KETURUNAN MATA HITAM
Malam begitu dingin, suasana mulai hening, dibalik keheningan, Ayuna masih nyaman meringkuk dibalik selimut. Sama sekali tak perduli dengan alarm yang bergetar, namun tiba-tiba suara keras menghantam di atas atap rumahnya.
'Suara itu lagi,' ucap Ayunan dalam hati.
Selama lima belas tahun, suara itu setiap malam ia dengar, selama itu pula Ayuna tak berani memeriksa apa yang terjadi dirumahnya.
Tidak lama berselang, disusul lagi suara kepakan sayap terdengar. Ayuna mulai diracuni rasa penasaran. Dia mencoba beranjak dari tempat di tidurnya, mengendap-endap menuju ke dapur dimana suara itu berasal.
Suara kepakan sayap itu masih terdengar jelas, tubuh Ayuna bergetar menahan rasa takut, sejenak dia menyinggahi kamar emaknya, namun didalam kelambu hanya ada adik bungsunya yang masih terlelap. Dia bingung, kemana emaknya?
"Apakah emak sedang dikamar mandi? mungkinkah yang bersuara itu emak?" gumam Ayuna.
Suara kepak sayap itu mulai berbaur dengan suara mengecap, rasa takut itu ia kesampingkan, Ayuna merasa emaknya mungkin saja bangun karena ikut mengecek suara aneh itu.
Saat membuka gorden, pintu dapur belakang terbuka lebar, mata Ayuna menyorot sesosok wanita tua bertelanjang bulat, wanita itu sedang mengisap air comberan di pembuangan tempat setiap hari ia mencuci piring.
Sekilas bentuk tubuh mahluk itu seperti emaknya, di ubun-ubun terdapat lubang yang mirip cahaya senter berwarna merah. Ayuna tak dapat melihat dengan jelas wajah mahluk iitu karena kondisi belakang rumahnya teramat gelap.
Setelah puas meminum air comberan, lidah perempuan berperawakan seram itu menjulur turun ke area dadanya, menjilati sendiri ****** *********** yang sudah kendor, Ayuna hanya bisa menelan saliva menyaksikan adegan kotor itu. Kaki tak mampu beranjak dari tempatnya berpijak, pun bibirnya ikut kelu untuk mengucapkan sesuatu.
Setelah puas mengisap putingnya sendiri, mahluk itu merapikan rambutnya yang acak-acakan, sayapnya masih mengepak bersiap-siap untuk terbang. Ayuna yang makin penasaran memilih lebih mendekat lagi. Tetapi langkah kakinya terdengar oleh mahluk itu, Ayuna terkejut ketika ubun-ubun bak senter itu menyorot ke wajahnya. Karena ketakutan, Ayuna berlari masuk ke dalam kamar emaknya.
"Ya Allah!"
Jeritannya membuat adiknya bangun, "Kakak kenapa, sih?" tanya Dira kesal. Kakinya sempat tadi terinjak oleh Ayuna.
"Tadi kakak liat ada setan' berwujud manusia," sahut Ayuna bergetar. Wajahnya pucat dibarengi embun keringat.
"Kakak mimpi kali, udah kakak kembali ke kamar, nanti emak bangun lagi," kata Dira yang belum menyadari tak ada emaknya disampingnya.
Ayuna membungkam mulut adiknya, dia melotot memberi isyarat agar adiknya itu tak berisik.
"Jangan kenceng suaranya, nanti mahluk itu dengar," bisik Ayuna.
"Mahluk apa, Kak?" tanya Dira kebingungan sembari melongok ke arah pintu.
Ayuna tak menjawab, dia malah melihat kasur menatap Dira yang kosong, pikirannya berkecamuk, tetapi segera dia membuyarkan pikirannya.
"Emak kemana?" Dira akhirnya menyadari itu.
Karena tak ingin membuat adiknya khawatir, Ayuna terpaksa berbohong.
"Tadi, emak ke tempat Kak Dewi, katanya mau lahiran," ucap Ayuna. Kak Dewi adalah sepupunya yang memang saat itu sedang hamil besar.
Diar mengangguk-angguk, dia kembali berbaring melepas kantuk. Sementara Ayuna beranjak kembali ke dapur, dia mencoba mengintip lagi di balik gorden. Sosok itu tak lagi terlihat, tapi pintu belakang terbuka lebar. Ingin rasanya Ayuna beranjak untuk menutup pintunya, namun rasa takut yang berlebihan tetap saja menggerogotinya.
'Apa kubiarkan saja pintu terbuka, tapi bagaimana kalau ada maling yang malah masuk,' lirih Ayuna.
Demi menjaga keamanan adiknya, Ayuna melawan rasa takutnya, dia berlari secepat kilat menutup pintu dengan rapat lalu berlari lagi kembali ke kamarnya.
