Dengan nada yang lembut namun penuh keyakinan, Rebe menatap Hana, "Lakukanlah jika itu memang harus kau lakukan. Ingat, tak ada keharusan untuk membela diri di hadapan mereka yang mengenalmu. Apa urusannya dengan pendapat orang lain?"
Dia terus mendesak, suaranya semakin mendalam, "Hana, kau harus berani. Laporkan apa yang telah terjadi padamu. Kau tidak bisa membiarkan luka ini tanpa pengakuan, tanpa keadilan. Kau berhak atas itu." Kata-katanya menggema, berusaha menembus tembok ketakutan yang selama ini mengurung Hana.
Dengan suara yang bergetar, seakan menahan beban dunia, Hana berbisik, "Ibuku tidak boleh mengetahui ini. Dia akan kecewa, mungkin bahkan membenciku." Air mata mengalir tak terbendung, mencerminkan pertarungan batin yang dialaminya. Bukan karena tak ingin membawa Jasper dan Alexa ke hadapan hukum, tetapi karena takut akan kekecewaan yang mungkin ditanggung oleh ibunya, meski di lubuk hati, Hana tahu ia sudah terluka terlalu dalam.
Rebe menatap Hana dengan tatapan yang tegas, "Baiklah, kau mungkin berpikir demikian. Aku sering mendapat skors dan ibuku tetap percaya aku adalah anak yang baik. Dengar, Hana, kau adalah korban di sini, dan ibumu pasti akan tetap di sisimu." Suaranya mengandung kekuatan, sebuah dorongan bagi Hana yang masih ragu-ragu, belum mengambil langkah apa pun.
Hana menundukkan kepalanya, suaranya hampir tak terdengar, "Tidak, kau tidak mengerti bagaimana ibuku."
Rebe membalas dengan nada yang lebih keras, "Mungkin aku memang tidak mengerti ibumu, tapi yang lebih aku tidak mengerti adalah dirimu."
Dan di antara mereka, tercipta kesunyian yang berat, seolah-olah kata-kata terakhir itu masih bergema, menunggu jawaban yang tak kunjung datang.
Dengan dorongan Rebe yang tak pernah surut, Hana akhirnya mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk menghadap kepala sekolah. Langkahnya terasa berat, hatinya berdegup kencang, seolah-olah setiap detak jantungnya menggema di seluruh koridor sekolah. Kepala sekolah telah mendengar laporan awal dari Rebe, dan kini saatnya Hana menambahkan suaranya pada cerita tersebut.
Kegugupannya begitu nyata, seakan menjadi bayangan yang mengikuti setiap langkahnya menuju pintu kepala sekolah.
Rebe berjalan di samping Hana, memberikan dukungan saat mereka melangkah menuju ruang kepala sekolah. Mereka berdua tahu, hari ini adalah hari yang menentukan. Di dalam ruangan itu, Pak George, guru yang selalu Hana kagumi, dan Kepala Sekolah Cortez sudah menanti.
Hana melangkah masuk ke ruangan itu dengan langkah yang ragu, menempati sofa yang telah disediakan. Pak George mengambil tempat di kursi di samping kiri, sementara Kepala Sekolah Cortez berdiri tegak, tangannya terlipat di dada, wajahnya mencerminkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.
Ada kerumitan dalam pandangannya, seolah-olah dia berada di persimpangan jalan yang sulit—antara mempertahankan prestasi Hana, si murid berbakat, dan menghadapi kenyataan bahwa mereka yang terlibat dalam kasus ini bukan sembarang siswa, melainkan anak-anak dari para donatur terbesar. Cortez, dengan segala kebijaksanaannya, harus menavigasi labirin keadilan dengan hati-hati, namun tegas.
Kepala Sekolah Cortez akhirnya berbicara, suaranya berat dengan pertimbangan, "Anak-anak ini akan diinterogasi oleh polisi. Mungkin perlu mempertimbangkan untuk mencantumkan insiden ini dalam catatan pendaftaran kuliah mereka. Namun, jika kita memutuskan untuk melakukannya, kau harus benar-benar yakin dengan kesaksianmu. Dan itu akan menjadi tantangan, mengingat jumlah alkohol yang terlibat. Situasi ini pasti akan menjadi rumit." Kata-katanya menggantung di udara, mencerminkan dilema yang dihadapinya.
