Hana melangkah dengan berat melalui koridor rumah sakit yang steril dan putih, setiap detik terasa seperti jam. Air mata yang telah dia tahan sejak mendengar kabar itu kini mengalir bebas, membasahi pipinya yang pucat. Dia berjalan, hampir tanpa sadar, didorong oleh kebutuhan mendesak untuk berada di sisi ibunya, untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa ibunya akan baik-baik saja.
Hana berdiri di ambang pintu, hatinya terasa seperti dihimpit oleh kekhawatiran yang tak terkatakan. Saat dia mengintip ke dalam, pemandangan yang menyayat hati terbentang di depan matanya. Ibunya terbaring lemah, dikelilingi oleh mesin-mesin yang berbunyi dengan ritme yang menakutkan, selang oksigen terpasang di hidungnya, memberikan napas buatan yang sangat dibutuhkan.
Serangan jantung telah merenggut kekuatan dari wanita yang selama ini menjadi pilar kehidupan Hana. Di sana, di ruangan yang dipenuhi dengan bip-bip alat medis, Hana merasakan betapa rapuhnya kehidupan. Dia melangkah masuk, duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya yang dingin, berharap bahwa sentuhan itu bisa memberikan sedikit kehangatan dan kekuatan untuk berjuang kembali.
Dalam kesunyian yang hanya diisi oleh suara alat medis, Hana berbisik, "Aku di sini, Ibu. Kau tidak sendirian." Kata-katanya adalah janji, sebuah janji bahwa dia akan tetap di sisi ibunya, tidak peduli apa pun yang terjadi.
“Kau suka hidupmu Hana?” Hana merasa detak jantungnya berhenti sejenak saat mata ibunya terbuka. Wajah perempuan itu pucat, matanya memancarkan kesedihan dan kekecewaan yang mendalam.
"Berapa penghasilanmu setahun?" satu pertanyaan lagi dari ibu. "Berapa penghasilanmu setahun sayang?" Ibu melepas alat bantu oksigen kemudian menoleh meminta Hana untuk mendekat.
Dengan mata yang berkaca-kaca, ibu berbicara dengan suara yang penuh emosi, “Aku tahu kau mungkin berpikir aku tidak melakukan apa-apa dengan hidupku. Tapi saat kau mengeluarkan $1.500 untuk tur karya wisata dan hipotekmu $3.000, hanya $500 yang berhasil kusisihkan dari pembayaran tunjangan agar kau bisa mencapai cita-citamu di sekolah mentereng itu.”
"Aku rela mengeluarkan uang berapapun untuk menunjang pendidikan mu agar kau bisa berada di tempat layak, atau mungkin menemukan pria berkaliber yang akan menjadi suamimu kelak. Aku sangat berusaha disini, merawat kau dan Felix setelah kepergian ayahmu. Tak mudah Hana. Tak mudah." Ibu menangis dengan tangan yang meremat bagian dadanya.
"Kini dengan video itu?" Ibu semakin terisak dan tidak mampu melanjutkan kalimat-kalimat yang mengungkapkan kekecewaanya itu.
"Bu.." Hana meraih tangan ibu dengan tangis yang sama menyakitkannya.
"Kini dengan video itu, Kau pikir kau malu denganku sekarang? jangan coba menyangkal. Kau tak tahu apa rasanya, aku berusaha semampuku untuk melindungimu, untuk masa depanmu yang lebih baik. Sungguh. Makanya aku menerapkan semua aturan itu. Tapi kau tak mengikutinya." ibu melepaskan tangan Hana. Kemudian mengusap air matanya dengan cukup kasar.
"Itu pilihanmu. Jadi baiklah. Pokoknya, pokoknya jangan sebut namaku lagi."
#Flashback On
Pada suatu hari yang tidak terlalu cerah, saat aku tengah asyik membaca buku di halaman rumah, Ibu datang mendekat. Dengan senyum di wajahnya, dia memberitahuku bahwa aku mendapat izin untuk bersekolah di akademi terkemuka di kota. "Apakah ini nyata?" tanyaku dengan penuh harap. Ibu hanya tersenyum dan mengangguk, mengonfirmasi kabar baik tersebut.
Pada saat itu, hatiku berat untuk berpisah dengan Ibu yang akan ku tinggal sendiri di rumah penuh kenangan indah. Namun, Ibu dengan sabar menenangkanku, mengatakan dia akan senang hati menghabiskan waktunya dengan berkebun, menikmati hari-harinya.
"Ibu sadar dengan situasi keuangan kita saat ini," kata Ibu dengan penuh harapan. "Dengan menerima bantuan dana tersebut, setidaknya kamu memiliki kesempatan untuk membawa perubahan dan memperbaiki kehidupan kita."