Jam sudah menunjukkan pukul empat, tetapi belum juga tanda-tanda emaknya pulang. Mata Ayuna terasa sudah berat, karena lelah berpikir, dia malah ketiduran di sofa.
******
"Kak, Bagun. Sudah pagi," ucap Dira seraya menepuk-nepuk pipi kakaknya.
"Masih ngantuk," ujar Ayuna.
"Kak, Bagun kita pergi melayat kata emak, Kak Dewi meninggal tadi subuh," kata Dira.
Seketika kedua mata Ayuna melototi Dira.
"Yang bener?"
Dira menganggukkan kepalanya lalu berkata, "Sana mandi, emak udah nunggu di depan."
Usai mandi, Ayuna sudah berpakaian hitam. Di teras emaknya juga sudah berbusana muslim berwarna hitam. Raut wajah emaknya berseri-seri, bercahaya bak wanita sehabis pulang dari salon kecantikan. Ayuna saat itu masih takut menyapa emaknya, tak seperti biasanya yang penuh banyolan.
"Kok liatin emak kayak gitu?" tanya emaknya bingung.
Ayuna hanya menggelengkan kepala, masih teringat jelas mahluk yang semalam ia lihat, sangat menyeramkan dan begitu mirip dengan emaknya.
"Sebentar lagi Kak Dewi dikebumikan, ayo kita lihat kakak mu," ajak Emaknya.
Dira dan emaknya lebih dulu ke rumah duka yang hanya berjarak seratus meter dari rumah mereka. Perlahan Ayuna mengikuti emak dan adiknya dari belakang, pikirannya tetap sama, yaitu mengingat kejadian semalam.
Setiba di rumah duka, kasak-kusuk para pelayat terdengar begitu menyeramkan, tertangkap di telinga Ayuna tentang kematian kakak sepupu dari ayahnya itu sangat tidak wajar. Ayuna mencoba mendekat ke kelompok tantenya yang sedang bergunjing.
"Kok, si almarhumah bagian belakangnya ada bentol hitam besar," kata Tante Ayuna.
"Iya, mana anak dalam kandungannya tiba-tiba meninggal juga, padahal kemarin Dewi sempat ke warung saya," tambah Bu RT.
"Kayak di makan mahluk ghaib ya, Bu." Tante Ayuna yang satu lagi nimbrung pula.
Ayuna saat itu hanya diam menyimaknya, kematian Dewi memang tiba-tiba dan banyak menyimpan tanda tanya. Bayi didalam kandungan Dewi pun ikut meninggal padahal kata dokter yang memeriksanya, tak ada gangguan kesehatan yang berbahaya pada Dewi dan janinnya.
'Apakah kematian kak Dewi ada hubungannya dengan makhluk semalam?' Ayuna bertanya-tanya dalam hatinya sendiri. Dia masih takut bercerita pada orang-orang apa yang ia lihat semalam, takut tak ada yang percaya padanya, dan takut bila apa yang ia pikirkan itu benar adanya.
Di dekat jenazah Dewi, ada emaknya yang masih menangis sesenggukan, emaknya terlihat sangat sedih karena sudah menganggap Dewi sebagai anak kandungnya. Belum lagi Dewi selalu baik pada mereka bila sedang kesusahan.
*****
Maghrib pun tiba, malam itu menjelang malam Jum'at, emaknya selalu menyalakan dupa di tengah tiang rumah. Dari dulu Ayuna sangat risih bila mencium aroma bau dupa dengan taburan gula dan kulit bawang merah. Tradisi yang dilakukan emaknya adalah turun temurun di Desanya, sehingga Ayuna menganggap hal itu lumrah saja.
"Dari pagi kamu kok diam saja toh, Nak?" tanya emaknya.
Ayuna yang saat itu sedang melamun seketika terhenyak, "Tidak, Kok. Cuma masih sedih saja karena kak Dewi." Ayuna menjawab terbata-bata.
Emaknya duduk menonton TV di dekatnya, mata Ayuna kembali membandingkan postur tubuh mahluk itu dengan postur tubuh emaknya, tak ada yang beda, semua sama. Yang membuatnya heran, mengapa emaknya sama sekali tak ingat kejadian semalam? atau memang emaknya menyembunyikan semua itu darinya? pikiran Ayuna makin kacau.
"Hmm.emak kemana semalam?" tanya Ayuna memberanikan diri.
"Emak kan tidur bareng Dira, subuh emak ke rumah almarhumah karena sudah dipanggil Bibi mu," jawab emaknya santai.
Ayuna serasa ingin bertanya lebih dalam lagi, tapi takut bila buat emaknya tersinggung dan dia juga masih belum bisa menerima kenyataan bila apa yang dipikirannya adalah sebuah kebenaran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments