"Ya, aku memang bodoh," Rebe berkata dengan tawa yang pahit, seolah menertawakan dirinya sendiri. Dengan gerakan yang lambat, ia menarik asap lintingan sekali lagi, membiarkan kabut itu mengisi ruang di antara mereka.
"Aku tidak bisa menyeret Alexa ke dalam ini. Tidak, itu bukan caraku," Hana berbicara dengan nada yang penuh penekanan.
Dia bertanya-tanya, mengapa Rebe tidak bisa memahami bahwa Hana tidak ingin skandal itu merembet dan sampai ke telinga ibunya yang sedang menikmati kedamaian, di samping kebun yang akan segera memasuki musim panen. Mengapa Rebe tidak bisa mengerti bahwa ada hal-hal yang Hana berusaha lindungi? Ya, Hana memang terluka, namun dia tidak ingin luka itu merambat dan menyakiti orang yang telah menaruh semua harapannya padanya.
"Lantas, apa yang harus kulakukan? Haruskah aku meminta maaf kepada Alexa seperti yang selalu kulakukan? Meminta maaf atas sesuatu yang terjadi hanya karena sebuah piala. Meminta maaf kepada orang yang telah memasang perangkap untukmu, atau kepada Jasper yang menjadi pelaku p e m e r k o s a a n mu. Sungguh, bagaimana kau bisa hidup dengan dirimu sendiri?" kata Rebe dengan nada yang penuh kegetiran.
"I Hate you!" teriak Hana, sambil berlari meninggalkan ruangan. Kata-kata Rebe terasa terlalu menyakitkan, dan dia tidak sanggup untuk mendengarkan apapun lagi.
"Tunggu, jangan pergi. Hana, tunggu!" seru Rebe, suaranya memecah kesunyian saat ia berlari mengejar Hana. Dalam hatinya, ia tahu bahwa kata-kata yang terucap telah melampaui batas, namun itu adalah pahitnya kenyataan yang tak bisa ia ingkari.
Hana menghentikan langkahnya, lalu perlahan berbalik untuk menatap Rebecca. "Memang, aku adalah pecundang. Dan kau, lebih baik kau segera menemui ibumu di kantor polisi daripada terus mengurusi urusanku!" kata Hana dengan suara yang bergetar, matanya menunjukkan keberanian yang rapuh namun tegas.
"Hana, tunggu dulu," panggil Rebe dengan suara yang hampir putus asa.
Namun Hana tidak menoleh. Langkahnya semakin cepat, melebar, seakan ingin segera menjauh dari segala kekacauan yang telah terjadi di rumah Rebe. Dengan setiap tapak yang meninggalkan jejak di lantai, Hana meninggalkan lebih dari sekadar ruangan itu—ia meninggalkan sebagian dari masa lalunya yang penuh dengan konflik dan kekecewaan.
Mengapa semuanya harus berubah menjadi begitu kusut? Ini bukanlah yang diinginkan Hana. Kehidupan yang sebelumnya terasa teratur, kini bagai benang kusut yang tak terurai.
Hana melangkah jauh, meninggalkan kebisingan Dera Park, dengan ponsel tuanya yang sudah tak lagi mampu untuk memanggil taksi secara online.
Dengan rasa putus asa, ia mengeluarkan ponsel itu dan menekan nomor Felix, berharap itu bisa datang menjemputnya di tempat itu.
"Hati ibu pasti sangat hancur," pikir Hana berulang-ulang. Meski begitu, dia belum mendengar sepatah kata pun tentang alasan Felix ingin bertemu dengannya. Rasa penasaran dan kekhawatiran bercampur menjadi satu, membebani langkahnya yang semakin menjauh dari Dera Park.
Di sebuah kafe yang nyaman dan hangat, Hana dan Felix duduk berhadapan. Cahaya lembut dari lampu gantung menambah suasana tenang di antara mereka. Hana, dengan mata yang terlihat lelah namun penuh harap, menatap Felix yang duduk di seberangnya. Felix, dengan ekspresi yang sulit dibaca, memegang cangkir kopi di tangannya, uap panas mengepul perlahan.
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Hana, suaranya bergetar sedikit, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Felix menarik napas dalam, seolah mempersiapkan diri. "Hana, aku tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi aku pikir kau harus tahu..."
Kata-kata itu tergantung di udara, seakan menunggu momen yang tepat untuk jatuh dan mendarat di telinga Hana. Di luar jendela, dunia terus bergerak, namun di dalam kafe itu, waktu seakan berhenti, menunggu pengakuan yang akan mengubah segalanya.
“Aku membutuhkan uang,” ujar Felix dengan nada mendesak. “Aku memerlukan tiga ribu dolar untuk tur Eropa,” lanjutnya, matanya tidak berpaling dari Hana, mencari tanda-tanda reaksi dari wajahnya.
Hana menatap Felix, terkejut namun berusaha memahami. “Tur Eropa?” tanyanya, suaranya bergetar sedikit karena kebingungan.
“Bulan depan aku berencana pergi ke Eropa selama tiga bulan. Uang yang kupunya tidak cukup. Aku membutuhkan tiga ribu dolar lagi. Kau pasti punya, kan?” kata Felix dengan nada yang ringan, seolah-olah itu bukan masalah besar.
"Hei, apa kau gila? Aku bahkan belum mulai kuliah, aku tidak memiliki uang. Apalagi sejumlah itu," Hana membalas dengan nada yang penuh keheranan dan sedikit kesal. Rasa tidak percaya tergambar jelas di wajahnya, seolah-olah Felix telah meminta sesuatu yang tidak masuk akal. "Kau datang dan meminta seolah-olah aku memiliki tabungan untukmu," lanjutnya, suaranya mencerminkan rasa kecewa yang mendalam terhadap permintaan Felix yang tiba-tiba dan tidak wajar itu.
Felix menatap dari seberang meja kafe, memperhatikan ekspresi ketidaksetujuan yang terukir di wajah adik perempuannya. Hana, yang telah beranjak dewasa di usianya yang ke-20, sebentar lagi akan memulai perjalannya di community college. Dia adalah sosok gadis muda yang memiliki kecantikan alami, dengan helaian rambut hitam tebal yang panjang terurai, dan sepasang mata coklat yang menawan.
Felix tahu tubuh yang selalu ditutupi kain-kain tebal itu tebal itu dapat menghidupkan fantasi laki-laki. Sebagai kakak laki-lakinya, Felix sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk melihatnya tumbuh dari itik kurus menjadi angsa berleher panjang yang cantik seperti sekarang ini.
"Jual tubuhmu." Sergah Felix. "Dengan mulut dan kakimu, kau bisa menghasilkan sebanyak itu dalam seminggu."
Hana menatap Felix dengan tatapan yang penuh keberatan. "Jangan membuatku terlibat dalam kebodohanmu. Kau yang ingin pergi tur, kenapa aku yang harus repot mencari uang?" suaranya mengandung nada frustrasi dan ketidakpercayaan, seolah menegaskan bahwa tanggung jawab itu seharusnya tidak jatuh ke pundaknya.
"Kau ingin video itu sampai ke tangan ibu?" Felix mengancam dengan tawa yang ringan, namun terasa berat bagi Hana.
"Video apa maksudmu?" tanya Hana, suaranya bergetar, mata coklatnya melebar dalam kecemasan. Ada rasa takut yang tiba-tiba muncul, seolah-olah kata-kata Felix telah membangkitkan bayang-bayang yang selama ini ia coba sembunyikan.
"Seseorang mengirimku ini tadi malam.” Felix menunjukkan sebuah Video dan iya Hana berada di dalam layar itu. Dengan segera Hana membalikan ponsel Felix menghadap ke bawah. Tidak mau melihat video amatir yang mengenaskan itu. "Kau ternyata liar juga." komentar Felix untuk video itu.
Hana merasakan jantungnya berdegup kencang, tangannya bergetar saat ia membalikkan ponsel Felix. “Aku tidak ingin melihatnya,” katanya dengan suara yang hampir tidak terdengar. Video itu, yang mungkin berisi momen yang tidak ingin ia ingat, sekarang menjadi alat pemerasan di tangan saudaranya sendiri.
Hana menelan ludah, rasa tidak percaya dan kekecewaan bercampur menjadi satu dalam hatinya. "Alexa, kau belum puas juga?" gumamnya dalam hati, sebuah pertanyaan yang penuh dengan ironi dan kesedihan. Di tengah kekacauan yang terjadi, Hana mulai menyadari bahwa permainan yang dimainkan Alexa jauh lebih rumit dan berbahaya daripada yang bisa ia bayangkan.
"Dia pasti akan sangat terkejut. Dan kau, kau harus tetap mencari uang untuk pengobatannya," Felix terus berbicara, tanpa memperhatikan bahwa Hana telah terdiam, seolah-olah kata-katanya telah mengunci suaranya dalam kebisuan yang berat.
Hana menatap Felix, rasa sakit dan pengkhianatan tergambar jelas di wajahnya. "Kau benar-benar tidak mengerti, ya?" katanya akhirnya, suaranya lembut namun penuh dengan kekuatan. "Ini bukan hanya tentang uang. Ini tentang keluarga, tentang kepercayaan. Dan kau telah mengkhianati itu semua."
Di tengah gemuruh kafe yang ramai, kata-kata Hana terasa seperti bisikan yang tajam, menusuk langsung ke inti masalah yang telah lama terpendam di antara mereka.
"Kamu memiliki waktu tiga minggu sebelum aku menyerahkan video itu," kata Felix dengan nada yang menentukan, sebelum dia berdiri dari kursinya, bersiap untuk meninggalkan kafe tersebut.
Hana hanya bisa menatap punggung Felix yang menjauh, rasa sakit dan pengkhianatan menggema dalam dada. Di tengah keramaian kafe, dia merasa sendirian, terisolasi oleh ancaman yang baru saja diucapkan saudaranya. Dengan setiap langkah yang menjauh, Felix tidak hanya meninggalkan kafe, tapi juga meninggalkan retakan dalam hubungan yang mungkin tidak akan pernah bisa diperbaiki.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Eliza Tan
sebel pengen ikut jambak Alexa 😤😤 Gue jg korban bully dulu 😭
2022-11-25
0
@§¢Stie
kasihan Hana jadi korban bully
2022-11-24
0
Ani ✨
Wkwk kasian amat yg lg ena2 digangguin 🤣
2022-11-19
0