Hana terperangkap dalam keheningan kafe yang ramai, terkurung dalam kelelahan yang begitu mendalam. Setiap helaan nafas terasa seperti pertarungan, dengan beban dunia yang menekan dari segala penjuru, mengikis setiap sisa tenaga yang ada. Di sana, di antara gemuruh suara dan riuh rendah percakapan, dia duduk seorang diri, terasing dalam keletihan yang menyelimuti jiwa dan raganya.
Di tengah keramaian kafe yang tak peduli, Hana merenung dalam kesunyian. Tidak seorang pun tampaknya melihat ke dalam mata yang berkabut, mencari jejak kemanusiaan yang sering terlupakan. Hana, dengan hati yang berdetak lemah, merasa terlempar ke tepian dunia, tempat di mana bahkan bayangan pun enggan menemaninya.
Rebe, yang dulu adalah pelabuhan aman bagi Hana, kini telah menjadi reruntuhan. Tempat perlindungan yang dulu hangat dan menyambut, sekarang hanya tinggal kenangan yang pahit. Hana berdiri di tengah puing-puing itu, mencari-cari kehangatan yang telah hilang, berharap akan ada tangan yang terulur untuk menuntunnya kembali ke cahaya.
Dalam keheningan yang menyelimuti, tiba-tiba ponsel Hana berdering, memecah kesunyian. Layar ponselnya menyala, menampilkan nama Rebecca disana.
“Astaga! Kau di mana sekarang?” Ada nada mendesak dalam suaranya, sebuah campuran antara kekhawatiran dan harapan.
Di ujung sana, Rebe menghela nafas, suaranya terdengar lelah namun lega. "Aku di kantor polisi.”
Ketidakpuasan Alexa dan Jasper terhadap Hana dan Rebe tampaknya belum berakhir. Mereka melangkah lebih jauh dengan melaporkan Rebe atas tuduhan pemukulan yang terjadi pada malam pesta yang penuh gejolak.
Tindakan mereka ini menambah lapisan baru pada drama yang sudah rumit, mengancam untuk menyeret Rebe ke dalam pusaran masalah hukum yang bisa merusak reputasi dan masa depannya.
Hana yang masih terkejut dengan panggilan mendadak dari Rebe, kini harus menghadapi kenyataan pahit ini. Dengan pikiran yang bercampur antara kekhawatiran untuk Rebe dan kemarahan terhadap Alexa dan Jasper, dia harus memutuskan langkah selanjutnya.
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Hana bergegas menuju kantor polisi, hatinya dipenuhi kecemasan dan tekad yang kuat. Kabar tentang Rebe yang ditahan karena laporan itu seperti petir di siang bolong, menghancurkan rencana Rebe untuk menemui ibunya.
Sesampainya di kantor polisi, Hana menemukan Rebe dalam keadaan yang tidak terurus, rambutnya kusut, dan wajahnya penuh kebingungan.
Rebe menatap Hana dengan mata yang memohon pengertian, “Sial! Mereka menggunakan rekaman CCTV sebagai bukti.”
Hana merasakan keadilan yang seolah-olah telah berpihak salah. Dalam ruangan yang suram itu, dia berdiri di samping Rebe, berusaha mencari cara untuk membersihkan nama Rebe dari tuduhan
"Kita bisa lawan kan? kau melakukan itu karena dia melecehkan aku. Kita punya bukti.." kalimat Hana segera dipotong oleh Rebe sebelum dia selesai.
"Hana .. Video seperti itu pasti di sangkal, Jasper dengan mudah mengelak kalau kalian sedang saling mabuk. Tidak ada bukti visum dan seperti katamu itu hanya anak muda yang bersenang - senang." Rebe berdecak kesal. Percuma melawan Jasper dengan video amatir Hana yang tersebar. Hana kepalang berubah pikiran dan kasus itu jadi di tutup. Video itu tidak memiliki kekuatan apapun untuk melawan Jasper. Kenapa masalahnya semakin rumit. Belum berhasil mengeluarkan ibu, kini dirinya juga harus meloloskan diri.
