Jasper melontarkan ejekan dengan tatapan merendahkan, "Gila, ternyata bokongmu sangat besar."
Rebe, yang sebelumnya tenggelam dalam kesedihan bersama Hana, tiba-tiba berdiri dengan semangat yang baru. "Terima kasih atas motivasinya. Sepertinya aku belum sempat latihan boxing hari ini," katanya dengan nada menantang. "Kenapa, kalian berdua tidak berani menghadapi konsekuensi?" Tantangannya jelas, sebuah ajakan untuk menghadapi masalah ini bukan dengan ejekan, tapi dengan keberanian untuk mengakui kesalahan.
“Rebecca.. Kau bukan tandingannya, kecuali kau menantang pertempuran yang lain. Jasper ahlinya. Coba tanya pada anak ingusan itu apa dia ketagihan haha.” Alexa menertawakan Hana dan juga Rebe
Rebe, dengan api kemarahan yang berkobar di matanya, melancarkan pukulan ke arah Alexa, namun Jasper dengan cepat menepisnya.
Sekarang, Jasper dan Rebe terlibat dalam pertarungan fisik, laki-laki melawan perempuan, dalam sebuah tarian kekerasan yang tak seharusnya terjadi. Sekolah yang sepi menjadi saksi atas pertempuran yang dipicu oleh rasa sakit dan pengkhianatan, sebuah pertarungan yang melampaui batas gender, didorong oleh keadilan yang belum terpenuhi.
Hana meraih lengan Rebe, suaranya mendesak, "Hentikan, ayo pergi dari sini."
Rebe, yang sudah terbakar amarah, hampir tak mendengar. Namun, Jasper terus memprovokasi dengan senyum sinis, "Astaga, kau terlihat manis saat marah. Ayo, pukul aku. Tak ada yang akan menghentikanmu."
Tetapi Hana tahu, tidak ada yang baik yang akan datang dari kekerasan ini. Dia menarik Rebe lebih keras, berusaha membawanya menjauh dari situasi yang hanya akan membuat segalanya menjadi lebih buruk.
Hana berteriak dengan putus asa, "Rebe, ku mohon hentikan!" Namun suara-suara murid lain yang memprovokasi semakin memanaskan suasana, "Hajar dia! Hajar! Hajar!"
Rebe, yang sudah kehilangan kendali atas dirinya, semakin membabi buta dalam kemarahannya. Hana tahu dia harus melakukan sesuatu sebelum situasi menjadi tak terkendali. Dengan segala kekuatan yang tersisa, dia mencoba menarik Rebe menjauh dari kerumunan, berharap bisa membawanya ke tempat yang lebih tenang, jauh dari provokasi dan ejekan yang hanya menambah api kemarahan.
Keributan di lorong sekolah itu menarik perhatian Elsa, salah satu guru, yang bergegas datang untuk melerai. Dengan suara yang tegas, dia memerintahkan, "Hentikan!"
Namun, dalam kekacauan itu, siku Rebe secara tidak sengaja mengenai Ibu Ellis, yang langsung terjatuh. Kejadian itu seolah menjadi alarm bagi semua yang hadir, sebuah pengingat keras bahwa konflik yang membara telah melampaui batas dan membawa konsekuensi yang tidak diinginkan.
Ketegangan di lorong sekolah itu tiba-tiba pecah, dan murid-murid yang sebelumnya berkumpul mulai berlarian, meninggalkan kekacauan di belakang mereka. Jasper dan Alexa juga menghilang dari pandangan, meninggalkan Rebe dengan konsekuensi dari tindakannya—sikunya yang telah menghantam wajah Ibu Ellis. Sekarang, Rebe harus menghadapi realitas baru, sebuah kasus yang tidak dia inginkan atau duga sebelumnya.
......................
Setelah kejadian yang memilukan itu, Hana dan Rebe terbenam dalam kesunyian yang berat. Rebe, yang merasa bersalah atas tindakannya, membiarkan Hana terkurung dalam gelombang kritik yang tak henti-hentinya. Mereka berdua memasuki mobil, melaju jauh dari sekolah dengan kecepatan yang mencerminkan kekacauan emosi mereka, mempertahankan kesunyian yang kini menjadi tembok antara mereka berdua.
Dalam keheningan perjalanan itu, Hana membiarkan pandangannya teralih ke luar jendela, menatap pemandangan yang berubah-ubah, mencoba menemukan kedamaian dalam keasrian perbatasan kota. Namun, bayang-bayang insiden yang baru saja terjadi terus menghantui pikirannya, membuat setiap kilometer yang dilalui terasa semakin berat dan membingungkan.
Ponsel Hana yang sudah usang itu tiba-tiba berdering, memecah kesunyian di dalam mobil saat mereka melintasi kawasan Dera Park. Panggilan dari Felix, kakak lelakinya yang brengsek, muncul di layar, namun Hana hanya menatapnya tanpa ekspresi, membiarkan ponsel itu bergetar sampai akhirnya senyap. Dia tidak memiliki keinginan untuk menjawab, memilih untuk tenggelam dalam keheningan dan pikirannya sendiri.
