Athar dan Ayuna sudah tiba di rumah Pak Kades yang tak lain rumah Athar sendiri. Ibu kades saat itu menyambut hangat kedatangan anak bungsunya, sejenak di melirik ke Ayuna, seperti biasanya, sikap Bu Kades itu selalu saja menampakkan kesombongannya, tak ada jiwa rendah hati sebagai tokoh masyarakat. Bu Kades hanya memandang orang-orang yang mampu, sementara Ayuna hanya keluarga miskin di Desanya.
"Saya pamit, Bu, Kak Athar," ucap Ayuna.
"Gak mampir, Yun?" tanya Athar.
"Aku capek, Kak. Mau cepet pulang istirahat aja," sahut Ayuna yang tak berani menoleh ke Bu Kades.
"Ohw, kalau begitu, terimakasih ya, hati-hati di jalan, Yun." Athar melambaikan tangan pada Ayuna. Bu Kades saat itu kesal jika anaknya terlalu akrab dengan Ayuna.
Athar masih mengawasi motor Ayuna hingga kejauhan, dia memastikan teman masa kecilnya itu baik-baik saja hingga masuk ke lorong rumahnya.
"Ayuk, Nak. Udah ah, jangan hiraukan lagi," ketus Bu Kades memaksa anaknya segera masuk ke dalam rumah.
Jarak rumah Athar dengan rumah Ayuna hanya berkisar seratus meter, sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk Ayuna tiba dirumahnya.
Ayuna melihat ada Emaknya sedang ada tamu, seperti biasa, tamu itu datang dengan berniat ingin berobat. Ayuna hanya tersenyum kecut, dari dulu ia tak senang jika ada yang datang meminta pada Emaknya untuk di jampi-jampi, Ayuna pikir itu cara musyrik yang harus Emaknya hentikan. Pengobatan yang dilakukan Emaknya selalu saja mengunakan ayam hitam hidup sebagai tanda pelepasan penyakit yang ada pada diri pasiennya.
Ayuna yang berada di dalam kamar mengintip dibalik pintu, dia menguping segala pembicaraan Emaknya dan juga tamunya itu.
"Ini di ganggu jin yang ada di dekat rumah mu, sebaiknya kamu siram air ini ke seluruh sudut rumah mu supaya kamu terhindar dari jin itu lagi," kata Emak Ayuna sembari memberikan air ajian itu.
"Terimakasih, Emak. Bisakah kami meminta jimat supaya kamu terlindungi dari jin?" tanya pasien suami-isteri itu.
Emak Ayuna mengeluarkan dari kantong bajunya dua jimat terbuat dari akar pohon yang ia lilit benang hitam.
"Pakai ini selalu, jangan pernah lepaskan," ujarnya.
"Semoga ini melindungi kami, Emak."
"Tentu saja," sahut Emak Ayuna.
Mendengar percakapan itu, amarah Ayuna kian memuncak, dia sangat ingin memberitahu sepasang suami-isteri itu bahwa yang mereka lakukan musyrik, tetapi di sisi lain, ada Emaknya yang akan marah jika pengobatannya di anggap musyrik terutama dari anaknya sendiri.
Setelah tamunya itu pamit, Emaknya kembali ke kamar menyimpan uang yang diberikan pasien tadi. Ayuna mencoba ingin berbicara lagi tentang pekerjaan Emaknya itu.
"Mak, dapat uang berapa?" tanya Ayuna mengikuti Emaknya masuk ke dalam kamar.
"Seikhlasnya mereka saja, Emak tidak mau memaksakan," sahut Emaknya seraya memasukkan uang hasil tabibnya ke dalam kaleng penyimpanannya.
"Emak, aku pikir ada baiknya Emak berhenti obat-obat kayak gini, ini menjurus musyrik, Mak."
Wajah Emaknya memerah, dia sangat tak menyukai Ayuna berkata yang dilakukannya adalah musyrik. Bagi Emaknya, ini ilmu yang berkah yang turun-temurun dari nenek moyangnya terdahulu. Sebagai cucu yang baik, dia harus menjaga baik dan memberikan manfaat bagi orang lain.
"Kamu itu, selalu menganggap ini musyrik, itu musyrik. Hei, musyrik itu ketika kamu bersekutu dengan Iblis lalu meminta harta dari tumbal, ini bukan musyrik, ini cara Allah kasi Emak kelebihan buat bantu sesama,"jelas Emaknya.