Pak George, dengan suara yang penuh kepastian, menanggapi Kepala Sekolah Cortez, "Tidak ada kerancuan dalam hal ini, Pak. Alexa dan teman-temannya telah memasang perangkap. Jasper dan Alexa adalah pelaku utama. Ini bukan sekadar kenakalan remaja yang terjadi atas dasar kesepakatan bersama. Hana telah mengatakan 'tidak' dan memohon kepada Jasper."
Seperti Rebe, Pak George tidak bisa menerima apa yang terjadi pada Hana. Baginya, Hana bukan hanya murid yang cerdas, tetapi juga bintang di kelasnya, seorang siswa yang kecerdasannya melampaui yang lain, sebuah prestasi tersendiri bagi seorang guru untuk memiliki murid seperti dia.
“Benarkah kau bilang tidak?” Tanya Cortez kepada Hana.
Dalam kebingungan yang memilukan, Hana berbisik dengan suara yang hampir tak terdengar, "Entahlah... Aku sendiri tidak yakin." Matanya berkaca-kaca, mencerminkan kekacauan emosi yang dia rasakan. "Aku tidak menginginkannya. Aku terus berkata 'aduh' dan 'aw', itu saja yang bisa kuingat. Aku ingin berteriak pada Jasper, mendorongnya menjauh, tapi dia salah paham, mengira sentuhanku adalah undangan sehingga dia menciumku. Dan dia... dia terlalu mabuk untuk mengerti." Air mata yang jatuh dari matanya seperti mutiara patah, simbol dari sakit hati yang dia alami.
“Apa yang kau lakukan?” Tanya Hana ketika reaksi pak kepala sekolah hanya mengambil gagang telepon dan menekan tombol-tombol angka.
Kepala Sekolah Cortez, dengan nada yang serius namun penuh pengertian, berkata kepada Hana, "Aku akan menelpon ibumu. Kita tidak bisa melibatkan polisi dalam masalah anak di bawah umur tanpa pemberitahuan kepada wali mereka." Dia terus mencoba menghubungi, menunjukkan keseriusannya dalam menangani situasi tersebut.
Dengan suara yang tiba-tiba meninggi, Hana berteriak, "Hentikan! Hentikan! Tidak! Aku tidak mau. Aku berubah pikiran." Dia berlari ke arah Kepala Sekolah Cortez, tangannya terulur, berusaha menghentikan tindakan yang akan mengubah segalanya.
Hana terduduk lemas, keberaniannya seakan terkuras habis. Pikiran tentang ibunya yang akan mengetahui kasus yang menimpanya itu membuatnya merasa tak berdaya.
Kepala Sekolah Cortez meletakkan gagang telepon dengan gerakan yang lambat, kemudian beranjak meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun. Hana tertinggal dalam kesendirian yang menyakitkan, hanya ditemani oleh Pak George yang duduk di sampingnya, menjadi saksi atas kepedihan yang mengalir bersama air matanya.
Pak George menatap Hana dengan kelembutan yang tercampur kekhawatiran, "Hana, kau tidak bisa hanya berdiam diri di sini. Ibumu harus diberitahu. Jika tidak, kasus ini akan terkatung-katung dan kau yang akan dirugikan."
Hana menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca, "Aku... aku takut. Aku tidak berani melihat reaksi ibuku. Maafkan aku, Pak George."
Dengan langkah yang gontai, Hana meninggalkan ruangan kepala sekolah dan kembali ke Rebe, yang telah menunggu dengan setia. Begitu melihat sahabatnya, tangis Hana pecah, tangannya mencari pelukan Rebe. Dalam dekapan yang hangat itu, Hana berbisik tentang ketidakmampuannya untuk melanjutkan laporan tersebut.
Dua sahabat itu berdiri di lorong sekolah yang sepi, air mata mereka bercampur menjadi satu. Mereka tidak peduli jika ada yang mendengar tangis mereka atau bahkan menertawakan mereka. Sekolah itu hampir kosong, hanya beberapa siswa dengan urusan tertentu yang masih berada di sana, sisa-sisa dari pesta kelulusan yang baru saja berakhir.
Alexa muncul dengan Jasper di sisinya, keduanya tampak tak terganggu oleh keadaan. "Hei, ada dua orang favoritku," katanya dengan nada mengejek. Mereka berdua telah dipanggil untuk memberikan keterangan tentang kasus yang sedang hangat. Dengan senyum sinis, Alexa melanjutkan, "Kau beri tahu kepala sekolah bahwa kau menyukainya? Um, manis sekali. Itu menggemaskan," tawanya bergema di lorong, menambah luka di hati Hana yang sudah terluka.
Jasper melontarkan ejekan dengan tatapan merendahkan, "Gila, ternyata bokongmu sangat besar."
Rebe, yang sebelumnya tenggelam dalam kesedihan bersama Hana, tiba-tiba berdiri dengan semangat yang baru. "Terima kasih atas motivasinya. Sepertinya aku belum sempat latihan boxing hari ini," katanya dengan nada menantang. "Kenapa, kalian berdua tidak berani menghadapi konsekuensi?" Tantangannya jelas, sebuah ajakan untuk menghadapi masalah ini bukan dengan ejekan, tapi dengan keberanian untuk mengakui kesalahan.
“Rebecca.. Kau bukan tandingannya, kecuali kau menantang pertempuran yang lain. Jasper ahlinya. Coba tanya pada anak ingusan itu apa dia ketagihan haha.” Alexa menertawakan Hana dan juga Rebe
Rebe, dengan api kemarahan yang berkobar di matanya, melancarkan pukulan ke arah Alexa, namun Jasper dengan cepat menepisnya.
Sekarang, Jasper dan Rebe terlibat dalam pertarungan fisik, laki-laki melawan perempuan, dalam sebuah tarian kekerasan yang tak seharusnya terjadi. Sekolah yang sepi menjadi saksi atas pertempuran yang dipicu oleh rasa sakit dan pengkhianatan, sebuah pertarungan yang melampaui batas gender, didorong oleh keadilan yang belum terpenuhi.
Hana meraih lengan Rebe, suaranya mendesak, "Hentikan, ayo pergi dari sini."
Rebe, yang sudah terbakar amarah, hampir tak mendengar. Namun, Jasper terus memprovokasi dengan senyum sinis, "Astaga, kau terlihat manis saat marah. Ayo, pukul aku. Tak ada yang akan menghentikanmu."
Tetapi Hana tahu, tidak ada yang baik yang akan datang dari kekerasan ini. Dia menarik Rebe lebih keras, berusaha membawanya menjauh dari situasi yang hanya akan membuat segalanya menjadi lebih buruk.
Hana berteriak dengan putus asa, "Rebe, ku mohon hentikan!" Namun suara-suara murid lain yang memprovokasi semakin memanaskan suasana, "Hajar dia! Hajar! Hajar!"
Rebe, yang sudah kehilangan kendali atas dirinya, semakin membabi buta dalam kemarahannya. Hana tahu dia harus melakukan sesuatu sebelum situasi menjadi tak terkendali. Dengan segala kekuatan yang tersisa, dia mencoba menarik Rebe menjauh dari kerumunan, berharap bisa membawanya ke tempat yang lebih tenang, jauh dari provokasi dan ejekan yang hanya menambah api kemarahan.
Keributan di lorong sekolah itu menarik perhatian Elsa, salah satu guru, yang bergegas datang untuk melerai. Dengan suara yang tegas, dia memerintahkan, "Hentikan!"
Namun, dalam kekacauan itu, siku Rebe secara tidak sengaja mengenai Ibu Ellis, yang langsung terjatuh. Kejadian itu seolah menjadi alarm bagi semua yang hadir, sebuah pengingat keras bahwa konflik yang membara telah melampaui batas dan membawa konsekuensi yang tidak diinginkan.
Ketegangan di lorong sekolah itu tiba-tiba pecah, dan murid-murid yang sebelumnya berkumpul mulai berlarian, meninggalkan kekacauan di belakang mereka. Jasper dan Alexa juga menghilang dari pandangan, meninggalkan Rebe dengan konsekuensi dari tindakannya—sikunya yang telah menghantam wajah Ibu Ellis. Sekarang, Rebe harus menghadapi realitas baru, sebuah kasus yang tidak dia inginkan atau duga sebelumnya.
......................
Setelah kejadian yang memilukan itu, Hana dan Rebe terbenam dalam kesunyian yang berat. Rebe, yang merasa bersalah atas tindakannya, membiarkan Hana terkurung dalam gelombang kritik yang tak henti-hentinya. Mereka berdua memasuki mobil, melaju jauh dari sekolah dengan kecepatan yang mencerminkan kekacauan emosi mereka, mempertahankan kesunyian yang kini menjadi tembok antara mereka berdua.
Dalam keheningan perjalanan itu, Hana membiarkan pandangannya teralih ke luar jendela, menatap pemandangan yang berubah-ubah, mencoba menemukan kedamaian dalam keasrian perbatasan kota. Namun, bayang-bayang insiden yang baru saja terjadi terus menghantui pikirannya, membuat setiap kilometer yang dilalui terasa semakin berat dan membingungkan.
Ponsel Hana yang sudah usang itu tiba-tiba berdering, memecah kesunyian di dalam mobil saat mereka melintasi kawasan Dera Park. Panggilan dari Felix, kakak lelakinya yang brengsek, muncul di layar, namun Hana hanya menatapnya tanpa ekspresi, membiarkan ponsel itu bergetar sampai akhirnya senyap. Dia tidak memiliki keinginan untuk menjawab, memilih untuk tenggelam dalam keheningan dan pikirannya sendiri.
Hana memutuskan untuk tidak merespons panggilan itu, memilih untuk menunggu pesan daripada berbicara langsung. Ketika mereka tiba di dekat rumah Rebe, ponselnya bergetar sekali lagi, kali ini dengan pesan dari Felix yang mengatakan dia menunggu di sebuah kafe tak jauh dari sana. Hana membaca pesan itu hanya sekilas, pikirannya masih terbelenggu oleh peristiwa yang baru saja terjadi.
Hana merasa gelisah, pikirannya berkecamuk dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak diinginkan. "Mungkin dia juga mendapat videonya?" gumamnya dalam hati.
Dengan jari yang gemetar, dia mengetik balasan singkat, "Ada apa? Aku sedang tidak enak badan." Meskipun kata-katanya terkesan biasa, namun ada kekhawatiran yang mendalam tersembunyi di baliknya.
Bugh! Rebe menutup pintu mobil sedikit kasar tanpa mengatakan bahwa mereka sudah tiba. Tanpa basa-basi Rebe pergi masuk duluan ke dalam rumah, meninggalkan Hana yang masih terduduk di dalam mobil yang terparkir di carport.
"Alasan. Cepat! Aku menunggu!" Balas Felix.
Hana merasa berat hati untuk menghadiri pertemuan itu. Ada kekhawatiran yang menggelayuti pikirannya, takut bahwa Felix akan mengungkit peristiwa yang kini melandanya. Sebuah tanya juga mengintai di benaknya, bagaimana mungkin Felix mengetahui tentang hal itu.
Namun, dengan langkah yang berat, ia memutuskan untuk meninggalkan kenyamanan mobil dan melangkah masuk ke dalam kediaman Rebe yang sepi. Di sana, Rebe tampak tenggelam dalam lamunan, duduk di sofa sambil sesekali menarik asap lintingan yang mengepul perlahan.
"Kau tidak menyadari, itu adalah kesalahan, mengapa tidak sekadar meminta maaf?" ucap Hana dengan lembut saat ia mengambil tempat di sisi Rebe.
Dia sangat sadar bahwa sahabatnya itu tengah terbebani masalah yang lebih berat, belum lagi urusan dengan ibunya yang masih terkatung-katung di kantor polisi. Ironisnya, Rebe pun harus menghadapi masalah baru.
"Sepertimu? Apakah sekarang segalanya menjadi menyenangkan bagimu?" Rebe membalas dengan tawa yang sarat kekecewaan, suaranya terdengar mengambang di udara yang berat dengan ketegangan.
"Ayo, bukankah itu lebih baik daripada harus diusir? Sekarang kau bisa mencoba masuk ke Columbia?" Hana berusaha membujuk Rebe, menyarankan agar ia mengikuti jejaknya. Untuk melupakan segala yang telah berlalu dan melangkah maju, menjalani hidup seakan tiada badai yang pernah menerpa.
"Baiklah, kurangilah nada sinismu, Nona, aku hanya membela temanku." Rebe berkata dengan nada kesal, saat Hana menyinggung bahwa Rebe mungkin akan menghadapi kesulitan untuk diterima di perguruan tinggi berikutnya karena skandal yang baru saja terjadi. Kecerobohannya itu, tanpa ragu, akan menjadi noda yang jelas terlihat di formulir pendaftarannya.
"Aku mengerti, terima kasih," gumam Hana dengan nada yang mengandung rasa syukur. Dia memeluk erat bantal kecil di sofa, matanya bertemu dengan pandangan Rebe yang tengah terpaku pada layar televisi yang mati. Ya, kesunyian itu begitu terasa, menyelimuti seluruh ruangan.
"Aku tidak mengharapkan ucapan terima kasih darimu. Aku hanya berharap kau bisa bertindak seakan-akan kau memiliki sedikit harga diri. Hanya sedikit saja. Pasti kau memiliki itu, kan?" Rebe, yang sudah terlalu lelah dengan sikap Hana, akhirnya meledak dalam kemarahan. Dia berdiri dengan tegas dan menegur Hana, suaranya dipenuhi rasa kecewa yang mendalam.
"Jangan marah, aku tidak pernah meminta ini darimu," Hana berkata dengan suara yang tercekat, terkejut dengan ledakan emosi Rebe. Ini adalah pertama kalinya Rebe menunjukkan sisi seperti ini padanya, sebuah sikap yang asing dan penuh kekecewaan.
"Marahlah pada dirimu sendiri. Kau memiliki kesempatan untuk mengalahkan Jasper dan Alexa, namun kau tidak melakukannya karena kau terlalu naif. Aku pikir kau pintar, Hana. Tapi ternyata, kau hanya seorang pecundang!" seru Rebe dengan nada yang tajam, kata-katanya menusuk langsung ke hati Hana.
"Kau terdengar sangat bodoh," ujar Hana dengan nada yang penuh penolakan. Pikirannya sudah terlalu lelah untuk memproses segala sesuatu, dan ia tidak bisa menerima bahwa kata-kata kasar itu dilontarkan oleh sahabatnya sendiri.
"Ya, aku memang bodoh," Rebe berkata dengan tawa yang pahit, seolah menertawakan dirinya sendiri. Dengan gerakan yang lambat, ia menarik asap lintingan sekali lagi, membiarkan kabut itu mengisi ruang di antara mereka.
"Aku tidak bisa menyeret Alexa ke dalam ini. Tidak, itu bukan caraku," Hana berbicara dengan nada yang penuh penekanan.
Dia bertanya-tanya, mengapa Rebe tidak bisa memahami bahwa Hana tidak ingin skandal itu merembet dan sampai ke telinga ibunya yang sedang menikmati kedamaian, di samping kebun yang akan segera memasuki musim panen. Mengapa Rebe tidak bisa mengerti bahwa ada hal-hal yang Hana berusaha lindungi? Ya, Hana memang terluka, namun dia tidak ingin luka itu merambat dan menyakiti orang yang telah menaruh semua harapannya padanya.
"Lantas, apa yang harus kulakukan? Haruskah aku meminta maaf kepada Alexa seperti yang selalu kulakukan? Meminta maaf atas sesuatu yang terjadi hanya karena sebuah piala. Meminta maaf kepada orang yang telah memasang perangkap untukmu, atau kepada Jasper yang menjadi pelaku p e m e r k o s a a n mu. Sungguh, bagaimana kau bisa hidup dengan dirimu sendiri?" kata Rebe dengan nada yang penuh kegetiran.
"I Hate you!" teriak Hana, sambil berlari meninggalkan ruangan. Kata-kata Rebe terasa terlalu menyakitkan, dan dia tidak sanggup untuk mendengarkan apapun lagi.
"Tunggu, jangan pergi. Hana, tunggu!" seru Rebe, suaranya memecah kesunyian saat ia berlari mengejar Hana. Dalam hatinya, ia tahu bahwa kata-kata yang terucap telah melampaui batas, namun itu adalah pahitnya kenyataan yang tak bisa ia ingkari.
Hana menghentikan langkahnya, lalu perlahan berbalik untuk menatap Rebecca. "Memang, aku adalah pecundang. Dan kau, lebih baik kau segera menemui ibumu di kantor polisi daripada terus mengurusi urusanku!" kata Hana dengan suara yang bergetar, matanya menunjukkan keberanian yang rapuh namun tegas.
"Hana, tunggu dulu," panggil Rebe dengan suara yang hampir putus asa.
Namun Hana tidak menoleh. Langkahnya semakin cepat, melebar, seakan ingin segera menjauh dari segala kekacauan yang telah terjadi di rumah Rebe. Dengan setiap tapak yang meninggalkan jejak di lantai, Hana meninggalkan lebih dari sekadar ruangan itu—ia meninggalkan sebagian dari masa lalunya yang penuh dengan konflik dan kekecewaan.
Mengapa semuanya harus berubah menjadi begitu kusut? Ini bukanlah yang diinginkan Hana. Kehidupan yang sebelumnya terasa teratur, kini bagai benang kusut yang tak terurai.
Hana melangkah jauh, meninggalkan kebisingan Dera Park, dengan ponsel tuanya yang sudah tak lagi mampu untuk memanggil taksi secara online.
Dengan rasa putus asa, ia mengeluarkan ponsel itu dan menekan nomor Felix, berharap itu bisa datang menjemputnya di tempat itu.
"Hati ibu pasti sangat hancur," pikir Hana berulang-ulang. Meski begitu, dia belum mendengar sepatah kata pun tentang alasan Felix ingin bertemu dengannya. Rasa penasaran dan kekhawatiran bercampur menjadi satu, membebani langkahnya yang semakin menjauh dari Dera Park.
Di sebuah kafe yang nyaman dan hangat, Hana dan Felix duduk berhadapan. Cahaya lembut dari lampu gantung menambah suasana tenang di antara mereka. Hana, dengan mata yang terlihat lelah namun penuh harap, menatap Felix yang duduk di seberangnya. Felix, dengan ekspresi yang sulit dibaca, memegang cangkir kopi di tangannya, uap panas mengepul perlahan.
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Hana, suaranya bergetar sedikit, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Felix menarik napas dalam, seolah mempersiapkan diri. "Hana, aku tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi aku pikir kau harus tahu..."
Kata-kata itu tergantung di udara, seakan menunggu momen yang tepat untuk jatuh dan mendarat di telinga Hana. Di luar jendela, dunia terus bergerak, namun di dalam kafe itu, waktu seakan berhenti, menunggu pengakuan yang akan mengubah segalanya.
“Aku membutuhkan uang,” ujar Felix dengan nada mendesak. “Aku memerlukan tiga ribu dolar untuk tur Eropa,” lanjutnya, matanya tidak berpaling dari Hana, mencari tanda-tanda reaksi dari wajahnya.
Hana menatap Felix, terkejut namun berusaha memahami. “Tur Eropa?” tanyanya, suaranya bergetar sedikit karena kebingungan.
“Bulan depan aku berencana pergi ke Eropa selama tiga bulan. Uang yang kupunya tidak cukup. Aku membutuhkan tiga ribu dolar lagi. Kau pasti punya, kan?” kata Felix dengan nada yang ringan, seolah-olah itu bukan masalah besar.
"Hei, apa kau gila? Aku bahkan belum mulai kuliah, aku tidak memiliki uang. Apalagi sejumlah itu," Hana membalas dengan nada yang penuh keheranan dan sedikit kesal. Rasa tidak percaya tergambar jelas di wajahnya, seolah-olah Felix telah meminta sesuatu yang tidak masuk akal. "Kau datang dan meminta seolah-olah aku memiliki tabungan untukmu," lanjutnya, suaranya mencerminkan rasa kecewa yang mendalam terhadap permintaan Felix yang tiba-tiba dan tidak wajar itu.
