Call Me, Hazel.
Dengan nada yang lembut namun penuh keyakinan, Rebe menatap Hana, "Lakukanlah jika itu memang harus kau lakukan. Ingat, tak ada keharusan untuk membela diri di hadapan mereka yang mengenalmu. Apa urusannya dengan pendapat orang lain?"
Dia terus mendesak, suaranya semakin mendalam, "Hana, kau harus berani. Laporkan apa yang telah terjadi padamu. Kau tidak bisa membiarkan luka ini tanpa pengakuan, tanpa keadilan. Kau berhak atas itu." Kata-katanya menggema, berusaha menembus tembok ketakutan yang selama ini mengurung Hana.
Dengan suara yang bergetar, seakan menahan beban dunia, Hana berbisik, "Ibuku tidak boleh mengetahui ini. Dia akan kecewa, mungkin bahkan membenciku." Air mata mengalir tak terbendung, mencerminkan pertarungan batin yang dialaminya. Bukan karena tak ingin membawa Jasper dan Alexa ke hadapan hukum, tetapi karena takut akan kekecewaan yang mungkin ditanggung oleh ibunya, meski di lubuk hati, Hana tahu ia sudah terluka terlalu dalam.
Rebe menatap Hana dengan tatapan yang tegas, "Baiklah, kau mungkin berpikir demikian. Aku sering mendapat skors dan ibuku tetap percaya aku adalah anak yang baik. Dengar, Hana, kau adalah korban di sini, dan ibumu pasti akan tetap di sisimu." Suaranya mengandung kekuatan, sebuah dorongan bagi Hana yang masih ragu-ragu, belum mengambil langkah apa pun.
Hana menundukkan kepalanya, suaranya hampir tak terdengar, "Tidak, kau tidak mengerti bagaimana ibuku."
Rebe membalas dengan nada yang lebih keras, "Mungkin aku memang tidak mengerti ibumu, tapi yang lebih aku tidak mengerti adalah dirimu."
Dan di antara mereka, tercipta kesunyian yang berat, seolah-olah kata-kata terakhir itu masih bergema, menunggu jawaban yang tak kunjung datang.
Dengan dorongan Rebe yang tak pernah surut, Hana akhirnya mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk menghadap kepala sekolah. Langkahnya terasa berat, hatinya berdegup kencang, seolah-olah setiap detak jantungnya menggema di seluruh koridor sekolah. Kepala sekolah telah mendengar laporan awal dari Rebe, dan kini saatnya Hana menambahkan suaranya pada cerita tersebut.
Kegugupannya begitu nyata, seakan menjadi bayangan yang mengikuti setiap langkahnya menuju pintu kepala sekolah.
Rebe berjalan di samping Hana, memberikan dukungan saat mereka melangkah menuju ruang kepala sekolah. Mereka berdua tahu, hari ini adalah hari yang menentukan. Di dalam ruangan itu, Pak George, guru yang selalu Hana kagumi, dan Kepala Sekolah Cortez sudah menanti.
Hana melangkah masuk ke ruangan itu dengan langkah yang ragu, menempati sofa yang telah disediakan. Pak George mengambil tempat di kursi di samping kiri, sementara Kepala Sekolah Cortez berdiri tegak, tangannya terlipat di dada, wajahnya mencerminkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.
Ada kerumitan dalam pandangannya, seolah-olah dia berada di persimpangan jalan yang sulit—antara mempertahankan prestasi Hana, si murid berbakat, dan menghadapi kenyataan bahwa mereka yang terlibat dalam kasus ini bukan sembarang siswa, melainkan anak-anak dari para donatur terbesar. Cortez, dengan segala kebijaksanaannya, harus menavigasi labirin keadilan dengan hati-hati, namun tegas.
Kepala Sekolah Cortez akhirnya berbicara, suaranya berat dengan pertimbangan, "Anak-anak ini akan diinterogasi oleh polisi. Mungkin perlu mempertimbangkan untuk mencantumkan insiden ini dalam catatan pendaftaran kuliah mereka. Namun, jika kita memutuskan untuk melakukannya, kau harus benar-benar yakin dengan kesaksianmu. Dan itu akan menjadi tantangan, mengingat jumlah alkohol yang terlibat. Situasi ini pasti akan menjadi rumit." Kata-katanya menggantung di udara, mencerminkan dilema yang dihadapinya.
Pak George, dengan suara yang penuh kepastian, menanggapi Kepala Sekolah Cortez, "Tidak ada kerancuan dalam hal ini, Pak. Alexa dan teman-temannya telah memasang perangkap. Jasper dan Alexa adalah pelaku utama. Ini bukan sekadar kenakalan remaja yang terjadi atas dasar kesepakatan bersama. Hana telah mengatakan 'tidak' dan memohon kepada Jasper."