Hana memutuskan untuk tidak merespons panggilan itu, memilih untuk menunggu pesan daripada berbicara langsung. Ketika mereka tiba di dekat rumah Rebe, ponselnya bergetar sekali lagi, kali ini dengan pesan dari Felix yang mengatakan dia menunggu di sebuah kafe tak jauh dari sana. Hana membaca pesan itu hanya sekilas, pikirannya masih terbelenggu oleh peristiwa yang baru saja terjadi.
Hana merasa gelisah, pikirannya berkecamuk dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak diinginkan. "Mungkin dia juga mendapat videonya?" gumamnya dalam hati.
Dengan jari yang gemetar, dia mengetik balasan singkat, "Ada apa? Aku sedang tidak enak badan." Meskipun kata-katanya terkesan biasa, namun ada kekhawatiran yang mendalam tersembunyi di baliknya.
Bugh! Rebe menutup pintu mobil sedikit kasar tanpa mengatakan bahwa mereka sudah tiba. Tanpa basa-basi Rebe pergi masuk duluan ke dalam rumah, meninggalkan Hana yang masih terduduk di dalam mobil yang terparkir di carport.
"Alasan. Cepat! Aku menunggu!" Balas Felix.
Hana merasa berat hati untuk menghadiri pertemuan itu. Ada kekhawatiran yang menggelayuti pikirannya, takut bahwa Felix akan mengungkit peristiwa yang kini melandanya. Sebuah tanya juga mengintai di benaknya, bagaimana mungkin Felix mengetahui tentang hal itu.
Namun, dengan langkah yang berat, ia memutuskan untuk meninggalkan kenyamanan mobil dan melangkah masuk ke dalam kediaman Rebe yang sepi. Di sana, Rebe tampak tenggelam dalam lamunan, duduk di sofa sambil sesekali menarik asap lintingan yang mengepul perlahan.
"Kau tidak menyadari, itu adalah kesalahan, mengapa tidak sekadar meminta maaf?" ucap Hana dengan lembut saat ia mengambil tempat di sisi Rebe.
Dia sangat sadar bahwa sahabatnya itu tengah terbebani masalah yang lebih berat, belum lagi urusan dengan ibunya yang masih terkatung-katung di kantor polisi. Ironisnya, Rebe pun harus menghadapi masalah baru.
"Sepertimu? Apakah sekarang segalanya menjadi menyenangkan bagimu?" Rebe membalas dengan tawa yang sarat kekecewaan, suaranya terdengar mengambang di udara yang berat dengan ketegangan.
"Ayo, bukankah itu lebih baik daripada harus diusir? Sekarang kau bisa mencoba masuk ke Columbia?" Hana berusaha membujuk Rebe, menyarankan agar ia mengikuti jejaknya. Untuk melupakan segala yang telah berlalu dan melangkah maju, menjalani hidup seakan tiada badai yang pernah menerpa.
"Baiklah, kurangilah nada sinismu, Nona, aku hanya membela temanku." Rebe berkata dengan nada kesal, saat Hana menyinggung bahwa Rebe mungkin akan menghadapi kesulitan untuk diterima di perguruan tinggi berikutnya karena skandal yang baru saja terjadi. Kecerobohannya itu, tanpa ragu, akan menjadi noda yang jelas terlihat di formulir pendaftarannya.
"Aku mengerti, terima kasih," gumam Hana dengan nada yang mengandung rasa syukur. Dia memeluk erat bantal kecil di sofa, matanya bertemu dengan pandangan Rebe yang tengah terpaku pada layar televisi yang mati. Ya, kesunyian itu begitu terasa, menyelimuti seluruh ruangan.
"Aku tidak mengharapkan ucapan terima kasih darimu. Aku hanya berharap kau bisa bertindak seakan-akan kau memiliki sedikit harga diri. Hanya sedikit saja. Pasti kau memiliki itu, kan?" Rebe, yang sudah terlalu lelah dengan sikap Hana, akhirnya meledak dalam kemarahan. Dia berdiri dengan tegas dan menegur Hana, suaranya dipenuhi rasa kecewa yang mendalam.
"Jangan marah, aku tidak pernah meminta ini darimu," Hana berkata dengan suara yang tercekat, terkejut dengan ledakan emosi Rebe. Ini adalah pertama kalinya Rebe menunjukkan sisi seperti ini padanya, sebuah sikap yang asing dan penuh kekecewaan.
"Marahlah pada dirimu sendiri. Kau memiliki kesempatan untuk mengalahkan Jasper dan Alexa, namun kau tidak melakukannya karena kau terlalu naif. Aku pikir kau pintar, Hana. Tapi ternyata, kau hanya seorang pecundang!" seru Rebe dengan nada yang tajam, kata-katanya menusuk langsung ke hati Hana.
"Kau terdengar sangat bodoh," ujar Hana dengan nada yang penuh penolakan. Pikirannya sudah terlalu lelah untuk memproses segala sesuatu, dan ia tidak bisa menerima bahwa kata-kata kasar itu dilontarkan oleh sahabatnya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
dita18
msh nyimak
2022-11-29
0
Eliza Tan
Kalo suatu hari reuni seru amat ya awal pertemanan bermula dari nge gep lagi bercinta 🤣
2022-11-25
0
@§¢Stie
dari part awal udah adegan oh yeah terus🤭🤭🙈🙈
2022-11-24
0