Felix menatap dari seberang meja kafe, memperhatikan ekspresi ketidaksetujuan yang terukir di wajah adik perempuannya. Hana, yang telah beranjak dewasa di usianya yang ke-20, sebentar lagi akan memulai perjalannya di community college. Dia adalah sosok gadis muda yang memiliki kecantikan alami, dengan helaian rambut hitam tebal yang panjang terurai, dan sepasang mata coklat yang menawan.
Felix tahu tubuh yang selalu ditutupi kain-kain tebal itu tebal itu dapat menghidupkan fantasi laki-laki. Sebagai kakak laki-lakinya, Felix sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk melihatnya tumbuh dari itik kurus menjadi angsa berleher panjang yang cantik seperti sekarang ini.
"Jual tubuhmu." Sergah Felix. "Dengan mulut dan kakimu, kau bisa menghasilkan sebanyak itu dalam seminggu."
Hana menatap Felix dengan tatapan yang penuh keberatan. "Jangan membuatku terlibat dalam kebodohanmu. Kau yang ingin pergi tur, kenapa aku yang harus repot mencari uang?" suaranya mengandung nada frustrasi dan ketidakpercayaan, seolah menegaskan bahwa tanggung jawab itu seharusnya tidak jatuh ke pundaknya.
"Kau ingin video itu sampai ke tangan ibu?" Felix mengancam dengan tawa yang ringan, namun terasa berat bagi Hana.
"Video apa maksudmu?" tanya Hana, suaranya bergetar, mata coklatnya melebar dalam kecemasan. Ada rasa takut yang tiba-tiba muncul, seolah-olah kata-kata Felix telah membangkitkan bayang-bayang yang selama ini ia coba sembunyikan.
"Seseorang mengirimku ini tadi malam.” Felix menunjukkan sebuah Video dan iya Hana berada di dalam layar itu. Dengan segera Hana membalikan ponsel Felix menghadap ke bawah. Tidak mau melihat video amatir yang mengenaskan itu. "Kau ternyata liar juga." komentar Felix untuk video itu.
Hana merasakan jantungnya berdegup kencang, tangannya bergetar saat ia membalikkan ponsel Felix. “Aku tidak ingin melihatnya,” katanya dengan suara yang hampir tidak terdengar. Video itu, yang mungkin berisi momen yang tidak ingin ia ingat, sekarang menjadi alat pemerasan di tangan saudaranya sendiri.
Hana menelan ludah, rasa tidak percaya dan kekecewaan bercampur menjadi satu dalam hatinya. "Alexa, kau belum puas juga?" gumamnya dalam hati, sebuah pertanyaan yang penuh dengan ironi dan kesedihan. Di tengah kekacauan yang terjadi, Hana mulai menyadari bahwa permainan yang dimainkan Alexa jauh lebih rumit dan berbahaya daripada yang bisa ia bayangkan.
"Dia pasti akan sangat terkejut. Dan kau, kau harus tetap mencari uang untuk pengobatannya," Felix terus berbicara, tanpa memperhatikan bahwa Hana telah terdiam, seolah-olah kata-katanya telah mengunci suaranya dalam kebisuan yang berat.
Hana menatap Felix, rasa sakit dan pengkhianatan tergambar jelas di wajahnya. "Kau benar-benar tidak mengerti, ya?" katanya akhirnya, suaranya lembut namun penuh dengan kekuatan. "Ini bukan hanya tentang uang. Ini tentang keluarga, tentang kepercayaan. Dan kau telah mengkhianati itu semua."
Di tengah gemuruh kafe yang ramai, kata-kata Hana terasa seperti bisikan yang tajam, menusuk langsung ke inti masalah yang telah lama terpendam di antara mereka.
"Kamu memiliki waktu tiga minggu sebelum aku menyerahkan video itu," kata Felix dengan nada yang menentukan, sebelum dia berdiri dari kursinya, bersiap untuk meninggalkan kafe tersebut.
Hana hanya bisa menatap punggung Felix yang menjauh, rasa sakit dan pengkhianatan menggema dalam dada. Di tengah keramaian kafe, dia merasa sendirian, terisolasi oleh ancaman yang baru saja diucapkan saudaranya. Dengan setiap langkah yang menjauh, Felix tidak hanya meninggalkan kafe, tapi juga meninggalkan retakan dalam hubungan yang mungkin tidak akan pernah bisa diperbaiki.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!