Seperti Rebe, Pak George tidak bisa menerima apa yang terjadi pada Hana. Baginya, Hana bukan hanya murid yang cerdas, tetapi juga bintang di kelasnya, seorang siswa yang kecerdasannya melampaui yang lain, sebuah prestasi tersendiri bagi seorang guru untuk memiliki murid seperti dia.
“Benarkah kau bilang tidak?” Tanya Cortez kepada Hana.
Dalam kebingungan yang memilukan, Hana berbisik dengan suara yang hampir tak terdengar, "Entahlah... Aku sendiri tidak yakin." Matanya berkaca-kaca, mencerminkan kekacauan emosi yang dia rasakan. "Aku tidak menginginkannya. Aku terus berkata 'aduh' dan 'aw', itu saja yang bisa kuingat. Aku ingin berteriak pada Jasper, mendorongnya menjauh, tapi dia salah paham, mengira sentuhanku adalah undangan sehingga dia menciumku. Dan dia... dia terlalu mabuk untuk mengerti." Air mata yang jatuh dari matanya seperti mutiara patah, simbol dari sakit hati yang dia alami.
“Apa yang kau lakukan?” Tanya Hana ketika reaksi pak kepala sekolah hanya mengambil gagang telepon dan menekan tombol-tombol angka.
Kepala Sekolah Cortez, dengan nada yang serius namun penuh pengertian, berkata kepada Hana, "Aku akan menelpon ibumu. Kita tidak bisa melibatkan polisi dalam masalah anak di bawah umur tanpa pemberitahuan kepada wali mereka." Dia terus mencoba menghubungi, menunjukkan keseriusannya dalam menangani situasi tersebut.
Dengan suara yang tiba-tiba meninggi, Hana berteriak, "Hentikan! Hentikan! Tidak! Aku tidak mau. Aku berubah pikiran." Dia berlari ke arah Kepala Sekolah Cortez, tangannya terulur, berusaha menghentikan tindakan yang akan mengubah segalanya.
Hana terduduk lemas, keberaniannya seakan terkuras habis. Pikiran tentang ibunya yang akan mengetahui kasus yang menimpanya itu membuatnya merasa tak berdaya.
Kepala Sekolah Cortez meletakkan gagang telepon dengan gerakan yang lambat, kemudian beranjak meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun. Hana tertinggal dalam kesendirian yang menyakitkan, hanya ditemani oleh Pak George yang duduk di sampingnya, menjadi saksi atas kepedihan yang mengalir bersama air matanya.
Pak George menatap Hana dengan kelembutan yang tercampur kekhawatiran, "Hana, kau tidak bisa hanya berdiam diri di sini. Ibumu harus diberitahu. Jika tidak, kasus ini akan terkatung-katung dan kau yang akan dirugikan."
Hana menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca, "Aku... aku takut. Aku tidak berani melihat reaksi ibuku. Maafkan aku, Pak George."
Dengan langkah yang gontai, Hana meninggalkan ruangan kepala sekolah dan kembali ke Rebe, yang telah menunggu dengan setia. Begitu melihat sahabatnya, tangis Hana pecah, tangannya mencari pelukan Rebe. Dalam dekapan yang hangat itu, Hana berbisik tentang ketidakmampuannya untuk melanjutkan laporan tersebut.
Dua sahabat itu berdiri di lorong sekolah yang sepi, air mata mereka bercampur menjadi satu. Mereka tidak peduli jika ada yang mendengar tangis mereka atau bahkan menertawakan mereka. Sekolah itu hampir kosong, hanya beberapa siswa dengan urusan tertentu yang masih berada di sana, sisa-sisa dari pesta kelulusan yang baru saja berakhir.
Alexa muncul dengan Jasper di sisinya, keduanya tampak tak terganggu oleh keadaan. "Hei, ada dua orang favoritku," katanya dengan nada mengejek. Mereka berdua telah dipanggil untuk memberikan keterangan tentang kasus yang sedang hangat. Dengan senyum sinis, Alexa melanjutkan, "Kau beri tahu kepala sekolah bahwa kau menyukainya? Um, manis sekali. Itu menggemaskan," tawanya bergema di lorong, menambah luka di hati Hana yang sudah terluka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Cik Syita
👍👍
2022-12-24
0
dita18
mampir thoorrr 👣👣
2022-11-29
0
mbak i
baru mampir,,,baru liat notif,😁😁😁😁langsung cus sini
2022-11-27
0