Tentu, aku sama sekali tidak memiliki keberatan. Aku akan melakukan yang terbaik, dengan segala upaya yang aku miliki, untuk membuat orang tuaku yang tersayang merasa bangga.
Akhirnya, setelah semua usaha dan dedikasi, aku diberi kesempatan untuk belajar di Elite Academy dengan beasiswa penuh. Mereka berkata, kecerdasanku sudah lebih dari cukup sebagai ganti biaya pendidikan. Akademi itu juga menawarkan asrama, sehingga aku dapat tinggal di sana selama masa studiku berlangsung.
Sekali lagi, Ibu tersenyum penuh kebanggaan atas keberhasilanku. "Kamu sungguh luar biasa," katanya dengan penuh pujian.
Ini benar-benar sebuah berkah. Ibu dengan gembira mengiringi keberangkatanku ke kota, harapan yang dia titipkan padaku semakin menggunung, dan aku berikrar pada dirinya bahwa aku tidak akan pernah membuatnya kecewa.
"Sekolahmu bagaikan istana, Hana," ujar Ibu.
"Kamu harus benar-benar fokus selama masa SMA di sini. Setelah itu, kamu akan melanjutkan ke universitas yang lebih prestisius. Universitas adalah tempat di mana kamu akan bertemu dengan banyak orang yang akan menjadi bagian penting dalam perjalanan hidupmu," nasihat Ibu penuh makna.
“Dan pria berkaliber tak ada di sekolah negeri. Ini dia. Ini Awalnya.”
Byeeee
Hana melambaikan tangan kemudian mulai berjalan masuk.
“Kau anak tercantik di sekolah.” Teriak ibu.
Kenangan itu sangat manis, kenangan saat dirinya pertama kali masuk di Elite Academy. Kenangan manis yang justru membalut kisah pilu di dalamnya. Sekolah impian yang justru membawa bencana.
#Flashback End
Hana merasakan sakit yang mendalam di hatinya, sebuah sesak yang seolah-olah memenuhi dadanya dengan gelembung-gelembung berat. Dia ingin berbicara, ingin mengucapkan kata-kata yang bisa memberikan sedikit kenyamanan kepada ibunya, tetapi lidahnya kelu, tak mampu mengeluarkan suara.
Dalam diamnya, Hana merenungkan segala perasaan bersalah yang menghantui pikirannya. Dia tahu bahwa kata ‘maaf’ mungkin tidak cukup untuk menggambarkan penyesalan yang dia rasakan, dan bahwa tindakannya mungkin tampak tidak termaafkan. Namun, di balik semua itu, Hana juga menyadari bahwa dia adalah korban dari keadaan yang tidak dia pilih.
Hana menyerah pada emosi yang membanjiri hatinya, dan dengan langkah yang ragu, dia merangsek ke dalam pelukan ibunya. Meskipun awalnya ibu menolak, akhirnya dia membuka lengannya.
“Kulakukan semua yang dilakukan para ibu yang cukup baik. Sungguh. Kelak kau akan tahu. Kau akan tahu betapa sulitnya,” bisik ibu dengan suara yang lelah.
Dada ibu tiba-tiba kembali sesak, nafasnya jadi tersengal-sengal. Bukan hanya karena alat bantu oksigen yang tadi disingkirkan dari wajahnya, tapi rasa kecewa itu benar-benar menusuk terlalu dalam.
Seketika Hana panik. Dia berusaha mengembalikan alat bantu oksigen itu ke wajah Ibu. Tapi kondisi ibu sepertinya semakin memburuk. Hana berteriak dan kemudian dua orang perawat datang.
“Panggil dokternya.” Ucap salah satu suster. “Nona kau tunggu diluar.”
Hana di paksa keluar, hatinya sakit melihat keadaan ibu seperti itu, benar-benar membuat dirinya tak bisa memaafkan diri sendiri.
Dokter keluar dari ruangan dengan ekspresi yang serius, dan Hana bisa merasakan jantungnya berhenti sejenak. “Maaf,” kata dokter dengan suara yang lembut namun pasti, “kami telah melakukan segala yang kami bisa.”
Hana merasa dunianya runtuh. Air mata yang dia tahan selama ini pecah, mengalir tanpa henti. Dia berdiri di sana, terpaku, sementara dokter terus menjelaskan kondisi ibunya. Namun, kata-kata itu terdengar seperti suara dari kejauhan, tidak mampu menembus kabut kesedihan yang mendalam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Eliza Tan
Kebayang lagi ena2 tiba2 di gedorin wkwkwk sa ae nih authornya 🤣🤣🤣
2022-11-25
0
@§¢Stie
😭😭😭😭😭
2022-11-24
0
who am I
yang penting dapet doku ya kan 🤣🤣
2022-11-18
0