saat keluar dari kamar, membawa resah yang mulai menguasai hatinya di pagi pertama di rumah besar ini.
Service area yang terpisah oleh ruangan-ruangan yang besar-besar membuat ramainya orang yang telah memulai aktivitas di bagian itu tidak terdengar di bagian utama rumah ini.
Memasuki dapur Dria melihat beberapa pelayan sedang bekerja. Seorang pelayan yang sudah berumur yang Dria kenal sebagai pelayan utama Mami Rosalie semasa hidupnya, bu Lia, menyambut Dria dengan senyuman saat Dria masuk ke ruang dapur yang begitu luas.
“Non Dria… ini masih terlalu pagi, kenapa sudah bangun…”
“Saya terbiasa bangun pagi bu Lia…”
“Tapi Non tidak perlu datang ke belakang jika memerlukan sesuatu, Non hanya perlu membunyikan intercom …”
“Saya hanya akan membuat tangan dan kaki saya malas kalau seperti itu bu…”
“Bukan seperti itu Non… kami berkewajiban melayani Non Dria seperti melayani Tuan Besar dan Tuan Muda…”
“Bu… saya tidak terbiasa dan tidak cocok untuk hal seperti itu…”
“Non harus membiasakan diri ya… ada Tety yang selalu siap jika Non butuh sesuatu…”
Dria hanya bisa tersenyum kikuk.
“Iya bu saya paham, pak Lucas sudah memberitahu semalam. Ibu sedang membuat apa?”
Dria mendekati meja besar di tengah dapur itu lalu duduk berhadapan dengan bu Lia di sebuah bangku klasik dari kayu tanpa sandaran, sama panjang dengan meja besar itu.
“Roti… sarapan wajib Tuan Besar dan Tuan Muda…”
“Oh… saya kangen roti itu… tapi apa harus buat sendiri? Sekarang banyak toko roti yang enak-enak…”
“Tuan Besar dan Tuan Muda lebih menyukai roti olahan di rumah…”
“Oh begitu… berarti roti buatan bu Lia lebih enak…”
“Ini resep dari Nyonya, namanya Pretzel, katanya resep roti dari Eropa, dari negara asal mommy dari Nyonya Besar…”
“Saya masih ingat rasanya bu… enak memang apalagi kalau dimakan saat baru keluar dari oven…”
“Non Dria harus belajar membuatnya, biar nanti bisa membuatkan untuk Tuan Besar dan Tuan Muda…”
“Ada bu Lia di sini, kenapa saya harus belajar…”
“Suatu saat saya tidak ada di sini, Non Dria akan selamanya tinggal di rumah ini…”
“Wah… mungkin tidak seperti itu, bu… saya hanya memenuhi keinginan Mami Rosalie untuk bekerja di perusahaan… saya tidak berpikir akan tinggal di sini selamanya… suatu saat saya akan pergi juga…”
Dria memandang aktivitas bu Lia yang terlihat begitu terampil mencampur adonan roti. Pikiran yang muncul sekarang adalah setelah memenuhi keinginan Mami Rosalie seperti yang disampaikan Tuan Harlandy, satu atau dua tahun dia akan meminta diri kembali ke kota S. Lagi pula Tuan Harlandy hanya melunasi hutang janji, dan tidak ada klausal ‘selamanya’ dalam janji itu, tidak ada ketentuan berapa lama dia harus bekerja di perusahaan mereka.
Terlebih baru saja sikap kak Sandro terlihat tidak menyukai kemunculannya, ini entah mengapa berpengaruh besar sekarang, dia tidak akan lama di sini, hatinya telah mengambil sebuah keputusan lain sekarang.
“Nanti saya ajarkan Non Dria membuat roti ini, juga ada beberapa resep lain untuk sarapan Tuan Besar dan Tuan Muda… biar nanti Non Dria bisa ajarkan ke pelayan dapur selanjutnya…”
“Tidak usah bu… mungkin saya hanya setahun di sini atau bahkan lebih singkat dari itu… lagi pula saya akan bekerja mulai besok, mungkin saya tidak punya waktu…”
Mereka bertatapan, bu Lia tersenyum penuh makna.
“Nyonya pernah meminta saya mengajarkan Non Dria memasak semua makanan yang disukai Tuan Muda… Non Dria sudah ada di sini sekarang, jadi saya harus memenuhi janji saya pada Nyonya…”
“Bu Lia… itu tidak dibutuhkan sekarang… saya bukan seseorang yang harus mengetahui dan belajar semua itu…”
“Non Dria... sebagaimana Tuan Besar ingin memenuhi janjinya pada mendiang Nyonya Besar, ijinkan saya memenuhi janji saya juga… ya Non?”
“Bu… mungkin bu Lia lebih cocok mengajarkan pada calon istri kak Sandro kelak… itu baru benar… Soal ini tidak ada hubungannya dengan saya… lagi pula saya tidak terlalu suka memasak, saya hanya terpaksa belajar masak karena kami tidak punya pelayan di rumah…”
Bu Lia tersenyum simpul sekarang, tidak ingin memaksa Dria di hari pertama. Masih ada banyak hari ke depan, dan bahkan mungkin saja nantinya Dria akan datang meminta belajar sendiri.
“Anak bu Lia, si Ruby… tinggal di sini juga?”
“Tidak Non… Ruby kost di tengah kota, dekat perusahaan. Nanti Non akan bertemu dia di kantor…”
“Ruby sudah menikah bu?”
“Belum, Non… dia seumuran Non Dria kan…”
“Dia masih ingat saya tidak?”
“Masih Non… dia tahu Non akan datang…”
Dria tersenyum, seorang teman di masa lalu, mudah-mudahan bisa berteman juga sekarang.
“Saya ingin melihat-lihat di bagian belakang bu…”
“Silahkan Non… sarapan jam tujuh pagi Non, sebaiknya Non bersiap sebelum sarapan…”
“Iya bu…”
.
Tuan Muda Sandro mengamati dari jendela sosok Dria yang sedang berjalan di bagian belakang rumah besar. Dia mengeringkan keringat dari tubuhnya, dia baru saja selesai melakukan exercise di gym pribadinya.
“Timo… bawakan air minum…”
Secepatnya asisten Tuan Muda bergerak membawa sebotol air mineral dingin yang diminta Tuannya. Seperti Tuannya ini, dia akan bangun subuh dan berada di ruangan ini hanya untuk menemani Tuan Muda berolahraga dan melayani kebutuhan Tuan Muda.
Handuk yang disodorkan Tuan Muda berganti sebotol air mineral.
Sementara Tuan Muda Sandro masih mengamati Dria yang nampak mengobrol dengan seorang petugas taman. Dia tahu mengapa gadis itu sekarang ada di sini, meskipun sang papi tidak pernah menyebutkan secara langsung, tidak mengungkit dalam setiap perbincangan mereka, tapi dia tentu tidak akan pernah lupa apa yang pernah diminta sang mami saat sedang menjemput kematian.
Di sisa nafasnya mami tersayang meminta dia untuk berjanji hanya akan menikah dengan Sandriana, meminta sang papi untuk menyetujui dan berjanji mewujudkannya.
Sandro meneguk habis isi botol, memberikan botol kosong pada Timo lalu matanya kembali pada titik pengamatannya.
“Apa gadis itu akan ikut ke kantor hari ini?”
Sandro bertanya tanpa memandang asistennya. Timo mengikuti arah pandang tuannya lalu mengerti siapa yang dimaksud tuannya itu.
Apa susahnya menyebut nama? Hanya Dria, dan setahu Timo gadis cantik itu bukan orang lain, Tuan Harlan sendiri menyematkan kata ‘anakku’ saat menyebut Dria. Tetapi cara Tuan Muda menyebut Dria seperti seseorang yang asing buatnya.
“Besok Tuan… belum hari ini… saya sudah persiapkan tempatnya… saya sudah beritahu anak-anak…”
Sandriana masuk ke tim sekretarisnya, Sandro tidak bisa mendebat itu karena sang papi Tuan Besar Harlandy Darwis masih begitu berkuasa, termasuk menempatkan Sandriana di kantornya bukan di kantor sang papi. Lagi pula jarang ada riwayat perselisihan antara mereka berdua. Apa dasar dia keberatan sekarang, itu terlalu prematur.
“Kita tidak butuh tambahan sekretaris…”
Si Tuan Muda mendesis, dia tidak senang dengan hal ini.
“Tapi itu perintah Tuan Besar langsung pada saya Tuan… saya sudah mengatur perkerjaan Non Dria apa…”
Si Tuan Muda kehilangan objek pengamatan, Dria menghilang tertutup pepohonan besar di taman. Sandro pun beranjak meninggalkan ruangan gym pribadinya.
“Atur dengan baik supaya dia tidak berhubungan dengan saya…”
“Maksud Tuan?"
“Timotius… pekerjaannya atau apapun itu... jangan sampai dia masuk ruangan saya, saya tidak ingin melihatnya atau bicara dengannya.”
Timothy hanya bisa melangkah dalam diam di belakang tuannya. Dengan cara bicara seperti itu Timo paham itu adalah perintah yang tidak boleh dibantah.
“Bagaimana bisa tidak ingin melihatnya, Non Dria tempatnya di lantai yang sama, tepat di depan ruangan Tuan Muda? Dan ruangan Tuan Muda dindingnya terbuat dari kaca?”
Timo hanya bisa membatin… Jika di toko dijual jubah penghilang wujud sehingga manusia yang memakainya bisa berubah menjadi transparan Timo akan membelikan satu untuk Non Dria.
.
Enam bulan yang lalu Sandro memperkenalkan Emma Lynne kepada sang papi dan mulai menyebutkan tentang pernikahan. Sang papi tidak menolak Emma tapi tidak menanggapi, bahkan dalam beberapa kesempatan bertemu Emma, sang papi terlihat dingin.
Mengetahui apa yang dilakukan asisten sang papi, mulai dari hubungan intens papinya dengan pak Rahmadi, hingga rencana menempatkan Sandriana pada sebuah posisi pekerjaan di perusahaan, dan hari ini melihat gadis itu menempati kamar tepat di depan kamarnya, Sandro tahu papinya si Tuan Besar Harlandy Darwis sudah membuat rencana dan sekarang sedang melaksanakan permintaan mendiang maminya.
Dia harus menolak hal ini, sekalipun itu amanah terakhir sang mami, tapi dia sudah punya kekasih dan rencana mereka sudah pasti, dia sudah menetapkan hati untuk menikah dengan Emma Lynne, dan ini hidupnya, papi tidak berhak mencampuri soal paling pribadi yaitu cinta.
.
.
Readerssss... Udah dapet feelnya?
Jangan gak suka yaaa (maksa 🤭😘)
.
🌼🌼🌼
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Sri Astuti
Sandro mungkin menolak Dria tp tak seharusnya ia membenci Dria. Dria bahkan ga tahu apa" ttg pesan terakhir maminya
2023-07-19
0
ein
Aby... Sandroo temenan ama Lewi ngak
2023-03-30
0
ein
udahhhhhh
2023-03-30
0