Setiap kata yang terucap dari bibir Rebe, terasa seperti duri yang menusuk hati Hana. Mungkin karena setiap suku kata mengingatkannya pada apa yang telah terjadi, atau mungkin karena kebenaran yang diucapkan Rebe terlalu berat untuk dipikul. Hana merasakan sakit yang mendalam, bukan hanya karena situasi mereka yang sulit, tetapi juga karena dia tahu bahwa Rebe berada dalam kesulitan karena membela dirinya. Itu adalah beban yang tidak mudah untuk ditanggung, bahkan dengan niat terbaik dan bukti yang ada di tangan mereka.
Rebe berbicara dengan nada putus asa, “Aku tidak punya uang untuk menyewa pengacara, Ibu belum bilang dia menyimpan uang-uangnya di mana. Dan sekarang aku tidak bisa menemuinya karena aku punya kasus.”
Hana merasakan beratnya situasi yang dihadapi Rebe. Dia tahu bahwa mereka berdua berada dalam situasi yang sulit, tetapi dia juga tahu bahwa mereka tidak bisa menyerah begitu saja. “Kita akan temukan jalan, Rebe. Kita akan mencari bantuan, ada organisasi yang mungkin bisa membantu kita tanpa biaya. Kita tidak sendirian dalam ini.”
Rebe menolak tawaran Hana dengan tegas, “Tidak, Hana. Ini bukan urusanmu.”
Hana terkejut dengan penolakan Rebe yang begitu cepat. Dia hanya ingin membantu, tetapi sekarang dia merasa ditolak dan bingung. “Aku hanya ingin ada untukmu, Rebe. Aku tidak bisa duduk diam dan tidak melakukan apa-apa,” kata Hana dengan suara yang penuh kekhawatiran.
Rebe menghela nafas, matanya menatap Hana dengan rasa syukur yang dalam. “Aku tahu, dan aku menghargai itu. Tapi ini adalah pertarunganku, dan aku harus menghadapinya sendiri.”
Hana berjalan meninggalkan kantor polisi dengan langkah yang berat, kekecewaan menggantung di hatinya. Persahabatan yang telah mereka rajut dengan penuh harapan dan kenangan kini terasa retak, seolah-olah satu penolakan telah merobek jalinan yang pernah kuat itu.
Dalam kesendirian yang tiba-tiba, Hana merenungkan apakah ini akhir dari segalanya, atau hanya awal dari sebuah bab baru yang belum terungkap.
Hana kembali ke asrama dengan pikiran yang kacau. Dia harus mengumpulkan uang yang diminta Felix, tetapi otaknya yang biasanya tajam dan cerdas kini terasa buntu.
Dia tidak bisa berpikir jernih, seolah-olah pikirannya yang biasanya mampu memecah masalah menjadi bagian-bagian kecil kini terkunci. Hana tidak hanya memikirkan tentang uang; beban pikiran tentang Rebe, persahabatan yang retak, dan masa depan yang tidak pasti semuanya menumpuk, membuatnya sulit untuk fokus pada satu solusi.
Dalam kesendirian kamarnya, Hana duduk, menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Dia tahu dia harus mengambil langkah, tetapi langkah apa?
Hari-hari berlalu dengan beban yang semakin berat di pundak Hana. Tanpa uang sepeserpun dan waktu tinggal di asrama yang semakin singkat, stres mulai menguasai pikirannya. Dia merasa terjebak dalam labirin masalah tanpa jalan keluar yang jelas.
Hingga..
Kabar yang ditakutkan Hana akhirnya tiba. Video yang selama ini dia sembunyikan telah terlihat oleh ibunya. Hati Morena hancur, detak jantungnya berpacu tak terkendali, dan nafasnya tercekat. Keadaan mendesak memaksa ibunya harus segera dilarikan ke rumah sakit.
Dalam kepanikan dan keputusasaan, Hana berlari mengikuti ambulans yang membawa ibunya, pikirannya penuh dengan penyesalan dan kekhawatiran. Di rumah sakit, dia menunggu dengan cemas, berharap dan berdoa agar ibunya akan baik-baik saja. Ini adalah saat yang mendefinisikan bagi Hana, sebuah momen yang akan mengubah jalannya hidupnya selamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Eliza Tan
Alexa gak takut Rebe apa??????? gemes gue!
2022-11-25
0
@§¢Stie
jgn bilang Hana mau dikasih alkohol+obat perangsang
2022-11-24
0
Airhujan
Mampir iya ka☺️
2022-11-22
0