Ayuna tak habis pikir dengan sudut pandang Emaknya yang menanggap Ilmu nenek moyangnya adalah keberkahan, sedangkan ajaran agama Islam yang mereka anut bertolak belakang dengan Ilmu itu.
"Lebih baik Emak perdalam Agama lagi, jangan kayak gini terus, Emak 'kan sering ngaji ikut kajian, ayolah Emak, berhenti," ucap Ayuna penuh harap.
"Anak ini makin hari makin salah ajaran, kamu yang harus tahu tentang seluk beluk nenek moyang kita, sudahlah, Emak tidak suka berdebat seperti ini, kalau tidak suka, diam saja."
Emaknya tetap saja bersikukuh dengan kepercayaannya, dia akan tetap menjadi tabib karena menganggap dirinya memiliki kelebihan yang di berikan oleh Allah SWT. Emaknya pikir segala jimat dan berbagai ajiannya adalah perantara Allah untuk melindungi para hamba-nya.
Ayuna kembali ke kamarnya dengan amarah yang meletup-letup, dia sangat tidak suka dengan keras kepala Emaknya. Ayuna hanya tak ingin Emaknya salah jalan hingga menjemput kematian. Ayuna tahu betul, yang dilakukan Emaknya menyalahi aturan agama serta menyekutukan Allah SWT.
***
Athar duduk santai bersama keluarganya, mereka membahas segala kehidupan Athar saat di kota dengan pamannya, membahas segala kehidupan kuliah Athar yang banyak menemukan kendala karena masa pandemi, sampai akhirnya tiba Bu Kades bercerita tentang keanehan di Desanya yang belum terungkap hingga sekarang.
"Tidak di kota, tidak di Desa, sama saja, di kampung kita lebih parah lagi, That. Selalu saja banyak wanita hamil meninggal secara tiba-tiba, padahal mereka tak ada gejala sakit apapun," ujar Ibunya.
"Beneran, Bu? Kok gitu? Jadi semua wanita hamil dikampung kita meninggal semua?" tanya Athar yang masih terkejut dengan penuturan Ibunya.
"Bukan semuanya juga, tapi ada saja, setiap tahun bisa tiga orang, Nak. Entah kenapa, Bapak dan Ibu mencurigai ada hawa tidak baik di kampung kita dari dulu," jelas Bu Kades.
Seringkali saat dia mengadakan pengajian, para Ibu-ibu yang menghadiri pengajian itu bergunjing mengatakan bahwa ada yang menganut Ilmu hitam di Desanya. Bu Kades yang sudah terkontaminasi budaya modern sempat tak mempercayai itu, tetapi dengan peristiwa kematian Dewi kemarin membuatnya yakin ada kejanggalan di Desa yang saat itu di pimpin oleh suaminya.
"Itu sudah biasa di kampung-kampung, Bu. Tempat aku KKN dulu kayak gitu, tapi jika mendengar cerita Ibu, di Desa kita termasuk parah, berarti kita bisa mengasumsikan bahwa wanita hamil itu dijadikan tumbal atau sejenisnya, Bu." Athar yang belajar Ilmu filsafat sedikit memahami tentang Ilmu hitam.
Pak Kades saat itu hanya menghela nafas, dia masih bingung menangani itu. Sebagai kepala desa, dia bertangungjawab atas segala kondisi masyarakatnya, termasuk menangani Ilmu hitam yang sudah memakan banyak korban itu.
"Makanya, jangan bergaul dengan sembarang orang di Desa ini, termasuk siapa tadi itu, anak Sumarni itu, jangan, Nak. Saya tidak suka dengan Emaknya," kata Bu Kades mengungkapkan ketidaksukaannya pada Ayuna pada Athar.
Athar mengerutkan alisnya, dia tak Habsi pikir dengan cara Ibunya tidak menyukai Ayuna, bukankah dia dan Ayuna sudah sejak lama mengenal, bahkan Ayuna seringkali datang ke rumahnya bermain, Ibunya pun selalu menyambut baik kedatangan Ayuna sewaktu dulu sebelum Bapaknya di angkat menjadi kepala desa.
"Wah, jangan gitulah, Bu. Ayuna anak baik-baik, Emaknya juga itu orang yang sangat baik," kata Athar.
"Terserah kamu, tapi jangan terlalu akrab, Ibu akan marah besar, kalau kamu sembarangan berteman dengan muda-mudi di Desa kita," ujar Ibunya mewanti-wanti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments